Spesial Epilog [01]
Nao nggak tau ini bisa di sebut epilog apa nggak. Tapi ya dari pada nggak ada sama sekali.
Selamat membaca~
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Loving You! Spesial Epilog:
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Aku mengerjabkan mataku saat merasakan tepukan berkali-kali dipipiku. Disusul suara Arka yang memanggilku. Namun saat aku sudah sadar sepenuhnya, pandanganku masih blur. Terasa basah diujung mata dan menyadari bahwa aku menangis. Nafasku tersengal-sengal dengan peluh yang membanjiri kening dan leherku.
Ibu jari Arka menyeka air mata yang berada dipelupuk kelopak mataku, membuatku harus kembali terpejam sejenak. Dan saat aku membuka mata, pandanganku kali ini nampak lebih jelas. Arka tengah memandangku cemas.
"Kau mimpi buruk lagi?"
Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku hanya menganggukan kepala sebagai jawabanku. Sudah hampir setengah tahun aku memimpikan kejadian buruk yang menimpaku sekitar setengah tahun yang lalu. Kejadian tentang kakak tiriku, Kai, memperkosaku . Dan sudah sebulan aku tidak kembali memimpikannya sampai malam ini.
"Sstt… tenanglah, aku di sini."
Arka membawaku kedalam pelukannya dan mendekap erat. Tangannya yang ada dipunggungku mengusap-usap memberikan ketenangan. Meski kutahu setelah ini aku tidak akan bisa kembali tidur.
"Jam berapa sekarang?" Suaraku bahkan masih terdengar parau dan bergetar.
Arka bergerak dan mencari sesuatu di balik tubuhnya. Sebuah cahaya lain muncul dari layar ponsel Arka. "Pukul lima pagi kurang tujuh menit."
Menghela nafas, aku berusaha mendorong tubuh Arka dan melepaskan diri. Namun baru saja aku bangkit duduk, tangan Arka segera mencekal lenganku. Matanya menatapku tajam sebelum berkata,
"Tidurlah lagi. Aku tidak ingin kau sakit seperti waktu itu karena kekurangan tidur."
Aku hanya diam, dan berusaha melepaskan tangan Arka dengan tanganku yang lainnya. Tapi pria itu justru semakin mencengkram erat. Dan saat aku mengacuhkan peringatannya, Arka segera menarik lenganku dan membanting tubuhku kasar.
Aku meringis karena kepalaku terantuk kepala ranjang. Mataku segera membelalak begitu mendapati beban menimpaku. Arka menindihku, sementara kedua tangannya menahan tanganku. Posisi ini membuat nafasku tercekat.
"Aku hanya ingin kau tidur, apa susahnya sih?"
Kilasan-kilasan kejadian waktu itu membuatku kembali gemetar. Mengingat bagaimana Kai dengan kasarnya mencium bibirku. Bagaimana tangannya yang besar itu menampar wajahku karena menggigit lidahnya.
"Nial… kau baik-baik saja?"
Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Nafasku tercekat. Menbuatku sulit bernafas seperti waktu Kai mencekik leherku saat membuka bajuku paksa. Menimpa tubuhku seperti ini agar aku tidak begitu banyak meronta.
"Nial."
Lepaskan aku! Aku tidak ingin lagi. Tidak ingin merasakan saat giginya menggigit kulitku tanpa ampun. Aku tidak ingin lagi merasakan jarinya yang dengan kasar melesak masuk.
"Nial!"
Aku memejamkan mataku dan mulai bergerak gelisah. Berusaha meronta. Aku tidak suka saat jari-jari itu bergerak kasar didalam tubuhku. Sakit saat dia melesak masuk dengan kasar. Aku tidak mau. Aku ingin berhenti!!
"NIAL!!"
Aku membuka mataku saat mendengar namaku di teriakan. Arka menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Memandangku cemas sekaligus pilu.
Dengan lembut, dikecupinya setiap inchi wajahku. Kurasakan tubuhku masih bergertar dan nafasku tersengal hebat. Tanganku mencengkram kaos dibahu Arka.
"Kumohon… berhentilah. Aku tidak tega melihatmu seperti ini." Bisiknya dengan suara bergetar.
Bukannya berhenti aku justru semakin terisak. Kurengkuh tubuh Arka dengan kedua tanganku. Mencengkram bahunya untuk mencari pegangan.
"Aku takut… aku sungguh takut." Isakku.
"Ssst… aku disini. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan melindungimu."
Tangan besarnya menyingkap poni yang menutup dahiku lalu mengecup lembut. Berpindah ke hidung lalu ke kedua pipiku. Arka belum berani menyentuh bibirku, karena akan membangkitkan rasa traumaku. Sudah setengah tahun sejak kejadian itu dia tidak pernah menyentuhku.
"Pergilah mandi untuk menenangkan pikiran." Bisiknya lalu bangkit melepaskanku.
Tanpa membuang waktu aku segera bangkit dan turun dari ranjang. Melangkah cepat menuju kamar mandi. Saat menutup pintu aku segera bersandar dan menarik nafas lega. Duduk dilantai dengan memeluk lutut.
Setengah tahun aku tinggal bersama Arka setelah kejadian itu. Rumah ini pun baru saja selesai dibangun di tempat yang sama beberapa minggu lalu. Hubunganku dengan Arka sudah mulai semakin dekat dan saling mengerti satu sama lain. Tapi kutahu tidak menjadi lebih baik dari dulu.
Aku mengusap wajahku frustasi. Merasa takut jika Arka akan meninggalkanku karena masalah ini. Bagaimanapun aku tidak mungkin membiarkan Arka tidak menyentuhku selamanya. Tapi… bisakah semua mimpi buruk ini dapat terhapus?
[[=●︿●=]]
Aku tersenyum saat tangan Arka menggenggam tanganku lembut. Hari ini kami pergi keluar untuk berjalan-jalan menghilangkan raaa jenuhku. Setelah sibuk selama beberapa hari akhirnya Arka dapat meluangkan waktunya seharian untukku. Membuatku menjerit girang karena dia bilang akan mengajakku kencang.
"Kita mau kemana?" Tanyaku penasaran.
Arka terkekeh. "Kau sudah menanyakannya untuk yang ketujuh kali… dan jawabanku tetap sama, Ra-ha-si-a."
Aku mengerucutkan bibirku dan menyenderkan kepalaku di pundaknya. "Habis aku penasaran." Gumamku.
Arka hanya ber-hn dan tangan lainnya mengusap puncak kepalaku. Sementara tangannya yang masih menggenggam tanganku meremas beberapa kali. Kulirik Zein yang berada di kursi kemudi di depan sana. Pria itu mengenakan earphone-nya dengan sesekali menganggukkan kepala. Lalu pandanganku beralih keluar jendela.
"Lucunya!" Seruku tiba-tiba saat tidak sengaja menangkap seorang ibu menggandeng dua anak kembar di trotoar jalan.
"Apa?" Arka yang di sampingku bertanya.
Aku menjauhkan tubuh darinya dan duduk tegap menghadapnya. "Tadi aku melihat seorang ibu menggandeng anak kembar. Lucu sekali! Kalau aku perempuan, aku pasti akan punya anak seperti mereka." Seruku. Lalu merona saat menyadari kalimat terakhirku.
"Untung saja kau bukan perempuan." Tanggap Arka setelah mendengus.
"Huh? Kau tidak suka anak-anak?"
"Tidak. Mereka merepotkan."
Aku menggigit bibir bawahku dan menunduk. Kembali menyadarkan kepalaku di pundak Arka dan memutuskan untuk diam saja.
Sedikit miris saat mendengar perkataan Arka tadi. Apa dia sebegitu tidak sukanya dengan anak-anak sampai tidak berniat memiliki anak dariku jika aku perempuan. Itu seolah dia memerintahkanku menggugurkan kandungan, menyuruhku membuang jauh-jauh akan anganku tentang anak kecil yang berkeliaran di rumah kami.
Aku menghela nafas dan berusaha menetralkan sesak didadaku. Mengalihkan pikiranku pada tempat yang akan Arka tuju. Tapi tetap saja rasa menyesakan di dada masih kurasakan.
Sekitar dua jam kami belum sampai juga di tempat tujuan. Membuatku lelah duduk berdiam diri dengan rasa penasaran. Karena kupikir perjalanan kami masih lama aku memutuskan untuk memejamkan mata sejenak.
Namun, dirasa baru beberapa menit terlelap kurasakan guncangan di bahuku. Suara Arka yang memanggil-manggil namaku terdengar tepat ditelingaku.
"Kita sudah sampai." Ucapnya dan tersenyum lembut.
Aku menguap dan mengusap mataku yang terasa lengket. Arka mengulurkan tangannya dari luar. Kusambut ulurannya dan mulai melangkah keluar dari mobil. Suara riuh mulai tertangkap indra pendengaranku.
"Ini… bazar?" Tanyaku seraya mengernyit. Kukucek lagi mataku barangkali aku berhalusinasi. Tapi pemandangan didepanku tidak berubah. Banyak orang dan stand-stand yang berjejer di sebuah tanah kosong.
Aku menoleh dan menatap Arka heran. Kuharap Arka mengerti akan tatapan mataku yang meminta penjelasan. Tapi suamiku itu hanya tersenyum tipis. Tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Ayo!" Ajaknya seraya menggandengku.
Aku masih tidak percaya jika Arka membawaku kesebuah bazar. Aku menoleh kebelakang dan tidak menemukan mobil kami. Mungkinkah Zein membawanya ketempat parkir?
Suasana disini sangat ramai dengan anak muda dan para keluarga. Tidak jarang aku mendapati sebuah keluarga kecil yang lengkap. Sepasang suami istri berserta anak-anak mereka.
Bibirku mengulum senyum melihat pemandangan itu. Dan mataku terus begerak mencari-cari sosok kecil yang sangat menggemaskan. Banyak anak kecil yang berkeliaran bersama orang tuanya membuatku berjalan tidak memperhatikan arah karena memperhatikan mereka. Dan itu menyebabkan aku menabrak orang beberapa kali.
"Perhatikan jalanmu." Ujar Arka dan memeluk bahuku. "Aku tidak suka kau dipelototi dan dibentak orang lain karena kesalahanmu."
Aku terkekeh mendapati sikap Arka ini. Beberapa orang memperhatikan kami berdua dengan berbagai macam pandangan. Tapi tidak sedikit juga yang cuek.
Mataku kali ini menangkap kedai crepes yang menguarkan aroma menggiurkan. Kutusuk-tusuk lengan Arka dipundak dengan jariku. Saat dia menoleh kearahku, aku segera menunjuk maksudku.
"Ok!" Tanggapnya dan membawaku menghampiri kedai itu.
"Kau mau rasa apa?"
"Strowberry coklat."
Arka memesan dua crepes ukuran sedang dengan rasa yang kuinginkan dan rasa choco banana untuk dirinya. Tangan Arka masi bertengger di pundakku dengan protektif. Dari pada disebut bazar mungkin ini seperti pasar malam, hanya saja di sore hari.
Crepesku matang terlebih dahulu yang kuterima dengan senang hati. Belum sempat kulahap crepesku, aku merasakan celanaku ditarik-tarik. Kulihat seorang gadis kecil berambut ikal yang dikuncir dua disebelah kakiku.
Matanya memandangku dengan tatapan memelas. Aku membungkuk dan bertanya pada gadis kecil itu.
"Ada apa sayang?"
Gadis itu tidak langsung menjawab. Tangannya masih menggenggam celanaku dan kepalanya mulai menoleh kikiri dan kekanan. Menggemaskan sekali!!
"Fay ingin mom."
Aku melongo sejenak tidak mengerti ucapannya. Sebelum akhirnya kusadari jika anak ini anak hilang.
"Namamu Fay?" Gadis kecil itu mengangguk imut. "Kau datang bersama ibumu dengan apa?"
"Dengan Dady." Jawabnya polos. Padahal yang kumaksud dia naik kendaraan umum atau kendaraan pribadi ayahnya.
"Dadymu membawa mobil?" Fay mengangguk lagi. "Kau ingat dimana mobilnya berada?" Dan Fay menggeleng.
Aku melihat Fay tidak tega. Apa di acara seperti ini ada bagian informasi anak hilang? Aku tidak mungkin membiarkan anak semanis dirinya begitu saja. Aku berdiri tegak dan berbalik menghadap Arka. Pria itu kini sedang bersedekap dengan crepes ditangannya.
"Jangan berpikir untuk mencari orang tua anak ini." Potongnya padahal aku baru saja membuka mulut. "Aku tidak mau repot karena anak kecil."
Aku menatap Arka dengan pandangan tidak percaya. Bagaimana bisa dia berkata sekejam itu. Sebal, aku menghentakan kaki dan berbalik. Kuberikan crepes pada Fay, dan menggendong gadis kecil itu.
"Aku akan membantumu mencari mom." Senyuman riang muncul di wajah Fay, yang membutku menjerit girang dalam hati. "Biarkan kakek itu sendiri jika tidak mau membantu."
Kulirik Arka yang tengah menganga tidak percaya karena kalimat terakhirku. Lalu memalingkan wajahku cuek dan melangkah meninggalkannya. Tapi baru saja beberapa langkah, kurasakan cekalan dilenganku.
"Ok! Kita cari orang tua sialan anak ini." Sungut Arka yang segera kupelototi.
Arka menyerahkan crepesnya pada Fay lalu mengambil Fay dari gendonganku. Setelah Fay berada digendongannya, Arka mengambil crepes milikku dan menyodorkannya padaku.
"Itu milikmu, biar Fay makan punyaku." Ucapnya.
Aku mengulum senyum senang. Arka menggendong Fay ditangan kanannya. Tangan kirinya meraih tanganku dan digandengnya. Melihat keadaan kami seperti ini membutku berpikir kami sudah seperti keluarga yang lengkap.
"Namaku Arka, jadi kau tidak perlu memanggilku kakek karena aku tidak setua itu." Aku hampir saja tertawa terbahak mendengar penurutan Arka, tentu saja kutahan. "Dan dia Nial, istriku. Kami akan bantu cari orangtua mu dengan berkeliling. Jadi beritahu kami jika kau melihat orang tuamu."
Fay menganggukkan kepalanya dan tersenyum. "Thanks Arka."
"Ucapkan nanti setelah kita temukan orang tuamu." Kulihat Arka tersenyum.
Mungkin Arka tidak sebenci itu terhadap anak kecil.
Kami mulai berkeliling seraya melihat-lihat. Fay melahap crepes Arka dengan senang hati. Sementara aku melahap crepesku dengan sedikit kecewa. Crepesnya sudah dingin.
"Kenapa Nial jadi istrimu? Diakan sama-sama pria sepertimu."
Aku tersedak mendengar ucapan bocah berumur enam tahun di gendongan Arka. Arka menepuk bahuku dan menjawab.
"Karena aku mencintainya."
Kutolehkan wajahku dengan cepat menatap Arka. Wajahku sontak memanas saat ternyata Arka juga tengah menatapku. Dengan gugup kupalingkan kembali wajahku dan menggigit crepesku. Tapi tanpa kuduga Arka menarik daguku mendongak dan mendekatkan wajahnya.
Aku menahan nafas saat wajahnya semakin mendekat. Jantungku berdegup kencang, tidak menyangka bahwa Arka akan menciumku ditempat umum. Kuputuskan menuruti keinginannya dan melepaskan gigitanku pada crepes lalu memejamkan mata.
Tapi beberapa detik berlalu aku tidak merasakan apapun dibibirku. Membuatku memutuskan membuka mata dan mendapati Arka tengah mengunyah sesuatu dan tersenyum tertahan. Aku mengernyitkan alisku heran.
"Crepesnya enak." Ucapnya.
Kutundukan wajahku dan melihat crepes digenggamanku yang sudah berkurang banyak. Wajahku kembali memanas saat menyadarinya. Astaga kukira Arka akan menciumku tadi.
"Mengharapkan sesuatu, heh?" Godanya dengan seringaian.
Dengan kesal aku memukul lengannya. Sial! Dia mempermainkanku. Tapi bukannya mengaduh kesakitan Arka justru tertawa.
"Apa Nial mengira kau akan menciumnya, Arka?"
Aku menganga lagi karena kalimatnya. Bocah ini tidak pantas untuk mengeluarkan kalimat semacam itu!!
"Mungkin. Karena sudah lama aku tidak menciumnya."
"Oh, dia merindukan ciumanmu!"
Dan mereka tertawa bersamaan. Aku merasa dipermainkan oleh dua orang ini. Wajahku terasa panas karena kesal dan malu.
"Aku tidak pernah!" Kilahku dan berjalan meninggalkan mereka berdua. Aku menghiraukan panggilan Arka dan terus berjalan. Tapi kalimat yang meluncur dari Fay membuatku lagi-lagi membeku.
"Momy Nial! Maafkan aku, kumohon momy jangan marah."
Aku berbalik dan mendapati Arka tengah menghampiriku dengan Fay digendongannya. Beberapa orang melihatku karena ucapan lantang Fay tadi.
"Momy juga akan memaafkan Dady kan?" Pinta Fay memelas dan melingkarkan tangan kecilnya dileher Arka.
Apa maksud Fay? Kenapa dia memanggilku dengan sebutan Momy?! Dan apakah yang dimaksudnya Dady itu Arka?!
"Kau jangan ngambek dong." Arka mengusap pipiku dan mendaratkan bibirnya di pipiku yang lain.
Wajahku pasti sekarang sudah seperti kepiting rebus. Ditambah lagi banyak orang yang memandang kami. Aku menundukan kepalaku dan berdoa agar jantungku tidak meledak karena berdetak terlalu kencang. Kurasakan tangan Arka kembali menggenggam tanganku.
"Momy mau kan memaafkan kami?" Ucap Fay lagi.
Aku mendongak dan mendapati Fay dan Arka menatapku dengan pandangan memelas. Apakah mereka sedang bersekongkol?
"Ya, aku memaafkan kalian." Anggukku.
Mereka berdua bersorak girang lalu tos bersama. Melihatnya membuatku kembali mengulum senyum. Mungkin seperti ini jika keluarga kami lengkap.
•••
"Sekali lagi terimakasih banyak. Maaf telah merepotkan." Ucap pasangan suami istri itu untuk kesekian kalinya.
Aku tersenyum dan berkata 'tidak apa-apa' sementara Arka terlihat cuek dibelakangku. Akhirnya setelah dua jam berkeliling seraya jajan dan berbelanja kami menemukan orang tua Fay. Dan mereka mengucapkan terimakasih berkali-kali.
"Bye Momy Nial! Bye Dady Arka!" Teriak Fay saat dibawa pergi orang tuanya dengan digendong ibunya.
Orang tua Fay nampak terkejut mendengar teriakan Fay lalu menoleh dengan tatapan tidak enak. Aku membalas dengan tersenyum dan Arka memeluk pundakku. Lalu seolah sadar mereka pun tersenyum dan menganggukan kepala. Ayah Fay tersenyum dan mengacak rambut Fay gemas, ibu Fay tertawa dan mencium pipi anaknya. Sementara Fay masih melambaikan tangannya yang dibalas olehku dan Arka.
"Fay manis sekali." Gumamku.
"Kau mau?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan bernada dingin dari Arka. Lalu melingkarkan tanganku dipinggangnya.
"Ayo pulang. Aku sudah lelah dan hari sudah gelap." Ajakku.
Aku mendengar Arka mendengus. "Padahal kerjamu hanya jajan dan berbelanja dengan Fay. Tidak menggendong bocah dan belanjaan sepertiku."
Sebuah tawa kembali meluncur dibibirku. Kulingkarkan tanganku yang satu lagi diperut Arka dan memeluknya erat. Arka balas mendekapku dan mencium puncak kepalaku.
"Aku sangat suka kencan kali ini. Terimakasih."
"Untukmu, apapun akan kuberikan. Kecuali perpisahan."
Aku tersenyum dalam pelukan Arka. Mungkin aku harus menghilangkan rasa takutku untuk Arka. Aku tidak mungkin selamanya membiarkan Arka tidak menyentuhku.
•••
Aku mengerjabkan mataku saat mendengar dering alarm. Lalu mengucek mataku dan bangkit bangun. Aku mengernyit saat tidak mendapati Arka di sampingku. Tidak biasanya dia bangun dan meninggalkanku tanpa membangunkanku terlebih dahulu.
"Arka?" Panggilku dan berharap Arka ada di dalam kamar mandi.
Tapi tidak ada balasan dari dalam maupun suara guyuran air. Aku memutuskan turun dari ranjang dan mencari suamiku. Melangkah keluar kamar dan mencarinya kebawah.
Suasana masih sepi karena para pelayan belum pada datang. Aku melangkah dan memanggil-manggil Arka, mencari keberadaannya kesuluruh penjuru rumah. Tapi tetap saja nihil.
Rasa takut kembali menyergapku. Apakah Arka kesal karena semalam lagi-lagi aku menolaknya. Memikirkan itu kedua mataku terasa panas dan berair. Pandanganku mulai blur dan hatiku mulai berdenyut sakit.
Padahal kami akhirnya bisa saling mencintai. Tapi aku tidak dapat memenuhi keinginan Arka yang menjadi tanggung jawabku. Aku terisak tertahan dan memutuskan kembali kekamar sebelum ada pelayan yang datang dan melihatku.
Aku mengusap air mataku yang mulai tidak dapat kubendung dipelupuk mataku. Mungkin Arka mulai bosan menungguku selama setengah tahun ini. Batinku miris dan membuka pintu kamar.
"MAMA!!!"
Aku terkejut saat ada dua bocah yang menghambur memelukku begitu membuka pintu kamar. Mereka memelukku erat dan tersenyum senang kearahku. Siapa mereka?
Dua bocah itu memiliki rambut berwarna hitam dan sepasang iris emerald. Kusadari keduanya kembar dengan berbeda gender. Aku menatap mereka bingung yang masih saja memeluk pahaku.
"Bagaimana kau suka?"
Aku mendongak begitu mendengar barithon suara itu. Arka tengah tersenyum kearahku diambang pintu kamar mandi.
"Siapa mereka?" Tanyaku heran sekaligus gemas dengan dua bocah yang enggan melepas pahaku.
Bocah yang bergender perempuan dengan rambut lurus sebahu, memandangku dengan kedua bola mata besarnya yang indah. Sementara bocah bergender laki-laki bergelayut manja.
"Papa bilang, kau yang akan menjadi mama kami. Mama adalah mama kami sekarang." Ucap bocah perempuan itu.
Air mata yang sempat hilang kini kembali bergenang dipelupuk mataku. Aku berjongkok menyamakan tinggiku dengan mereka. Lalu memandang mereka dengan pandanganku yang mulai kabur.
"Papa bilang mama membutuhkan kami. Maka dari itu kami mau ikut bersama papa dan meninggalkan panti."
Aku mengalihkan pandanganku pada Arka. Suamiku itu tersenyum dan mengangguk. "Untukmu apapun akan kuberikan Nial."
Tangisku langsung pecah. Kupeluk kedua bocah yang kini telah menjadi anakku. Mereka membalas memelukku dan mengelus-elus punggungku.
"Mama jangan menangis?" Ucap si bocah perempuan.
"Iya. Kami sayang mama, kami tidak ingin mama menangis." Tambah sibocah lelaki.
Aku mengeratkan pelukanku pada mereka. Arka benar-benar memberikan apa pun yang kumau. Memberikanku dua malaikat kecil untuk melengkapi keluarga yang mungkin tidak normal ini.
"Mama menangis karena bahagia." Ucapku seraya melepaskan mereka. Kuciumi pipi mereka satu persatu. "Terimakasih telah datang kerumah ini."
Aku segera bangkit dan melepaskan kedua bocah kembar itu. Aku segera berlari menerjang Arka. Melemparkan tubuhku kedalam pelukannya yang segera ditangkapnya dengan sigap. Tidak cukup dengan itu, aku langsung menangkup wajah Arka. Menempelkan bibirku di bibirnya.
Arka membelalak kaget dengan tindakan yang kulakukan secara dadakan. Dia terus terdiam sampai aku melumat dan menjilat bibirnya. Seolah tersadar Arka merengkuh tubuhku dan membalas ciumanku dengan lembut. Ya, sangat lembut.
"Aku mencintaimu Arka. Terimakasih." Ucapku setelah ciuman kami terlepas.
Arka tersenyum. Kedua tangannya menangkup wajahku dan ibu jarinya menyeka air mataku yang lagi-lagi menetes.
"Apapun untukmu, Nial. Karena aku mencintaimu."
Mau lanjutannya yang asem kecut (?) *maksudnya hot*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top