46. ARCHANGEL ARE COMPLICATED THAN HUMAN
Apa yang dipikirkan Lucifer? Aku benar-benar tidak habis pikir. Dia menciumku dan meninggalkanku begitu saja, pikiran itu yang terus mengusikku selama aku berjalan pulang. Aku kira sebagai seorang Archangel, Lucifer memiliki sifat yang berbeda dengan pria kebanyakan. Sayangnya, dia sama saja. Aku tidak bisa memprediksi perasaan seorang pria.
Semua itu melupakanku bahwa aku baru saja hampir mati, lagi, jika saja Lucifer tidak menyelamatkanku. Tentu saja Sebastian dan yang lainnya mengkhawatirkanku. Terutama saat aku mengirimkan Queen untuk memberi tahu mereka dan ponselku di bawa olehnya. Sebastian pasti sudah mengamuk sekarang.
Benar saja, saat aku sampai di pekarangan rumah, kudengar pertengkaran dari dalam. Kudengar Sebastian yang berargumen dengan Xander.
"Dia akan baik-baik saja," kata Xander.
"Bagaimana kau tahu? Venus bisa saja di dalam gedung sekolah saat meledak." Suara Sebastian kian meninggi.
"Lucifer bisa saja bersamanya." Perkataan Xander membuatku terkejut sedikit.
"Ya, aku tidak mempercayainya dan dia berbahaya. Kenapa kau membiarkannya pergi?" Kali ini aku tahu Sebastian menyalahkan Sera.
"Itu pilihannya Sebastian. Aku tidak bisa melarangnya." Suara Sera tidak terdengar marah pada Sebastian, walaupun pria itu telah menyalahkannya.
Kupegang kenop pintu dan menarik napas panjang. Aku tidak mau mendengar omelan Sebastian, jadi lebih baik aku langsung pergi ke kamar saja.
Tentunya semua orang menoleh saat dengan santainya kulangkahkan kaki menuju pada undakan tangga.
"Venus!" pekik Sebastian. Aku tahu dia akan mulai lagi dengan ceramahnya. Dia bahkan lebih protektif dari Ayahku sendiri.
Kuabaikan dia saat semua orang bahkan tidak mengubrisku selain Sebastian. Saat ini yang kubutuhkan adalah memejamkan mata untuk sesaat atau mungkin mandi air hangat bisa menenangkan pikiranku.
"Venus! Kau tahu betapa kami khawatir padamu dan kau bersikap seolah-olah tidak peduli," ketus Sebastian yang membuatku tidak sabaran untuk membalasnya.
Aku menampakkan diriku di ruang tamu, di mana semua orang menunggu jawaban dariku. Kutatap Sebastian secara langsung, membuktikan bahwa aku tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja terutama saat dia terus meneriakiku. "Kau yang khawatir, yang lain bersikap tenang-tenang saja. Kau tahu kenapa? Karena kau tidak mempercayaiku. Bahkan untuk memilih pilihan untuk diriku sendiri."
"Kau bisa saja mati di sana!" Suaranya semakin meninggi, seolah-olah aku tidak mendengarnya.
"Buktinya tidak, kan? Dan jika pun aku mati, aku mati untuk apa yang aku perjuangkan, berbuat baik." Dengan begitu kututup mulut Sebastian dan pergi meninggalkan semua yang aku yakini merasakan ketegangan dalam pertengkaran kami tadi.
Tidak lama setelah aku menutup pintu kamarku, sebuah ketukan pelan membuatku menarik napas panjang. Aku tahu itu pasti bukan Sebastian, karena dia tidak akan mengetuk jika ingin memarahiku lagi. Kuseret diriku menuju pintu untuk membukanya. Sera berdiri dengan perasaan bersalah. Padahal itu semua bukan salahnya.
"Dia pergi keluar," kata Sera.
Aku tahu betul sikap Sebastian saat dia sedang marah. Dia akan keluar untuk merokok sebentar, tidak pernah menghabiskan satu puntung rokok pun, kemudiam dia memukul dinding, dan pergi menuju bar terdekat. Aku terlalu mengenalnya dan jika itu terjadi, maka dia benar-benar sedang marah.
"Dengar, aku tidak merasa bersalah karena membiarkanmu pergi, tapi Sebastian benar, jika terjadi sesuatu padamu, aku tidak akan pernah memaafkan diriku, Venus." Suara Sera begitu menenangkanku. Entah mengapa begitu. Aku seperti mendengar suara Ibuku saat dia menceramahiku jika aku bersikap nakal saat sekolah dulu.
Ibu tidak pernah marah padaku jika aku melakukan kesalahan. Dia hanya akan menceramahiku dengan suara lembutnya yang bagaikan suara malaikat. Ibuku adalah wanita paling rapuh sekaligus kuat dalam waktu yang bersamaan. Sekarang hanya perasaan bersalah yang ada karena meninggalkannya untuk berburu bersama Dad.
"Itu bukan salahmu, kau tidak perlu khawatir, bahkan jika sesuatu terjadi padaku. Aku hanya berharap Sebastian lebih mempercayaiku, itu saja." Kubiarkan Sera masuk ke kamarku.
Matanya melirik ke sekitar, menemukan beberapa foto yang kupajang. Dia tersenyum saat menemukan fotoku bersama Max dan Sebastian saat masih kecil. "Ini Sebastian?" tanyanya.
"Ya. Aku lebih menyukainya saat kami masih kecil, walaupun tidak sepenuhnya begitu," jawabku sambil duduk dipinggiran tempat tidur.
"Kau beruntung, Venus. Kau punya seseorang yang menjagamu sejak kau masih kecil. Sedangkan aku baru bertemu Jo saat sudah besar." Sera menoleh padaku sesaat, berharap mendengarku menyangkal.
Tidak kulakukan, Sera akhirnya berjalan keluar kamar. Sesaat sebelum itu, kupanggil dia. "Sera," seruku.
Dia memberhentikan langkahnya dan menoleh padaku. Cepat-cepat aku melompat ke arahnya. Memeluknya erat. Umur kami memang sama dan aku merasakan ikatan yang lebih dari sekadar darah darinya, walaupun dia bukan keluargaku. Apakah keluarga hanya berdasarkan ikatan darah? Aku rasa tidak. Keluarga adalah mereka yang selalu ada saat suka maupun duka.
"Terima kasih," gumamku.
Sera memelukku balik, membuatku merasakan hangatnya memiliki seorang sahabat yang mengerti perasaanku. Yang kurasa hanya Sera yang mengertinya saat ini.
Setelah Sera pergi, aku sudah berniat untuk mandi air hangat. Segera lah diriku menuju kamar mandi dan berdiam diri untuk beberapa saat sambil merenung. Pikiran mengenai Lucifer lagi mulai muncul. Membuatku harus menarik napas dalam-dalam.
Tidak mau berlama-lama, kuselesaikan mandiku dan menarik handuk yang seingatku kugantungkan di dekat pintu. "Sial, aku lupa handukku," kataku kesal.
Dengan tubuh yang masih basah, kuinjak lantai kamar mandi dan berjalan keluar untuk mengambil handuk di kamar. Untung saja, kamar mandiku berada di dalam kamar, jika tidak, matilah aku.
Kubuka pintu kamar mandi saat seserang tiba-tiba mengejutkanku berdiri di kamarku. "What the hell are you doing here!" teriakku.
"A ... maafkan aku," jawab Xander sambil berbalik dengan cepat.
Kutarik handukku yang berada tidak jauh dari pintu kamar mandi dan mengenakannya. "Kau mau apa?" gerutuku.
"Kau sudah mengenakan pakaian?" tanyanya.
"Belum, tapi aku sudah mengenakan handuk. Kau bisa berbalik," jawabku.
Xander berbalik perlahan-lahan, memastikan bahwa aku benar-benar sudah mengenakan handuk. "Maaf, aku tidak bermaksud mengintipmu," katanya merasa bersalah.
Tentu saja aku tahu dia tidak bermaksud sepertj itu, tapi setidaknya dia bisa menungguku di luar kamar. "Kau mau apa?" Kuulangi pertanyaanku lagi.
"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Xander menatapku seolah aku orang bodoh yang perlu diperhatikan.
"Aku baik-baik saja, jika itu yang ingin kau dengar."
Xander diam sesaat, dia berusaha menyimpulkan sesuatu. "Itu berarti kau tidak baik-baik saja," katanya.
"Ya. Aku tidak mengerti pada Lucifer. Dia bersikap seolah-olah menjauhiku tapi dia selalu muncul saat aku sedang dalam bahaya. Aku tidak mengerti kenapa dia bersikap begitu tidak peduli padahal dia peduli." Kukeluarkan semua emosiku.
"Dia hanya sedikit kehilangan arah," kata Xander begitu tenang menghadapi luapan emosiku.
"Ya, dan aku berusaha untuk menunjukkan arahnya. Kau tahu apa yang dia katakan? Dia tidak mengatakan apa-apa, dia meninggalkanku di gang sempit itu setelah menciumku." Kali ini, aku terlalu terbawa amarah sampai-sampai memberitahu pada Xander bagaian paling terpentingnya.
Kulirik Xander yang tersenyum. Kuakui, dia memiliki wajah tampan yang memikat. Tidak heran aku pernah terpana olehnya. Aku jadi mengerti kenapa dia jarang terlihat tersenyum. Jika dia melakukan itu setiap saat, semua wanita pasti sudah mengejar-ngejarnya untuk dijadikan pacar.
"You meant to be with him, eventually," katanya. "Kau tahu, perkataanmu mirip sekali dengan Seraphim. Aku ingat sekali waktu itu kukatakan padanya bahwa dia bisa mati karena diriku, tapi justru jawaban yang keluar darinya adalah setidaknya aku mati untuk apa yang aku perjuangkan."
Sekarang, diriku yang terdiam sesaat. Apakah Sera juga pernah mengatakan hal yang sama? Jika itu benar, apakah diriku dan Sera memang ditakdirkan terikat satu sama lain. Jika diingat-ingat, Sera dan diriku sama-sama memiliki warna mata biru dan warna rambut yang hampir sama. Hanya saja, rambutku lebih seperti berwarna abu-abu sedangkan Sera memiliki rambut pirang yang agak gelap.
"Apa kami kembar?" Pertanyaan itu yang justru keluar dari mulutku.
Xander menggeleng. "Kalian tidak kembar, tapi sesuatu telah membuat kalian menjadi mirip satu sama lain."
Sekarang aku mulai berpikir lagi. "Bagaimana jika aku memang ditakdirkan berama Lucifer, tapi salah satu dari kami tidak menginginkannya?"
"Ini bukan masalah ingin atau tidak ingin."
"Seharusnya jika memang ditakdirkan seperti itu, kami mengahadapinya bersama. Sedangkan Lucifer sendiri, justru memilih untuk menjauhiku." Kusangkal terus perkataan Xander.
Dia akhirnya menghela napas panjang. "Dia hanya butuh waktu untuk berpikir sesaat. Percayalah padaku, dia selalu mengawasimu, bahkan di saat Lucifer sendiri tidak menyadarinya."
Perkataan Xander terdengar begitu dalam. Seolah, dia telah mengalami hal itu dan Lucifer tidak jauh berbeda dengan dirinya.
"Selama aku hidup di dunia ini, yang kuinginkan hanya lah pembalasan dendam. Hingga Seraphim datang dan mengubah kehidupanku. Dia adalah cahayaku, tujuan hidup baruku."
Itu adalah perkataan paling romantis yang pernah kudengar. Aku benar-benar mengagumi Xander dan Sera. Mereka pantas ditakdirkan untuk berdua. Sedangkan diriku dan Lucifer? Salah satu di antara kami mendorong untuk tidak terbawa perasaan dan salah satu itu bukan diriku.
"Omong-omong, kenapa kau memanggilnya Seraphim?" tanyaku penasaran.
"Itu panggilan kesayanganku untuknya. Kau tahu kan Seraphim itu salah satu jenis malaikat, dia adalah malaikatku," jawabnya menjelaska filosofi panggilan yang dibuatnya untuk pasangan yang begitu dia cintai.
Aku tidak menyangka Xander bisa seromantis itu. Jika saja Lucifer membuat nama kesayangan untukku, aku akan sangat senang sekali. Sayangnya, dia saja sedang menjauhiku.
"Terima kasih karena sudah menjadi temanku," ujarku.
Xander tersenyum. "Oh, satu lagi," katanya sebelum pergi. "Jangan ceritakan pada Seraphim kejadian yang tadi."
Pikiranku langsung melayang pada saat Xander muncul tiba-tiba di kamarku. Aku berbalik secepat mungkin tadi, agar dia tidak melihat apapun. Xander juga melakukan hal yang sama. Namun, apa benar dia tidak melihat apa-apa? Kubuang jauh pikiran itu.
"Your secret is safe with me," kataku akhirnya.
_______
Heyyo! Alhamdulillah dapet banyak ide buat nulis Lucifer sampe abis, tapi emang blm kelar ditulisnya hehe
Btw adakah yg gak sabar dengan Seraphim dalam versi bukunya. Ulala kalian pokoknya gak bakal nyesel klo ikut PO nanti, aku punya bonus esklusif foto babang Xander dan Sera yg digambar langsung oleh Rania (udah tau kan siapa dia? Si BYBCool yg gambarnya sudah tidak diragukan lagi) ganteng parah babang Xander nya.
Oiya aku juga niatnya kan setelah cerita Lucifer ini pengen nulis Hollister Brothers ya untuk lanjutannya, tapi kayaknya aku bakal buat cerita baru yg pakai sudut pandang Sera dan Venus untuk mengakhiri kisah mereka berdua gitu. Jadi kayak buku ketiganya sih. Sedangkan Hollister Brothers itu nanti bisa dibaca terpisah tanpa harus baca Seraphim atau Lucifer kayaknya.
Pokoknya aku sudah punya rencana, jadi kalian tinggal tunggu saja ya.
B. K
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top