19.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney-Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Nineteen: Dadirri.

Delapan kuda dibawa keluar jerumun. Dua warna coklat; empat warna putih; dua memiliki warna rambut perpaduan coklat dan putih sehingga membentuk warna tak ubahnya seperti krem. Hewan besar dipacu cepat melewati hutan yang disisir oleh dua belas kesatria yang terpencar menjadi empat kelompok dengan tim isi tiga orang.

Fukushima Mitsutada bersama dengan Kenshin Kagemitsu menunggangi kuda yang sama berambut putih sebab Kenshin yang memintanya; sementara Ichigo Hitofuri menunggangi kudanya seorang diri di atas hewan besar itu yang berambut coklat. Ichimonji Norimune bersama Yagen Toushiro menunggangi kuda berambut krem; Kashuu Kiyomitsu mengendalikannya seorang diri di atas kuda putih yang membuatnya tampak gagah, kontras dengan pakaian warna gelapnya. Tsurumaru Kuninaga bersama Monoyoshi Sadamune menunggangi kuda putih; Kuwana Gou dengan kuda coklatnya. Heshikiri Hasebe dengan Atsushi Toushiro berada di atas tunggangan krem; sementara Juzumaru Tsunetsugu tersisa kuda putih untuk menyusuri jenggala yang menarik perhatian mereka sebab anila berembus dingin dari arah Utara.

[HIGASHI'S WOOD|NORTH FOREST.]

[Juzumaru Tsunetsugu; Atsushi Toushiro; Heshikiri Hasebe.]

Juzumaru Tsunetsugu merunduk sesaat setelah turun dari puggung teman besarnya. Sarung tangan dilepas, jemari lentik bergerak selidik di atas pijakan yang ia kehendaki. Bersama Heshikiri Hasebe dan Atsushi Toushiro, mereka menyusuri hutan ke arah Utara dari benteng. "Tanah ini..."

Hasebe menarik langkah ke arah pokok yang cukup menarik perhatiannya. "Pohon ini kering lalu mati. Sebelum invasi, belantara kita tidak pernah seperti ini sebelumnya, 'kan?"

"Bukankah hal wajar bagi tumbuhan untuk tidak selalu subur?" Atsushi meraup daun-daun kering, menghancurkannya sehingga bunyi dari daun kering itu terasa mengerikan untuk didengar.

Juzumaru Tsunetsugu bangkit membiarkan surai panjangnya mengalun seiring langkah kaki membawanya ke dahan pohon yang satunya. "Lain." Begitu ucapnya hendak mencela Atsushi. "Tanah ini diiringi sempena dan perlindungan tuan kita. Harusnya tidak layu seperti sekarang walau musim panas terik bahkan musim dingin yang membuat mereka tak berbunga."

"Namun mengamati sesuatu yang tak terlihat jelas bukankah berlebihan?" Atsushi Toushiro kembali memertahankan argumennya. "Jenderal memang tidak bisa diandalkan."

Hasebe sedikit terkekeh mendengar keluhan terakhir yang datang dari belah mungil milik satu adik dari Ichigo Hitofuri ini. Entah mengapa, tetiba Hasebe terasa merindukan tingkah luar biasa tuannya yang memang benar-benar tak bisa diandalkan di hampir semua situasi. Ada saja tingkahnya yang membuat kesatrianya tertawa sekaligus berdecak kagum dan bersenandika, "Mengapa tuan kita mampu menjadi sosok Saniwa terkuat hingga detik ini, padahal menanam padi saja tidak becus?"

"Hasebe-dono, apa yang membuatmu tertawa?" Terheran sang pendeta mendengar tawa ringan yang datang dari rekannya. Memang Juzumaru tidak melihatnya, tetapi tachi itu yakin kalau rekannya saat ini tengah membuat ekspresi yang begitu senang akan sebuah ingatan yang tak sengaja terputar dalam benaknya.

"Ahahah. Tidak." Katanya. "Hanya ingatan kecil mengenai tuan kita. Apa kalian pernah lihat bahwa tubuhnya saat itu ditutupi lumpur?"

"Lumpur?" Ujar Atsushi agak ragu. "Ooooh. Sepertinya aku ingat. Ada apa?"

Lagi, Hasebe tertawa. "Apa kalian tahu bahwa saat itu, tuan kita tidak menapaki jalan yang tepat. Dan karena hal itu terjadi, kakinya salah menginjak pematang yang agak miring dengan lumpur basah. Lalu karena tiada kesatria yang berada di dekatnya, Aruji kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh ke sawah." Stori disudahi dengan gelaknya Hasebe yang tak kuasa menahan tawa hingga ia harus menyeka sesuatu dari sudut matanya.

Atsushi komentar setengah tergelak mendengar cerita kelakar dari Hasebe. "Tidak salah kalau aku katakan Jenderal itu sebenarnya tak bisa diandalkan."

"Benar itu benar." Hasebe masih tergelak.

Bahkan Juzumaru yang menyimak cerita tersebut hanya menarik kedua sudut bibir mungilnya mengekspresikan sebuah perasaan yang tidak bisa ditipu semata-mata hanya karena ia adalah Tenka Goken yang secara tak langsung dituntut oleh sang tuan untuk memiliki wibawa yang lain dari seluruh kesatria yang ada; sekaligus sebagai contoh untuk para Touken Danshi.

Tidak ada yang salah dengan sebuah senyuman, benar?

"Maka sebab itu, kita semua diharapkan mampu untuk menjadi pembimbing tuan kita. Bukankah seperti itu?" Ungkapnya secara halus. "Memang beliau yang memberi tubuh ini, dan memerintahkan kita untuk turun ke bumi menghapuskan nafsu jahat dari pasukan keji di sana. Namun aku berani jujur, tuan kita jauh lebih naif dari yang kita bayangkan. Jiwa dan pikirannya masih begitu murni walau kenyataan yang ada, beliau hidup jauh lebih lama dari kita semua dan nyaris mengetahui segala sesuatu yang ada di bumi. Tempat tinggal kita memang kayangan, tetapi apa tuan kita mengetahui seluk beluk kayangan itu sendiri?"

"Aku tidak menyangkalnya." Hasebe membantu Atsushi Toushiro menaiki tunggangannya kembali. "Memang sebenarnya, kitalah para Touken Danshi yang membimbing Saniwa."

"Iya." Bisiknya, "Tidak ada yang ingin tuannya tersesat dalam kegelapan, bukan? Seperti saat ini..." Melankoli kembali menjebak Juzumaru Tsunetsugu yang mulai memiliki kepercayaan bahwa ia tidak berdaya untuk melakukan apapun menghadapi situasi yang bisa dikatakan "darurat" semenjak tuannya tidak memberikan perintah langsung. "Tidak ada... yang..."

"Tidak ada?"

Siapa yang menduga kalau Hasebe akan mendengar seluruh ucapan rancu dari Juzumaru yang masih membatu tak ubahnya patung sembari mengusap dahan pokok yang kokoh berdiri di hadapannya. Irisnya yang tak pernah tampak membuat Hasebe kesulitan menerka ekspresi seperti apa yang kini menggungahnya. Jarang Juzumaru merasa terganggu; kecuali hal tersebut ada hubungannya dengan sang tuan seperti detik ini.

"Aku hanya bicara sendiri." Jemari lentiknya menekan sebuah tombol di alat komunikasi jarak jauh yang dipasang di telinga. "Beberapa tumbuhan kering dan mati dalam hutan bagian Utara. Tanahnya agak berbau busuk, tetapi tanda dari pasukan hina itu belum terendus oleh kami."

[HIGASHI'S WOOD|SOUTH FOREST.]

[Tsurumaru Kuninaga; Monoyoshi Sadamune; Kuwana Gou.]

"Beberapa tumbuhan kering dan mati dalam hutan bagian Utara. Tanahnya agak berbau busuk, tetapi tanda dari pasukan hina itu belum terendus oleh kami."

"Maa, nak. Tetap waspada. Karena hutan tidak akan sakit apabila iblis tak menginjakkan kakinya di tanah ini."

Percakapan singkat antara Juzumaru Tsunetsugu dengan Norimune Ichimonji disimak dengan baik oleh Tsurumaru Kuninaga saat kuda membawanya berlari dengan cepat. Dengkingan hewan besar itu membawa Tsurumaru berikut timnya ke tempat yang dituju; sebuah jenggala di sebelah Selatan dari benteng.

Anila berembus membuat pohon-pohon menari penuh suka cita akan kedatangan Touken Danshi. Seakan-akan alam menyambut riang dari sosok-sosok garda terdepan pembela sejarah.

"Oh—"

Monoyoshi pertama kali membuka suara. Jemari lentiknya menyapu daun yang ditutupi sesuatu berwarna hitam pekat dan agak berlendir dirasa. Mengandalkan indera penciuman, Wakizashi dari keluarga Sadamune itu meminta kedua rekannya untuk mendekat.

"Amis. Menurutmu, apa ini ulah pasukan kurang ajar itu?" Kuwana Gou dengan segera menyapukan kain kecil dari sakunya untuk jemari Monoyoshi.

"Jangan sampai." Tsurumaru dengan wajah yang berbeda dari biasanya menimpali serius. Gagang katana dipegang kesal seakan menumpahkan segala emosi yang berkecamuk ke benda mati bermata tajam itu. "Tanah ini adalah kekayaan milik Aruji. Aku tidak ingin hutan suci ternodai."

Ambernya kembali memerhatikan satu persatu semak yang berada cukup jauh dari tempat semula ia berpijak. Sejak Tsurumaru merasukimu, suasana hatinya mudah jelek dan Tsurumaru saat ini bukanlah Tsurumaru yang biasa namun ia tetap Tsurumaru Kuninaga milikmu. Kemahirannya tetap sama, tetapi beberapa tingkat lebih mengerikan ketimbang biasanya. Tsurumaru yang biasa membantai musuh bisa sambil bergurau kini menggunakan bilahnya tanpa banyak cakap dan mampu membuat enam hingga tujuh kepala musuh jatuh dengan bersamaan dalam satu waktu.

"Kau tahu, aku muak dengan ini semua."

Ia berbalik, satu bilah ootachi beradu dengan miliknya. Sosok legam dengan aura merah bagai matahari tenggelam itu menyeringai kotor menampakkan gigi-gigi tajamnya. Sang bangau yang sudah benar-benar dongkol itu lantas menggunakan kakinya untuk menendang. Tipe ootachi musuh terhempas, kelincahan wakizashi itu menggunakan bahu ootachi menjadi pijakan dan kemudian menancapkan bilahnya tepat di bagian ubun-ubun sebelum sosok itu meleleh dan menguap.

"Tanah ini terkontaminasi!" Kuwana berteriak saat bilah tachi masih menghadang pergerakannya. "Memang, ya, bajingan seperti kalian ini harusnya dibantai!" Cekikan dilakukan, Kuwana membanting tachi jikan shokogun di tanah dan dengan bengisnya merobek mulut yang meraung itu dengan bilahnya. Tak membuang banyak waktu, uchigatana dari Gou itu langsung memburu sisa-sisa pasukan hina yang terhitung 12 sosok olehnya. "Monoyoshi! Kunainya!! Kunainya ke arahmu!!"

"Serahkan padaku, Kuwana-san!" Tulang belulang kehijauan itu hancur dalam sekali ayunan.

"Ck, sengaja, ya? Kalian sengaja membelah kekuatan kami?" Tsurumaru tak lantas bersantai. Naginata yang nyaris membelah tubuhnya menjadi dua itu masih terus mengejarnya dengan nafsu kuat untuk membunuh. Tsurumaru membalikkan keadaan; ia berdiri dengan anggun di atas bilah naginata merah itu; memberinya peringatan dari dekat dengan amber cekung tanpa binar. "Jangan ganggu tanah ini kalau masih ingin mengacau di bumi." Mantel putihnya terbercak merah.

"Sialan! Aku benci ini." darah hitam di katana-nya hilang dalam sekali ayunan kasar, Tsurumaru mengubungi rekan-rekan yang lain. "Hutan Selatan terkontaminasi. Kurang lebih 30 tipe musuh datang menghadang. Kami tidak bisa kembali ke benteng sebelum hutan ini terkendali."

[HIGASHI'S WOOD|NORTH FOREST.]

[Fukushima Mitsutada; Kenshin Kagemitsu; Ichigo Hitofuri.]

"Hutan Selatan terkontaminasi. Kurang lebih 30 tipe musuh datang menghadang. Kami tidak bisa kembali ke benteng sebelum hutan ini terkendali."

"Matsui Gou memonitor, perlukah bantuan dikirim?"

"Tidak perlu, pedang pilar."

"Apa!? Jikan Shokogun sudah benar menginjakan kaki di hutan?"

"Astaga. Iblis yang keras kepala."

Mungkin kekkai melemah, sebab itulah hutan bisa dimasuki dengan mudah. Terlebih garis paling luar sudah diduduki. Isu mengenai pasukan musuh yang turut meng-copy penampilan kesatria pun juga sudah sampai di telinga Fukushima.

Jubah hitam Ichigo Hitofuri berkelibat begitu kaki jenjangnya turun dari tunggangan. Ia tidak berkomentar apapun, hanya diam mendengarkan dan menyimak. Surai kebiruannya mengalun saat angin membelai. Arumi busuk mengiringi setiap langkah, kedua tachi mengangguk tanpa suara.

Satu anak panah berhasil melesat, Ichigo Hitofuri membunuh satu wujud uchigatana musuh tepat di vitalnya.

"Kamu mahir dengan busur dan anak panah juga."

Tawa ramah datang dari Ichigo menanggapi kalimat yang dituturkan oleh rekannya. "Aku anggap itu sebagai pujian, Fukushima-dono."

"Kakek Fukushima, Ichigo-san! Ke sini ke sini!!"

Sayup suara menggemaskan itu datang dari tantou kepunyaan Osafune; Kenshin Kagemitsu. Nayanika birunya memandang prihatin pada sebuah hewan berkaki empat yang ia temukan tergeletak tak berdaya dengan tubuh dipenuhi luka sayat. Genang merah membentuk kubang, rusa itu mati dengan keadaan mengenaskan kepala nyaris terputus dengan tanduk yang dipatahkan. Kenshin bergetar.

"Me-mengapa teman kita bisa seperti ini? Rusa sering mengunjugi rumah kita, 'kan?"

"Haik." Usapan kepala dilakukan oleh Ichigo. Sedangkan Fukushima melihat lebih dekat pada bagian lain hewan malang yang ditemukan oleh keturunannya. "Sedihnya. Ichigo, sisir hutannya."

Tanpa suara, Tenka Hitofuri mengambil langkah hendak menyusuri semak dari angin yang menuntunnya. Hasilnya, pokok dan tumbuh-tumbuhan tidak perlu dikhawatirkan. Namun mengingat temuan hewan malang yang seperti dibantai dan kebetulan ada satu musuh uchigatana yang Ichigo panah sebelumnya, Fukushima menarik sebuah simpulan sementara.

"Hutan di sini aman—ingin kubilang seperti itu. Tumbuhan di sini masih hidup dan hijau, tetapi hewan lugu ini mengalami teror yang mengerikan. Rusa ini petunjuk bahwa bukan tidak mungkin hewan-hewan lain menjadi korban dari kebodohan musuh. Hewan ramah kerap kali mengunjungi benteng untuk bermain di halaman dan di bukit, tetapi semenjak invansi melanda, teman kita ini memang tidak ada yang berkunjung."

"Belantara ini kemungkinan sudah diduduki." Timpal Ichigo pelan. "Apabila hewan mati, ekosistem hutan hujan ini tidak akan bisa berjalan dengan baik dan dalam jangka waktu yang panjang, pasti benteng akan terpengaruh."

Fukushima mengangguk setuju.

"Fukushima-dono, langkah apa yang harus kita ambil?"

Mengajak Kenshin untuk mendekat, Fukushima berbicara.

"Hutan Utara tampak tenang, ingin kubilang seperti itu. Namun hewan di sini mati dan musuh menghadang dan hingga saat ini, tiada tanda-tanda dari musuh. Kurasa, kami akan bertahan di sini sementara waktu."

[HIGASHI'S WOOD|WEST FOREST.]

[Ichimonji Norimune; Yagen Toushiro; Kashuu Kiyomitsu.]

"Hutan Utara tampak tenang, ingin kubilang seperti itu. Namun hewan di sini mati dan musuh menghadang dan hingga saat ini, tiada tanda-tanda dari musuh. Kurasa, kami akan bertahan di sini sementara waktu."

"Hewan, ya?"

Kashuu mengernyit; menyelamkan jemarinya ke sungai dingin yang mengalir cukup tenang.

"Di sini sungainya agak keruh." Yagen berkomentar. "Di sini sungainya yang terganggu."

"Ulah mereka, ya?"

Kepala Kashuu mengangguk saat air merefleksikan bayangnya. Yagen menoleh, langkahnya di mulai untuk menyusuri jenggala yang terdekat dari sungai yang kerap kali mereka gunakan untuk memandikan kuda. "Pohon juga tidak sehat. Lihat." Telunjuknya membuat Kashuu Kiyomitsu berdiri berikut Ichimonji Norminune yang memandang bentala biru kini harus fokus pada Yagen.

Di antara dahan-dahan, jaring laba-laba yang cukup tebal menyelimuti daun-daun.

"Kamu tahu, Jenderal tidak pernah keberatan dengan laba-laba. Namun saat ini, kalau dilihat dari atas, mungkin hutan ini berubah menjadi angker karena sarang laba-laba tebal ini yang memberi kesan buruk. Hutan Jenderal benar-benar sakit."

Alat komunikasi jarak jauh menimbulkan suara seperti kantung plastik yang digesek. Ketiganya menekan tombol untuk menangkap suara di seberang sana dengan lebih jelas.

"Dengar aku! Apa kalian dengar aku!?"

Suara Matsui Gou terdengar panik.

"Jelas, Matsui Gou. Ada apa?"

"Tim Tsurumaru hilang kontak! Kuulangi, tim Tsurumaru Kuninaga hilang kontak."

"Apa?"

"Kenapa bisa!?"

"Kami juga tak mengerti. Terakhir, mereka bertarung. Namun monitor yang memantau mereka langsung membentuk garis horizontal abu-abu. Aku sudah meminta tim Juzumaru untuk ke sana, tetapi tampaknya, musuh sudah hadir untuk menghadang mereka!!"

"Naik ke kuda, anak-anak."

Ichimonji Norimune memerintah. Namun sayang, jalan mereka ditutup dengan puluhan bilah musuh yang tampak siap melakukan pertempuran di hutan. Bilah kotor mereka menimbulkan pantulan gelap berapi; suara geraman bak binatang buas tak ketinggalan keluar dari mulut-mulut yang hitam seperti menelan kubangan lumpur.

"Maaf, Matsui Gou! Tampaknya kami belum bisa melakukan hal itu." putus Kashuu sebelum bilahnya mengayun anggun membelah musuh.

[HONMARU HIGASHIMONITORING ROOM.]

Geram.

Satu kata yang bisa digambarkan untuk Matsui Gou kini. Bersama Hachisuka Kotetsu, mereka menyimpulkan satu hal dari laporan-laporan yang masuk; hutan sudah tercemar. Sepenuhnya, hutan mereka sudah diduduki. Dan sialnya, hutan-hutan itu adalah akses yang paling dekat dengan benteng. Kekkai dalam benteng pun masih menyatu dengan hutan-hutan tadi. Dan apabila seperti ini terus, bukan tidak mungkin benteng Timur akan jatuh lebih dulu.

"Ada apa!?"

Kita datang tergesa bersama dengan Minami.

Monitor menampakkan warna merah darah diikuti titik-titik dengan lingkaran besar menimbulkan suara yang membawa perasaan tak nyaman.

"Hutan sudah tercemar. Cepat atau lambat, kita harus menyembunyikan fisik Aruji!!"

[NIGHT RAVEN COLLEGELIBRARY.]

Empat hari.

Empat hari waktu berlalu semenjak kejadian pingsan saat mengudara. Dalam empat hari itu pula, Sebek tak melihat kehadiran dari "teman" perempuannya yang merepotkan itu.

Ke perpustakaan saat jam kosong adalah hobinya. Namun ia tak menyangka akan bersua dengan satu sosok yang menjadi rivalnya sekaligus "saudara"nya; Silver.

"Apa yang kau lakukan di sini, Sebek?"

Manik dengan warna biru langit dan merah jambu itu memandang penuh selidik. Sebek memandang tajam dengan alis menukik tak terima. 

"Bukan urusanmu!"

Silver sudah biasa menerima sikap apatis dari Sebek. Namun saat tuannya memerintahkan untuk menyelidikimu, mungkin Silver bisa bertanya satu dua hal langsung. Sayangnya, saat itu juga pemuda sejuk itu tak melihat presensimu. Silver tahu betul kalau Sebek tidak akan meninggalkanmu seorang diri, dan untuk saat ini, mungkinkah Sebek berubah pikiran untuk melakukan hal itu?

"Teman perempuanmu mana?"

Dalam satu baris rak buku, Silver mengikuti Sebek dan bertanya.

Kepala hijaunya menoleh, memberi sorot yang Silver tebak sebagai antisipasi. "Untuk apa kau bertanya?"

"Penasaran."

"Tidak masuk sejak hari itu."

"Tidakkah kau mengunjunginya?"

"Apa urgensiku untuk mengunjunginya?"

"Pelankan suaramu. Kita di dalam perpustakaan."

Hening, bahkan sampai Sebek memilih meja kursi yang tepat, Silver mengekorinya. Dengan tangan yang digunakan untuk memangku kepala, Silver menyelidiki Sebek dari satu sisi sampai membuat pemuda bersuai hijau itu tak sadar meninggikan suara.

"Apa maumu, huh!?"

Silver tak berhenti hanya untuk menatap lebih lekat. "Kau mengkhawatirkannya."

Sesaat, Silver menangkap bahu yang agak menegang darinya. Kembali mengalihkan aktivitas dari bacaan, Sebek memandang tanpa suara.

"Kunjungilah temanmu. Kau agak kesepian karena tiada yang merepotkanmu, bukan?"

Sebuah celah dibuka, Silver memanfaatkan sedikit kepolosan Sebek di balik sikap arogannya.

"Kutanya sekali lagi, apa urgensiku mengunjungi gadis merepotkan itu?"

"Kau temannya."

[NIGHT RAVEN COLLEGERAMSHACKLE DORM.]

Entah apa yang Silver katakan itu membuat hati Sebek agak tergerak mengikuti anjurannya. Namun dengan syarat kalau Silver harus ikut dengannya, dan Silver menyetujui hal tersebut.

(Karena sang tuan memintanya untuk menyelidikimu, Silver beranggapan kalau ini adalah kesempatan awal untuk memulainya.)

Selepas kelas usai, Silver menunggu Sebek di bawah rindang pohon taman akademi sebelum pemuda hijau itu berlari menghampirinya.

"Itu apa yang ada dikantung?" Sebek melirik saat Silver menjatuhkan atensinya pada tas karton yang ia bawa.

"Uh, makanan?"

"Untuk siapa?"

"Untuk perempuan itu."

Silver tertawa kecil.

"Apa yang lucu!?"

"Tidak ada." Ujarnya lembut. "Ayo. Nanti keburu senja."

"Aneh."

Sepanjang perjalanan, yang Sebek lakukan hanya menggandeng tangan Silver seakan-akan menuntunya. Silver masih berperan sebagai sosok yang tidak tahu apa-apa sampai Sebek gemas sendiri dan memilih untuk menggandeng tangannya sampai ke sebuah asrama kosong yang Sebek ceritakan.

Padahal Silver sudah tahu ini tempat tinggalmu sementara.

Tangan dilepas, Sebek menekan bel.

"Mungkinkah orangnya tidak ada?" Asumsinya datang setelah bel ditekan berulang, tetapi tak ada tanda-tanda dari seorang perempuan dibalik pintu yang akan memberikan ruang untuk masuk.

"Cobalah sekali lagi."

"Kau dengarkan tadi sudah berkali-kali aku tekan belnya?"

"Apa salahnya dicoba lagi." Silver sabar menimpali. "Kita tidak akan pulang ke Diasomnia sebelum aku melihatmu memberikan kunjungan ke temanmu."

"Memangnya kau siapa!?"

"Silver."

"KENAPA KAU JADI SAMA SEPERTINYA—ah. Sudahlah."

Bel ditekan.

Suara samar dari kunci yang hendak dibuka menyapa telinga.

Kenop bundar yang ada di pintu tampak terputar. Sekali tarikan, pintu rapuh itu terbuka.

"Sebek-kun?" katamu bergumam ragu lalu memandang sosok perak di sisinya.

Ah, yang mirip kedua Yamanbagiri-ku, ya?

Namun yang Sebek dan Silver lihat bukan hanya dirimu seorang.

Namun seorang laki-laki tinggi yang ada di belakangmu. Bersurai navy beriris hetero biru gelap dengan bulan sabit kuning di bawahnya memandang keduanya dalam diam. Harusnya tidak jadi masalah kalau Sebek dan Silver dikatakan "pernah" melihat sosok tembus pandang tak dikenal ini di hadapan mereka. Yang membuat keduanya membatu adalah—figur itu menjaremba. Mengusap kepala keduanya tanpa ragu membawa sebuah senyuman tak terdeskripsikan. Tangan besar itu terasa hangat. Usapannya dirasa dengan jelas. Harum mengiringinya. Sebuah ambu yang tak pernah diendus sebelumnya. Begitu misterius, tegas, dalam, dan penuh rasa rindu.

Siapa gadis asing ini? Dan sosok-sosok yang mengikutinya?

"Siapa kalian? Yang memberikan kunjungan pada kekasihku?"

Date of update: December 05, 2022.
By: aoiLilac.

revision: March 18, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top