44. DON'T LOSE YOURSELF
"Aku baik-baik saja," ujarku lembut, masih sambil memeluk Lucifer.
Dia kemudian mendorongku menjauh. "Yeah, dan tidak denganku. Aku tidak baik-baik saja. Aku bisa saja melukaimu."
"Dan kau tidak," sergahku. "Kau menolongku Lucifer. Aku bisa saja tercabik-cabik oleh mereka jika bukan karena kau."
"Dan kau juga bisa terbunuh olehku."
Aku terdiam, berusaha meyakinkannya bahwa dia menolongku bukannya melukaiku. "But you didn't. Itu yang terpenting. Ada apa denganmu? Jika ini berhubungan dengan perasaan bahwa kau merasa berbeda, lupakan saja. Aku juga merasakan hal itu."
"Ya, tapi aku merasakannya lebih dari itu. Sesuatu menarikku untuk masuk ke dalam kegelapan. Aku berusaha keras untuk tidak melukaimu setiap kali perasaan itu muncul. Aku merasakannya dan aku mengingkannya, benar-benar menginginkannya. Aku sangat ingin melukaimu, Venus."
Suara Lucifer yang memburu membuatku tidak bisa mencernanya cukup jelas. Tapi aku tahu dia merasakan sesuatu yang lebih dari berbuat jahat. Sesuatu yang lebih besar dan gelap, sesuatu yang bisa menariknya ke kegelapan dan tidak akan bisa kembali saat hal itu terjadi.
"Apapun itu, kita bisa menghadapinya bersama." Kuraih tangannya, namun Lucifer menjauh.
Dia menggeleng. "Kau tidak mengerti sama sekali. Aku ingin membunuhmu dan aku tidak bisa mengatasi perasaan itu."
Kutarik lengannya, namun seketika Lucifer menekankan kedua tangannya di bahuku. Mata berapi-apinya menatapku penuh kehausan akan rasa membunuh. Tapi aku tidak takut sama sekali. Aku hanya ingin dia tetap bersamaku.
"Bahkan jika hal itu terjadi, aku memaafkanmu."
Lucifer terdiam sesaat. Mata berapi-apinya mulai memudar. "Aku tidak bisa," katanya dan menghilang.
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Setelahnya, kuhubungi Sebastian untuk memastikan mereka mendapat dosa Kemarahan. "Seb, kau mendapatkannya?" tanyaku.
"Kau di mana Venus? Aku mencarimu ke mana-mana." Suara Sebastian benar-benar khawatir.
"Katakan saja padaku bahwa kau mendapatkannya," paksaku. Lagipula aku tidak akan mengatakan ini lewat telepon. Dia pasti akan memarahiku habis-habisan jika aku mengatakannya.
"Ya, di mana kau sekarang? Xander akan menjemputmu." Sebastian kali ini lebih tenang.
Aku berjalan menuju jalan raya, mencari petunjuk di mana pun aku berada. Setelah itu, Xander menjemputku. Mengatakan bahwa Sebastian dan Max berhasil memasukkan kembali Kemarahan dan Hawa Nafsu kembali ke kotak Pandora.
Jika para dosa itu yang membuat Lucifer bersikap seperti ini, lebih baik untuk menangkap mereka semua secepatnya.
"Kemarahan dan Hawa Nafsu, mereka berada di satu tempat. Mungkin mereka merasa lebih kuat satu sama lain saat bersamaan ditempat yang tepat," kataku.
"Maksudmu?" tanya Max.
Aku mengambil sebuah pensil dan kertas. Kemudian menulis 7 dosa itu. "Kemarahan dan Hawa Nafsu terlihat berhubungan. Mungkin jika kita mengurutkan mereka berdasarkan kesamaan, kita bisa mengetahui tempat di mana mereka pergi."
Sebastian dan Jo mendekatiku dan mengamati tulisan yang kubuat.
"Kesombongan, Ketamakan, dan Kerakusan terlihat memiliki kesamaan," komentar Jo.
"Ya, Kemalasan dan Iri Hati juga," komen Sebastian juga yang mulai mengerti maksudku.
Max mulai ikut mengamati tulisanku. "Jadi kemungkinan mereka berada di tempat yang sama?" tanyanya kemudian.
"Ya, dan tebak tempat apa yang paling berpotensi mendapatkan dampak paling besar bagi Kesombongan, Ketamakan, dan Kerakusan?" Sera membalikkan laptop yang sejak tadi dia gunakan untuk mencari informasi, menghadap ke arah kami.
Tentu saja tidak lain adalah tempat di mana pusat pemerintahan berada. "Washington DC," gumamku.
"Bagaimana kita mencari 3 dosa itu di DC? Tempat itu luas." Max mulai berkomentar.
"Kita akan tahu jika berada di sana. Xander, bawa kami ke DC." Sebastian mulai menyiapkan peralatan untuk dibawanya lagi. Tidak lupa dengan kotak Pandora.
"Tunggu, aku harus berganti baju terlebih dahulu," ujarku sebelum Xander membawa kami ke DC.
Tapi ternyata, Sebastian memiliki rencana lain. "Tidak, kau tidak akan ikut. Aku, Max, dan Jo yang akan menyelesaikan ini."
"Lebih banyak orang lebih baik, kan? Akan lebih cepat menemukan—" Kalimatku dipotong.
"Kau tetap di sini," sela Sebastian. "Aku tidak ingin kau pergi sendirian lagi dan hilang dari pengawasanku."
"Aku bisa menjaga diriku, Sebastian." Aku bersikeras.
Sebastian menggeleng. "Tidak, Venus."
"Kau bukan kakakku atau bahkan ayahku, aku punya hak untuk melakukan apa yang aku inginian," kataku kesal. Aku tahu, aku melukai sedikit hatinya. Sebastian sudah menjadi kakak laki-lakiku bahkan sejak ibuku masih hidup. Tapi rasa amarahku saat ini benar-benar tidak terkendali.
Aku sangat ingin semua ini berakhir. Aku sangat ingin 7 dosa itu kembali ke dalam kotak Pandora. Membuat semuanya kembali seperti semula agar Lucifer tidak bersikap seperti itu lagi.
Sebastian diam sesaat. Aku kira ucapanku akan mempengaruhinya. "Jika ayahmu ada, dia juga akan setuju padaku. Kau tetap disini." Sebastian kemudian mengisyaratkan Xander untuk membawa mereka ke DC.
Sekarang, disinilah aku. Duduk di rumah, menunggu selagi Sebastian dan Max berburu. Di sudut ruangan kulihat Sera yang memandangiku. Aku jadi penasaran apakah Jo juga seprotektif Sebastian terhadap dirinya.
"Sebastian hanya tidak ingin terjadi apa-apa padamu," katanya tiba-tiba.
"Aku tahu, tapi dia tahu bahwa aku bahkan sering berburu sendirian. Dia seharusnya tidak membuat pilihan untukku," kataku kesal. "Apa Jo seprotektif dia?"
Sera menggeleng. "Pria lebih protektif terhadap sesuatu yang mereka sayangi."
Ya, aku setuju pada Sera, tapi bukan berarti aku menyukai faktanya. Sebastian memang mengkhawatirkanku, tapi aku punya hak untuk memilih apa yang ingin kulakukan. Aku menanggung resiko pilihan itu, sama seperti ibuku yang memilih diriku dan mengambil resiko begitu besar untuk dirinya.
Kupandangi laptop Sera sesaat. "Ada petunjuk untuk Kemalasan dan Iri hati?" tanyaku.
Sera membalikkan laptopnya lagi. "Ya, aku mencoba melacak beberapa tempat yang aku yakini mereka bisa saja di sana. Tempat yang sangat cocok untuk kedua dosa ini adalah sekolah dan aku menemukan ini."
Aku menghampiri Sera untuk melihat apa yang dia temukan. Kubaca sebuah pamflet mengenai lomba tahunan antar sekolah yang diadakan di Forest Hills high school. "Sekolah itu hanya 8 menit berkendara dari sini."
"Ya, tapi kau tidak bisa pergi sendiri, Venus. Lagipula kita belum tahu apakah mereka ada di sana."
Aku mengambil pistolku dan menyambar jaket yang kugantungkan dekat pintu. "Tepat sekali, itu berarti bukan misi berbahaya. Jika aku menemukan mereka akan kutelepon. Tapi jika aku tidak kembali dalam satu jam, sebaiknya kau telepon Max atau Sebastian untuk membawa Pandora."
Aku memutuskan untuk menaiki bus, saat aku bertemu dengan Queen yang terdiam mematung. Aku baru ingat bahwa terakhir kali dia melihatku, aku telah mati. Satu penjelasan lagi untuk diriku yang telah mati.
"Queen," sapaku, berharap dia tidak akan menjerit atau apapun itu.
"Venus," gumamnya. Ekspresinya terkejut.
"Ya, aku tidak mati. Setidaknya, tidak dua kali," candaku.
Queen tidak mengatakan apa-apa. Dia terus memandangiku dengan ekspresinya yang seperti melihat hantu atau bahkan alien. Tiba-tiba saja, dia memelukku. "Aku kira aku tidak akan pernah melihatmu lagi," katanya.
Yang aku lihat sekarang, adalah rasa kehilangan yang begitu mendalam. Sesuatu yang tidak pernah kau rasakan jika belum mengalaminya. Dan tentu saja aku pernah merasakan hal itu saat ibuku meninggal.
"Aku baik-baik saja," gumamku.
"Bagaimana bisa?" tanyanya begitu penasaran dengan jawabku nantinya. "Apa kau bukan ... manusia?" Queen memelankan suaranya.
"Well, aku manusia. Hanya saja, aku adalah vessel. Seperti wadah untuk menampung sesuatu."
Penjelasan mungkin bukannya membuat Queen mengerti, justru sebaliknya. "Menampung apa?" tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu jawabannya untuk yang satu itu." Seberapa besar aku ingin berbicara lebih lama dengan Queen, ada hal yang lebih penting untuk kulakukan. "Aku sangat senang bertemu denganmu, tapi saat ini aku agak sedikit sibuk. Kita bisa mengobrol lagi nanti," kataku terburu-buru.
"Apa ini urusan supernatural?" tanyanya antusias.
"Ya," jawabku singkat.
Sekarang aku berjalan kembali, sedangkan Queen mengikutiku sambil berharap dia bisa menolongku. "Aku bisa membantumu," katanya.
"Tidak, kau tidak bisa."
"Ayolah, Venus. Aku tahu mengenai semua ini dan aku tidak bisa diam saja." Queen memohon.
Aku berhenti seketika. "Aku tidak bisa membiarkanmu ikut, Queen. Jika sesuatu terjadi padamu, aku tidak bisa memaafkan diriku dan terakhir kali kau dekat denganku, kau dalam bahaya. Aku tidak ingin itu terjadi lagi."
Queen diam sesaat. Matanya menunjukkan tidak ada keraguan sama sekali untuk ikut denganku. Aku akui, dia memiliki jiwa yang pemberani. Tapi hal itu tidak cukup untuk menjadi seorang hunter.
"Kau punya kehidupan normal dan kau masih bisa memilih."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top