9th Chapter
Cinta akan semakin tumbuh saat kau terbawa perasaanmu sendiri. Namun saat kau mengacuhkan Cinta itu —bukan membencinya— rasa kesepianlah yang memenuhi jiwamu.
Loving You! 9th Chapter:
"Nial."
Aku menoleh sejenak saat mendengar panggilan itu. Mengalihkan perhatianku dari indahnya langit biru pada sepasang manik emerald yang memukau. Membuat wajahku merona dan terasa panas saat menyadari wajah siempunya ternyata sangat dekat dengan wajahku. Arka tersenyum tipis.
Sudah hampir seminggu ini prilaku Arka berubah dari pertama kali aku menginjakkan kaki di rumah ini. Ia sudah tidak memperlakukanku kasar dan mengacuhkanku lagi. Prilakunya padaku kini justru berubah manis dan perhatian.
Aku sempat mendengar dari bisikan para pelayan bahwa sikap Arka itu dingin dan keras. Tapi ternyata Arka adalah pria yang sangat lembut. Meski kelembutannya terkadang membuatku merasa diperlakukan seperti perempuan dan itu terasa risih. Mungkin sebenarnya dia pria yang baik, hanya saja tidak menunjukkannya secara terang-terangan pada orang lain.
Mungkin ia hanya menunjukannya pada satu orang saja. Orang yang dia anggap spesial, yaitu aku. Berpikir seperti itu membuat wajahku semakin terasa panas. Ah, aku harus berhenti membaca novel romance agar berhenti mengkhayal yang tidak-tidak.
"Kau sakit?" Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya. "Wajahmu merah padam."
Arka menempelkan dahinya ke dahiku. Membuat ujung hidung kami bersinggungan. Jantungku berdebar kencang dengan sensasi menggelitik di perutku.
"Aku.. baik-baik saja."
Ku pejamkan saat merasakan nafasnya menerpa hidungku secara langsung. Aroma segar mint yang membuatku merasa nyaman menghirupnya. Tak butuh waktu lama sampai aku merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh dan meraup bibirku.
Lembut dan hangat.
Aku membuka mataku perlahan. Sepasang Emerald segera menyambutku. Arka menciumku tanpa menutup matanya. Wajahnya sedikit berubah posisi dan miring agar posisi ciuman kami bisa semakin dalam dan tetap nyaman.
Namun matanya tetap terbuka dan menatapku. Melihat itu wajahku semakin terasa panas dan dadaku berdegup kencang. Kurasakan tangan Arka menahan tengkukku sementara tangan yang lain merengkuh pinggangku. Dan aku pun membalas dengan melingakarkan kedua tanganku di lehernya.
Mataku terus menatap matanya yang menyiratkan hasrat di sana. Seolah telah terkunci aku tidak dapat memejamkan mataku. Sementara kurasakan Arka semakin gencar melumat dan meraup bibirku seakan ia ingin mengunyahnya.
Berciuman dengan mata tertutup akan membuat indra perasamu jauh lebih peka. Dan itu mungkin jadi terasa lebih memabukkan. Tapi aku tak menyangka berciuman dengan mata terbuka dan saling memandang rasanya lebih menakjubkan.
Aku dapat melihat pantulan mataku di sepasang manik emerald itu. Manik yang menyiratkan rasa hasrat dari si empunya. Seolah saling memerangkap satu sama lain.
"Unggh!"
Aku mengerang pelan saat merasakan lidah Arka menerobos bibirku. Bergerak liar di dalam mulutku dan mengobrak-abrik lidahku di dalam sana. Kusisipkan jari-jari tanganku kehelaian surai blonde-nya yang halus. Mencengkramnya erat seiring memanasnya ciuman kami.
Mata kami masih terbuka. Membuatku dapat melihat kilat nafsu di matanya. Lidahku berusaha keras melawan lidahnya, membuat wajahku semakin memanas saat tak henti-hentinya aku mengerang dalam ciuman kami.
Sedetik Arka akan melepaskanku agar kami bisa mengambil nafas, yang kemudian dia akan meraup bibirku lagi. Ciumannya mendominasi dan menuntut, namun tidak kasar dan memaksa. Panas dingin mendera tubuhku. Seolah mematikan seluruh saraf dan membuatku merasa lemas. Pikiranku mulai terasa kosong namun tetap menyadarkanku.
"Uhmmpph.. mmhh haah.. mmhhn.."
Entah kenapa suara-suara yang kukeluarkan mulai selalu terdiri dari huruf "m". Aku sulit bernafas. Tapi aku tidak ingin ini berhenti. Dadaku terasa sesak, tapi bukan berarti dalam hal buruk.
Entah berapa lama akhirnya bibir kami benar-benar terlepas. Jari jempol Arka menyusut air liur yang mengalir di daguku. Aku menunduk dan Arka kembali menempelkan dahi kami. Ku pastikan wajahku sudah merah padam. Jantungku pun masih belum reda dari debaran yang berlebihan.
"Kau milikku Nial."
Jika mungkin wajahku pasti bertambah merah saat ini. Mendengar satu kalimat yang akhir-akhir ini sering Arka ucapkan.
"Aku mencintaimu." Bisikku.
"Aku tahu."
Arka kembali mengecupku sebelum akhirnya berdiri. Untunglah tadi posisiku sedang dalam keadaan duduk. Karena aku sebelumnya sedang menikmati memandang hamparan birunya langit dengan duduk di bangku bambu di pinggir kolam. Jadi aku tak perlu khawatir saat ku rasakan kedua kaki ku lemas.
"Tumben jam segini kau sudah pulang?" Tanyaku setelah Arka meminta air minum pada Ruth.
Ok aku melupakan keberadaan perempuan itu tadi. Padahal ia tentu saja selalu ada di sekitarku.
"Aku merasa bosan di kantor. Jadi kupikir lebih baik aku menghabiskan waktu dengan 'istri'ku untuk menghilangkan rasa bosan." Jelasnya seraya menggodaku dengan mengedipkan sebelah matanya.
Arka duduk di sampingku, sementara aku menunduk nervous. "A-aku laki-laki.. seharunya kau menyebutku suami."
"Hmm kau benar. Baiklah, terserah apa maumu suamiku."
Wajahku semakin panas saat ia memanggilku seperti itu. Astaga, dia mulai senang menggodaku!!
Ruth kembali dengan dua gelas sirup di nampannya. Dia memberikan satu pada Arka dan satunya lagi untukku. Lalu mundur beberapa langkah kembali ke tempat berdirinya tadi.
"Jadi.. " Arka menggantungkan kalimatnya lalu melanjutkannya kembali setelah menyesap sirupnya. "Kau ingin pergi ke suatu tempat?"
"Kau mengajakku kencan?"
Bukannya menjawab Arka justru tertawa mendengarku balik bertanya. Suara tawanya merdu dan enak di dengar. Aku sedikit menatapnya heran.
"Kau tahu aku ingin pergi ke pantai. Berada di rumah terus seharian membuatku merasa bosan." Kuteguk sirupku hingga tandas.
Arka tersenyum lalu mengusap bibirku dengan jempolnya. Menekan dan menyelip diantara bibirku yang terbuka. Menarik rahang bawahku agar mulutku lebih terbuka.
"Uunngh!?"
Aku mengerang saat ke tiga jari tangan Arka yang lain melesak masuk ke mulutku. Sementara jempolnya masih menekan gigiku agar rahang bawahku tidak mengatup. Jarinya memainkan lidahku. Seolah mengajak lidahku bergerak dan bermain dengan jarinya.
"Maaf. Aku tidak menyadari kebosananmu."
Jari Arka menjepit lidahku dan menariknya keluar. Lalu wajahnya kembali mendekat dan menjilat lidahku. Rasanya.. entah kenapa aku senang di perlakukan seperti ini.
"Kau boleh ikut Ruth pergi keluar saat ia berbelanja. Tapi ingat, harus bersama Ruth. Bukan yang lain." Arka melepaskan lidahku dan menjauhkan wajahnya.
"Sungguh?"
"Ya. Jadi sekarang kita ke pantai." Di usapnya puncak kepalaku.
Astaga kami akan benar-benar pergi kencan? Di pantai?
Arka membungkuk dan menggendongku masuk kedalam. Kulingkarkan tangaku ke pundak san menaruh daguku di pundaknya. Sesaat aku melihat seringaian menggoda dari Ruth.
Ke pantai? Oh aku harus siapkan jantungku untuk melihat tubuh Arka nanti.
***
Andai aku perempuan, aku pasti akan menjerit histeris saat ini.
Andai aku perempuan, aku pasti akan menemploki tubuh indahnya sekarang juga.
Andai aku perempua, aku tidak perlu menahan perasaanku saat ini.
Rasanya sangat bahagia dan merasa beruntung sekali diriku hingga ingin berteriak. Namun aku hanya bisa termangu melihat pemandangan di depanku.
Otot lengan yang tidak begitu besar dan terbentuk pas terlihat kokoh. Kulit kecoklatan yang eksotis menampilkan bentuk tubuh yang membuat para wanita pasti meneteskan air liurnya. Rambut blonde yang jatuh karena basah menutupi sebagian wajahnya dan meneteskan air. Arka berlari keluar dari air ke arahku.
"Uhmm tuan.. air liur anda.."
Aku segera tersentak dan buru-buru menyusut mulut serta daguku. Dan benar saja. Daguku terasa basah karena air liur yang entah sejak kapan meluncur keluar. Aaaarrgghh senafsu itukah aku melihat Arka topless!?
Kulirik Ruth yang terkekeh menahan tawanya. Benar-benar memalukan!! Apakah ada orang lain yang melihat tadi selain Ruth?! Kuharap tidak!
"Kau kenapa?" Tanya Arka di depanku.
Dahinya mengernyit heran saat aku berdiri dengan posisi ingin menerkam Ruth. Sementara perempuan itu masih menahan tawanya.
"Tidak. Tidak apa-apa." Ucapku.
Kusadari tatapan para kaum hawa menuju kearah kami, atau lebih tepatnya ke arah Arka. Bagaimana tidak, dia memiliki tubuh yang membuat para perempuan tidak bosan-bosan memandangnya. Bahkan mungkin untuk pria sepertiku juga.
Sedangkan aku. Tubuh yang terlalu kurus untuk ukuran seorang pria. Kulit pucat, yang bahkan jika aku melepaskan kemeja putih tipisku pasti akan kemerahan karena tersengat sinar matahari. Benar-benar tidak bisa di banggakan.
"Permisi. Boleh kami gabung dengan kalian?"
Suara merdu nan lembut mengusik obrolanku dengan Arka. Kulihat empat orang wanita cantik bertubuh seksi menghampiri kami. Bikini yang melekat di tubuh mereka membuat mereka terlihat begitu seksi. Tapi tak cukup seksi untuk membuatku meneteskan air liur seperti saat melihat Arka tadi.
"Aku Gilliant. Dan mereka teman-temanku." Belum sempat aku atau Arka menjawab perempuan berambut coklat yang menyapa kami kembali bersuara.
"Aku Mettha." Ucap wanita berambut pendek dan berdada besar.
"Jiyue." Ini dari wanita yang kuyakin berdarah china atau mungkin jepang.
"Claudy." Sedangkan dia wanita berkulit legam. Namun itu tidak dapat menutup kecantikannya.
Kulirik Arka yang berdiri di sebelahku. Wajahnya kembali berekspresi datar dan tatapan tajam. Kutebak dia tidak suka dengan kehadiran para wanita ini. Syukurlah.
"Jadi.. apa kalian model?" Tanya Jiyue yang membuatku menaikan sebelah alis.
"Penampilan kalian tidak biasa. Terutama kau.." Metha melirikku. "Kau mempesona untuk ukuran seorang pria."
"Oh ya. Terimakasih." Aku tersenyum tipis.
"Ouuh.. sepertinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Mau pergi denganku?" Mettha merapat kearahku.
Kurasakan rangkulan di bahu yang tentu saja berasal dari Arka. Dia menarikku mendekat kedalam pelukannya. Jantungku kembali berdetak kencang.
"Dia bersamaku." Arka berbicara dengan suara beratnya. Mencoba mengusir para wanita ini dengan aura mengintimidasinya.
"Ayolah.. kalian tidak perlu seperti itu untuk mengusir kami." Ucap Gilliant.
"Ya.. apa salahnya bersenang-senang dengan kami." Sahut Claudy.
Kurasakan cengkraman dibahuku mengerat. Sepertinya Arka sedang menahan amarah karena tidak bisa mengusir ke empat perempuan ini. Aku mengelus tangan Arka untuk menenangkannya. Berharap dia tidak akan berbuat suasuatu yang buruk terhadap ke empat perempuan ini.
Arka menghela nafas. "Maaf nona, tapi kalian mengganggu waktu kencan kami." Ucapnya kemudian.
Aku berjengit kaget saat mendengar ucapannya. Tidak ada bedanya dengan ke empat wanita tadi. Mereka memandang kami berdua dan mengernyitkan dahi tidak suka.
Aku hanya menunduk di rangkulan Arka. Menghindari tatapan tajam dari mereka yang benar-benar menusukku. Aku tidak menyalahkan mereka, karena kusadari hubungan semacam ini tidak begitu diterima masyarakat.
Tak butuh waktu lama sampai para perempuan itu pergi dengan umpatan yang menusuk. Aku menghela nafas. Tapi segera menegang saat salah satu dari mereka masih tinggal.
"Maafkan perkataan teman-temanku." Ucap Jiyue. "Mereka hanya kesal karena tidak bisa mendapat incarannya."
Aku tersenyum maklum, sementara Arka hanya bergumam tidak perduli.
"Kami bukan homophobic, dan maaf untuk gangguannya." Lanjutnya. "Selamat menikmati waktu kalian."
Dan perempuan itu bergi berlari di atas pasir menghampiri teman-temannya. Sekejap aku merasa iri dengan Jiyue. Perempuan itu memiliki tubuh yang mungil dengan kulit putih yang cerah dan bersih, ciri khas orang Asia. Wajahnya pun cukup manis. Membuatku berpikir, apakah Arka merasa tertarik padanya?
"Menikmati pemandangan 2 pasang bongkahan daging itu Nial?"
Aku menoleh pada Arka dan menatapnya bingung. "Huh?"
"Aku tahu kau sempat melirik dada perempuan itu, dan tidak berhenti memandang bongkahan pantatnya saat ia berlari pergi." Jelas Arka.
Aku memukul bahu Arka dengan sebal. Kurasakan wajahku memanas karena malu. Bisakah ia tidak sefrontal itu?!
"Aku tidak!" Dengusku sebal.
Arka hanya tertawa. Sial! Kenapa hanya dengan mendengar tawanya dadaku langsung bergemuruh seperti ini!?
Cup!
Aku mengerjap beberapa kali ketika sesaat merasakan sesuatu tengah menyentuh bibirku. Kulihat Arka menyeringai, dan sedetik kemudian aku tersadar. Oh shit!
Wajahku di pastikan kembali merona saat kurasakan kedua pipiku terasa panas. Sepertinya aku harus waspada dengan sifat jahilnya.
***
Setelah puas bermain air di pantai tadi, kami pun memutuskan untuk pulang sore harinya. Kami tidak menginap di salah satu hotel di pantai itu, karena Arka tidak suka berada di tempat umum. Ruth sudah pulang terlebih dahulu dengan anak buah Arka yang lain. Aku bersyukur mereka tidak berada di sekitar kami saat di pantai. Jujur aku tidak menyukai para anak buah Arka.
Di perjalanan kami mampir ke mini market terlebih dahulu. Aku ingin membeli beberapa camilan, karena aku mulai bosan membuat camilan sendiri. Arka tidak ikut keluar dan memutuskan untuk tetap di dalam mobil. Aku tidak memaksanya, mungkin dia lelah harus mengendarai mobil sendiri setelah hampir seharian berenang.
Aku segera masuk ke mini market dan mengambil keranjang belanjaan. Mengambil beberapa makanan untuk seminggu kedepan. Tidak perlu banyak-banyak karena Arka sudah memperbolehkanku keluar asal bersama Ruth.
Trak!
Aku menoleh dari acara memilih serealku saat mendengar benda jatuh. Kulihat seorang pria berjaket membungkuk dengan sebelah tangannya yang memegang kepala sementara terdapat pisau —yang nampaknya di keluarkan dari plastiknya— tergeletak di depan kakinya.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku cemas saat mendengar erangan tertahan dari pria itu.
Aku melangkah ragu menghampiri pria itu. Jujur, aku merasa takut dan ragu saat berada di dekatnya dan merasakan hawa tidak enak. Tapi aku mencemaskan pria itu. Apalagi hanya ada aku dan dia serta penjaga kasir di toko ini.
"Ahk!"
Aku menjerit kecil saat pria itu menepis kasar tanganku yang terulur padanya. Merasakan sesuatu yang tajam menggores kulit tanganku. Dan benar saja darah segar mengalir di sekitar pergelangan tanganku. Bukan luka yang parah, tapi cukup lebar dan dalam untuk membuat darah terus menetes dari sana.
"Astaga. Aku minta maaf! Aku tidak sengaja.."
"Tidak apa-apa. Hanya luka kecil." Ringisku seraya menggosok luka itu agar darahnya berhenti keluar.
Sesaat pandanganku beradu dengan sepasang onyx yang kelam. Sepasang mata yang redup akan cahayanya meski ekspresi wajahnya menampilkan kecemasan. Seolah pria di depanku ini hanya bersandiwara atas kekhawatirannya.
Di saat aku merasa tenggelam di gelapnya onyx itu, kudengar pria ini menggumamkan sesuatu. Tidak cukup keras untuk kudengar. Tapi kusadari matanya mulai berkilat aneh. Apalagi saat ia melirik kearah tanganku, ekspresi cemasnya berubah dengan ekspresi datar.
"Uhm.. kau baik-baik saja?"
Pria itu nampak berjengit saat aku bersuara. Dan seolah tersadar dari lamunannya kala memandangku.
"Tadi kulihat kau nampak tidak baik sambil memegangi kepala." Jelasku.
"Oh! Tidak. Aku baik-baik saja." Pria itu tersenyum kikuk seraya menggaruk kepala belakangnya. "Terimakasih."
Aku tersenyum heran.
"Sudah mengkhawatirkanku."
"Ahaha tidak masalah. Kalau begitu aku duluan."
Aku segera berbalik setelah sebelumnya tersenyum dan mengambil sereal yang sempat kutaruh, lalu kemudian melangkah pergi. Tapi panggilan pria itu menghentikanku dan membuatku kembali menoleh.
"Siapa namamu?" Tanyanya.
"Nial. Nial Hankal."
Dia bergumam sesuatu dan kemudian tersenyum. Aku pun membalas tersenyum dan kembali melangkah menuju kasir, tanpa berniat mengetahui nama pria itu. Selama itu sampai keluar mini market, kurasakan tatapan aneh terhadapku. Namun aku menepis perasaanku dan segera menuju mobil di mana Arka berada.
"Kau hampir membuatku ke tiduran." Dengus Arka kesal.
Aku hanya tersenyum kecut lalu menaruh belanjaan di kursi belakang sebelum mengenakan sabuk pengaman.
"Nial, tanganmu terluka?" Tanya Arka melihat tanganku yang ternyata masih mengeluarkan darah.
"Oh.. tadi tergores ujung rak saat memilih sereal." Dustaku dan kembali menggosok luka itu.
Arka menarik tanganku dan mengecup lukanya. Menjilat nya yang kemudian menyedot lukaku. Aku meringis pelan, meski sebenarnya jantungku berdetak tidak karuan. Dan aku menjerit kecil saat merasakan tumpulnya gigi Arka merobek luka itu.
Darah kembali menetes dari sana, dan rasa sakit semakin kurasakan. Dijilat dan menyesap luka itu lagi, sebelum akhirnya Arka menatapku. Tangannya masih menggenggam tanganku agar tidak menjauh dari wajahnya.
"Jangan biarkan dirimu terluka. Karena hanya aku yang boleh mengukir lukanya."
Entah harus senang atau ngeri saat suamiku mengatakan itu dengan tatapan tajam. Namun ku tahu, dadaku justru bergemuruh karena tatapan dari sepasang manik emerald itu. Aku pun mengangguk seolah berjanji tidak akan membiarkan diriku terluka.
Kulihat Arka tersenyum dan kembali menjilat luka di tanganku. Dia kembali menegakkan tubuhnya dan mulai menyalakan mobil untuk segera pulang.
Sementara Arka fokus dengan jalanan saat berkendara, aku mengelus lukaku yang semakin melebar karena gigi Arka. Perih dan ngilu. Aku tidak tahu apakah aku takut saat Arka lagi-lagi meninggalkan luka padaku. Tapi rasanya, aku rela dipenuhi luka jika itu membuat dirinya benar-benar berbalik mencintaiku.
[Chapter 9 End]
Fyuuuhh selesai juga. Maafkan Nao karena lama melanjutkan cerita ini XD
Maklum, bikin cerita ini kan menguras emosi meski belum sampai ke klimaksnya.
Ok deh.. karena Vote itu bagaikan minuman sementara komen itu bagaikan makan bagi author, please Votment. Biar para author punya energi untuk melanjutkan cerita, termasuk Nao :^)
See you next chap♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top