8th Chapter

Loving You! 8th Chapter:

*** Are you? ***

Aku menatap Arka dengan penuh harap meski hatiku mengkerut setengah mati ditatapnya tajam seperti ini. Ini kali ketiga aku memohon dan meminta izin untuk pulang kerumahku. Menengok keluargaku setelah mendapat surat dari kak Rena kemarin. Tapi seberusaha apapun aku meminta dengan penuh harap Arka tak mengijinkanku keluar selangkah pun dari rumah ini.

Saat ini kami sedang ada di ruang tengah dan duduk di sofa berdampingan. Awalnya aku merasa canggung saat tiba-tiba Arka datang di tengah acaraku menonton TV seraya menikmati cake pandan yang baru saja selesai ku buat. Arka duduk di sampingku lalu membuka koran yang dibawanya. Melihat ekspresinya yang tak tegang meski masih datar, aku pun meminta ijin untuk pulang kerumah. Tapi seperti yang terlihat sekarang, dia menolaknya.

Kulihat suamiku mendengus saat aku masih menatapnya dengan puppy eyes-ku. Memohon agar ia mengijinkanku untuk pergi meski hanya sehari saja. Tapi Arka justru mengalihkan pandangan dariku pada koran yang sedang dibacanya.

"Arka.." Rengekku. Entah keberanian dari mana hingga aku bisa merengek pada iblis di depanku.

Arka hanya berdeham. Tatapannya tetap melekat pada koran di hadapannya. Tak melirikku sedikit pun.

"Kumohon. Hanya sehari saja!!" Pintaku untuk kesekian kalinya.

Arka berdeham lagi. Kali ini seolah tidak peduli denganku. Dibaliknya halaman koran yang sedang ia baca dan terus mengacuhkanku. Membuatku memberenggut kesal karena sepertinya menatap lembaran kertas berisikan berita dan iklan itu lebih menarik dari pada suaminya sendiri, yaitu aku.

Dengan keberanian penuh aku menggenggam salah satu lengannya. Hingga ia menoleh dan menatapku. Untunglah ia tidak melemparkan tatapan tajam seperti biasa, dia hanya menatapku datar.

Ku satukan kedua telapak tanganku didepan kepala yang kutundukan padanya. "Ku mohon! Meski hanya sebentar juga tidak apa-apa." Pintaku.

"Belum ada sebulan kau tinggal di sini. Lagi pula mereka pasti hanya ingin bergantung padamu lagi, ibu rumah tangga di rumah itu. Dan jawabanku tetap tidak!"

Arka kembali menatap korannya. Kugembungkan kedua pipiku kesal melihat sikapnya. Menyebalkan! Apakah koran itu lebih menarik dari aku yang dinikahinya.

Dengan kesal aku kembali memperbaiki posisi dudukku untuk menghadap TV. Mengambil piring cake ku yang tadi sempat ku letakan di atas meja. Memakannya dengan kesal seraya menonton acara yang tengah ditampilkan.

Arka tahu prilaku saudari-saudariku dulu terhadapku. Bagaimana keempat perempuan itu melimpahkan tanggung jawab mengurusi rumah kepadaku di tengah kerja paruh waktu yang kulakukan. Belum lagi mengurusi keperluan dan diri mereka sendiri saat di pagi hari. Dimana aku harus membantu menata rambut kak Rena dan Fea, atau menyetrika seragam mereka, serta terkadang mengurusi mereka berdandan. Yah, mereka berempat sangat bergantung padaku.

Meskipun begitu aku sangat menyayangi mereka. Hanya mereka yang ada disaat apa pun, menghiburku disaat sedih meski dengan cara yang penuh dengan sindiran.

Aku masih menonton acara di hadapanku seraya memakan cake potongan ketiga. Perutku masih belum terasa kenyang meski sudah makan sebanyak ini. Hingga tidak henti-hentinya tanganku menyuapkan cake itu dan mulutku yang terus mengunyahnya.

"Ini sudah hampir tengah hari." Arka tiba-tiba bersuara.

"Hmm."

Sepertinya aku tidak kapok. Malah makin berani akan sikapku terhadap Arka. Pria sekaligus suamiku yang pernah menyakitiku. Mengingat itu tubuhku langsung menegang dan bulu kudukku segera berdiri.

"Kau tidak memasak makan untuk makan siang?" Tapi mendengar suaranya yang tak seperti sebelumnya tubuhku kembali rileks.

"Aku sudah kenyang. Buat apa aku masak lagi." Kumasukan gigitan terakhir. Menjilati dan mengulum jariku yang penuh krim.

Saat tak kudengar suara Arka lagi, aku melirik kesebelah. Mendapati suamiku yang sedang menatap diriku intens.

"Aku lapar dan kini kau membuatku semakin lapar."

Aku hampir tersedak melihat ekspresi Arka saat ini. Menatapku dengan pandangan memohon yang membuat jantungku berdegup tak karuan. Seolah terdapat kuping anjing yang tertunduk lemas di kepalanya. Oh Nial berhentilah berimajenasi yang tidak-tidak.

"A.. aku.." Saat aku bersuara Arka makin menampakan ekspresinya itu. Membuat hatiku berteriak girang entah kenapa.

Tapi sebuah ide muncul di kepalaku yang membuatku segera memalingkan pandangan darinya. Setelah berdeham berupaya mengatur degup jantung yang tak karuan aku mengambil sisa potongan cake dan menyodorkannya kepada Arka. Sedangkan pandanganku menatap layar TV.

"Aku tak suka makanan manis." Ucapnya.

"Oh." Aku segera menarik tanganku dan mulai memakan cake yang ditolak Arka tadi.

Meski aku berkata kenyang pada suamiku, nyatanya aku masih bisa menghabiskan satu potong lagi.

"Nial." Panggil Arka. "Aku, suamimu, sudah merasa lapar. Berdirilah sekarang dan pergi kedapur untuk memasakan makan siang untukku."

Aku benar-benar hampir tertawa jika saja tidak kutahan. Pasalnya Arka memerintahku dengan nada yang terkesan asal-asalan atau bermain-main. Tak ada nada tegas ataupun mengintimidasi seperti biasanya.

"Ruth." Aku memanggil pelayan pribadi sekaligus sahabatku dirumah ini. Dan tak lama perempuan itu muncul. "Buatkan suamiku yang kelaparan ini makan siang."

Ruth nampak kaget mendengar ucapanku. Dia melirik kesebelahku takut-takut. Seolah menunggu persetujuan Arka Ruth masih berdiri di tempatnya, sedangkan aku kembali menjilati jariku yang belepotan krim.

"Buatkan saja." Ucap Arka dan kemudian Ruth segera pergi.

Aku kembali menatap layar TV di hadapanku. Tapi Arka yang menarik tanganku yang jarinya sedang kujilati membuatku memalingkan wajah dari sana. Jantungku terasa meloncat keluar saat Arka menjilat jariku yang baru saja kujilati tadi.

"Kau membuatku semakin lapar." Arka melirikku dengan bibirnya yang mulai melahap dan mengulum jariku.

Melihat itu wajahku segera terasa panas. Jantungku berdegup tak karuan sementara perutku langsung terasa kram. Arka terlihat seksi saat menjilati jariku seperti ini. Menggunakan lidahnya hingga jariku basah karena air liurnya.

Dan aku segera tersentak saat sebuah pemikiran terbesit di kepalaku. Oh astaga Nial. Bagaimana bisa kau memikirkan itu hanya dengan melihatnya mengulum jarimu?! Berhentilah berpikiran yang tidak-tidak serta mesum!!

"Apa yang kau pikirkan?"

"Aku tidak memikirkan apapun!" Bentakku cepat.

Aku segera merasa gugup. Arka yang mendapati reaksiku sempat mengernyitkan dahi dan kemudian menyeringai. Tubuhku menegang saat menyadari dirinya bergeser merapat padaku.

"Sepertinya aku tahu apa yang kau pikirkan." Ucapnya seraya mengecup jariku.

"Tidak. Kau tidak tahu." Aku menggeleng panik.

Berhentilah gugup dan bersikaplah biasa. Reaksimu yang seperti ini hanya akan membuatnya semakin curiga Nial!! Aku terus meneriaki diriku yang tak bisa berhenti gugup. Sementara kurasakan Arka makin memepetku.

Dan dalam hitungan detik dia segera berpindah posisi kehadapanku. Kakinya ditekuk dan berada disisi kedua pahaku serta  bertumpu pada lutut. Sementara kedua tangannya mengurungku dengan bersanggah pada sandaran sofa. Tubuhnya menutupiku dari sinar lampu.

Aku membelalakan mata menatapnya. Tubuhku terasa bukan apa-apa didalam kurungannya. Dapat kulihat parasnya yang mempesona dari bawah tengah menyeringai padaku. Dan kejadian hari itu teringat lagi olehku.

Aku berjengit kaget saat tangan Arka menyentuh lenganku. Kusilangkan kedua tanganku didepan dada dan berusaha memeluk diriku sendiri. Apakah ia akan menghukumku lagi? Melakukan itu padaku lagi karena sikapku yang kurang ajar ini. Apakah ia akan menyakitiku lagi?

"Nial.."

"Ma-maafkan aku." Potongku begitu Arka bersuara.

Tubuhku segera gemetaran. Kilasan kejadian itu terus bermunculan bagai putaran kaset yang rusak. Dan begitu aku menutup mata bermaksud menghilangkan bayang itu, yang ada justru semakin jelas.

"Nial." Arka memanggil namaku.

Aku membuka mataku dan mencoba menatap dirinya. Mendapati ia yang tengah menatapku mengernyit tak suka  membuat tubuhku semakin menegang. Keringat dingin makin membajiri leher dan dahiku.

"Kau ke.."

"Maafkan aku! Aku tak akan membantahmu lagi."

 "Ini akibatnya jika kau berani menentang atau melawanku."

"Maafkan aku. Sungguh aku minta maaf."

Aku menutup telingaku dengan kedua tangan. Meringkuk dengan rasa takut yang menyelimutiku. Bayangan itu semakin terlihat jelas.

"..al."

Kepalaku segera terasa pusing. Aku juga mulai merasa mual karena perutku bergejolak tak karuan. Aku ingin bayangan itu hilang. Tapi semakin aku menepisnya, bayangan itu semakin jelas dikepalaku.

"Nial!"

Aku menangkup kepalaku dengan kedua tangan dan menekannya. Menundukan kepalaku berusaha melindungi diri. Tubuhku entah kenapa mulai terasa sakit. Terutama bagian bawah.

"Nial!!"

Aku tersentak kaget saat mendengar teriakan itu. Arka menatapku tajam dan tangannya mencengkram lenganku erat. Kurasakan pipiku basah karena cairan bening dari mataku yang mulai mengalir.

"Ma-maafkan aku." Ucapku parau. "Kumohon berhenti.. menyakitiku." Aku menunduk dan mulai terisak.

Aku tak mau disakiti. Cukup hatiku yang terluka karena perasaan ini. Perasaan mencintai yang menyiksa batin dan ragaku. Aku tak ingin lebih terlukai karena ini.

Kurasakan rengkuhan lembut menyelubungi tubuhku. Aroma hutan pinus tercium dari kulit pundak yang menyentuh hidungku. Menenangkanku seketika.

"Sssstt.. aku tak akan menyakitimu."

Rasa hangat segera memenuhi hatiku saat kalimat itu terdengar. Kurengkuh bahu Arka seolah itu pegangan terakhirku. Kembali terisak di pelukannya. Namun kali ini karena perasaan lega dan bahagia.

Arka melepaskan pelukannya dan menangkup wajahku. Menjilat pipiku yang basah bergantian. Aku hanya bisa menutup mata saat mendapati perlakuannya itu. Merasakan bibirnya mengecup lembut bibirku.

Dan kembali membuka mata saat merasakan pergerakannya disampingku. Dengan mudahnya Arka mengangkatku dan memindahkan kepangkuannya. Bibirnya segera meraup bibirku sementara tangannya memelukku dengan possesif.

"Uhhng.."

Ciumannya kali ini lebih menuntut namun tetap lembut. Aku membalas ciumannya. Membuka mulutku saat ia menjilat bibirku yang meminta ijin masuk.

Mungkin perasaan itu seperti tanaman. Meski terlihat sudah layu dan mati jika akarnya masih berada di dalam tanah masih bisa untuk kita hidupkan kembali. Menyiramnya dengan air diatas tanah yang gersang itu. Dan seperti itulah perasaanku itu.

Meski sempat hancur dan mati. Tapi saat mendapat sikap dan perhatiannya seperti ini semuanya terasa kembali tumbuh. Seolah adegan flashback dari gelas kaca yang pecah menjadi utuh kembali.

Aku membuka mataku saat bibir kami terlepas dan menatap iris emeraldnya. Alisnya menukik tajam diatas sepasang mata indah  itu. Hidungngnya mancung dengan rahang tegas dan dagu lancipnya. Tanpa sadar jariku sudah menelusuri wajahnya.

"Aku.. mencintaimu."

Tatapan yang semula datar kini berubah melembut. Bibirnya menyungging senyuman tipis.

"Aku tahu." Bisiknya dan mengecup pipiku.

Mimpikah ini?

Atau perasaanku memang sudah terbalas. Jika ini semua mimpi biarkanlah aku terus tertidur dan menikmati mimpi ini. Merasakan kebahagian seperti orang-orang meski ini hanya mimpi.

Tapi jika ini kenyataan..

Biarkanlah ini berlanjut lebih lama. Aku belum siap untuk jatuh dalam waktu dekat setelah berhasil kembali terbang. Apa lagi terjatuh karena Arka sendiri yang mendorongku jatuh.

***

Jennifer Refold atau Arka biasa memanggilnya Jenny. Gadis berparas cantik dengan tubuh sempai itu adalah salah satu anak buah Arka. Tugasnya memeriksa setiap pengiriman dan pemesanan setiap persedian --yang entah apa-- yang diperlukan perusahaan.

Aku tak tahu pekerjaan dan perusahaan macam apa yang dimiliki oleh suamiku. Hingga saat ini aku hanya melihatnya pulang pergi mengenakan setelan jas dengan beberapa anak buahnya yang selalu mengikuti. Dan para anak buah Arka pun tak seperti layaknya pegawai biasa. Mereka lebih mirip seperti.. bodyguard?

Aku hanya terdiam terpaku saat melihat wanita cantik itu berjalan penuh percaya diri memasuki rumah ini. Seolah ini rumahnya sendiri ia menjatuhkan tubuhnya disofa ruang tengah setelah melemparkan tasnya terlebih dahulu. Memanggil pelayan dan meminta minuman seolah itu sudah menjadi kebiasaannya.

Buat apa wanita itu di sini? Apakah untuk bercumbu mesra dengan suamiku lagi di depanku?

Tanpa suara aku melangkah menghampiri wanita itu. Posisinya yang duduk menghadap layar TV tidak dapat membuatnya melihat kedatanganku. Kecuali ia menatap layar TV yang memantulkan bayangan diriku bukannya layar ponsel.

"Ah.. mana minuman.." Ucapannya terhenti saat menoleh dan mendapati diriku. Tangannya terangkat diudara seolah meminta sesuatu. Dan dapat kulihat ia merasa canggung terhadapku.

Aku tidak suka wanita ini. Wanita yang turut mengambil andil atas goresan luka dihatiku waktu itu. Aku benci wanita ini. Tapi sebenci apapun aku terhadapanya, aku tak mungkin menunjukan secara terang-terangan.

Aku berusaha tersenyum padanya meski tipis. "Arka belum pulang." Jelasku terhadapnya.

"Eh.. ah begitu ya?!" Nampak jelas ketidak enakan terlihat pada dirinya.

Tak lama pelayan yang diminta membawa minuman datang. Ia meletakan dua gelas sirup dengan camilan diatas meja. Aku duduk disamping wanita itu.

"Diminum aja. Gak perlu malu." Ucapku.

Jenny mengangguk gugup dan mengambil gelas itu lalu meminumnya. Kuamati penampilannya dari bawah ke atas. Wanita itu mengenakan gaun berwarna merah pekat dengan potongan dada yang rendah. Menampilkan pemandangan yang pasti membuat setiap pria tak bosan melihat kearah sana.

"Membahas kerjaan atau.."

"Pekerjaan." Jawabnya cepat. "Aku tak ingin menunda lebih lama dan menumpuknya dengan yang baru."

Kulihat kepercayaan dirinya telah ia dapatkan kembali. Lalu tanpa kusangka dia mengulurkan tangan.

"Kita belum berkenalankan? Meski kuyakin kita sudah saling tahu nama masing-masing." Ucapnya.

Aku menatap tangannya yang putih lalu membalas ulurannya. Kulitnya sangat terasa lembut.

"Nial."

"Jenny."

Tangan kami saling terlepas. Jenny kembali menatap layar ponselnya sebelum kembali berucap.

"Well, kau tidak terlihat spesial." Ucapnya. "Meski kau terbilang mempunyai paras yang lumayan dengan kulit bersih, tapi kurasa bukan karena alasan itu Arka menikahimu. Ia bisa mendapatkan yang lebih dari ini."

Pernyataannya menohokku. Kurasakan wajahku yang memanas karena malu dan marah. Wanita ini sungguh tidak sopan! Aku menghembuskan nafas menahan emosiku.

"Terimakasih. Karena dengan begitu Arka memilihku bukan karena penampilan fisik." Balasku.

Jenny hanya tersenyum culas. Dan tak lama setelah kami saling terdiam Arka datang dengan suara makiannya yang terdengar dari arah ruang tamu. Ia nampak murka.

"Sudah kubilang lakukan dengan hati-hati!" Teriaknya. "Ck semuanya tidak berguna."

Kulihat suamiku berjalan dengan langkah tergesa-gesa seraya melonggarkan dasinya. Kerutan didahinya nampak jelas.

"Hai honey." Aku memelototi Jenny yang menyapa suamiku seenaknya.

Arka segera menoleh kearah kami atau tepatnya Jenny. Wajahnya nampak kesal dengan tatapan tajamnya. Aku hanya bisa duduk diam menundukkan kepalaku. Lebih baik aku diam menghindari amarahnya.

"Ada apa lagi? Kau akan cepat tua bila keseringan menekuk wajah." Jenny bangun dari duduknya dan menghampiri Arka.

Aku segera memalingkan wajah begitu menyadari tubuh wanita itu memepet suamiku. Lebih baik aku pergi dari sini sebelum aku kembali merasakan sakit hati.

"Kenapa?" Suara Jenny terdengar.

"Kau tidak lihat 'istri'ku ada disana melihat kita."

Aku segera mendongakkan kepala begitu mendengarnya. Kulihat Arka mendorong tubuh Jenny menjauh dan berjalan menghampiriku. Dengan cepat ia mengecup keningku.

"Kau sudah makan malam?" Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala. "Aku.. menunggumu." Ucapku dengan sedikit malu.

Arka membungkuk dan mengangkat tubuhku dengan mudah lalu menggendongku. Membuatku malu sekaligus senang atas sikapnya. Dan jantungku makin berdegup tak karuan saat melihat senyuman lembutnya.

"Dasar Iblis!" Jenny masih berdiri ditempatnya dengan bersidekap. "Kau benar-benar tak berperasaan Arka."

"Terimakasih Jenny."

Jenny memutar bola matanya bosan mendengar tanggapan Arka. Dirogohnya tas yang tergantung di sebelah pundaknya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat dan melemparkannya keatas meja.

"Besok kau sudah bisa mengambilnya." Jelas Jenny.

"Kau memang bisa diandalkan sayang."

Aku sedikit tak suka saat Arka memanggil Jenny seperti itu. Tapi rasa tak suka itu segera menghilang saat Arka menatapku kembali dan tersenyum. Melangkah membawaku pergi meninggalkan wanita itu sendirian.

Aku masih belum percaya dengan sikapnya ini jika ini kenyataan. Benarkah ini? Apakah ia mulai membalas perasaanku? Apakah ia mulai memiliki perasaan terhadapku.

Dengan perasaan bahagia aku melingkarkan lenganku keleher Arka. Sekilas aku melihat tatapan Jenny yang menunjukan rasa kasihan padaku. Tapi buat apa? Bukankah dalam hal ini harusnya dia yang dikasihani?

[Chapter 7 End]

Sepertinya Nial mulai mendapatkan kebahagiaannya. XD
Buat yang minta POV Arka, Nao gk janji.. krn klo pakai POV dia semuanya bkalan kbongkar dan gak seru lagi!! >.<

FanVotment please~

See you ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top