25. DARK ALPEN
"Kita menuju Dark Alpen, Nero," pintaku.
Nero seolah mendengarkanku, tapi dia tidak memberikan tanda apapun. Rasanya, seperti aku mengerti perkataan Nero tanpa hewan itu mengatakan apapun.
Nero membawa kami melayang puluhan meter tingginya. Hingga kami mendarat pada sebuah hutan lebat yang beraura sangat gelap. Aku bahkan ingin muntah saat baru saja sampai. Hutan itu benar-benar seperti sebuah tempat yang tidak akan pernah dipijak oleh manusia bahkan makhluk supernatural sekalipun.
Eira turun terlebih dahulu, kemudian aku mengikutinya. Nero tidak mau ikut dalam misi bunuh diri ini. Dia duduk dan melingkarkan tubuhnya seperti tertidur.
"Dasar pemalas," gumamku sambil mengelus lembut kepala Nero. Hewan itu tidak menghiraukanku.
Di depan, aku melihat Eira yang sedang memandangi hutan menembus pepohonan yang berduri-duri. Eira kemudian menggeleng-geleng. "Jika kau berubah pikiran, kita bisa pergi sekarang," katanya.
Aku mensejajarkan tubuhku di samping Eira. "Aku tidak akan mundur setelah melihat apapun yang menghalangi langkahku." Aku berjalan mendahului Eira memasuki hutan itu.
Aura gelap semakin kuat saat kami memasuki hutan. Seolah-olah terdapat sebuah pembatas seperti di istana Elf.
Aku menoleh ke arah Eira yang sudah menggenggam kedua pedangnya di tangan. "Berikan aku satu pedang milikmu," pintaku.
Eira kemudian melemparkannya padaku hingga secara tiba-tiba sesuatu menghantamku dan Eira secara bersamaan. Pedang yang Eira lemparkan padaku terlempar jauh sebelum aku sempat menggenggamnya.
Aku bangkit, mencari sesuatu yang menghantamku. Tapi tidak menemukan apa-apa.
Eira bangkit dengan cepat dan melirik ke arahku. "Para demon, mereka merasakan keberadaan kita."
Aku berlari untuk memgambil pedang. Tapi tiba-tiba, sesuatu menghantamku lagi. Aku berguling di tanah. Eira dengan sangat cepat melesat ke arahku. Mengacungkan pedangnya ke segala arah, walaupun tidak bisa melihat wujud musuh kami yang bergerak begitu cepat.
Aku cepat bangkit dan memungut pedangnya. Berdiri di belakang Eira, saling memunggungi dan berputar untuk menjaga setiap arah.
Kejadian ini hampir sama saat aku berada di Purgatory. Aku tidak tahu dengan jelas makhluk apa yang menyerangku. Dan makhluk ini sama seperti saat itu.
"Abaddon, Mammon, Leviathan! Siapapun kau, aku tidak takut!" teriakku.
Eira seolah tidak mengerti. "Maksudmu, dia salah satu dari ketiga nama yang kau sebutkan tadi?" tanyanya.
"Ya, aku pernah menghadapi mereka saat di Purgatory. Tapi aku tidak bisa mengalahkan mereka."
Tiba-tiba saja, perasaan mual mulai menghantuiku lagi. Aku muntah di tanah. Meraskan kepalaku pusing dan berputar. Aku mundur menjauhi Eira, berusaha menenangkan diri.
Aku kemdiaan menoleh, mencari Eira. Tapi tidak menemukannya di mana-mana. Aku malah melihat ibuku berdiri di depanku. Menatapiku seolah aku adalah orang asing baginya.
"Mom?" tanyaku sambil mengelap mulut sehabis muntah.
Mom tersenyum. Dia mulai mendekatiku. Tapi aku baru menyadari bahwa dia tidak sedang menatapku. Seseorang tiba-tiba muncul di belakangku, seorang anak kecil. Aku menatapnya lekat-lekat sampai aku sadar bahwa itu adalah diriku saat masih kecil.
Mom dan diriku yang masih kecil memainkan sebuah permainan yang selalu kami mainkan saat berlibur di pondok kecil milik keluarga kami di tengah hutan.
Aku melihat diriku sendiri tertawa, bahagia. Kemudian, Dad datang, membawa diriku pergi bersamanya. Aku melihat Mom yang raut wajahnya sedih seketika. Dia tersenyum saat aku pergi bersama Dad. Tapi kemudian menangis saat aku sudah benar-benar pergi.
Sekarang, aku berada di dalam pondok kecil milik kami. Mom sedang duduk di depan perapian, merajut sebuah baju hangat ukuran anak kecil. Aku pernah lihat baju hangan itu, Mom tadinya memberikannya padaku saat aku pulang dari berburu. Dia bilang, itu pemberian tetangga. Tapi saat Dad membawaku kembali, aku lupa membawanya. Sekarang, aku merasa bersalah karena telah meninggalkan Mom.
Aku berpindah tempat lagi, kali ini di rumah milik kami. Aku melihat Mom menangis, lagi. Dia memegangi sebuah surat dokter yang mengindikasikan bahwa dia terkena kanker. Kali ini, aku benar-benar merasa bersalah. Terlalu banyak penderitaan yang Mom jalani sendirian.
"Mom," gumamku lembut. Aku mendekati Mom sambil menangis. "Maafkan aku," gumamku lagi.
Aku tahu ini tidak nyata. Tapi perasaan sedih, sesak, dan bersalah ini menusukku sampai ke jantung. Mungkin ini yang di maksud Eira. Karena itu dia tidak mau ke tempat ini.
Semakin aku bersedih, semakin sakit tubuh dan jantungku. Dan tiba-tiba perasaan mual muncul lagi. Aku muntah di tanah, kali ini muntah darah. Aku terhuyung saat melihat darah membanjiri tanah.
Seseorang menopangku. Sepasang sayap menghiasi punggungnya. Malaikat, itu yang bisa aku simpulkan sekarang. Tubuhku sudah sangat lemas setelah memuntahkan seember darah.
Malaikat itu kemudian membawaku pergi. Dia menyandarkanku di sebuah dinding batu. Rasa sedihku mulai menghilang, sesak dan sakit di tubuhku berangsur-angsur membaik. Dari kejauhan, aku melihat Eira yang tidak sadarkan diri. Aku mendekatinya dan memeriksa napasnya yang teratur. Eira masih hidup.
Sekarang, aku beralih pada malaikat itu. Dia membelakangiku. Sayapnya telah hilang dan memperlihatkan seorang pria dengan punggung tegapnya.
"Terima kasih," ucapku.
Pria itu hanya menoleh sedikit. Cahaya di dalam tempat ini sangat minim, membuatku tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi aku yakin, ini seperti sebuah gua karena aku bisa mencium aroma khasnya.
"Kau manusia. Bagaimana bisa kau masih hidup?" tanyanya.
Sekarang, aku mengenali suara itu. Aku sangat yakin, begitu yakin sampai-sampai jantungku ikut berdetak kencang. Aku mendekati pria itu perlahan.
"Jangan mendekat!" perintahnya.
Aku tidak menghiraukannya. Hingga membuat pria itu berbalik. Sekarang aku sangat yakin, pria itu adalah Lucifer.
"Lucifer," gumamku.
Pria itu mengernyit, seolah bingung. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
Sekarang aku berada di depannya, tanganku terjulur untuk meraba wajahnya. Tapi Lucifer menahan tanganku, terasa dingin dan menusuk di kulitku. Kemudian, dia membiarkanku meraba wajahnya.
"Ini benar-benar kau, Lucifer," kataku.
Dalam cahaya minim ini, aku masih bisa melihat mata Lucifer dengan jelas. Dia terlihat lelah, seolah dia menderita lama sekali dan sudah menyerah untuk tidak mempedulikan rasa sakitnya.
Lucifer menatapku, masih bingung. "Aku mendengar suaramu dan bagaimana bisa aku merasa seperti mengenalmu."
Sekarang, aku yang berpikir. Saat aku terjebak di neraka, Lucifer juga mengatakan bahwa dia mendengarku. Aku tahu, ini Lucifer. Tapi aku tidak yakin ini adalah Lucifer di duniaku. Dan yang menjadi pertanyaanku, bagaimana Lucifer bisa seolah terhubung denganku?
"Kau memang mengenalku, setidaknya bukan disini. Tapi mungkin, kau dan Lucifer di duniaku memiliki kesamaan."
"Apa maksudmu?" tanyanya semakin bingung.
"Namaku Venus Morningstar. Aku tidak berasal dari tempat ini. Dan aku mengenal Lucifer di tempatku, di New York."
"New York? Tempat apa itu?" tanyanya lagi.
"Omong-omong, apa kau yang menyuruh para demon untuk mengacau?" tanyaku balik.
Lucifer terkekeh. "Selalu saja aku. Apa karena aku Lucifer semua orang jadi menyalahkanku?"
Aku tahu maksudnya. Jadi aku berusaha menjelaskan. "Bukan begitu. Di tempatku, Lucifer turun ke Bumi, tinggal bersama manusia. Dia berusaha menunjukkan padaku bahwa dia baik. Dan aku merasa bersalah karena tidak mempercayainya."
Ekspresi Lucifer berubah. Dia mulai mendengarkanku.
"Aku percaya bahwa semua kekacauan itu bukan karenamu. Tapi orang lain tidak percaya dan aku butuh bukti agar aku bisa membuat mereka percaya padamu."
"Aku tidak bisa keluar dari Dark Alpen. Mereka mengurungku di sini. Dan siapapun di luar sana yang menyalahkanku atas semua kekacauan itu, seharusnya mereka sadar apa yang telah mereka perbuat padaku. Sudah beratus-ratus tahun mereka mengurungku karena menganggap aku adalah orang yang memulai perang antar demon dan makhluk supernatural." Aku mendengar nada kekesalan darinya.
Lucifer telah menderita. Semua orang menganggapnya jahat, padahal dia tidak pernah berniat memulai peperangan. Sekarang, yang Lucifer butuhkan adalah orang yang mempercayainya.
Aku menggapai lengannya dan menggengam tangannya. "Aku mempercayaimu," kataku.
Tapi, Lucifer terkekeh. "Kau manusia. Bagaimana bisa aku mempercayaimu? Manusia terakhir yang aku percaya mengkhianatiku dan menggunakan namaku untuk disalahkan."
Aku jadi berpikir. Mengingat orang yang aku tembak sesaat sebelum memasuki tempat ini, orang yang menculik Aileen. Dan aku yakin, semua dalang ini adalah ulahnya.
"Orang itu? Apa kau tahu dia berada di mana?" tanyaku.
"Kenapa? Kau mau bergabung dengannya?" Lucifet menyeringai merendahkan.
"Aku akan membawanya kembali ke tempatku dan menghukumnya dengan layak," kataku kesal.
Lucifer terdiam. Kemudian, dia mulai berbicara lagi. "Aku akan mengantarkanmu."
"Bagaimana dengan temanku?" tanyaku sambil melirik ke arah Eira yang masih tidak sadarkan diri.
"Dia akan baik-baik saja di sini."
Jika itu yang di katakan Lucifer, aku percaya padanya. Lagipula, Eira lebih tangguh dari yang aku kira.
Lucifer menyodorkan tangannya padaku. Aku menyambutnya, menggenggam tangannya dan kami pergi dengan cepat dari gua gelap itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top