59. HOW THE HELL WE BACK TO HELL, AGAIN!
"Kau menginginkan lebih dari itu!" Tuduhku pada Ares yang tengah berdiri di antara kami.
Matanya kini tertuju padaku, pelan-pelan dia mulain menghampiriku seolah hal itu bisa mengintimidasi. "Lebih dari itu, aku menginginkanmu," bisiknya.
"Hey! Hey!" Lucifer dengan cepatnya meloncat ke arah kami, namun tentu saja dia tidak bisa memisahkan antara diriku dan Ares.
Kudekatkan wajahku dengan wajahnya, seolah menantangnya. "Kau ingin Zeus mati," gumamku.
Seketika, perkataan itu membuat satu ruangan—kecuali Lucifer yang tidak dihitung, memberikan tatapan terkejut. Oke, kecuali Xander juga, benar-benar heran dengannya.
"Aku tidak bicara seperti itu." Ares mulai mengelak. "Kau yang bilang."
"Kenapa kau ingin Zeus mati?" Sera yang mulai penasaran, mulai melemparkan pertanyaan. Walaupun Zeus adalah ayahnya, aku rasa dia tidak peduli jika Ares membunuhnya atau siapa pun berusaha membunuhnya. Seolah dia hanya penasaran pada alasan yang dimiliki Ares ketimbang keselamatan Zeus.
Ada keheningan sesaat antara kami semua, yang menatap Ares dengan seksama. "Kalian semua tahu kalau Zeus itu selalu melakukan sesuatu sesukanya, sesuai kehendaknya, seperti misalnya aku turun ke Bumi. Dia selalu mengekang kami dan juga kau, ya kan?" Ares melirik Sera untuk mencari pembelaan.
Sera yang sedang menatap Ares, kini membuang muka dan tidak menyiyakan perkataannya. Sesuatu tengah berada di benaknya, entah menyetujui rencana Ares atau justru kebalikannya.
Aku yang tidak tertarik ikut campur urusan per-Demigod-an mulai mengalihkan pembicaraan. "Oke, kalau memang Hades berniat melepaskan pata Titan, kita bagi menjadi dua kelompok saja. Aku, Sera, dan Xander akan pergi ke Neraka. Jo dan Ares, kalian bisa pergi untuk mencari Hades. Sebastian dan Max sedang dalam perjalanan ke sini, kalian bisa pergi bersama mereka."
Jo mengangguk, sedangkan Sera, kuperhatikan dia yang masih berdiam diri sejak Ares menanyainya untuk meminta persetujuan. "Dan kalian berdua, ayo, kita tidak punya banyak waktu."
Xander pun meraih lengan kami untuk siap ke Neraka. Sesaat sebelum pergi, kutatap Lucifer untuk meyakinkannya bahwa aku akan mengeluarkan dia dari sana. Yang dibalas dengan sebuah simpul kecil senyuman.
***
Aku ingat betul saat terakhir kali menginjakkan kaki ke Neraka. Dinding-dinding yang terbuat dari bebatuan seperti granit dengan bau khas yang tidak bisa kujelaskan, yang jelas bau ini seperti Lucifer.
"Jadi, ini Neraka?" Sera mengedikkan bahu saat kami sampai, bukan karena takut, lebih seperti merasakan sensasi aneh yang juga kurasakan saat pertama kali ke tempat ini.
"Aku kira ini bukan kali pertama kau ke sini," ujarku.
Sera yang berada di samping Xander menoleh padanya. "Xander belum pernah mengajakku ke Neraka," katanya, seolah pergi ke tempat ini seperti sebuah kencan.
Kuputar bola mataku. Jangan lagi terjebak oleh suasana ini lagi, saat di mana Xander dan Sera mulai bersikap romantis satu sama lain. "Ugh, jangan mulai lagi," gumamku.
"Jangan mulai apa?" tanya Xander yang mendengarku.
"Bagaimana caranya menemukan ayahku, sedangkan banyak lorong dan pintu," kataku mengalihkan pembicaraan.
Sera tentu tahu aku mengalihkan pembicaraan, ditandai dengan dengan senyuman yang menggodaku seolah aku menginginkan hal itu bersama Lucifer. Kubalas dengan memutar bola mata.
"Kau hanya perlu memikirkan ayahmu, lalu pikirkan apa ketakutan terbesarnya." Xander melipat kedua lengannya di dada, kemudian menatap Sera sesaat. "Ketakutan terbesar yang seseorang miliki akan menjadi siksaan di Neraka."
Aku bergidik, memikirkan ketakutan terbesarku yang bisa saja menjadi siskaan di Neraka. Walaupun, aku tidak tahu pasti apa ketakutan terbesarku. Mungkin, kesendirian menjadi salah satunya.
"Baiklah, aku akan coba," kataku sambil mulai memfokuskan pikiran pada ayahku dan mengingat-ingat apa ketakutan terbesar miliknya.
Kalau diingat-ingat, mungkin ketakutan terbesarnya adalah kehilangan ibuku, apalagi saat dia tidak datang ke pemakaman, aku yakin ayah dihantui perasaan bersalah karena itu. Satu menit sudah berlalu dan tidak terjadi apa-apa. "Ini tidak berhasil," keluhku. Yang tidak kunjung mendapati hasil.
"Kau harus menemukan ketakutan itu, berusahalah menjadi ketakutan itu agar kau bisa menemukannya," kata Xander.
Sera yang berdiri di sebelahnya mulai ikut berkomentar. "Kadang, ketakutan terbesarmu adalah sesuatu yang bahkan tidak kau duga."
Aku mengernyit. Memikirkan kata-kata kedua orang itu. "Berusaha menjadi ketakutan itu. Sesuatu yang bahkan tidak kuduga," gumamku mengulangi kalimat mereka.
Sekarang, aku jadi mengerti kenapa hal yang kupikirkan tidak berhasil. Kehilangan ibu bukanlah ketakutannya, setidaknya tidak lagi, karena ibu sudah berada di tempat yang lebih baik. Satu-satunya yang ayahku takutkan saat ini adalah kehilangan diriku.
Benar saja dugaanku, setelah memfokuskan pikiranku pada hal itu, sebuah pintu muncul di sisi dinding bebatuan. Kulirik Xander dan Sera sesaat sebelum aku membukanya. Diikuti anggukan Xander, kudorong pintu itu perlahan. Cahaya menyilaukan menyeruak dari dalam. Namun dengan cepat, kegelapan menyelimuti seolah badai akan datang.
Pepohonan menutupi seluruh tempat ini, namun begitu, aku merasa akrab dengan keadaan sekitar yang mengingatkanku akan suatu tempat. Kami susuri pepohonan sampai berujung pada sebuah rumah kayu ditengah-tengah hutan tersebut. Rumah yang sering kusinggahi bersama kedua orang tuaku, bersama Max dan juga Sebastian saat musim dingin.
"Kau tahu tempat ini?" tanya Sera yang melihatku terhenti saat mendapati rumah kayu tersebut.
"Ya, ini tempat biasa keluargaku berkumpul saat musim dingin. Sebastian dan Max juga sering ke sini saat kami masih kecil," jawabku sambil berjalan kembali. "Mungkin ayahku ada di dalam."
Lantai kayu yang berderit membuatku ingat akan kenangan-kenangan masa lalu saat berlarian bersama Max dan Sebastian. Tempat ini, malah menjadi kesedihan tersendiri bagi diriku. Kuberanikan diriku mendorong pintu depan yang sekarang terlihat reyot. Mungkin memang keadaan aslinya sekarang seperti itu, mengingat aku tidak pernah kembali ke sana sejak ibu meninggal.
Semua tata letak, bahkan benda-benda yang persis sama sejak terakhir kali aku mengingatnya. Dan sebuah kursi goyang tua yang sering ibu gunakan di depan perapian masih berada di sana. Mungkin memang tempat ini didasarkan oleh kenangan ayahku. Aku yang malah bernostalgia dengan semua memori lama, membuatku lupa akan tujuanku ke tempat ini.
"Tidak heran Neraka memilih tempat ini sebagai penyiksaan pada ayahku, semua kenangan terakhirnya bersama ibu berada di tempat ini. Dan tempat di mana untuk tetakhir kalinya, aku mengingat dirinya sebagai seorang ayah yang peduli pada keluarganya." Suaraku begitu lemah, seolah sesuatu telah mendorongku untuk merasakan kesedihan.
Tempat ini memang penuh dengan kesedihan, bahkan diriku merasakan dorongan kuat untuk menangis, namun kutahan untuk saat ini. Tiba-tiba, dari lantai atas, kudengar suara teriakan. Arahnya dari loteng yang menjadi tempatku bermain bersama Max.
Saat sampai di sana, kudapati ayahku yang sedang menangis. Dia duduk bersimpuh di bawah sambil menunduk. Dari ekspresinya, aku bisa memastikan, dia tengah menyesali semua hal yang telah terjadi.
"Ayah," gumamku pelan.
Seketika dia menengadah. "Venus," gumamnya dengan tatapan tidak percaya. Dia kemudian mendekatiku dan memegangi kedua pundakku. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak seharusnya di sini."
"Aku akan membawaku kembali, kami sudah menemukan tubuhmu, aku hanya perlu kau kembali." Kutarik lengan ayahku untuk membawanya turun, namun dia tidak begeming dari tempatnya. "Ada apa?" tanyaku.
"Aku tidak bisa," jawabnya.
"Ayolah, jangan main-main denganku, kita harus pergi sekarang." Kugapai lengan ayahku lagi, namun di tepis olehnya.
"Kau ingat bagaimana kau lahir?" Justru pertanyaan itu yang keluar dari ayahku.
"Aku sedang tidak ingin mendengar cerita apapun, kita harus keluar dulu dari tempat ini."
Ayahku menggeleng. "Ibumu tidak bisa hamil, Venus. Aku berdoa agar kami mendapatkan keturunan dan Zeus menawarkan sesuatu yang tidak bisa kutolak demi kebahagian ibumu."
Aku terdiam, penasaran dengan apa yang akan diceritakan ayahku selanjutnya.
"Zeus menawarkan keturunan untuk kami namun imbalannya, aku harus berada di Neraka saat mati, jika tidak, maka ibumu yang akan berada di Neraka. Pilihannya hanya satu di antara kami."
"Tapi kau belum mati!" Bantahku.
Ayahku mengangguk setuju. "Kau benar, aku memang seharusnya belum mati. Sesuatu menarikku ke sini, sesuatu bersayap malaikat, mungkin itu Lucifer."
Kali ini aku yang menggeleng. "Tidak, itu bukan dia. Lucifer sedang terkurung di tempat ini."
Ayahku mengerutkan dahinya, seolah terkejut bagaimana aku tahu mengenai keberadaan Lucifer, namun kemudian seolah dia mengerti. "Ah, kau sudah mengetahuinya, ya?" tanyanya yang malah membuatku kebingungan.
"Mengetahui apa?"
"Aku bukan ayahmu, Venus. Setidaknya bukan ayah kandungmu."
Aku tidak pernah sebingung ini selama hidupku. "Maksudmu?"
"Tawaran Zeus itu, satu-satunya cara untuk mendapatkan keturunan untuk ibumu adalah dengan berkat seorang malailat. Yang secara tidak langsung, malaikat itulah yang menjadi ayahmu. Saat itu Zeus membawa sebuah kotak yang berisi cahaya dari berkat seorang malaikat dan memasukkannya ke dalam perut ibumu secara diam-diam. Hanya aku dan Zeus yang mengetahui hal itu, tidak dengan ibumu."
"Oke, aku benar-benar bingung. Jadi aku terlahir dari sebuah cahaya yang dibawa oleh Zeus?" tanyaku meyakinkan.
"Secara harfiah, ya."
Sekarang, aku akan menanyakan hal paling krusial. "Lalu, siapa malaikat itu?"
"Samael atau kau mengenalnya sebagai Lucifer."
—————
Gimana chapter ini?? Terkejutkah kalian?? Aku ketawa jahat pas nulis chapter ini hahahah
Tungguin chapter berikutnya ya.
Thank,
B. K
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top