(END OF CHAPTER 1) Who is Bermuda?
"Kikan, ke sini sebentar." Suara itu terdengar menekan dan memerintah, Kikan yang sedang menempelkan kode batang yang mengarah pada laman peraturan baru sekolah di mading, kemudian berhenti untuk menghampiri sumber suara.
Lelaki yang memanggil Kikan menarik tangannya dengan tergesa lalu pergi ke area belakang lapangan tenis yang jauh dari keramaian. Di sana hanya terdapat pohon mahoni yang berjejer rapi dan desir suara dahan pohon yang bergesekkan karena tiupan angin. Lelaki itu bertubuh tinggi, dadanya bidang, dan memiliki rahang yang tegas. Ia melepaskan lengan Kikan lalu menatapnya tajam sambil membungkuk ke arahnya.
"Kenapa Reza?" tanya Kikan lirih.
"Kamu mau jujur atau aku yang ngomong?"
Kikan menelan ludah mendengar gertakan itu. Ia tak tahu pasti apa yang dimaksud oleh Reza sebab selama satu minggu belakangan, Kikan tidak merasa melakukan kesalahan atau kebohongan yang membuat kekasihnya harus menginterogasi sebelum melakukan sesi latihan tenis.
"Aku beri waktu sampai satu menit." Kikan mendongak untuk melihat lebih jelas posisi Reza dengan peluh yang melembapkan dahi dan bekas luka mengering di bagian bibir.
Apa yang baru saja Kikan lakukan? Ia tidak merasa membuat kesalahan. Ketua OSIS itu meremas roknya gugup. Tiupan angin sore menggerakkan poninya yang menggemaskan, mata sipitnya menyiratkan rasa takut yang tak bisa disembunyikan. Kikan masih belum mengerti harus jujur soal apa. Yang diingat olehnya adalah mengobrol dengan Syifa sehari lalu.
Atau jangan-jangan soal itu?
"Waktu kamu habis."
"Aku ngobrol sama Syifa kemarin soal Bermuda. Udah itu aja, aku enggak ngapa-ngapain lagi, cuman itu." Akhirnya Kikan mengaku walaupun ucapannya terdengar tergesa-gesa.
"Kamu yakin?" Napas Kikan menjadi berat. Mengapa Reza tiba-tiba berubah menjadi interogator dengan pertanyaan yang cenderung menekan itu?
Alih-alih menjawab dengan ucapan, Kikan hanya mampu mengangguk. Jiwa pemimpinnya ciut tiap kali berhadapan dengan Reza. Lelaki itu kembali berdiri sambil mengambil raket tenis yang sedari tadi ditaruh di dalam tas. Raket itu terlihat mengilap di bawah sinar matahari yang hendak mendarat untuk istirahat. Reza menekan-nekan senar raket untuk memastikan tidak ada yang menjarak atau putus sebelum ia mainkan. Bagian besinya pun tak luput dari pemeriksaannya. Itulah Reza, orang yang paling teliti dan tidak bisa menolerir sebuah kecacatan kecil. Jika harus diperbaiki, maka diperbaiki saat itu juga.
Bola matanya kembali menatap Kikan yang masih tertegun karena rasa takut mulai mendera dada hingga kerongkongannya. Reza bukan tipe yang suka bermain fisik, tetapi sorot mata dan kata-katanya sudah cukup tajam untuk menusuk rasa takut lawan bicaranya. Tak heran, tiap kali di lapangan saat bermain tenis, lawan-lawannya dibuat bergidik ngeri sebelum pertandingan dimulai. Ritual Reza sederhana. Ia hanya berdiri, memantul-mantulkan bola jika memang itu gilirannya untuk melakukan servis, kemudian menatap lawannya lekat-lekat tanpa sepatah kata.
Persis yang dilakukannya saat ini di hadapan Kikan. Dengan perlahan, Reza menaruh bagian ujung raketnya untuk menekan leher Kikan hingga perempuan itu perlahan mundur dengan napas yang terputus-putus. Ini pertama kalinya Reza melakukan itu.
"Kikan, kamu yakin cuman ngomong kayak gitu?" Kikan mengangguk ketakutan, Reza menyipitkan matanya curiga. "Bukannya kamu juga ngomong ke Syifa untuk mencari tahu apa yang terjadi antara aku dan Bermuda? Kamu yakin enggak nyuruh dia membahas itu?"
Jantung Kikan seperti berhenti sebentar, matanya terbelalak lebar. Dari mana dia tahu soal itu?
"Jangan tanya aku tahu dari siapa, sekarang jawab, benar atau enggak?" Dari mana juga dia mengetahui isi pikirannya?
"I-iya." Suara Kikan nyaris tak terdengar karena tenggorokannya ditahan oleh ujung pegangan raket.
"Apa?" Reza merendahkan suaranya.
"Iya, itu benar." Akhirnya raket itu dilepaskan oleh Reza, Kikan menghirup oksigen dengan serakah, tak lupa memegangi lehernya yang baru saja dicekik oleh raket milik Reza.
Ternyata permainan interogasinya belum usai. Reza menekan kedua pipi Kikan hingga siswi itu terperanjat dan harus mencengkeram pergelangan tangan pacarnya sebagai mekanisme pertahanan terakhir.
"Sekarang begini Kikan, aku kasih tau kamu cara mainku karena kamu seenaknya menerapkan cara mainmu. Aku merebut kamu dari Bermuda karena aku suka kamu, oke?" Kikan mengangguk, tubuhnya mulai bergetar padahal Reza tidak berseru. "Bukan berarti kamu seenaknya bisa menghancurkan Bermuda yang mencoba untuk membangun hubungan baru dengan orang lain lewat manipulasi sialan kamu sendiri, paham?" Kikan memejamkan mata, suaranya nyaris tak terdengar saat menjawab sebab pipinya ditahan oleh tangan Reza yang kuat.
"Paham?" tekan Reza lagi sambil melepaskan pipi kekasihnya.
"Iya." Sekali lagi Kikan dibuatnya membungkuk dengan napas yang memburu, "Tolong jangan lakuin itu lagi, aku sayang kamu, Rez."
Reza mendekati Kikan lalu memeriksa pipi kekasihnya yang memerah karena ditekan terlalu kuat. Lelaki itu kemudian memeluk Kikan dengan lembut dan membiarkan kekasihnya menangis bisu dalam rengkuhan itu.
"Kamu berselingkuh dengan Sarah, aku maafin. Tapi kalau kamu bohongi aku lagi dan macam-macam sama Bermuda, aku kejar kamu sampai ketemu." Setitik air mata jatuh membasahi pipi kiri Kikan, "Jangan pernah berpikir buat nyakitin dia lagi." Kikan mengangguk paham.
"Aku sayang kamu, Reza, maafin aku." Namun Reza tetap bergeming lalu mengecup rambut Kikan segala arti.
"Mana Fahrez Ananta Sudibjo, pemanasan udah mau dimulai nih," seru seseorang dari arah lapangan.
Atlet tenis nomor satu Una itu melepas rengkuhannya kemudian meninggalkan Kikan tanpa sepatah kata kecuali air mata yang diseka menggunakan jari jempolnya. Kikan kemudian bersandar lemas pada pagar kawat harmonika. Sebuah pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan. Jantungnya pun masih berdebar tak keruan.
Namun yang membuat Kikan semakin bingung, siapakah informan yang membocorkan pertemuannya dengan Syifa? Siswi itu memegangi lehernya, memang tidak berbekas tetapi rasa takut yang ditanamkan oleh Reza masih menempel di sana.
Di satu sisi, perasaan bencinya kepada Syifa malah semakin besar. Kesimpulannya adalah ini salah Syifa yang mengadu kepada Reza entah dengan cara apa, ia bersumpah akan membuat perempuan itu menyesal telah dilahirkan di muka bumi. Kikan sangat membenci Syifa. Sangat. Benci.
Perempuan itu berjalan meninggalkan arena tenis menuju lorong dengan tergopoh-gopoh untuk pergi ke perpustakaan sekolah yang mulai ditinggalkan oleh murid-murid. Ia mulai mencari data diri anak-anak IPS melalui buku biodata murid.
Ketemu!
Syifa Ranti Andini beserta mimpinya yang ingin menjadi ilustrator terkemuka. Kikan terkekeh mengejek, kemudian lanjut membaca paragraf sisanya. Dia memiliki sahabat bernama Adrianna Tatsuki, pecundang berambut pendek yang tidak nyaman dengan bentuk tubuhnya sendiri dan Anwar Kuswari yang memiliki riwayat jantung lemah. Sebuah kelompok pecundang yang cocok dihukum olehnya.
Kikan menyeringai lebar. Permainan baru saja dimulai.
Semoga berhasil, Syifa, batinnya.
Sementara di atas lapangan beton berwarna dasar biru. Para petenis baik dari atlet laki-laki dan perempuan sedang melakukan pemanasan. Masing-masing dipandu oleh pelatih yang membaginya lagi dalam beberapa pemain yang memiliki karakteristik serupa. Misalnya Safitri dengan Reza, keduanya memiliki kecenderungan gaya bermain yang mirip. Sama-sama mengandalkan rally panjang, adu stamina, hingga mengacaukan mental lawannya.
Jika Reza mengintimidasi, Safitri dikenal suka memprovokasi.
Reza akhirnya tiba lalu berdiri bersebelahan dengan Safitri yang tingginya hanya menyentuh leher Reza. Lelaki itu tinggi seperti pohon. Keduanya memang sering bertengkar—adu mulut hingga jotos. Di lapangan pun kerap adu gengsi untuk menjadi yang terbaik di Una. Safitri si kidal dengan julukan Pretty Boy dan Reza si petarung sadis dengan julukan The Emperor. Akan tetapi mereka juga berteman kemudian saling menatap, mengendikkan dagu, dan bertukar bro fist.
"Kikan?" tanya Safitri.
Reza hanya mengangguk. Keduanya kembali berkonsentrasi untuk latihan.
Dialah informan yang seharusnya dicari Kikan, bukannya Syifa.
***
Percakapan semalam bersama Syifa mengubah sudut pandang Bermuda tentang perempuan itu secara utuh. Ternyata Syifa adalah sosok yang bijak dan tidak naif. Sudah nyata terbukti pula bahwa ia juga memiliki kepekaan emosi yang sangat kuat. Walaupun mendapat informasi yang tidak lengkap dari Kikan, ia tetap bersikeras mencari validasi akan kebenaran cerita yang didapat dengan menanyai Bermuda tanpa emosi yang meninggi apalagi bentakan. Hubungan mereka bahkan belum menyentuh seumur biji jagung, bagi Syifa penyesuaian ego dan menata batasan-batasan merupakan solusi paling tepat. Apalagi keduanya masih sama-sama membuka hati dan ikatan dengan orang baru.
Syifa yang belum kunjung berpacaran sejak awal. Bermuda dengan sandiwaranya bersama Kikan yang masih hangat.
Es krim yang masih di dalam kemasan itu mulai mencair, Bermuda enggan membukanya dengan tergesa sebab itu bukan miliknya. Pikirannya belum beranjak dari percakapan tadi malam. Awalnya Syifa bertanya dengan suara yang agak serak, sebenarnya ada sejarah apa antara Bermuda, Fahrez, dan Kikan. Satu hal yang Bermuda segera lakukan adalah menelan ludah sambil berpikir sejenak untuk menata jawaban agar Syifa tidak salah paham.
Dimulai dari Bermuda yang membenarkan kisah yang dituturkan oleh Kikan terkait kandasnya persahabatan dengan Reza. Kisah itu dilanjutkan dengan nada suara Bermuda yang merendah, takut Andromeda atau Ibunya menguping dari luar kamar. Hubungan Bermuda dengan Reza bisa dikatakan istimewa sebab persahabatan itu lahir kerena Ibu mereka juga berteman dekat dan sama-sama pernah menjadi anggota orkestra sebagai pemain biola.
Maka tidak heran jika bakat bermusiknya itu diturunkan kepada Andromeda dan Bermuda walaupun aliran dan alat musik yang dimainkan tidak sama. Berbeda dengan Reza dan adik perempuannya, darah seorang atlet justru mengalir dari Ayah mereka yang merupakan pesepakbola hebat pada masanya dan kini menjadi asisten pelatih bagi klub Liga Utama Thailand, yakni Port F.C. yang membuat Ayahnya harus menetap di Bangkok.
Reza adalah petenis. Sementara adik perempuan Reza, yaitu Rindu, kini sedang menempuh pendidikan kelas 8 SMP dan menggeluti bidang gimnastik khususnya senam artistik. Bermuda merasa hampa jika mengingat Reza. Ada lubang besar di dalam hatinya yang masih belum sudi menerima kenyataan bahwa persahabatan mereka kandas karena Reza lebih memilih jatuh cinta dengan Kikan, ketimbang mempertahankan ikatannya bersama Bermuda.
"Memangnya kenapa Fahrez merebut Kikan dari kamu?" Pertanyaan bagus yang dilontarkan oleh Syifa, namun sayang Bermuda belum menemukan jawabannya. Terakhir kali bersua dengan Reza, tepat setelah Bermuda mengetahui adanya ketidakberesan sifat sahabatnya yang sedikit demi sedikit berubah. Dia hanya berpesan bahwa dirinya sangat beruntung memiliki teman dekat yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri, lalu meminta maaf kepada Bermuda karena belum bisa menjadi teman yang baik.
Saat itu Bermuda hanya terkekeh-kekeh.
Bermuda mengira kata-kata itu hanyalah ocehan kosong Reza yang kerap mendramatisir sesuatu, khususnya saat mereka tengah bersantai menikmati sore di taman kota seraya menatapi langit dengan hiasan kapas-kapas empuk. Tanpa ia sadari, sehari setelahnya, Reza malah merebut Kikan. Keduanya pergi. Berkhianat. Merusak perasaan Bermuda yang selama ini mempercayai dua orang yang sangat ia sayangi.
Sejak saat itu Bermuda sadar cara kerja dunia, ia tidak akan menyangka dan tak pernah terlintas dalam benaknya sedikit pun: bahwa orang yang paling dia percaya adalah orang sama yang memberikan rasa sakit terbesar di hidupnya. Kisah ini padahal kerap ia temukan pada buku atau bacaan sejarah kedinastian Tiongkok dan wiracarita Mahabharata. Namun Bermuda terlalu lugu dalam memaknai sejarah kelam. Ia terlalu asyik dengan nikmat persahabatan dan cinta, sampai lupa bahwa tipu daya paling luar biasa berasal dari orang terdekat.
Inilah alasan Bermuda sangat jatuh cinta dengan esai yang ditulis oleh Syifa. Tema besar keterikatan. Makna lain di dalam esai yang diutarakan oleh kekasihnya itu juga membahas soal hancurnya peradaban karena rasa percaya yang berlebihan. Semua terhubung, Bermuda menyadari pahitnya pengkhianatan dengan cara yang mengerikan.
"Tapi kamu sudah move on dari Kikan? Kalau belum gapapa, aku ngerti. Kamu pun masih manggil aku Kikan, tapi kalau kamu ada penjelasan lain, aku mau dengerin." Jantung Bermuda seperti berhenti berdetak. Memang terdengar ada harapan dari nada suara Syifa saat bertelepon semalam. Berharap mereka tetap bersama sekalipun Syifa harus mengerti jika Bermuda belum sanggup merelakan Kikan.
Kata maaf menjadi pembuka dari pertanyaan Syifa.
Bermuda dengan tenang menerangkan jika ia sudah mulai merelakan Kikan. Memang belum seratus persen, tetapi ia bisa jamin jika hubungannya dengan Syifa adalah harapan baru dan memang berasal dari lubuk hati paling dalam dan bukan pula pelampiasan belaka. Ada satu alasan yang membuat Syifa yakin, yaitu pengakuan bahwa pengkhianatan Kikan dan Reza yang membuat Bermuda belum bisa seratus persen merelakannya.
Bermuda hingga saat ini masih bertanya-tanya: ia kurang di mana? Ia salah apa? Apakah pantas Bermuda dikhianati seperti ini?
Alasan itu yang membuat Syifa yakin dan percaya kalau Bermuda itu bukannya tidak bisa merelakan Kikan karena masih sayang. Melainkan, Bermuda hanya ingin menuntut haknya agar didengarkan sehingga ia bisa pulih dari rasa trauma yang diberikan oleh Kikan dan Reza.
Kini, Syifa juga mengerti mengapa Kikan menjadi pura-pura akrab dengannya yang tidak lain ternyata startegi untuk terus mengganggu Bermuda dari sisi mana pun. Syifa mengerti. Jika memang Kikan ingin berperang, maka Syifa akan balas mengibarkan panji perlawanannya.
Syifa merasa malam itu juga ia ingin menghampiri Bermuda dan memeluknya erat. Memastikan kekasihnya tidak merasakan sakit sendirian karena dicampakkan oleh orang yang paling dia percaya. Ada keheningan yang mengungkung mereka setelah Bermuda mengupas satu per satu sejarah pahit kehidupannya. Sejujurnya Syifa masih ingin membahas batasan yang perlu mereka diskusikan termasuk perasaan insecure soal anggota big band Bermuda khususnya yang perempuan. Tetapi percakapan malam itu sudah begitu menguras energi.
Saat Syifa hendak mengajak Bermuda untuk tidur, lelaki itu menolak kemudian berkata. "Tinggallah sebentar lagi, Cip. Ini udah jam 1 dinihari, memang besok kita akan bangun dalam kondisi capek luar biasa, tapi kamu mau kan menemaniku sampai kita sudah benar-benar lelah terus ketiduran?"
Perasaan yang meninju perut dan dadanya kembali buncah. Mata yang awalnya pedas, kembali segar karena dirangsang oleh percikan cinta. Bahasa cinta Syifa nomor satu adalah menghabiskan waktu bersama pasangan. Bahasa cinta nomor satu Bermuda adalah melayani dan dilayani. Keduanya tidak keberatan untuk bergadang, walaupun Syifa harus membantu Ibunya menyiapkan nasi uduk pada pukul 4. Baginya, menghabiskan waktu bersama Bermuda adalah hal yang paling ia nantikan. Begitupun Bermuda.
Bermuda tersadar pada lamunannya diikuti senyum tipis yang menggantung. Ia menguap hingga matanya berair kemudian melihat Syifa menghampiri dengan sumringah dan berjingkrak-jingkrak. Segera es krim yang sudah mulai mencair itu diberikan kepada Syifa, tentu saja perempuan itu tidak menolak. Ia selalu mensyukuri pemberian orang lain, apalagi Bermuda.
"Mud, kamu nungguin aku lama, kah? Maaf tadi aku harus ngerjain tugas kelompok sama Irul dan Apoy soalnya." Bermuda menggelengkan kepala sambil membukakan plastik es krim perisa semangka itu.
"Enggak, sayang."
Sejak kapan? Sejak kapan Bermuda mau memanggil Syifa dengan kata sayang tanpa provokasi teman-teman kelasnya?
Syifa yang sudah terlanjur memasukkan es krim ke dalam mulutnya sontak diam membeku. Kupu-kupu kembali beterbangan membawa rasa bahagia di dalam tubuh Syifa.
"Yang aku tahu, Syifa Ranti Andini itu punya love language quality time itu yang pertama, kedua ada words of affirmation dan ketiga." Bermuda menyeka es krim yang meleleh di dagu Syifa dengan jempolnya secara perlahan, "Ketiga, love language Syifa Ranti Andini adalah act of service."
Saat itu juga Syifa ingin menggigit lengan Bermuda. Bagaimana bisa ia menggemaskan seperti itu?
Di sisi lain, Bermuda sangat ketagihan menatapi senyum manis Syifa yang dihiasi gingsul dan lesung pipi. Manisnya.
"Cip, maksud aku, sayang. Maaf ya kalau aku masih membuat kamu bertanya-tanya soal cinta, soal diriku di masa lalu, soal apapun itu. Tapi satu hal yang aku bisa jamin ke kamu, perasaan aku itu tulus, tulus banget." Syifa hanya mengangguk, sorot matanya sejak tadi tak berkedip karena menikmati pemandangan Tuan Muda yang tampan di hadapannya.
"Aku ngerti, Bermuda."
"Oh iya Cipa, satu lagi." Bermuda kemudian berbisik kepada Syifa, "Aku suka nama belakang kamu, Andini. Tapi suatu hari nanti, aku boleh minta izin untuk mengganti Raffles sebagai nama belakang kamu?"
Oke, Syifa sesak napas. Dalam artian baik. Es krimnya sudah meleleh dengan sempuran dan berceceran di bawah kaki mereka. Syifa sangat bahagia mendengar gombalan receh Bermuda yang menurutnya cukup menggemaskan.
"Udah ciuman aja, lama banget jir!" seru Adrianna kemudian disikut oleh Apoy.
"Enggak usah dengerin teteh-teteh skena, cuek aja, cuek," timpal Apoy malah membuka keran pertengkaran keduanya.
Bermuda dan Syifa tertawa geli melihat tingkah kedua anak itu. Hingga terlintas di benak Bermuda yang ingin mengajak Syifa makan malam di rumahnya. Bukan, ini bukan makan malam keluarga atau makan malam pada umumnya, tetapi Tuan Muda punya kejutan istimewa untuk Nona Muda-nya.
"Kapan Bermuda?" tanya Syifa lirih.
"Minggu depan ya, biar aku konsentrasi dengan kualifikasi big band di hari Sabtu nanti." Anggukkan kepala Syifa menyertai. Ia bertanya-tanya, kejutan macam apa yang ingin diberikan oleh Tuan Muda?
***
https://youtu.be/V9PVRfjEBTI
END OF CHAPTER 1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top