9. POSSESSIVE BIG BROTHERS

VENUS'S POV

Sudah tiga hari sejak kejadian dengan Lucifer dan saudara malaikat gilanya yang mengubah takdirku. Benar-benar hal tergila, teraneh, dan hampir tidak masuk akal yang pernah aku rasakan.

Ayahku tidak kembali juga setelah waktu itu dia menemuiku untuk memberikan cincin yang Ibuku pesankan sebelum kematiannya. Aku kira dia benar-benar ingin menemuiku karena rindu dan merasa bersalah. Tapi aku salah, aku tahu sekali Ayahku, dia tidak akan pernah menyesali apa yang dia lakukan.

Saat aku baru saja mengambil jus di dalam lemari pendingin, bel pintu berbunyi. Aku letakkan jusku di atas meja dan menuju pintu. Siapa yang datang sepagi ini? Pikirku.

Aku mengintip dari lubang pintu untuk melihat siapa yang datang. Tanda pengenal FBI menghalanginya dan aku tahu siapa yang datang. Kubuka pintu dan langsung menghembuskan napas panjang.

"Ms. Morningstar, kami FBI. Apa anda punya waktu?" tanyanya dengan nada yang dibuat-buat.

Aku memutar bola mata. "Ya, Mr. Hollister. Silahkan masuk," candaku. "Max." Aku langsung memeluknya.

"Venus." Max memelukku balik.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku sambil melepaskan pelukannya. Kemudia melirik ke arah mobil tua di sebelah mobilku. "Sebastian," panggilku.

Pria itu hanya melirik sambil tersenyum. Dia sedang mengambil beberapa barang di dalam bagasi mobil, kemudian berjalan menghampiriku dan Max.

"Kalian akan menginap?" tanyaku.

"Benar sekali." Max bersorak.

Sebastian memelukku sambil menopang tas di bahunya. "Kau tidak menjawab teleponmu, kami khawatir jadi kami pikir sekalian saja menginap."

Aku jadi ingat, Max dan Sebastian sudah meneleponku sejak tiga hari yang lalu dan terus menerus tanpa henti. Tapi aku menghiraukannya, karena sedang tidak ingin melakukan apapun saat ini. Saat Letnan Trevor meneleponku, aku juga tidak mengangkatnya dan hanya mengiriminya pesan bahwa aku berada di luar kota selama beberapa hari ini. Begitu juga pekerjaanku di toko pizza, aku mengirimi pesan pada Queen aku tidak bisa masuk beberapa hari ini.

Sekarang, Max dan Sebastian masuk ke dalam rumah. Max tentu saja langsung menuju dapur mencari makanan. Sedangkan Sebastian menuju kamar untuk meletakkan barang-barang bawaannya.

"Kau tidak membuat sarapan?" tanya Max yang terlihat kecewa.

"Ah, ya. Aku baru saja bangun. Akan aku buatkan sarapan jika kau mau."

"Tentu saja, aku akan menunggu sambil menonton televisi." Max kemudian pergi menuju ruang televisi dengan kegirangan.

Sebenarnya, aku juga sedang tidak ingin melakukan apapun. Termasuk memasak sarapan pagi ini. Tapi, aku kasihan pada Max karena dia jarang makan-makanan buatan rumah.

Biar aku perjelas mengenai hubunganku dengan Max dan Sebastian. Mereka adalah sepupu dari keluarga Ayahku. Adik perempuan dari Ayahku tidak bisa memiliki anak, akhirnya mereka mengangkat Max dan Sebastian sebagai anak mereka. Saat masih kecil, aku sangat pemalu dan tidak memiliki teman satupun. Tapi karena Max dan Sebastian yang selalu menjagaku, aku jadi memiliki beberapa teman. Walaupun mereka berteman denganku karena ingin mengenal mereka.

Keluarga dari Ayahku adalah seorang hunter, karena itu Max dan Sebastian juga seorang hunter. Dulu saat kasus pertamaku di New Orleans, mereka membantuku menyelesaikannya. Lalu saat kasus di Bartlesville, Oklahoma yang saat itu aku hampir mati karena terkurung di dalam gua Wendigo, mereka menolongku juga. Rasanya seperti, mereka adalah malaiakat penjagaku.

Sebastian baru saja selesai merapikan barang-barangnya, yang kemudian melirik Max sedang menonton televisi. Matanya beralih padaku di dapur, Sebastian bersandar di kusen pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang televisi.

"Ada kasus baru-baru ini. Saat kau tidak mengangkat telepon dariku, aku kira kau dalam masalah lagi." Sebastian menyilangkan kedua tangannya di dada. Dia benar-benar tipikal seorang kakak laki-laki yang aku inginkan.

Aku tersenyum. "Ya, begitulah. Aku bertemu dengan seorang pria dan menyeretku dalam masalah." Aku berusaha tidak menyinggung nama Lucifer. Karena aku tahu, Sebastian pasti akan mencari Lucifer untuk memperingatinya. Dan terlebih lagi, Sebastian pernah bertemu dengan Lucifer sebelumnya. Lagipula, aku tidak akan berurusan atau bahkan bertemu denganya lagi. Jadi aku rasa, itu bukan masalah bagiku.

Sebastian menaikkan sebelah alisnya. Seolah dia menggodaku. "Seorang pria? Apa pacarmu?" tanyanya.

Aku memutar bola mata sambil tersenyum geli. "Yang benar saja, Seb."

Sebastian hanya menggedikkan bahunya, kemudian membantuku di dapur membuat sarapan. "Bacon and egg," gumamnya.

"Maaf aku hanya bisa menyajikan sarapan seperti ini. Kalau saja kalian memberi tahuku akan datang sepagi ini, aku pasti sudah menyiapkannya," keluhku.

"Siapa yang tidak mengangkat teleponnya?" Sebastian tersenyum. "Lagipula, ini lebih dari cukup. Daripada harus makan cheese burger and fries lagi."

Aku tertawa. "Tapi sepertinya Max baik-baik saja dengan cheese burger and fries."

"Ughh. Cheese itu kesukaaan Max. Bagaimana bisa dia menolaknya."

"Hey, kalian sedang membicarakan diriku ya?" Max menyela dari ruang televisi.

Sebastian dan aku tertawa. "Bukan, kami sedang membicarakan pria menyebalkan yang baru saja datang ke rumahku pagi ini."

"Kalau pria itu tampan dan menawan berarti itu aku." Max berteriak lagi sambil memuji dirinya sendiri.

Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Dan kemudian mulai menyiapkan sarapan lagi bersama Sebastian. Setelah selesai dan baru saja aku sajikan di atas salah satu piring, Max sudah menyambar dari ruang televisi dan langsung memakannya tanpa basa-basi lagi. Dia benar-benar salah satu pria yang tidak akan memedulikan apa-apa lagi jika urusan makanan.

"Jadi, kasus apa yang muncul kali ini?" tanyaku kemudian saat kami sudah selesai makan.

"Aku kira kau sudah tahu, ini kan kotamu." Max melirik piring Sebastian yang masih tersisa makanan. "Seb, kau tidak akan memakan itu?" tanyanya.

"Tidak," jawab Sebastian.
Dan dengan sangat cepat, Max langsung menyambarnya. "Bagus," soraknya.

Aku hanya menggeleng-geleng melihat Max. Kemudian beralih pada Sebastian yang sedang membersikan mulutnya. "Aku tidak tahu makhluk apa yang kita hadapi sekarang. Dia membuat orang-orang menjadi gila, mengeluarkan darah dari matanya, bahkan sampai tidak bergerak sedikit pun." Sebastian mulai menjelaskan.

"Apa kau pernah mendapatkan kasus mengenai orang hilang yang mayatnya ditemukan puluhan tahun kemudian dengan sistem pencernaan yang tidak pernah mencerna puluhan tahun setelah mereka menghilang?" Max mulai ikut pembicaraan.

Aku menatap mereka bingung. "Ya, aku pernah mendapatkan kasus itu. Orang-orang itu berubah menjadi vampir dan entah mengapa mereka muncul dan ditemukan sudah mati."

Max dan Sebastian saling bertatapan. Kemudian mereka menatapku. "Kau belum menyelsaikan kasus itu?" tanya Max.

Aku menggeleng sedikit ragu. Karena seingatku, saat aku akan menyelsaikan kasus itu, Camael mengubah takdirku. Aku tidak akan membicarakan hal ini pada mereka, jadi aku lebih baik berbohong. "Belum, aku tidak berhasil menemukan pelakunya," jawabku berbohong.

"Kasus ini berhubungan dengan kasus vampir itu. Tapi kali ini yang menjadi korban adalah saudara, orang tua, atau kerabat mereka. Seperti pembalasan dendam." Sebastian mengambil gelas di sampingnya dan meneguknya.

"Jadi sekarang roh para vampir itu membalas dendam?" tanyaku.

Max menggeleng. "Bukan, kita sudah memeriksanya. Ini bukan ulah roh spirit."

"Lalu?"

Sebastian menggeleng tidak tahu. "Kami baru akan memeriksanya pagi ini. Apa kau akan ikut?" tanyanya.

Aku sangat ingin ikut. Tapi jika mengingat mengenai kejadian itu rasanya membuatku ingin berteriak saja. Seharusnya ini bisa membuat pikiranku teralihkan. Lagipula sudah tiga hari aku mengurung diri di dalam rumah seperti manusia goa.

"Well, aku akan ikut," kataku setelah menyelsaikan sisa terakhir makanan di piringku.

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Sebastian melirik ke arahku. "Kau sedang menunggu seseorang?" tanyanya.

Aku menggeleng.

Max dan Sebastian segera berlari menuju pintu. Max bersiap untuk membuka pintu sedangkan Sebastian mengacungkan senjatanya pada siapapun yang berada di luar pintu.

"Hey! Tidak perlu memgeluarkan senjata," kataku sontak. Benar-benar terkejut melihat respon mereka yang sangat cepat.

"Bisa saja berbahaya," kata Max.

Aku menghela napas panjang. "Kalian bukan berada di motel." Aku menoleh ke arah Sebastian dan mengisyaratkan untuk memasukkan kembali senjatanya.

Kemudian, membiarkan diriku yang membuka pintu sedangkan Max dan Sebastian berdiri di belakangku dengan sangat aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top