03.

A Touken Ranbu ft Twisted Wonderland fanfiction,

-Lueur-

By; aoiLilac.

Credit; DMM, Nitro+. And Disney-Twisted Wonderland, Aniplex, Yana Toboso.

Chapter Three: Atychiphobia.

Dinding dihantam kesal, Yamatonokami Yasusada merasa panas mendengar laporan dari unit satu yang baru saja kembali setelah serangan mereda. Kesatria yang mengisi garis pertahanan paling dalam pun sudah dikirim secara bergantian para punggawamu menjaga tiga lapis pertahanan dari benteng timur tempatmu bernaung.

Sudah terkonfirmasi kali ini musuh menggunakan cara yang cukup licik untuk menggoyahkan pendirian para kesatria. Penampakan mereka sama persis seperti Touken Danshi hingga ke detail. Semuanya nyaris serupa, perbedaannya terletak tepat di mata. Sklera mereka cukup merah dengan pupil sama seperti warna netra Touken Danshi.

Layar kebiruan menampakkan Seinan yang cukup dikejutkan dengan penyerangan yang menurutnya cukup memuakkan sekaligus menggelikan yang tengah mereka hadapi. Jemari lentiknya memijat pelipis, dengan surai pirang panjang yang nyaris menutup semua wajahnya di satu sisi, disusul dengan suara erangan tertahan dari Nishi mengenai distorsi ruang dan waktu yang terus mengirimkan kilat merah.

"Bukan hanya Okita Souji. Aku dengar dari Aruji, kesatria yang maju di garis depan dari benteng lain pun ada yang menghadapi Oda Nobunaga. Ashikaga Yoshiteru, hingga Toyotomi Hideyoshi." Kashuu Kiyomitsu mencoba menenangkan teman satu tuannya dulu. Hasilnya memang nihil, sebab si merah tahu betul bagaimana hancurnya perasaan Yasusada dan rekan timnya yang lain mendengar kabar cukup buruk itu.

Bagaimana tidak? Para pasukan hina pembalik waktu di sana tidak hanya meniru rupa dari para Touken Danshi-nya, tetapi juga dengan tuan-tuan mereka terdahulu dan hal ini bisa menjadi malapetaka apabila tidak segera dihentikan. Memang benar para kesatria kini mengabdikan seluruh hidupnya pada sang Saniwa. Namun jika terus-terusan dipaksa bertarung dengan mantan tuannya dulu, tentu ada sebuah rasa yang tidak bisa dijelaskan dengan baik. Yang tidak mampu dijabarkan mengenai sakitnya, geram pedih, sedih, berang. Melihat mantan tuan mereka seperti dipermainkan layaknya boneka dengan tali serta digunakan untuk memusnahkan sistem pengawas dan penjaga sejarah.

Ada masa dimana mental yang ditempa olehmu kembali lebur dan hancur membentuk sebuah lubang yang menimbulkan rasa takut dengan gelombang ombak besar tentang rasa sayang yang sempat hinggap dalam pribadi masing-masing, kini mampu menjadi sebuah bumerang untukmu dan benteng lain.

"Tidak ada waktu untuk berduka." Mikazuki Munechika mencoba membesarkan hati para pemuda pedang yang terlihat cukup down mengenai kabar yang membisikan sebuah ketakutan tak dikenal. "Kurasa kamu semua akan baik-baik saja kalau sudah mengetahui kabar kurang mengenakkan ini."

"Mikazuki benar." Yamanbagiri Kunihiro melempar pandang ke segala arah di mana wajah rekannya terlihat cukup masygul. "Aruji tidak pernah meminta kalian untuk membuang kepingan memori berharga yang kalian simpan—bahkan pada saat kalian belum mendapat tubuh manusia seperti hari ini."

Yamanbagiri berkata demikian, tetapi dengan jelas yang lain dapat melihat getaran samar dari sekujur tubuhnya. Suara yang biasanya terdengar paling tegar itu kini satu tingkat lebih rendah dengan gelombang samar yang mustahil untuk ditutupi. Yamanbagiri mengumpulkan emosi melalui kepalan tangan, seperti siap menghantam siapapun yang kini berdiri di hadapannya, terlihat sosok Chougi tak segan memberikan sebuah usapan di punggung sang pirang sebab ia merasa ada perasaan yang turut sama dengan apa yang Yamanbagiri rasakan.

Sakit. Takut. Sedih. Mendekati putus asa.

"Aku tahu ini berat." Agahnya satu persatu pada netra yang berbeda warna. Kepada sosok-sosok kesatria yang tangguh di sana. Nuraga dirasa oleh relung hati paling dalam, mengirimkan sebuah emosi baru dari muara yang terbentuk tanpa sadar tepat dalam iris peridotnya. Terkumpul dalam likuid bening yang mengalir hangat menuju dagu lancip dan membiarkannya tergenang di sana sebelum kepala dan tubuh menunduk sekitar sembilan puluh derajat hingga menjadikan permukaan tatami sebagai pemandangan.

"Namun aku minta kesediaan kalian untuk meminjamkan seluruh kekuatan pada tuan yang memberikan kita—dan aku tubuh ini."

Mental benar-benar dibuat goyah, begitu kejam. Pikiran bercabang. Sang Saniwa harus mengubur cemas pada pilihan terbaik saat kau harus turut mempertahankan sejarah. Bukan hanya dirimu, keenam Saniwa lain pun tenggelam dalam melankoli yang memengaruhi psikis. Padahal mereka sendiri tahu, jika Saniwa sudah jatuh, tidak akan pernah ada harapan untuk para Touken Danshi dan imbasnya, sejarah kelak menjadi ajang kepalsuan dalam dunia.

"Tunjukkan kuasamu wahai roh pemilik semesta..."

Disaat yang bersamaan manakala kau menyeka likuid hangat yang turun tanpa sadar dari mata. Ketika ketengangan terusik dengan hal yang tidak sepele di mana kepercayaan diri secara perlahan dihancurkan, bukan para kesatria yang akan dibantai. Melainkan mental para Saniwa yang benar-benar diuji. Menjadi sosok yang tahan banting memang diperlukan—terlebih dalam situasi yang tak terduga seperti saat ini.

"Aruji!"

Jujur, pekikan Hasebe sempat membuatmu sedikit terlonjak dari kursi di mana kau memonitori jalannya pertempuran seorang diri sejak para kesatriamu mulai dikumpulkan oleh kedua Yamanbagiri dan Mikazuki Munechika untuk menyampaikan hal yang membuat bundah di segala penjuru mata angin.

"Ada apa, Hasebe?"

Salah satu punggawa paling setiamu itu melampirkan beberapa berkas yang disatukan dengan klip merah jambu.

"Deretan informasi yang dikirim dari Kita-sama untuk semua Honmaru."

Viridianmu mengikuti satu persatu kalimat yang termaktub dalam selebaran-selebaran dengan warna dasar putih tulang. Bergetar tanganmu, bibir digigit menghilangkan rasa gundah yang menguasai batin. Menangis pun tidak akan mengubah segala sesuatu, tetapi yang kau rasakan ini sudah terlewat sakit sampai kau tak sadar bahwa beberapa titik telah mewarnai kertas menuju abu-abu.

"Prediksi kekalahan." Kabut ketakutan semakin kentara saat kau sadar bahwa Hasebe kini berlutut, beradu pandang mulai menghapus muara penuh rasa sesak kekasihnya. "Aku tidak akan membiarkan ini terjadi, tuanku."

"Kita, lebih tepatnya."

Pertahanan akan rasa tegar pun runtuh begitu iris amber kepunyaan empat bilah kepunyaan Date itu memandangmu.

"Ya, kita." Ookurikara yang tak biasanya hendak berteman denganmu pun, kini tidak memiliki pilihan selain turut menguatkan sang tuan gadisnya, "Kesatriamu. Punggawamu. Kekasihmu. Keluargamu. Anak-anakmu. Pejuang sejarahmu."

"Sakit sekali rasanya."

"Aku tahu." Detik yang sama, pemuda berkulit sawo matang itu menyembunyikan wajah sang Saniwa di dadanya. "Tidak ada yang salah dengan menangis. Namun aku—kami minta kamu harus tetap tegar. Tidak ada satu kesatria pun yang ingin melihat tuannya terpuruk. Tidak ada yang menginginkan semua ini terjadi."

Dibalik pintu, sosok lain turut mendengar dialog beberapa sosok yang ada di dalam. Awalnya suara tangis itu memang terdengar samar, tetapi semakin ke mari dan suara yang ia yakini sebagai suara Ookurikara mengatkan bahwa menangis adalah hal yang wajar, sosok itu pun tidak sanggup membendung perasaan pilu yang sama.

Netra bulan sabitnya menggenang dengan sesuatu yang hangat. Bibirnya turut bergetar menahan rasa sesak yang lolos dari tempatnya. Bukan sebuah kehancuran yang ditakukan oleh Mikazuki. Bukan sebuah kekalahan yang menggerogoti pikirannya. Bukan tentang musuh yang saat ini menguasai keadaan.

Melainkan kondisi sang tuan. Mentalnya dibuat hancur. Psikisnya terombang ambing dalam nestapa hitam putih. Lengkingannya terdengar kembali, meluapkan sebuah perasaan yang membuat hati siapapun yang mendengarnya turut pilu.

"Aku tidak pernah mendengar suara tangismu yang seperti itu, Aruji-yo."

date of update; 08 September 2022,
by; aoiLilac.

revision; March 15, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top