64. TRUTH ALWAYS COMES IN THE END
"Apa rencananya?" Tanya Sebastian pada setiap orang di ruangan.
"Aku bahkan tidak tahu apa yang akan kita hadapi." Max membelalakan matanya, membanyangkan kengerian yang akan kami hadapi.
Kulirik Sera yang berdiri di antara Icarus dan Xander. "Bagaimana dengan Zeus? Dia yang mengurung para Titan, kan? Dia bisa membantu kita mengembalikan mereka ke Tartaros. Lagipula, ada hal yang ingin kutanyakan juga padanya."
Kali ini, semua mata memandang pada Sera. Aku tahu dia membenci ayahnya, tapi perasaan itu harus dia singkirkan terlebih dahulu, demi menyelamatkan Bumi dari amukan para Titan yang sudah terkurung ribuan tahun.
"Aku akan meminta bantuannya," kata Sera akhirnya setelah diam cukup lama.
"Baiklah, kita harus ke permukaan terlebih dahulu," ujar Jo.
Baru saja kami akan berangkat ke permukaan saat Icarus meminta izin untuk tidak bisa ikut dalam pertarungan. "Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa ikut dalam pertarungan. Aku harus kembali ke surga, ada hal yang harus aku urus," katanya.
Sebelum dia pergi, kuminta pada Icarus untuk menjemput ayahku di neraka dan memindahkannya ke surga. Bagaimana pun, ayahku tidak seharusnya terkurung di neraka. Setidaknya jika dia di surga, aku bisa menjemputnya nanti untuk kembali ke tubuhnya.
"Bolehkan aku meminta satu permintaan?" tanyaku pada Icarus.
Dia menoleh padaku seolah tahu apa yang akan kupinta padanya. "Akan kuusahakan."
"Tunggu, kau susah tahu apa yang kuminta?" tanyaku agak bingung.
Icarus mengangguk. Kemudian, Sera yang seolah mengetahui sesuatu langsung menjelaskan. "Para malaikat bisa mendengar pikiran kita," katanya.
Mendengar hal itu, membuatku sedikit bergidik. Apa sejak tadi dia membaca pikiranku? Namun Max yang berada di sampingku membisikkan sesuatu. "Pantas saja dia tahu nama panjangku."
Aku baru saja akan tertawa mengingat nama Maximus yang kemudian kami sudah berada di permukaan, kembali ke rumahku. Sera dan Xander sudah pergi untuk menemui Zeus di Olympus, sedangkan Icarus juga sudah pergi kembali ke surga—setidaknya itu yang dia katakan. Hanya tinggal kami berempat.
Selama menunggu Sera dan Xander kembali dari Olympus, Sebastian duduk di ruang tengah sambil mencari informasi mengenai para Titan, Jo membantunya dengan membaca beberapa buku yang ada di rak. Buku yang bahkan aku tidak pernah membacanya. Sedangkan Max sedang makan apapun yang tersisa di lemari pendingin.
Aku yang tidak tahan untuk melihat tubuh ayahku yang masih seperti terakhir kali kami tinggalkan di ruang tengah, tidak mau ikut membantu Sebastian yang sedang duduk di sana. Karena merasa tidak dibutuhkan, kulangkahkan kaki menuju kamarku.
Mengingat semua kejadian hari ini, kutarik napas dalam-dalam. Bahkan diriku masih belum percaya pada semua kenyataan yang terungkap. Kuraih cincin yang membuatku bisa bertemu Lucifer, berpikir untuk mengenakannya dan berbicara mengenai hal itu padanya. Namun, perasaan yang aku rasakan pada Lucifer bukanlah seperti yang diharuskan. Perasaan yang lebih seperti seorang kekasih yang kurindukan.
Kusingkirkan semua perasaan mengganjal itu, hingga sebuah suara dari luar membuatku melompat turun ke ruang bawah. Kami semua saling pandang, bertanya-tanya hal apa lagi yang akan terjadi. Cepat-cepat kuraih kenop pintu untuk mencari tahu masalah apa lagi yang harus kami hadapi.
Lucifer dengan sayap malaikatnya muncul dipekarangan rumah. Matanya berwarna merah dengan ekspresi yang membuat siapa pun akan bergidik. Di belakangnya, Michael berdiri sambil tersenyum lebar penuh dengan kepuasan, membuatku benar-benar muak dengan dirinya.
"Oh, jangan murung, aku membawa Lucifer untukmu," katanya yang terdengar sarkastik.
Dari matanya saja, aku sudah tahu ada yang tidak beres dari Lucifer. "Apa yang kau lakukan padanya?" Sergahku.
"Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu, tapi Lucifer sendiri yang akan melakukannya." Michael masih berdiri di belakang Lucifer sambil menyeringai padaku.
Sebastian baru saja akan maju untuk menyerang saat aku menghalanginya. Dia tidak akan menang melawan Lucifer dan aku tahu itu. Terutama saat dia sedang tidak terkendali. Aku bahkan tidak tahu apa yang bisa dia lakukan dengan kekuatannya, bagaimana dengan dirinya yang tidak terkendali.
Kuingat-ingat pedang yang muncul saat aku bertarung tadi. Apakah aku bisa menggunakannya lagi? Bagaimana caranya untuk mengeluarkan pedang itu? Setidaknya dengan pedang itu aku bisa mencegah Lucifer. Karena saat aku menggunakannya, sebuah sensasi kekuatan yang tidak bisa kujelaskan muncul dari sana.
"Kau tidak akan bisa melawannya." Jo yang berdiri di belakang mengomentari.
"Aku akan berusaha," timpalku.
"Kau tidak dengar? Dia akan membunuhmu!" Kali ini Max yang terdengar cukup geram. Bukan pada diriku, melainkan pada kedua malaikat yang berdiri di depan kami.
Tidak kuhiraukan Max yang mulai mengoceh lagi. Sesaat sebelum aku melangkah maju, Sebastian menarik lenganku. "Berhati-hati lah," katanya. Aku mengangguk. Dia memercayaiku untuk kali ini.
Kulihat mereka bertiga masuk ke rumah. Sedangkan Max harus ditarik oleh Sebastian untuk mengikutinya. "Mereka bukan tandingan kita, Max! Dan aku memercayai Venus untuk kali ini."
"Tapi tidak seharusnya kita diam saja," komentar Max, tidak setuju.
Pandanganku terfokus pada Michael lagi. Jika Lucifer dikendalikan olehnya, berarti yang menjadi targetku adalah Michael. Yang harus kupikirkan saat ini adalah bagaimana menghindari Lucifer untuk bisa mencapai malaikat sialan itu.
Lucifer bergerak maju. Seringaiannya begitu mengintimidasi, namun kusingkirkan perasaan itu. Sekarang, bagaimana caranya mengeluarkan pedang api itu seperti terakhir kali kugunakan. Kuingat-ingat bagaimana aku bisa mengeluarkan pedang itu. Namun, sebaik apa pun aku mencoba, pedang itu tidak kunjung muncul.
"Sial!" Makiku.
Kali ini, Lucifer mulai menyerangku. Aku berhasil menghindar dan berguling ke arah berlawanan serangannya. Sebuah seringaian menghiasi wajahnya lagi, dia kemudian terkekeh. "Gerakan yang bagus untuk seorang manusia."
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada Lucifer sebenarnya. Dia seolah sadar, namun tidak mengenalku. Kulirik Michael yang berdiri mengawasi. Aku benar-benar ingin merusak wajah tampannya.
Karena terlalu fokus pada Michael, Lucifer berhasil memberikan pukulan bertubi-tubi padaku. Kali ini, aku tidak bisa menghindar. Tersungkur, wajahku meneteskan darah segar. Dari dalam aku mendengar Max dan Sebastian yang berteriak memanggil namaku.
Mereka baru saja akan keluar rumah saat Michael dengan cepatnya menghalau pintu untuk terbuka dengan kekuatannya.
Aku berusaha bangkit, namun Lucifer menghantamku lagi. Dia memberikan serangan betubi-tubi hingga membuat wajahku memar bukan main. Saat serangan itu berhenti, aku masih berusaha untuk bangkit, namun hanya bisa berlutut.
"Habisi dia," ujar Michael dari tempatnya berdiri.
Kupandangi wajah Lucifer yang siap untuk menghajarku lagi. "Tidak apa, aku tahu kau tidak ingin melakukannya," kataku.
Seketika, sebuah dorongan kekuatan muncul dalam diriku. Kulirik tanganku yang merasakan sensasi dorongan itu juga. Saat itu juga, kupejamkan mataku dan pedang api itu muncul kembali.
Aku berguling sebelum Lucifer sempat menghajarku lagi. Dengan sisa tenaga yang rasanya benar-benar mustahil—namun karena pedang itu kekuatanku justru bertambah—kuserang Michael yang menatapku tidak percaya.
Sayangnya, dia berhasil menangkis seranganku dengan pedang miliknya. Namun ekspresinya masih terkejut bukan main. Tidak menyianyakan waktu, kuserang Michael lagi dengan serangan bertubi-tubi. Hingga kami berada di posisi saling menahan dengan pedang masing-masing.
"Bagaimana bisa kau menggunakan pedang Lightbringer?" Tanyanya penasaran.
"Oh, kau tidak mendapatkan catatan kalau Lucifer adalah ayahku?" Tanyaku sarkastik.
Kali ini, dia mendorongku dengan cukup kuat hingga memberikan jarak antara kami. "Tidak, pedang itu memang dibuat untuk Lucifer, namun saat dia dibuang ke neraka, Ayahku memberikannya padaku. Walaupun begitu, dia tidak membolehkanku menggunakannya dan mengatakan bahwa hanya anak dengan berkatku yang dapat menggunakan pedang itu."
Seketika, aku terpaku. Ekspresi Michael tentu tidak berbohong, sesuatu telah mengejutkannya. Aku sangat ingin menanyai hal itu, aku sangat ingin mengetahui kebenarannya. Namun, jika tidak kuserang Michael saat ini juga, aku akan hilang kesempatan.
Dengan begitu, kuayunkan pedang itu dan berhasil mengenai bahu hingga wajahnya. Dia meringis kesakitan sambil menahan darah yang keluar. Sesaat sebelum dia pergi, tatapannya menggambarkan sesatu hal yang lain. Keterkejutan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top