6. FEELS LIKE A FIRST TIME

"Maafkan aku karena membangunkanmu," kataku sambil menyiapkan sarapan pagi.

Karl tersenyum padaku. "Aku justru khawatir padamu. Belakangan ini kau sering bermimpi buruk."

Aku menuangkan susu di gelas. "Aku juga tidak tahu," jawabku ragu.

Karl kemudian melirik jam tangannya. "Aku harus pergi, ada kasus yang menungguku." Dia kemudian bangkit dari kursinya.

"Setidaknya minum susumu dulu," pintaku.

"Aku bukan anak kecil lagi," kata Karl. Tapi dia meneguk susunya sampai habis. Kemudian mencium kepalaku. "Sampai jumpa nanti malam."

Karl Elswood adalah seorang Detektif di kepolisian NYPD. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa bertemu dengannya dan sampai sekarang kami tinggal satu rumah. Dia bilang, akan melamarku secepatnya. Aku berharap begitu, tapi entah mengapa aku tidak terlalu bersemangat.

Aku melirik jam, dan baru sadar bahwa aku sudah telat untuk pergi bekerja juga. Aku bekerja di kantor perusahaan pembuatan majalah. Bagianku adalah editing. Sebenarnya, ini seperti pekerjaan sementara sebelum aku mendapatkan pekerjaan impianku, menjadi seorang sutradara. Ya, setidaknya aku bisa memiliki pengalaman.

"Hey, Kelley," sapaku pada teman kerjaku.

"Morning, Morningstar," sapa Kelley balik. "Apa aku harus mengucapkan morning dua kali untuk menyapamu setiap hari?" tanyanya sambil tersenyum.

Kelley memang sering menggodaku. "Kau hanya memanggil nama belakangku saat menyapa pagi hari." Aku tersenyum padanya.

"Omong-omong, bagaimana hubunganmu dengan si Detektif tampan?" tanyanya.

Aku meletakkan tas di atas meja kerja dan menoleh ke arah Kelley bingung. "Memangnya ada apa?" tanyaku balik.

"Oh, jadi kau sudah melupakan pertengkaran hebatmu itu." Kelley duduk di kursinya sambil memainkan pensil.

Aku menggeleng. Benar-benar tidak ingat mengenai pertengkaranku dengan Karl. "Aku tidak ingat sama sekali," kataku.

"Baiklah, lupakan saja. Yang penting, kalian sudah kembali seperti semula." Kelley beralih pada komputer di atas meja kerjanya.

Sepanjang hari, aku terus memikirkan perkataan Kelley. Aku tidak ingat sama sekali pernah bertengkar dengan Karl. Sebenarnya, aku tidak ingat sejak kapan aku berkencan dan satu rumah dengannya juga.

"Venus, aku mau makan siang di tempat pizza kesukaanku. Kau mau ikut?" tanyanya.

Aku melirik jam tangan. "Ya," jawabku sambil bangkit dan menyambar tas.

Sebenarnya, aku sedikit bingung hari ini. Aku tidak ingat kejadian kemarin, dan kemarinnya lagi. Seolah-olah, aku baru saja bangun dari tidurku yang panjang.

"Hey!" Kelley membuyarkan lamunanku. "Baiklah, aku yang pesan."

Aku mengangguk dan membiarkan Kelley memesan sedangkan aku mencari tempat duduk. Seorang pelayan sedang membersihkan meja saat aku menghampirinya.

"Terima kasih, Queen," kataku.

Gadis pelayan itu tersenyum ragu. Aku juga bingung, kenapa aku bisa tahu namanya sebelum aku melirik tanda pengenalnya. Dan saat aku melirik tanda pengenalnya, namanya adalah Queen.  Seolah-olah aku dan gadis itu sudah pernah kenal sebelumnya. Padahal, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini.

Aku mulai duduk. Menatap jendela luar yang kemudian Kelley datang dengan dua gelas minuman. "Pizzanya akan diantar," katanya sambil duduk.

Kelley kemudian melihat ekspresiku yang cukup aneh. "Ada apa? Kau bertingkah aneh sepanjang hari ini?" tanyanya.

"Apa kemarin aku bersamamu?" tanyaku balik.

Kelley menatapku bingung. Tapi dia menjawabnya. "Ya, kita menyelesaikan editing sampai malam."

Aku kemudian menoleh ke arah jalanan. "Sepanjang hari ini aku seperti merasakan Deja vu. Dan aku tidak mengingat sama sekali apa yang aku kerjakan kemarin. Seolah-olah aku baru bangun dari tidur yang panjang," jelasku.

Kelley hanya mendengarkan tanpa menjawabnya. Kemudian, pizza kami datang. Kelley tidak mengatakan apa-apa dan hanya menikmati pizzanya. Aku sama sekali tidak menyentuh makanan itu sama sekali.

"Aku akan bayar pizzanya," kataku sambil berjalan menuju kasir.
Setelah mengeluarkan uang dari dalam dompet, aku memberikannya pada penjaga kasir.

"Apa kau punya lima sen?" tanyanya.

"Ah, ya. Sebentar," kataku sambil mencarinya dari saku celana.
Tapi, yang aku temukan adalah sebuah cincin dengan ukiran aneh di sisinya. Aku bahkan tidak ingat memiliki cincin seperti ini. "Maaf, tidak ada," kataku pada penjaga kasir.

"Pesanan atas nama Lucifer, tolong diantarkan," seorang pelayan toko memberikan box pizza pada pelayan lainnya.

"Lucifer," gumamku. Sepertinya aku pernah mendengar nama aneh itu sebelumnya. Hampir mirip rasanya seperti aku mengenal nama Queen.

Saat si pelayan pengantar pizza itu pergi ke luar, dengan terburu-buru aku menghampiri Kelley. "Aku ada urusan lain. Sampai jumpa di kantor," kataku sambil berlari keluar mengejar si pengantar pizza.

Aku memberhentikan taksi untuk mengejarnya. Hingga berhenti di sebuah apartemen mewah. Aku melihat si pengatar pizza berhenti pada lantai paling atas. Setelah menunggu lift turun kembali, akhirnya aku berada di atas apartemen.

Suara musik yang cukup keras membuat kepalaku pusing seketika. Tapi rasanya, seperti aku mengenal tempat ini sebelumnya. Aku berputar ke seluruh ruangan. Semua orang sedang sibuk dengan diri mereka sendiri. Lalu, aku mendengar suara petikan indah yang datangnya dari arah tangga di depanku.

Aku menaiki tangga perlahan. Dan rasanya benar-benar seperti hal yang pernah aku lakukan sebelumnya. Saat aku sampai di paling atas anak tangga, aku melihat seorang pria dengan kaus hitam membelakangiku.

"Permisi," ujarku.

Saat pria itu berbalik, wajah tampannya mengalihkan duniaku. Dia melihatku dan memandangiku cukup lama dan begitu juga denganku.

"Maaf," kataku dan berjalan menuruni tangga.

"Tunggu," ujarnya. "Apa suara musik di bawah membuat kepalamu pusing?" tanyanya.

Aku menganguk pelan. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuatku tertarik naik ke atas. Tapi suara petikan indah yang ternyata berasal dari sebuah harpa yang dimainkannya.

"Kau boleh naik," katanya lagi.
Aku menaiki tangga lagi. "Apa kau Lucifer?" tanyaku.

"Ya," pria itu terlihat sangat senang saat aku menyebut namanya. "Semua orang memanggilku begitu."

"Aku Venus, Venus Morningstar." Aku memperkenalkan diri.

Ekspresi Lucifer terlihat senang seketika. "Ah, Morningstar. Namamu seolah-olah dibuat untukku," katanya.

Aku terdiam sesaat. Rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya. "Mr. Lucifer—"

"Please, Lucifer," potongnya.

"Lucifer, oke. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku.

Lucifer tertawa. "Aku banyak mengenal wanita selama di Bumi, tapi aku tidak ingat pernah bertemu denganmu. Aku rasa ini pertama kalinya kita bertemu." Lucifer kemudian menuangkan minuman beralkohol di gelas.

Lagi-lagi aku terdiam. Ekspresiku sangat bingung. "Apa kau pernah merasakan Deja vu?" tanyaku.

Lucifer menyodorkan gelas berisi alkohol itu padaku, namun aku menggeleng. "Aku bahkan tidak tahu apa maksudnya," jawabnya.

"Maksudnya, seperti kau pernah melakukan hal itu, tapi kau tidak mengingatnya pernah atau tidak. Seperti kau telah melakukannya dua kali tapi kau juga tidak yakin."

Lucifer menatapku. Tatapan itu rasanya bisa membuatku membeku. Aku kemudian tersenyum. "Maaf telah mengganggumu. Aku akan pergi," kataku akhirnya.

"Tunggu!" panggilnya. Dia kemudian menatap mataku lekat-lekat. "Kau akan tinggal di sini sampai besok."

Sekarang aku benar-benar bingung. Dari kalimat terakhirnya, aku tidak mendengar nada pertanyaan, melainkan nada perintah.

"A-aku akan pulang. Terima kasih sudah mengizinkanku bermalam, tapi tidak terima kasih," kataku dan pergi begitu saja.

***

Alarm pagiku menyala, tapi bukan itu yang membangunkanku sepagi ini.

"Venus, sarapan sudah siap di bawah. Kau mau bangun jam berapa? Kau juga harus berangkat kuliah, kan?" Mom meneriakiku dari balik pintu kamar.

"Aku sudah bangun," teriakku balik.
Aku menyibakkan selimut sambil mengusap-usap mataku. Kebiasaan pagi hari yang selalu dilakukan Mom adalah membangunkanku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top