12. WHEN YOU BECOME ONE OF THE SUPERNATURAL CREATURES

VENUS'S POV

Kunjungan Lucifer beberapa saat lalu membuatku berpikir lagi apakah kata-kataku padanya terlalu keras. Maksudku, aku tidak seharusnya mengatakan bahwa dia pantas dikirimkan ke neraka. Tidak ada yang pantas tinggal di neraka. Bahkan Lucifer.

Tapi, aku terlanjur marah padanya karena selalu menganggap manusia lemah. Aku tahu dia memang berpikir seperti itu sejak pertama kami di ciptakan. Aku tahu dia diusir dari Surga karena manusia. Tapi apakah dia pantas untuk dikirimkan ke Neraka?

Mengingat pertengkaranku tadi membuatku pusing saja. Setelah Jazmyne yang harus aku urus, bertambah lagi pikiran di kepalaku. Benar-benar membuatku sakit kepala.

Tadi, aku menidurkan Jazmyne di ruangan saat aku masih bayi dulu. Untung, Ibu tidak membuang semua peralatan bayi yang aku miliki dulu. Tempat tidur yang terbuat dari kayu, serta mainan-mainan yang menggantung di atasnya, semuanya masih lengkap.

Aku tidak pernah menggunakannya lagi dan tidak pernah membuka ruangan itu. Kadang, hanya aku buka saat bersih-bersih saja.

Mungkin saat Ibu kesepian, dia akan duduk di kursi goyangnya dan memimpikan putrinya yang sekarang sudah tumbuh besar. Mengingat hal itu lagi, membuatku ingin menangis. Aku akan membayar mahal untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Ibuku. Sekarang, aku benar-benar menyesal.

Suara pintu yang sontak terbuka membuatku bersiaga. Aku mengambil pistol dari tempatku menyembunyikannya dan berlari menuju ruang tengah. Saat aku melirik pintu depan, aku melihat Sebastian yang terkapar di lantai. Sontak, aku berlari ke arahnya dan meletakkan pistol di atas lemari.
"Sebastian! Apa yang terjadi?" tanyaku.

Sebastian terengah-engah. Pakaiannya kotor dari atas sampai bawah. Dahinya tercoreng oleh darah dan lebam di mana-mana. Tangannya penuh dengan darah juga.

Aku membantunya berdiri dan menopangnya hingga ke sofa. Kemdian meninggalkanya menuju dapur untuk mengambilkan air putih. Setelah memberikan air putih padanya dan Sebastian meneguknya, dia akhirnya mulai bicara.

"Kami diserang para Vampir. Mereka terlalu banyak dan kami kalah jumlah. Dan—" dia berhenti.

Aku menunggu Sebastian menyelesaikan kalimatnya. Butuh beberapa saat untuknya mengucapkan kalimat terakhirnya itu, seolah Sebastian sangat berat mengatakannya.

"Mereka membunuh Max. Aku tidak dapat mengambil mayatnya." Ada nada penyesalan yang sangat mendalam. "Ini semua karenaku. Aku harus kembali. Aku tidak bisa membiarkannya di sana. Aku tidak bisa—" Sebatian baru saja akan bangkit saat aku menahannya untuk tetap duduk.

Jantungku seolah ditarik saat mendengar kabar mengenai Max. Tapi aku berusaha menahanya. "Kita akan kembali, tapi kau butuh obat untuk lukamu dulu. Dan kita butuh bantuan," kataku.

Sebastian diam sesaat. Dia menangis, tanpa suara. Hanya air mata yang keluar membasahi pelipis di bawah matanya dan ekspresi kesedihan yang sangat kentata. Membuat Sebastian seperti sebuah gelas yang sangat kuat, sekaligus rapuh.

Aku berusaha menenangkanya karena memang harus ada yang seperti itu sekarang. Kemudian dia mengambil telepon genggamnya dari saku celana. "Aku akan menelepon seseorang untuk meminta bantuan," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya.

Aku mengangguk. Kemudian pergi menuju kamar mandi untuk mengambil obat dan peralatan untuk luka Sebastian.

Di dalam kamar mandi, aku menutup pintunya. Menyalakan airnya tetap terbuka dan mulai menangis. Tidak mungkin Max mati. Maksudku, baru hari ini aku membuatkan sarapan pagi untuknya. Baru pagi ini aku mendengar ocehan leluconnya.

Aku menahan suaraku tetap diam. Kemudian mulai teringat mengenai Camael. Apakah dia yang melakukan hal ini? Apakah Camael bermain-main dengan takdirku lagi? Apakah ini lelucon?

Aku belum siap kehilangan lagi. Dan aku benar-benar tidak bisa menerima itu. Setelah Ibuku, dan sekarang Max. Dia salah satu orang yang paling dekat denganku. Sebastian juga dekat denganku, tapi karena umurku dan Max tidak terlalu jauh, membuatku lebih dekat dengan Max daripada Sebastian.

Karena takut Sebastian curiga bahwa aku baru saja menangis, dengan cepat aku membasuh wajahku dengan air agar tidak terlalu kelihatan. Kemudian mengambil peralatan medis dan kembali pada Sebastian.

"Aku sudah menelepon temanku. Dia akan sampai dalam dua jam," kata Sebastian.

Aku kemudian mulai membersihkan darah di wajah Sebastian, setelah itu mengoleskan antiseptik. Saat aku baru saja akan membalutnya dengan plester luka, Sebastian menangkap tanganku.

"Aku tahu kau habis menangis," katanya.

Aku menghiraukannya dan mulai membalutnya.

"Venus, maafkan aku."

"Ini bukan salahmu," kataku lembut dan sudah menyelesaikan balutan di lukanya.

Aku menatap Sebastian. Menangkap matanya yang dalam. Umurnya baru mencapai angka 27 tahun, tapi aku melihat bekas luka-luka yang tidak wajar bagi pria seumurannya. Luka yang terlihat sudah hampir pudar, tapi masih kentara jika melihatnya dari dekat.

Aku mulai terisak lagi dan memeluk Sebastian. Melingkarkan tanganku di lehernya dan menangisi Max di bahunya. Sebastian hanya mengelus-elus rambutku pelan tanpa mengatakan apa-apa. Dia sangat tahu bagaimana caranya membuatku nyaman.

Aku tidak pernah sedekat ini dengan pria, kecuali dengan Max dan Sebastian. Tentu saja, karena mereka sudah seperti kakakku sendiri. Walaupun mereka adalah anak angkat dari Paman dan Bibiku, tetap saja, ikatan darah mereka sangat kuat denganku.

Setelah itu, Sebastian membiarkanku beriatirahat. Sedangkan dia menjaga rumah kalau-kalau terjadi sesuatu.
Dua jam kemudian, suara Jazmyne yang meraung-raung di kamarnya membangunkanku. Sebastian duduk terpaku di meja dapur sambil meminum sebotol bir. Aku tahu dia pasti sedang memikirkan Max.

Aku segera menuju kamar Jazmyne dan menggendongnya. Dia menangis. Mungkin karena dia baru saja bangun tidur dan butuh susu. Aku membawanya menuju dapur. Kemudian meminta Sebastian untuk menggendongnya sementara aku akan membuatkannya susu.

Saat sebotol susu di tanganku baru saja selesai dibuat, bel pintu berbunyi. Sebastian baru saja akan memberikan Jazmyne padaku saat aku langsung berjalan menuju pintu depan.

Seorang wanita yang umurnya tidak lebih tua dari Sebastian. Dia mengenakan jaket kulit berwarna hitam dengan kaus berwarna putih dibaliknya, serta celana jin ketat berwarna biru tua. Warna rambutnya hitam, menggantung dengan sempurna di atas bahunya. Ditambah sepatu boots semata kaki yang membuatnya terlihat garang.

Aku suka gayanya. Seperti diriku.

"Hai," sapanya saat melihatku membuka pintu.

"Kau pasti Jo," kataku.

"Ya." Wanita itu tersenyum.

"Ayo masuk, kami sudah menunggumu."

Jo adalah teman Max dan Sebastian. Dia bilang, mereka bertemu dengan Jo secara tidak sengaja saat ada sebuah kasus yang melibatkan seorang witch. Setelah menceritakannya secara singkat mengenai pertemuan mereka, aku hampir saja tertawa mendengarnya. Seperti sebuah kebetulan yang menguntungkan.

Aku membawa Jo menuju dapur dan melihat Sebastian yang sedang menggendong Jazmyne yang sedang menyedot susunya.

"Wow, kita baru saja tidak bertemu selama satu bulan, dan kau sudah memiliki seorang anak perempuan" Jo mengamati Sebastian dari depan pintu masuk dapur.

Sebastian hanya meliriknya sambil tersenyum. "Ya, dan mungkin sebentar lagi aku akan memiliki seorang anak laki-laki," candanya.

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Dan mengambil Jazmyne dari tangan Sebastian. Kemudian berjalan menuju ruang televisi di mana aku sudah meletakkan tempat bayi di sana. Setelah meninggalkan Jazmyne dengan susunya, aku kembali menuju dapur.

"Jadi, apa rencananya?" tanyaku.

"Berapa banyak vampir yang berada di sana?" tanya Jo tanpa basa-basi lagi.

"Dua puluh, mungkin lebih."
Jo terdiam. Dia terlihat sedang berpikir. Kemudian matanya tertuju pada Sebastian. "Tunggu, di mana Si Pembuat Onar yang banyak bicara itu?"

Aku tahu maksudnya pasti adalah Max. Ya, ampun. Situasi ini adalah hal paling sulit untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak akan bicara sampai Sebastian yang menjelaskannya sendiri.

Sebastian melirikku. Dia baru saja akan menjawab, saat pintu terbanting terbuka. Kami semua menyambar senjata dari tempat penyimpanan masing-masing. Dan berlari menuju pintu.

"Sebastian! Aku benar-benar tidak percaya kau meninggalkanku!" teriak Max yang wajahnya terlihat sangat pucat dengan kemarahan yang meledak.

——————

Happy Saturday night, everyone!

Love,
B.K

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top