47. WHAT IF LOVE IS JUST A FAIRYTALE?
Sebuah alunan musik indah terdengar ditelingaku. Suaranya begitu merdu seolah seseorang sedang melangsungkan pernikahan. Kuikuti suara alunan itu hingga membawaku ke sebuah ruangan dansa.
Seseorang berdiri di sana, mengenakan jas putih yang begitu bersih. Saat dia berbalik, kulihat Lucifer yang tersenyum begitu bahagianya. Dia mengulurkan tangan, seolah dia menungguku. Kuraih tangannya saat seorang gadis meraih tangan Lucifer terlebih dahulu.
Kupandangi gadis itu yang begitu familiar di mataku. Lilith berdansa dengan Lucifer diiringi alunan musik di tengah ruangan. Kupandangi mereka yang menunjukkan ekspresi kebahagian yang tidak bisa dijelaskan.
Bukankah itu seharusnya diriku? Bukankah Lucifer dan diriku ditakdirkan untuk bersama? Apakah ini sebuah tes? Apakah aku pantas untuk Lucifer? Dia seorang Archangel dan aku hanya seorang manusia biasa.
"Venus." Kudengar seseorang berbisik tapi entah berasal dari mana.
Tidak tahan melihat Lucifer dan Lilith yang begitu bahagia, kusambar Lilith dan mendorongnya. Lucifer menatapku diam, dia bahkan tidak berekspresi. Kuraih wajahnya dengan kedua tanganku. "Stay with me," kataku.
Lucifer tersenyum kecil, dia kemudian menggeleng. "Aku tidak bisa," balasnya.
Kulepaskan tanganku darinya dengan kekecewaan. Anehnya, aku bahkan tidak berjuang sedikit pun untuk membujuknya. Melangkah mundur, wujud Lucifer mulai menghilang dari pandanganku.
Saat Lucifer semakin jauh, aku justru meneriakinya "Lucifer!" Namun langkahku terus menjauh darinya. Seolah seseorang menarikku. Aku menangis sambil meneriakinya, tidak ingin jauh darinya.
"Venus." Suara bisikan itu lagi dan itu membangunkanku. Kupandangi jam di nakas yang menunjukkan pukul 1 pagi.
Aku bangkit dari tempat tidur, berniat untuk mengambil segelas air. Kuperiksa kamar Max dan dia tertidur di sana sambil memeluk bantal gulingnya. Kamar Sebastian kosong, paling-paling dia sedang mabuk di bar terdekat. Jo juga sedang teetidur di kamarnya, begitu juga dengan Sera yang sedang di awasi oleh pacarnya sendiri.
"Isn't that little bit creppy?" tanyaku pada Xander.
Dia menoleh dan tersenyum. "Lucifer mungkin juga melakukan hal yang sama," katanya, tangannya terlipat di dada.
Itu justru membuatku berpikir yang macam-macam. "Apa kau dan Lucifer punya sesuatu untuk bicara satu sama lain? Seperti berbicara jarak jauh atau semacamnya?"
Xander menatap langit-langit, seolah berpikir apakah dia akan memberitahukan rahasianya dengan Lucifer atau memilih diam. "Kami bisa berkomunikasi satu sama lain saat kami ingin," jawab Xander akhirnya. "Dan dia juga bisa mendengarmu."
Kutatap Xander sesaat. "Well, suit yourself," kataku akhirnya. Kutinggalkan Xander dan membiarkannya melakukan apapun yang baru saja kuganggu. Walaupun aku tidak yakin apa yang dia lakukan.
Setelah mendapatkan apa yang kubutuhkan, aku kembali ke kamar. Aku meninggalkan kamarku gelap saat tadi pergi ke dapur. Kuraih saklar lampu saat seseorang mengejutkanku. "Lucifer," kataku terperanjat.
Kututup pintu kamar dan menatap Lucifer yang berdiri memandangiku. Ada bercak darah di kausnya yang berwana abu-abu. Saat kudekati, darah itu juga menghiasi wajahnya dengan bercak-becak tipis.
"Darah siapa itu, Lucifer?" tanyaku. Namun tidak ada rasa takut sedikit pun, kudekati dirinya.
"Aku membunuhnya," kata Lucifer.
"Siapa yang kau bunuh?" tanyaku khawatir, lebih kepada dirinya daripada siapa pun yang Lucifer lukai.
Dia tidak mengatakan apa-apa sambil memandangi tangannya. Akhirnya, kutarik dirinya menuju kamar mandi untuk membersihkan darah yang menempel ditubuhnya. Kubiarkan dia duduk dipinggiran bak mandi dan membuka bajunya. Lucifer tidak melawannya sama sekali. Dia seperti seorang anak kecil yang menurut pada ibunya saat akan mandi.
Baru kusadari bahwa tangannya penuh dengan darah. Mungkin tadi aku terlalu fokus pada wajah Lucifer yang terlihat ketakutan, kebingungan, dan ekspresi lainnya yang tidak kumengerti.
Kusambar handuk dan membasahinya dengan air, kemudian mengusap wajah Lucifer dengannya. Kubersihkan semua darah yang menempel di tuhuhnya. Sampai pada akhirnya, Lucifer menangkap pergelangan tanganku.
"Aku tidak seharusnya ke sini," katanya.
"Tapi kau melakukannya," balasku.
"Kau seharusnya takut padaku, kau seharusnya terpengaruh oleh kekuatanku." Mata Lucifer tidak menatapku sama sekali dan ada ekspresi kekesalan dari yang aku dapat simpulkan.
Kuhembuskan napas panjang. "Aku tidak memilih untuk seperti ini, tapi aku senang bisa dipertemukan denganmu."
Sekarang, mata Lucifer tertuju padaku. Aku kira, dia akan menciumku lagi, saat tiba-tiba dia mencekikku dan mengangkatku tinggi-tinggi ke udara.
"Aku sangat ingin membunuhmu, Venus. Dan aku tidak bisa menahannya. Faktanya, aku sangat menikmati ini." Untuk pertama kalinya, aku mendengar suara Lucifer yang begitu gelap. Seolah, seseorang telah mengambil alih dirinya.
Aku hampir tidak bisa bernapas jika saja Xander tidak muncul dan menyerang Lucifer. Aku terjatuh di lantai, sedangkan Xander dan Lucifer mengilang. Kupegangi leherku yang terasa nyeri seketika.
Sera muncul setelahnya dengan wajah yang begitu khawatir. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Ya," jawabku singkat.
"Kau ingat saat Xander juga pernah seperti itu? Cincinnya, kau harus mengenakannya." Sera membantuku berdiri.
Aku tidak ingat terakhir kali meletetakkan cincin itu. Saat itu, aku mengenakannya sebagai kalung, tapi aku tidak ingat pernah melepasnya.
"Aku akan mencarinya di kamarku," kataku dan mulai mencari di setiap sudut kamar.
Ssra membantuku mencarinya, hingga Xander kembali dan diikuti Lucifer yang mulai menyerang satu sama lain. Kemudian mereka menghilang lagi, saat suara hantaman terdengar di ruang tamu.
Kupinta Sera untuk menjelaskannya pada Jo dan Max, sedangkan aku masih mencari cincin itu. Kuingat-ingat kembali kapan terakhir kali kukenakan cincin itu.
"Tunggu, aku tidak pernah melepaskannya. Kalau begitu ... " Aku berlari menuju ruang tamu di mana sumber keributan terjadi.
"Kau menemukannya?" tanya Sera.
"Ya, Lucifer mengambilnya saat dia mencekikku tadi," kataku.
"Lucifer mencekikmu?" tanya Max terkejut.
"Dia tidak tahu apa yang dia lakukan, Max," belaku.
"That son of a bitch!" Max sama sekali tidak mendengarkanku.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Jo.
Kupandangi Xander dan Lucifer yang masih bertarung dan menghancurkan ruang tamuku. "Buat dia sibuk, aku akan mengambil kalungnya." Walaupun aku tidak tahu apakah dia menyimpan kalung itu di kantung celananya atau tidak.
Jo, Sera, dan Max mulai membantu Xander, mereka mengalihkan Lucifer. Memberiku waktu untuk cukup dekat dengannya dan mengambil kalung itu. Saat semakin dekat, kuraba saku celananya yang ternyata benar berada di sana. Sayangnya, tanganku tidak cukup cepat saat Lucifer berhasil menangkapku.
Lucifer menarikku mendekat, tidak ada keraguan darinya untuk menyakitiku. Namun aku tidak takut, kuingat perkataan Xander bahwa dia hanya tersesat dan butuh seseorang untuk menunjukkan kebaikan dalam dirinya.
Kukenakan cincin itu dijariku dengan cepat dan mengucapkan namanya. "Lucifer," gumamku.
Untuk sesaat, aku kira itu berhasil. Namun saat Lucifer menyeringai padaku, aku tahu itu tidak berhasil sama sekali. Apa yang salah? Pikirku. Itu berhasil pada Xander, kenapa ini tidak berhasil padanya? Apakah Lucifer sudah terlalu dalam untuk kembali pada cahaya.
Tidak, aku masih bisa menyelamatkannya. Aku yakin masih ada cahaya dalam dirinya walau hanya sekecuil harapan. "Samael," kataku.
Lucifer terdiam sesaat, wajahnya berubah kebingungan. Dia menoleh ke sekeliling dan berakhir padaku. "Apakah aku menyakitimu?" tanyanya begitu cemas.
Aku tidak akan mengatakan bahwa dia menyakitiku, dia bahkan tidak tahu apa yang dia lakukan. Namun Max bukan tipikal seseorang yang bisa diajak berkompromi saat ini. "Kau baru saja mencekiknya, you son of a bitch!" makinya.
Lucifer mundur perlahan, menatapku penuh penyesalan, dan menghilang begitu saja. Kuberikan ekspresiku kesalku pada Max. "Good job, Max," sindirku.
"Sama-sama," katanya tanpa penyesalan.
Seseorang tiba-tiba saja masuk melalui pintu. Sebastian menghampiri kami yang terlihat berkumpul di ruang tamu. Melihat semua barang-barang berantakan bahkan meja yang hancur, Sebastian hampir tidak bisa berkata-kata. Bukan karena dia tidak ingin, melaikan karena dia sedang mabuk.
"Apakah aku ketinggalan sesuatu?" tanyanya.
"Ya, dan kau mabuk," jawab Max. "Aku mau kembali tidur, jangan ganggu."
Kulirik Sera sesaat, kemudian Xander. Aku harus mengembalikan semua dosa ke dalam kotak Pandora, atau semuanya akan bertambah kacau.
Setelah kejadian tadi, aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku terus memikirkan Lucifer, memikirkan perkataan Xander. Aku memintanya untuk tetap bersamaku, jika saja dia mendengarkan dan kami menghadapinya bersama, mungkin saja hal ini tidak terjadi.
Aku jadi ingat mimpiku tadi. Lilith lah yang kulihat berdansa bersama Lucifer dan mereka begitu bahagia. Apakah semua takdir ini hanya lah omong kosong belaka? Sesuatu yang dibuat-buat agar hal itu terjadi, padahal bisa saja tidak jika mereka menginginkannya.
Afrer all, maybe love is just a fairytale. Sesuatu yang sangat kau impikan dan dambakan, namun tidak bisa kau raih karena itu hanya omong kosong. Apakah aku harus percaya pada hal itu? Ataukah aku harus percaya pada ikatan takdir yang begitu rumit ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top