Spesial Epilog [02]

Entahlah sama bagian ini... Nao bikinnya nggak begitu fokus. Terus ngetik sesuai apa yang muncul di otak XD
Dan hasilnya Anjiiir banget :"D

※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Loving You! Spesial Epilog [02]:
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※

Gabriel dan Gilliant. Itulah nama kedua malaikat kami yang kini tengah terlelap dengan posisi saling berhadapan. Usia mereka lima tahun lebih tiga bulan. Meski mereka kembar identik, ada beberapa perbedaan mencolok di luar perihal gendernya. Gabriel memiliki sifat yang cenderung kalem meski tidak pemalu, sedangkan Gilliant sangat hyperaktif dengan celoteh bawelnya yang menggemaskan. Gabriel memiliki tanda lahir berupa bercak hitam berbentuk sebelah sayap di lengan atas kirinya, sementara tanda lahir Gilliant berbentuk bercak garis di bahu kanannya.

Aku masih memandangi mereka sejak sejam lalu berhasil menbuatnya terlelap. Tidak henti-hentinya untuk tersenyum puas. Sangat menggemaskan melihat mereka tidur lelap seperti ini.

Sejenak kuperhatikan ruangan yang dijadikan kamar Gabriel dan Gilliant. Ruangan ini tepat berada di samping ruang kerja Arka. Berukuran empat kali lima meter dengan dinding bercat baby blue. Beberapa stiker dinding bercorak pohon jeruk menghiasi salah satu bagian dinding.

Terdapat satu ranjang yang didisain khusus berukuran king size, dua lemari pakaian, satu lemari kaca berisi mainan, satu buah komputer -meski aku tidak suka jika bocah berumur lima tahun sudah diperkenalkan dengan benda ini, satu TV dan beberapa barang lainnya yang ditata apik. Aku memperhatikan ruangan yang seingatku digunakan untuk kamar tamu. Lalu pandanganku beralih pada Arka yang duduk disebelahku.

"Apa?" Seringainya.

"Sejak kapan kau menyiapkan ini semua?" Bisikku takut membangunkan dua malaikat kecil kami yang sudah terlelap.

"Sejak kau mulai ribut setiap melihat anak kecil seminggu yang lalu." Ucap Arka.

Aku mempoutkan bibirku. "Kamu bilang tidak suka anak kecil. Kenapa justru mengangkat mereka hanya karenaku?"

Arka memutar bola matanya bosan, lalu bergeser mendekat kearahku. "Kau menanyakan itu sudah berkali-kali, membuatku bosan menjawab dengan kalimat yang sama." Pria itu menyeringai.

Aku berpikir sebentar. Benarkah aku sudah sering bertanya, tapi kenapa aku tidak ingat? "Lalu kenapa kamu membiarkan mereka menyebutku mama?" Aku melipat tangan didepan dada. Sedikit tidak suka dengan panggilan itu, karena aku sendiri masih menyadari aku seorang pria.

"Karena aku ingin keluarga ini lengkap. Ada papa..." Arka menunjuk dirinya sendiri. "Ada malaikat kecil yang meramaikan rumah kita..." telunjuknya beralih pada Gabriel dan Gilliant. Lalu dia menunjuk diriku. "Ada mama... sosok yang paling mengagumkan dalam sebuah keluarga."

Aku menurunkan tanganku dari depan dada dan tersenyum lembut. Kuraih tangan Arka yang masih menunjukku. Menggenggamnya dan menariknya hingga dia condong kearahku dan mengecup pipi Arka dengan lembut.

"Terimakasih Arka."

Dia tersenyum dan mencium keningku. "Kau sudah bilang tadi berkali-kali."

Arka bangkit dan jalan melewatiku. Berbungkuk disisiku yang lain dan menarik selimut Gabriel dan Gilliant hingga sebatas leher. Mereka terlelap pulas karena lelah diperjalanan saat menuju kemari semalam. Jadi Arka memerintahkan mereka untuk tidur pagi ini.

Mataku melirik Arka yang tersenyum seraya mengelus kepala Gabriel. Tanganku meremas ujung kausku gelisah. Aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa terus menerus terjebak masa lalu. Dengan gemetaran tanganku meraih kaus Arka dan menggenggamnya. Aku menunduk tidak berani menatapnya.

"Ci-cium aku." Suaraku bergetar.

Aku memejamkan mataku rapat saat menyadari sikapku yang terlalu memaksakan diri. Sial! Aku harus tenang. Tenang. Tapi masih kurasakan tanganku yang menggenggam kaos Arka masih bergemetar.

Arka yang dari tadi terdiam kini mulai bergerak. Lalu meraih daguku dan mendongakkannya. Aku membuka mataku dan menatap Arka yang entah kenapa berbayang menjadi sosok Kai. Jantungku berdegup kencang karena rasa gugup yang menyerang.

Kupejamkan kembali mataku saat wajah Arka semakin mendekat dan untuk menenangkan diriku. Tanganku semakin mencengkram kaus Arka. Sampai kurasakan sesuatu menyentuh keningku.

Aku membuka mata saat menyadari Arka mengecup kening ku sesaat. Mendongak dan mendapatinya yang tersenyum lembut kearahku. Tangannya yang sedari tadi bertengger didagu beralih mengelus pipiku.

"Arka..." panggilku lirih.

"Ya."

"Aku minta kau menciumku."

"Aku sudah melakukannya." Arka kembali mendaratkan bibirnya yang kali ini di pipiku.

Aku menggigit bibir bawahku dan menatapnya sendu. "Aku ingin kau menciumku, di bibirku."

Senyuman diwajah Arka hilang dan kulihat rahangnya mengeras. Namun akhirnya dia mendekatkan wajahnya dan perlahan menutup matanya. Aku pun ikut mendekatkan wajahku dan memejamkan mata, meski keraguan masih kurasakan karena rasa takut.

Cup

Hanya dua detik bibir itu mendarat di bibirku dan segera menjauh. Aku membuka mata dan mengerjab beberapa kali. Arka kembali menegakan tubuhnya yang sedari membungkuk.

"Itu bukan ciuman. Itu kecupan." Protesku.

"Aku takut tidak dapat mengontrol diri, Nial." Arka memalingkan wajahnya. "Dan kamu belum siap."

Aku tahu! Tapi jika seperti ini sampai kapanpun aku tidak akan pernah siap. Aku tidak mau seperti ini. Meski ketakutanku sangat besar.

Aku menarik kaus Arka yang sedari tadi belum kulepaskan, membuatnya menoleh. "Aku ingin kau menciumku. Dibibirku, sebuah ciuman bukan kecupan." Sebelum Arka sempat membalas aku kembali melanjutkan ucapanku. "Dan aku sudah siap."

Raut wajah Arka berubah dan menatapku lekat. Aku meneguk ludahku susah payah lalu menganggukan kepala. Mataku terpejam seiring hilangnya jarak diantara wajah kami. Bibir kami bertemu. Kurasakan ketakutan kembali menyergapku saat Arka mulai melumat bibirku. Kuputuskan untuk membuka mataku dan disambut mata Arka yang sedang terpejam. Ya, ini Arka. Suamiku.

Berangsur-angsur ketakutanku mulai hilang, dan aku membalas lumatan Arka. Tangan Arka yang sedari tadi diam kini bertengger ke kepala belakangku dan menekannya. Tanganku segera bergerak dan mengait dileher Arka. Membuka mulut saat lidahnya menyapu bibirku.

Lidah Arka bergerak liar didalam mulutku, yang kubalas mendorong lidahnya keluar dengan lidahku. Kedua daging tidak bertulang kami saling bergulat, membuat air liur Arka yang tercampur mengalir keluar dibibirku. Suara decapan dan kecipak samar-samar mulai terdengar. Aku yang akhirnya mengalah membiarkan lidahnya mengeksplor seluruh rongga mulutku.

Tapi tiba-tiba Arka menjauh dan melepaskan tanganku dari lehernya. Nafas kami berdua tersengal-sengal dan aku menatap Arka heran. Dia mengusap wajahnya frustasi.

"Buat sarapan, aku akan kembali kekamar." Perintahnya serak karena hasrat.

Aku yang paham kondisi Arka, mengulurkan tanganku dan memeluk pinggangnya lalu menarik mendekat. Tubuh Arka menegang dalam pelukanku. Saat aku menyenderkan kepalaku dibawah dadanya, kurasakan sesuatu menekan dadaku -yang kutahu jelas apa itu.

"Nial, aku harus kembali kekamar."

"Kita kekamar sama-sama."

"Tidak-"

"Kenapa? Aku sudah tidak apa-apa. Aku memang masih takut, tapi aku tidak ingin seperti ini terus. Aku ingin dipelukmu, aku ingin kau menciumku, aku ingin disentuh olehmu, aku- uhmp!!" Mulutku segera dibungkam Arka menggunakan bibirnya setelah dengan cepat mendongakkanku.

"Jangan mendorongku apalagi menendangku nanti." Bisiknya didepan wajahku dengan suara serak.

Aku dapat melihat manik Arka menggelap karena hasrat yang menggebu. Dengan susah payah aku meneguk ludahku dan mengangguk. Aku hampir saja menjerit jika tidak ingat kedua anakku sedang tidur, kala Arka menyeruduk tubuhku dan mengangkatnya. Arka memanggulku bak karung beras dipundaknya.

Aku berpegangan pada kaus bagian punggung Arka dan bertumpu agar kepalaku tidak benar-benar berada dibawah posisinya. Pria itu membawaku keluar dari kamar Gabriel dan Gilliant. Betapa kagetnya saat kami bertemu tatap dengan Zein yang menaiki anak tangga.

"Batalkan pertemuan hari ini dan suruh pelayan membuat makan siang. Aku mau sarapan!" Perintah Arka dan menekan kata terakhir.

Wajahku memanas saat Arka membawaku masuk dan sebelum pintu tertutup melihat Zein yang tersenyum seraya menggelengkan kepala menuruni tangga. Setelah pintu tertutup Arka segera menurunkanku diranjang dan mendorong kasar tubuhku untuk berbaring.

"Kau bisa mendorongku agar berhenti sekarang." Arka merunduk dan menjilat leherku. Membuatku menahan rasa geli, gugup dan takut yang datang bersamaan. "Dan jangan menyesal jika aku kelepasan karena kau tetap memaksa."

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kukaitkan kedua lenganku keleher Arka sebagai tanda aku telah siap. Terbaring pasrah dalam kungkungan suamiku. Tubuhku sempat menegang saat Arka tiba-tiba mengadukan kejantannya yang sudah menegang dibalik celana ke selangkanganku.

Aku kembali menghirup nafas dalam dan menyembunyikan wajahku dicengkuk leher Arka. Rasa takutku mulai menguap saat hatiku berulang kali membisikan nama Arka. Tapi itu membuatku kini gugup setengah mati karena rasa malu. Apalagi saat Arka mulai melumat kulit leherku sementara pinggulnya terus bergerak.

Bolehkah jika aku menjerit seperti perawan yang akan kebobolan dimalam pertamanya saat ini? Sungguh jantungku serasa akan meledak.

Arka menjauhkan tubuhnya sementara kakinya mengurung berada dikedua sisi pahaku. Aku memandangnya dengan H2C -harap-harap cemas- semantara dia menanggalkan kaus tipisnya.

Mataku membelalak melihat tubuh Arka yang topless. Sudah berapa lama aku tidak melihat tubuh Arka, dan kini rasanya tubuh itu terlihat... emh menggiurkan. Tanpa sadar tanganku terulur menyentuh ABSnya.

"Sepertinya kau sudah benar-benar siap." Ujar Arka yang membuatku kaget.

Aku mendongak dan mendapati Arka tengah menyeringai kearahku. Wajahku yang memanas segara kututupi dengan kedua tanganku, yang membuat tawanya seketika meledak.

"Sikapmu manis sekali, Nial."

Dengan kasar Arka menyingkirkan tanganku dari wajah dan menciumku. Bibirnya meraup bibirku layaknya meraup es krim dan melumatnya kasar. Saat berciuman aku memutuskan agar terus membuka mata karena takut terbayang Kai. Tapi ciuman Arka yang memabukan membuatku memejamkan mata juga.

Aku membuka mulut saat Arka menggigit bibir bawahku. Lidahnya segera melesak masuk dan mengobrak abrik seluruh isi mulutku. Mengajak lidahku untuk bergulat yang tentu saja akan di menangkan lidahnya.

"Engghh.." Aku mengerang saat ciuman Arka berpindah kedagu dan leherku lalu menggigitnya. Sementara tangannya menyingkap bajuku dan melepaskannya.

"A-aanghh!" Tubuhku membusur saat dua buah jempol Arka mendarat diatas kedua putingku dengan tangan yang memegang sisi tubuhku. Jempolnya menekan dan bergerak memutar yang menghantarkan sengatan listrik kenikmatan. Sementara lidahnya terus mengeksplor permukaan kulit leherku.

Ciuman Arka turun dari leher ke dada. Lidahnya bergrilya didadaku yang kemudian menuju salah satu putingku. Menjilatnya yang kemudian mengulum membuatku kembali menggelijang. Kucengkram rambut Arka dan berniat menjauhkan kepalanya. Tapi putingku yang lain dicubitnya gemas.

"Aah! S-stop... nggh Arka! Aku sulit bernafas." Ucapku susah payah.

Entah kenapa sensasinya sangat berbeda seperti yang dulu aku alami. Atau kali ini aku yang terlalu sensitif? Bukannya menuruti perkataanku, Arka justru menggigit gemas putingku dengan giginya sementara jarinya menjepit putingku yang lain dengan keras

"Aaangghh."

Aku menjerit tertahan akan sensasi sakit dan nikmat yang muncul bersamaan. Tanganku yang masih mencengkram rambut Arka untuk menjauhkan kepalanya dari dadaku, justru gemetaran. Arka menyesap puting susuku layaknya bayi yang menyusu.

"Aah!!" Lagi, aku menjerit kaget merasakan remasan di selangkanganku. Tangan Arka yang lain meremas-remas penisku dari luar. Merangasang ereksiku semakin menjadi. Aku mendesah keenakan.

Kedua tangan arka melepaskan celana piyamaku dan melemparnya asal. Lidahnya mulai turun keperut dan menjilati lubang pusarku. Meninggalkan kissmark hampir di setiap bagian yang dia jejaki dengan lidahnya.

Aku mencengkram rambut Arka dan mengerang tertahan saat menjilat penisku yang basah dengan cairan precum. Tangan Arka menaikan kakiku ke pundaknya. Menjilati penisku sebelum akhirnya aku merasakan rongga mulutnya yang hangat menyelimutiku.

"Nggh... A-Arkaah!"

Lidahnya memainkan kepala penisku didalama mulutnya. Menaik turunkan kepalanya dengan tangannya yang memainkan dua buah zakarku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mendesah dan tanpa sadar menekan kepala Arka.

Mulutnya sungguh hangat. Menjepit dengan rongganya dan menyedot penisku kuat-kuat membuatku mendesah keenakkan.

Aku memandang Arka yang tengah mem-blow job-ku. Melihat bagaimanan bibir itu bergerak dengan lidahnya. Menahan erangan saat dia mulai menaik turunkan kepalanya. Merasa takjub saat kelopak mata itu terbuka menampilkan emerald gelap yang sedang melirikku.

"U-uuh..."

Aku mengangkat pinggulku saat merasakan jari Arka menusuk-nusuk lubang anusku. Melesakan dua jarinya sekaligus yang membuatku memekik sakit. Arka segera melepaskan penisku dari mulutnya.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya panik sementara jarinya masih berada didalam karena aku menahan tangannya agar tidak bergerak.

Aku mengangguk meski masih meringis nyeri. Tidak berani bergerak banyak karena rasanya lumayan perih. Tentu saja perih karena dengan teganya Arka melesakan jarinya tanpa pelicin apapun!

"Maafkan aku, Nial."

Dijilatnya air mataku yang entah sejak kapan mengalir. Tangannya yang lain menyangga punggungku agar terus dalam posisi setengah duduk. Arka terus mengecupi setiap inci wajahku untuk membuatku tenang, karena kurasakan aku mulai gemetaran kembali.

Bibirnya meraup bibirku yang terus mengeluarkan rintihan lirih. Beberapa saat aku tidak merespon ciuman Arka sampai pria itu memasukan lidahnya kedalam mulutku dengan mudah. Menggoda lidahku untuk membalas setiap pergerakan lidahnya. Tidak cukup lama sampai aku melepaskan tanganku dari tangan Arka dan memeluk lehernya. Membalas ciumannya yang mulai kembali liar.

"Mmmhhn... nghh..."

Erangan meluncur disela ciuman kami saat jari Arka yang berada di anusku mulai bergerak maju mundur. Bergerak zig-zag atau pun seperti gunting untuk mempersiapkan sesuatu yang lebih besar nanti masuk kedalamnya.

Arka melepaskan ciumannya agar erangan tertahanku sukses meluncur dengan lancar. Jarinya mulai bergerak cepat dan liar saat berhasil menemukan prostate dan tangannya yang ada di punggungku pindah meraih penisku. Mengocoknya, membuat semakin gencar mendesah dan mengerang seraya memanggil namanya.

"Arkaa... ah Ahrrkaah... Arkaah... "

"Terus panggil namaku Nial."

"Arka... nggh aah aah... Arka!"

Tanganku mencengkram sprei dan kurasakan perutku melilit. Nama Arka menggaung saat aku mencapai orgasmeku. Membuatku terkulai lemas dengan sendi-sendi yang terasa copot.

Aku melirik suamiku saat merasakan pergerakan diranjang. Arka mengambil pelumas di laci. Aku menutup mataku dengan punggung tangan karena terlalu malu melihat apa yang sedang dilakukan Arka. Nafasku masih terputus-putus.

"Singkirkan tanganmu, Nial." Perintah Arka yang langsung kupatuhi.

"A-apa ini adil?" Tanyaku menghentikan pergerakannya sejenak.

"Adil apa?"

Aku mendesah pelan saat merasakan penis Arka membuat gerakan melingkar di sekitar lubangku. Merasakan dinginnya pelumas yang melumuri di sana.

"Kau... unggh! Sudah membuatku klimaks. Bagaimana jika aku kelelahan terlebih dahul-Ahg! Stop!!" Aku menahan perut Arka saat mulai merasakan sakit.

Sial! Seingatku dulu tidak sesakit ini.

"Tidak apa-apa. Aku masih bisa menggahimu meski kamu dalam keadaan pingsan."

Aku memelototi Arka dan mencubit perutnya. Tapi pria itu justru malah mendesah seksi. Membuatku tanpa sadar mengencangkan dinding-dinding anusku dan menjepit penis Arka. Pria itu sekarang justru mendesis.

"Nial... " panggil Arka dengan suara seraknya. Sepasang emeraldnya menatapku intens.

Belum sempat aku menjawab panggilan Arka, pria itu segera menghentakan pinggulnya. Memasukan sisa penisnya secara paksa kedalam. Membuat jerit pilu meluncur dariku. Bayang-bayang Kai kembali bermunculan di dalam kepalaku.

"Nial... Nial... Nial..." Arka terus menerus memanggil namaku dan menciumi seluruh wajahku. Menghilangkan kembali bayangan Kai yang mulai bermunculan. Memandang suamiku yang kini tengah memandangku cemas.

Bibirku mengulum senyum sebelum mengulurkan tanganku dan menariknya. Mendekapnya erat, merasakan diriku yang penuh karena Arka.

"Aku merasa lengkap." Bisikku di telinganya.

Kedua tanganku mengait di leher Arka sementara kakiku mengunci pinggulnya. Arka pun mendekapku, membuat tidak ada celah sedikitpun diantara kami.

"Aku pun begitu." Balasnya berbisik di telingaku.

Pria itu sedikit menjauh agar dapat memandang wajahku. Bibirnya membentuk seringaian yang sangat mempesona bagiku."Ayo kita berikan adik untuk Gabriel dan Gilliant."

Pinggul Arka mulai bergerak secara perlahan. "Tapi aku tidak- aah. Aku tidak dapat mengandung."

Arka mulai mempercepat gerakannya. "Kau tidak perlu mengandung. Cukup melayaniku 50 kali dalam seminggu maka kau sudah mendapatkan satu lagi malaikat kecilmu."

"AP-AAH!" Aku yang berniat berteriak kaget justru mendesah kaget.

Arka menyeringai puas saat dengan cepat segera menemukan titik nikmatku. Gerakannya semakin cepat dan menusuk mantap. Tidak membiarkanku untuk berpikir dengan jernih karena kepalaku mulai mulai blank. Arka ikut mendesah berat mengiringi setiap pergerakannya.

"Bagaimana, Nial? Kau mau?"

Aku tidak memperdulikan kata-kata Arka karena fokusku hanya kepada satu titik. Atau mungkin dua karena tangan Arka kini ikut serta untuk memuaskan penisku. Membuatku hanya bisa mendesah dan mencengkram spreiku.

"Nial, kau mau tidak?"

Lagi, aku tidak menjawab pertanyaanku. Perutku mulai terasa melilit menandakan aku akan datang. Tapi dengan teganya Arka justru menghentikan pergerakannya. Dan itu sungguh sangat menyiksa.

"Kenapa kau berhenti?!" Sungguh suaraku seperti orang yang sudah putus asa.

"Karena kau tidak menjawabku." Jawabnya santai. Peluh membanjiri seluruh tubuh Arka dan nafas memburu keluar dari mulut dan hidungnya.

"Ck! Iya, bahkan aku akan melayanimu setiap waktu sampai kau- Ahh!! Aah... terus! Faster... Harder... Aah aah Arkaaahhh!!"

Tidak butuh waktu lama hingga aku mencapai klimaksku. Tapi sayangnya tidak dengan Arka, karena pria itu masih terus saja bergerak. Membuatku yang semula lemas, mulai kembali terserang gelombang-gelombang kenikmatan.

Arka meraih kedua kakiku dan menaikan kepundaknya. Mempercepat gerakan pinggulnya semakin dalam sementara aku meraih lengannya untuk berpega-

BRAK!!!

"Arka!! Zein bilang kau sedang saaarrr-"

Aku membelalak kaget saat tiba-tiba pintu menjeblak terbuka menampilkan Fredy yang mematung di ambang pintu. Pergerakan Arka dan aku pun terhenti bersamaan. Wajahku sontak memanas, dan merasa panik. Berharap Arka melepaskanku untuk sekedar meraih selimut.

Brengseknya, suamiku itu justru menoleh kebelakang sejenak melirik Fredy tanpa menyudahi aktivitasnya. Bibir Arka menyinggungkan senyuman.

"Biarkan saja dia." Bisik Arka di depan wajahku dan makin menghetakan kasar hingga tubuhku terguncang. "Bukankah makin menggairahkan ketika ada yang menonton."

Arka menjilat dan mengulum daun telingaku. Salah satu tangannya kembali meraih penisku yang kembali ereksi. Mengurutnya perlahan sebelum mengocoknya. Sukses membuatku tidak memperdulikan kehadiran Fredy.

"BRENGSEK KAU ZEIN!!! TEGANYA KAU MENGOTORI OTAKKU DENGAN PEMANDANGAN YANG SEPERTINYA NIKMAT!!"

BRAK!!

Dan pintu kembali tertutup membiarkanku dan Arka melanjutkan kesenangan kami.

***

Sudah seminggu si kembar tinggal dirumah ini. Dan sudah dua kali Fredy datang kerumah kami untuk sekedar bermain dengan si kembar. Pria berkulit gelap itu sangat menyayangi kedu buah hati kami. Fredy lebih dekat dengan Gabriel dibandingkan dengan si cantik Gilliant, karena gadis itu lebih senang dengan ayahnya. Hanya saja itulah yang kukhawatirkan. Dekat dengan Arka.

"Mama! Mama! Aku sudah bisa menguliti dengan benar. Lihat!!" Gillian kecil menggenggam leher seekor binatang yang kuyakini tupai. Mengerikannya adalah hewan manis itu sudah bersimbah darah. "Papa akan mengajari caranya menjahit kulit besok."

Aku menatap ngeri gadis kecilku yang perlahan menjelma sebagai psychopat seperti ayahnya. Aku yang sedang memasak, segera mematikan kompor gas dan berjongkok di hadapannya. Arka sudah keterlaluan!

"Gil, kau... tidak boleh menuruti ajaran papamu seperti ini."

Kuambil bangkai tupai ditangannya dan meletakannya di wadah kosong. Mengambil lap bersih dan membersihkan kedua tangan dan wajahnya yang berlumuran darah. Jangan lupa baju berwarna peachnya kini bercorak cipratan darah.

"Kenapa? Kata papa suatu hari aku bisa mengebiri pria yang menjahatiku." Aku menganga mendengar perkataan putriku. "Tapi ma, kebiri itu apa?"

Aku segera bangkit berdiri. Membuka bupet diatas rak piring dan mengambil selusin pisau potong yang didesain Fredy khusus untukku. Tidak lama aku mendengar suara Arka yang memasuki dapur.

"Gilliant, kamu dimana. Ingat jangan beritahu mamamu so-UAAH!!"

Arka yang baru muncul memasuki dapur segera merunduk menghindari sebuah pisau yang terlempar kearahnya.

"Kau hampir membunuhku, Nial." Seru Arka.

Aku hanya tersenyum manis kearahnya dengan sebelas pisau yang masih kugenggam. Sudah setengah tahun Fredy mengajariku caranya melindungi diri. Salah satunya dengan lempar pisau ini.

Arka meneguk ludah saat matanya mendapati Gilliant yang berdiri di sampingku.

"Sudah kubilang jangan mengajari Gilliant akan hobi anehmu!" Kulempar dua pisau bergantian secara cepat kearahnya.

Arka segera berlidung dengan berjongkok di sebrang meja makan.

"Aku tahu maafkan aku!" Kulihat Arka mengintip dari balik meja dan segera berjongkok lagi saat aku kembali melempar pisau. Kini dua pisau berhasil menancap di lemari guci dan dua lainnya sukses memecahkan kaca lemari itu. "STOP!! Dilarang KDRT di depan Gilliant, Nial." Teriak Arka dari bawah meja.

"Aku tidak peduli! Akan kuajari sekalian Gilliant mengebiri dengan sebagai contoh kau yang akan ku kebiri..."

Aku bungkam saat melihat Fredy dan Zein membatu di ambang pintu dapur. Fredy sedang menggendong Gabriel dengan satu tangan sementara tangan lainnya menutup mata Gabriel. Sedang Zein menutup kedua kuping Gabriel dengan tangannya.

"Keluarga yang tidak normal." Gumam Fredy yang diangguki Zein.

"Uncle Fredy!" Gilliant bersorak girang dan berlari menghampiri pria berkulit gelap itu. Menarik-narik celana Fredy untuk meminta perhatian. "Papa baru saja mengajariku menguliti binatang hidup. Dan sekarang mama mau mengajariku mengebiri papa."

Perkataan itu diucapkan oleh Gilliant dengan nada polosnya. Membuatku menyengir saat Fredy men-death glareku dan Arka bergantian. Yah, sepertinya keluarga kami memang tidak normal.

"Nanti kalau aku sudah mengerti caranya aku bolehkan mengebiri uncle Fredy?"

[The End]

Kalau ada bocah kayak Gilliant itu mengerikan.. (*¯︶¯*)

Huaaaa Nao nggak rela pisah sama Nial *peluk Nial erat*
Tapi apa daya bagianmu cukup di sini TT^TT

Udah ya... meski akhirnya aneh Nao harap kalian suka XD

Terimakasih sudah membaca, dan fanvotment cerita ini sampai akhir ≧﹏≦
Maaf kalau banyaj kekurangan ya...

Bye... sampai jumpa lagi di cerita lain~
♥♥♥♥♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top