7th Chapter
Loving You! 7th Chapter:
*** Letter ***
Kurasakan sesuatu yang lembab dan hangat menyentuh kulitku. Bergerak secara teratur dan lembut hampir diseluruh tubuhku. Rasa pening segera yang merejam kepala tak dapat kucegah. Diikuti rasa ngilu dan sakit yang mulai kurasakan di bagian bawah tubuhku.
Kucoba menggerakan kepalaku untuk sekedar mengurangi rasa pening namun yang ada justru semakin memperparah. Benda lembab dan hangat itu kini mulai membelai kulit pinggulku. Rasanya agak menyakitkan saat benda itu membuat tubuh bagian bawahku bergerak. Seolah-olah ada luka lebam di sana.
Aku mencoba membuka mataku perlahan meski pening menyulitkanku. Seluruh tubuhku terasa sakit. Terutama di tubuh bagian bawah dan kepalaku yang terasa pening.
Cukup lama aku mencoba membuka mataku dan memfokuskan pandangan. Warna gading segera menyambutku yang merupakan cat dari langit-langit sebuah ruangan. Kutolehkan kepalaku perlahan meski rasa pusing menjadi semakin terasa. Memandang ruangan tempatku berada yang merupakan kamarku. Cahaya jingga menembus gorden kamarku.
Benda lembab dan hangat itu masih menelusuri tubuhku yang kini berada dipahaku. Perlahan aku kembali menolehkan kepala. Mendapati perempuan itu tengah duduk di sisi ranjang memangku salah satu pahaku dan membasuhnya dengan kain basah.
Gerakannya perlahan dan lembut. Menandakan ia tak ingin menyakitiku jika ia menggunakan tenaganya terlalu kuat. Pandangannya sedikit sayu. Dapat kutemukan lebam biru dipelipis putihnya yang tertutupi anak rambut. Serta balutan perban dilehernya.
"Unghh.." Aku mengeluh pilu saat dia mengangkat pahaku dengan perlahan.
Sakit. Rasa sakit kurasakan ditubuh bagian bawahku. Seakan-akan ada luka gores di sana yang akan tertarik jika kugerakan sedikit saja kakiku. Rasa sakitnya membuat pusingku semakin menjadi.
"Ma-Maaf! Saya tak bermaksud.." Dia menghentikan pergerakannya dam menatapku.
Ada rasa kekhawatiran dan rasa bersalah di matanya saat memandangku. Mengapa ia menatapku seperti itu?
"Ruth.." Suaraku terdengar parau dan mengerikan. "Apa yang terjadi denganku?"
Ruth nampak tersentak. Wajahnya yang semula menampakan kecemasan berubah pilu. Matanya mulai berkaca-kaca yang kemudian meneteskan air mata dan terisak. Dia bergumam sesuatu yang tidak jelas di telingaku.
"Ruth?" Aku mengangkat tanganku dan berusaha meraihnya. Namun jarak tanganku dengannya tak begitu dekat hingga tak mampu menyentuhnya.
"Maafkan saya.. Maafkan saya.." Ucapnya masih dengan terisak. Kedua tangannya menutupi wajah yang kuyakini berurai air mata.
Aku kembali meringis saat kakiku terguncang diatas pangkuannya. Rasa sakit itu masih mengikat tubuhku seolah permanen. Ruth yang menyadari itu segera berhenti terisak dan menurunkan tangannya dari wajahnya.
Dengan hati-hati dan perlahan ia menurunkan kakiku dari pangkuannya. Aku berusaha menahan rintihanku saat ia menggerakan kakiku. Dan aku menyadari bahwa aku nyaris telanjang dihadapan perempuan ini. Hanya celana dalam yang masih melekat ditubuhku.
Ruth tak merasakan risih sama sekali. Perempuan itu nampak lebih mementingkan keadaan fisikku daripada keadaan penampilanku. Setelah berhasil menurunkan kakiku dari pangkuannya Ruth beringsut turun dari ranjang. Dia menarik selimut dan menyelimuti sebatas bawah dadaku.
Aku menggerakan tanganku, mengisyaratkannya untuk mendekat. Meraih tangannya saat ia sudah dalam jarak jangkauan tanganku. Menggenggamnya lembut dan mengelusnya perlahan. Ruth membalas kembali genggamanku.
"Apa yang terjadi denganku?" Kuulang pertanyaanku yang belum sempat terjawab.
Ruth nampak ragu meski kemudian menjawab. "Tuan Arka.."
Begitu nama suamiku meluncur di bibirnya tubuhku segera menegang. Kilasan kejadian mengerikan itu muncul dikepalaku dengan sangat jelas. Membuat rasa pening dan sakit yang kurasakan bertambah dua kali lipat.
Kejadian yang kuharap semua itu hanya mimpi buruk. Meski ternyata itu nyata dengan meninggalkan luka yang menyakitkan. Bukan hanya luka pada tubuhku, namun menggoreskan luka juga pada hatiku. Aku merasa telah direndahkan, dilukai, dan dipermalukan oleh suamiku sendiri. Merasa dikecewakan oleh orang yang mulai kucintai.
"Maafkan saya.. maaf. Seharusnya saya memaksa anda menemui tuan Arka. Seharusnya saya.." Ruth kembali terisak.
Bahunya bergetar karena menahan tangisnya. Kedua matanya terpejam menahan air matanya. Ruth menangis karena aku?
Kutarik tangan Ruth hingga ia terhuyung kearahku. Seolah terlatih tangannya yang segera refleks bertumpu pada sisi ranjang menahan dirinya jatuh menimpaku. Namun aku menarik bahunya, membawanya kedalam dekapanku.
"Ssstt.. ini semua bukan salahmu."
Aku memang telah dilukai dan dipermalukan oleh suamiku. Tapi itu karena salahku sendiri yang menghindari pria itu. Bukan karena perempuan ini yang tak mampu memaksaku keluar dari masalah yang akan kubuat.
"Kenapa.." Ruth bergumam sesuatu diatas dadaku. Nafasnya yang hangat menerpa kulitku. "Mengapa anda memperlakukan saya seperti ini?"
Aku melepaskan dekapanku. Ruth menarik tubuhnya dariku dan berdiri tegak sementara aku mengernyitkan alis bingung.
"Mengapa anda sebaik ini pada saya? Saya hanyalah pelayan anda, tapi anda memperlakukan saya seolah-olah saya.. lebih dari sekedar itu. Maaf jika saya lancang."
Aku menatap Ruth yang sedang mengelap air mata di wajahnya dengan jemarinya. "Bagiku kau sudah kuanggap keluarga. Kau seperti.. kakakku."
Ruth memang sudah kuanggap sahabat dan keluarga dirumah ini. Hanya wanita itu yang selalu menemaniku, menghindarkanku dari rasa bosan meski itu mungkin hanya sekedar formalitas. Tapi saat dia memperhatikanku dan mencemaskanku seperti ini, aku tahu ia tulus. Sayangnya ia tak seperti kakakku. Tentu saja, Ruth yang lembut dan perhatian sangat berbeda dengan kakakku yang egois dan diktator. Tapi bukan berarti kakakku buruk, aku tahu ia menyayangiku. Hanya saja ia tak tahu bagaimana cara menunjukannya itu padaku. Dan masalah perumpamaanku pada Ruth, aku tak mungkinkan mengatakan ia seperti mamaku.
Ruth terdiam cukup lama menatapku. Matanya mengerjap beberapa kali lalu rona merah mulai menghiasi wajahnya. Ditundukannya kepala dengan kikuk.
"Te-terimakasih." Ucapnya gugup.
Melihat sikap manisnya tak ayal membuatku terkekeh. Tapi bukannya suara kekehan yang keluar, bibirku malah meluncurkan rintihan. Tubuhku yang bergetar karena menahan tawa membuat tubuh bagian bawahku terasa sakit.
"Anda baik-baik saja?"
"Uhk.. ya. Aku tidak apa-apa." Ucapku seraya menyeringai menahan sakit. "Ruth aku lapar."
"Ah.. akan saya siapkan."
"Ok. Yang enak dan suapi aku!"
Entah dimana yang lucu Ruth justru malah tertawa. Ia mengangguk sebelum pergi meninggalkanku. Kurasa aku mulai menyayangi perempuan itu. Andai dia bukan pelayan dirumah ini dan aku bukan suami dari pemilik rumah ini. Andai kami bertemu di tempat yang berbeda, sudah jelas aku akan jatuh cinta padanya. Selain baik dan lembut, Ruth terbilang cantik untuk seorang pelayan.
Aku menoleh menatap gorden yang sudah tak lagi menampilkan cahaya keemasan. Memikirkan kejadian mengerikan kemarin membuat pusing yang sempat hilang tadi kembali kurasakan. Dadaku pun terasa sakit karena degup jantung yang menyesakan.
Kenapa Arka memperlakukanku seperti itu? Jika ia memang berniat menghukumku, tak cukupkah dengan menyakitiku. Atau jika ia memang ingin melakukan itu, tak bisakah ia memintanya dengan baik. Aku mungkin enggan untuk melakukan sex sesama jenis tapi bukan berarti aku akan menolaknya. Lagi pula itu memang kewajibanku kan?
Tapi dengan kejamnya dia memperlakukanku seperti itu. Memperlakukanku seolah-olah barang miliknya yang sesuka hati ia perlakukan.
"Ya.. kau hanya suamiku."
Perkataannya muncul dikepalaku. Aku meringis pasrah menyadari nasibku yang seperti ini. Menikahi pria egois yang tak berperasaan. Akankah aku masih terpikat pesonanya lagi? Akankah perasaan itu masih ada setelah mendapat perlakuannya seperti ini? Akankah aku bahagia bersama pria yang berstatus suamiku itu?
"Aku hanya inginkan merasakan cinta seperti orang-orang pada umumnya.."
Cairan bening membasahi pipiku saat pandanganku mulai mengabur karena air mata. Hembusan nafasku keluar dengan teratur namun entah kenapa dadaku terasa menyakitkan.
***
Arka duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Kacamata baca bertengger di hidung mancungnya sementara lembaran kertas yang sepertinya berkas pekerjaan tergenggam di tangan kanannya. Jemari tangan kirinya menggenggam kuping cangkir yang hendak ia minum.
Arka masih mengenakan kemeja kerjanya meski tak ia kancingi. Memamerkan otot dada dan perut yang menurutku terbentuk sepurna dan pas. Jasnya tersampir di sisi sofa lain. Duduknya sedikit membungkuk dengan siku kanan yang bertompang pada pahanya.
Dan ketika mata hijaunya mendapati keberadaanku, ia segera merubah posisi dan meletakan semua yang ia pegang di tangannya di atas meja. Menggerakan tangan memberi isyarat agar aku menghampirinya.
Belajar dari pengalaman, aku segera melangkahkan kakiku padanya. Meski aku agak heran kenapa tengah malam begini ia memanggilku ditengah kesibukannya. Dengan ragu aku duduk di sebelahnya. Pantatku masih terasa sakit meski tak separah tadi sore.
"Ini." Arka mengulurkan selembar kertas padaku.
Kertas itu berupa amplop yang kuyakini surat, karena terdapat nama kak Rena. Aku mulai melirik Arka yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dengan hati-hati kubuka ujung amplop yang telah dirobek dan mengeluarkan isinya. Haruskah ia membaca surat ini terlebih dahulu sebelum menyerahkannya padaku?
Dear Nial.
Bagaimana keadaanmu di rumah baru? Kurahap kau baik-baik saja dan merasa betah disana. Kami semua di sini pun baik, meski sekarang mengalami kesulitan saat kau tak ada. Kau tahu, dihari pertama kau meninggalkan rumah kami nyaris mati kelaparan karena baru menyadari hanya kaulah di rumah ini yang bisa memasak, dan itu berarti ketika kau tak ada begitu juga makanan yang biasa terhidang. Aku dan Fio sempat baku hantam kala menentukan tugas rumah karena ia tak mau mendapat bagian mencuci. Dia bilang takut kulit tangannya kasar. Dan selama beberapa hari ini kami seperti anak gadis yang baru belajar mengurusi rumah. Betapa menyedihkannya mengingat selama ini kau yang melakukannya. Aku merasa bukan seorang perempuan karena memasak nasipun tak bisa. (TT__TT;")
Aku terkekeh saat membaca surat kak Rena yang berakhiran emoticon. Tak dapat kubayangkan bagai mana wajah yang biasanya garang itu menulis surat ini dengan hiasan emoticon seperti itu. Kulanjutkan membaca pada paragraf berikutnya.
Ayah mulai berubah, ia sudah tak lagi pergi untuk berjudi atau sekedar mampir minum menghabiskan uang. Ia mulai bekerja di toko besi kota sebelah. Sedangkan Lyla dan Fea baru saja lulus belajar memasak pada bibi Dellan. Wanita gemuk itu sepertinya benci setengah mati padaku. Karena hanya aku yang selalu mendapat gertakannya. Sialan! >~
Oh ya.. aku tak bisa menghubungimu lewat telepon karena tak tahu nomor telepon rumahmu. Sepertinya suamimu juga tak memberimu Handphone. Pelit sekali dia!!
Aku melirik Arka yang masih fokus pada pekerjaannya. Apakah ia membaca bagian ini? Marahkah ia? Oh semoga saja tidak.
Bilang padanya, meskipun ia rentenir tapi jangan pelit-pelit pada suami sendiri. Nanti kuburannya sempit!
Tawaku lepas kala membaca bagian ini. Astaga, aku tak menyangka kakakku yang biasa garang itu bisa berkata konyol seperti ini. Kugelengkan kepalaku dan kembali membaca surat yang lumayan panjang ini.
Sebagai suami tak seharusnya ia bersikap pelit. Soalnya kalau padamu saja pelit bagaimana denganku yang sebagai kakak iparnya. Bisa dipastikan aku meminta lipstik saja tak akan ia belikan. =__=;)
Pokoknya kami semua merindukanmu Nial. Sangat! Terutama Fea yang memaksa agar aku mau mengantarnya kepadamu. Dasar bocah merepotkan. Kami harap kau segera berkunjung kerumah secepatnya. (~^3^)~
Sampai jumpa sayang :*
Dari kakakmu yang paling cantik. ♡ Rena K.
Aku kembali tertawa setelah selesai membaca surat ini. Astaga surat yang penuh dengan emoticon dari wanita segarang Rena Kenfallo. Entah kenapa rasanya sangat mustahil meski kenyataannya aku mendapatkannya.
Setelah merasa puas tertawa dan berhasil mengatur nafas, aku mengusap ujung mataku yang berair. Lalu melirik kesebelah yang langsung mendapati Arka tengah menatapku tajam. Sontak tubuhku langsung menegang dengan hati mengkerut. Astaga, sepertinya aku mengganggunya.
"Ma-maaf." Ucapku seraya menundukan kepala.
Aku tak mau melihat tatapan matanya yang tajam. Itu sangat mengintimidasiku. Tapi bukannya menanggapi kurasakan tubuh Arka bergeser mendekat kearahku. Membuatku refleks mencondongkan tubuh kebelakang menghindarinya.
"Kenapa kau menjauh?" Suara beratnya makin membuatku menciut. Kulihat tangannya meletakan kacamata di atas meja.
Mulutku terkatup rapat-rapat tak mampu menjawab pertanyaan Arka. Hatiku ketar-ketir memikirkan perlakuannya nanti. Apakah ia marah? Apakah ia akan menyakitiku lagi?
"Angkat kepalamu."
Dengan ragu aku mengangkat kepalaku dan mencoba menatapnya. Tanpa kusangka dengan cepat Arka menempelkan bibirnya di bibirku. Menekan lembut bibirku beberapa saat.
Aku hanya mampu mengerjapkan mataku saat wajahnya menjauh dan menatapku. Mencerna berulang kali kejadian barusan yang telah terjadi di kepalaku. Dan ketika aku mulai sadar sepenuhnya, kututup bibirku dengan tangan kanan.
Menatap Arka tak percaya. Kedua pipiku terasa panas yang kuyakini mulai merona. Arka mengecup bibirku? Menekan bibirku dengan bibirnya secara lembut? Tanpa ada paksaan dan gerakan kasar yang memaksa?!
Jantungku segera berpacu tak wajar. Serasa ada letupan kembang api yang menggelitik perutku dari dalam. Menimbulkan sensasi aneh yang menyenangkan baik pada tubuh maupun pikiranku.
"Sial!"
Dan begitu kudengar Arka mengumpat, ia segera menarik tanganku dari mulutku. Lalu menarik tengkukku padanya. Kukira ia akan menciumku dengan kasar seperti waktu pertama kali. Tapi tak kusangka ia mengecup bibirku lembut.
Kecupan lembutnya hanya sekilas namun dilakukan berkali-kali. Kelopak matanya terpejam menyembunyikan iris emeraldnya. Bibirnya yang bergerak lembut terasa manis dan memabukan. Membuatku dengan perlahan ikut memejamkan mata.
Ragu-ragu, aku membalas kecupan Arka. Yang langsung direspon dengan semakin menekan kepalaku. Tangannya yang lain mulai bergerak merengkuh tubuhku. Refleks kutahan jarak tubuh kami dengan meletakan kedua tanganku didadanya. Namun sepertinya percuma karena dia justru semakin erat mendekapku. Membuat kedua tanganku terhimpit diantara tubuhku dan tubuhnya.
Kecupan-kecupan lembutnya entah sejak kapan berubah menjadi lumatan dan jilatan di bibirku. Aku tak kuasa menahan degupan jantungku yang makin berdetak tak normal. Berharap tanganku mampu menyembunyikannya dari tubuh Arka yang mendekapku.
"Mmhhh.."
Aku merintih pelan saat Arka menggigit bibir bagian bawahku sementara tubuhnya mendesakku untuk berbaring diatas sofa. Ciuman kali ini sangat berbeda. Benar-benar memabukanku tanpa rasa sakit sedikitpun. Meski menyesakan di dada dan melilit perutku tapi aku merasa senang. Menginginkan lebih.
Mungkin karena kurangnya oksigen pada saraf otakku, aku jadi berpikir gila seperti itu. Tapi aku memang tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku menginginkan lebih!
Dengan susah payah aku membebaskan tanganku dari himpitan tubuh kami. Mengaitkannya pada leher Arka. Kubuka mulutku saat lidahnya untuk kesekian kali menjilat bibirku. Mengijinkannya masuk menjelajahi mulutku.
Lidah Arka bergerak lihai didalam mulutku. Mengajak lidahku berdansa didalam sana. Tak jarang aku kembali merintih dan mengeluh saat lidahku dihisap olehnya. Dan merasakan tangannya yang entah sejak kapan berada dibalik bajuku dan membelai dadaku lembut.
"Uuhk?!"
Aku tersentak kaget saat tubuh bawah Arka menyentakku dengan keras dan tiba-tiba. Membuat pantatku bergesekan dengan sofa. Pantatku kembali terasa sakit. Seolah luka disana kembali terbuka.
"Kau baik-baik saja?"
Aku menatap Arka yang tengah memandangku. Mimpikah ini mendapatinya mencemaskan diriku. Meski ekspresi datar tercetak di wajahnya, dapat kulihat matanya yang memancarkan kecemasan. Atau itu hanya ilusi yang kubuat sendiri.
"Ya.. aku tak apa."
Arka kembali mengecup lembut bibirku. Yang kemudian berpindah ke pipi dan rahangku. Tangannya bergerak lembut ditubuhku sebelum menyingkap bajuku keatas.
Kenapa ia menjadi selembut ini? Atau memang beginikah dia?!
"Aah!"
Aku mendesah saat merasakan benda lembab dan hangat menyapu putingku. Membuat seluruh tubuhku menegang dan bulu kudukku berdiri. Dan aku semakin terasa ingin meledak saat dia mengulum dan menyedot kuat-kuat putingku.
"FUCK!!!!"
Makian itu mengagetkan kami berdua. Berdecak tak suka Arka mengangkat sedikit tubuhnya, yang berarti masih menindihku. Lalu menolehkan kepalanya kebelakang.
"Apa yang kau inginkan tengah malam kemari mr. Jhonson?" Desis Arka.
"Apa yang tengah kau lakukan bersama seorang pemuda mr. Hankal?" Bukannya menjawab Fredy justru balik bertanya dengan mengejek. "Kuharap kau tak lupa telah memanggilku kemari.. Oh sepertinya kau sudah lupa."
Pria berkulit hitam itu segera melangkah menghampiri. Dengan gugup aku menurunkan bajuku yang sempat disingkap Arka tadi. Lalu duduk tegang setelah Arka bangkit dari atas tubuhku.
Kupastikan wajahku merah padam saat ini. Hingga ku memutuskan untuk menundukan kepala menghindari tatapan teman suamiku itu.
"Jadi kau berhasil? Ku harap jawabannya 'ya' karena telah menggangguku." Ucap Arka.
Fredy memutar matanya bosan. "Mangkanya jangan memanggil orang disaat mau melakukannya." Lalu melemparkan map coklat keatas meja sebelum duduk di sofa sebrang kami. "20 terbakar hangus, 5 dalam keadaan cacat dan hanya dua yang masih kondisi mulus."
Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tak ingin bermaksud menguping pembicaraan mereka aku bangkit dan menawarkan Fredy minuman. Tentu saja pria itu langsung menjawabnya antusias.
"Kalau bisa sama makan malam sekalian. Aku belum makan malam dan ku akui masakanmu sangat cocok di lidahku." Pintanya yang terkesan memerintah.
"Ambilkan air putih saja." Perintah Arka.
"Hei!! Kau hanya menyediakanku air putih setelah bersusah payah melakukan ini?! Dasar lintah darat pelit."
"Berikan dia air kran!"
"Brengsek!! Ku sumpahi kau punya kuburan sempit saat mati terjepit kontainer nanti!"
Entah kenapa mendengar perkataan Fredy membuatku ingin tertawa. Namun kutahan setengah mati. "Kalau kau mau menunggu akan kubuatkan."
"Oh tentu!" Ucapnya dengan wajah yang langsung berubah cerah. "Kuharap kau tak betah hidup dengan iblis ini dan segera minta cerai. Mungkin untukmu aku rela menjadi gay."
Fredy mengedipkan sebelah matanya padaku seraya tersenyum. Kuakui pria ini cukup menawan meski kulit hitamnya membuat ia terlihat sangar.
"Akan kuledak kepalamu jika masih menggoda 'istri'ku." Ancam Arka. Ia segera mengeluarkan senapan anginnya yang berada dibawah meja.
Dor!!
Aku melonjak ngeri saat tanpa ragu Arka menembakkan kearah Fredy. Untunglah pria itu segera menghindar hingga mengorbankan sofa karenanya.
"Cih meleset!"
"DASAR SETAN!!!" Umpat Fredy.
Tak mau melihat pertumpahan darah aku segera berlari kedapur. Suamiku benar-benar iblis berwajah tampan!
Setelah sampai didapur aku melirik kertas yang masih kugenggam. Surat dari kak Rena sudah lecek dan kusut. Apakah aku terus-menerus menggenggamnya? Kutatap surat itu sejenak sebelum mengambil keputusan.
Semoga Arka memperbolehkanku pulang.
[Chapter 7 End]
Entah kenapa chapter kali ini malah memuat lelucon garing -___-"
Nao gak akan minta maaf atas ngaretnya chapter kali ini. Karena Nao dah ngasih tau alasannya :p
Tapi Nao minta maaf atas chapter ini yang mungkin mengecewakan. Kegiatan yang penuh dihiasi masalah yang muncul bersamaan di musim mid ini bikin otak Nao ngadat buat berimajenasi. Hiks *curcol*
Tapi terimakasih buat yang udah nyemangati Nao.. :* #cipok basah
rasanya seneng banget saat baca semua komen kalian. Bikin Nao bisa tersenyum sejenak melupakan beban. ^-^ //gayamu nak!!
I love you so much!
A/n: Nao masih mid looh~
See you next chap ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top