4th Chapter

Loving You! 4th Chapter:

*** His Friend ***

Disaat ku mulai membunuh perasaan ini mengapa kau justru makin menumbuhkannya.. Tahu kah kau, aku takut jika kau hanya akan membuatku semakin terluka.

Aku tak ingin terjatuh lagi setelah terbang tinggi..

.

.

.

.

Aku mendongakkan kepalaku saat mendengar meja sebrang ditarik. Arka duduk di depanku dengan setelan jasnya, menandakan dia telah siap untuk berangkat kerja. Tapi buat apa dia duduk di sini?

Berusaha tak memperdulikannya, aku kembali melanjutkan aktivitas sarapanku yang sempat tertunda. Tak ingin lagi memperdulikannya. Tak peduli jika ia akan menganggapku kurang ajar atau apa.

Semenjak kejadian semalam aku memutuskan untuk menyerah memperhatikan pria yang merupakan suamiku itu. Membunuh perasaan yang baru berkembang ini sebelum menjadi lebih besar.

Aku tahu keputusanku ini dapat mengancam anggota keluargaku, tapi percuma saja aku memperhatikan orang yang tak ingin diperhatikan. Percuma bagiku memperlakukan Arka dengan manis demi mendapatkan hal yang sama.

Kurasakan Arka menatapku lewat ekor mataku. Dia terus memandangku dan membuatku risih. Sungguh apa yang sebenarnya dia mau saat ini?

"Pagi."

"Huh?" Aku mendongak dan mengerjap saat mendengarnya.

Arka masih menatapku dengan pandangan datar. Sementara aku menatapnya bingung.

"Bukankah tidak sopan tak menjawab salam dari orang lain." Ucapnya membuatku tersentak.

"A-ah maaf.. selamat pagi."

Aku menyadari sesuatu segera setelah berucap. Buat apa aku meminta maaf? Bukankah ia juga pernah melakukannya?!

"Ambilkan makanan untukku."

Lagi-lagi aku mengerjap mendengar perintahnya. Lalu seolah refleks aku beranjak bangun dan berjalan kerak piring. Mengambil satu piring untuk Arka.

Aku terbiasa langsung melakukan sesuatu atas perintah orang lain karena perlakuan keluargaku dulu. Jadi saat menyadari diriku menuruti perintah Arka sudah terlambat untuk dihentikan. Aku sudah mengambilkan nasi untuk Arka.

Astaga, aku harus belajar mengendalikan diri agar tidak begitu mudah menuruti perintah orang lain. Menghela nafas aku, aku kembali melanjutkan pergerakanku yang mengambilkan lauk. Lalu memberikannya pada suamiku itu.

Arka menerimanya dan mulai sarapan. Mengacuhkanku yang memandanginya. Bingung dengan sikapnya pagi ini yang tiba-tiba mendekatiku.

Jangan bilang kalau dia merasa bersalah atas kejadian semalam. Jika memang begitu aku tetap tidak boleh terpikat lagi padanya. Perasaan ini harus segera dan berhasil kuhilangkan. Sebelum pria didepanku memiliki perasaan itu terlebih dulu.

"Kau tidak sarapan?"

Aku tersadar saat mendengarnya. Dengan salah tingkah aku kembali melanjutkan sarapanku. Masih memikirkan sikap Arka pagi ini. Jangan-jangan ia begini karena ayah.

Memikirkan itu membuat hatiku kembali berdenyut sakit. Menghela nafas berat, aku berusaha menerima jika kenyataannya memang begitu. Sebenarnya buat apa dia menikahiku.

"Nanti malam kau dilarang keluar kamar hingga aku mengijikannya."

Aku menatpnya heran. "Kenapa?"

"Turuti saja." Dingin dan acuh.

Meski ia sudah mau berhadapan denganku saat ini ternyata sikapnya tak berubah sedikitpun. Aku menunduk dan berusaha kembali melanjutkan sarapan. Tapi entah kenapa nafsuku langsung hilang saat berhadapan dengan Arka.

Aku sungguh bingung dengan pria didepanku. Tak pernah memikirkan perasaanku dan selalu berkehendak sesuka hati. Bersamanya aku merasa terpenjara dirumah ini dan merasa terkekang.

"Aku sudah kenyang." Ucapku lalu bangkit meninggalkan makananku yang masih setengah. Sungguh, aku sudah tidak nafsu lagi.

"Kau menghindariku huh?"

Aku berhenti dan memunggunginya. Pertanyaannya benar-benar menyindirku. Aku menoleh dan mendapatinya tengah menatapku tajam. Membuatku merinding dan membeku seketika.

"A..aku tidak.."

"Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu." Arka menunduk melanjutkan sarapannya. Tapi tetap berbicara padaku yang masih berdiri menatapnya. "Menghindariku seolah aku membawa masalah untukmu."

Kenapa dia berkata seperti itu dengan mudahnya? Tidak sadarkah ia akan dirinya sendiri? Memperlakukanku dengan acuh dan dingin. Bahkan seolah menganggapku tak ada.

Aku berjalan menghampirinya dan kembali duduk ditempat semula. Menatapnya yang masih menekuni sarapannya.

"Masakanmu lumayan enak." Komentarnya.

Aku mengerjap. Lalu menunduk saat merasakan wajahku tersipu malu. "Te-terimakasih."

Lalu kami sama-sama terdiam sampai ia menyelesaikan sarapannya. Tepat setelah itu anak buah Arka menghampirinya dengan membawa ponsel. Membisikan sesuatu sebelum menyerahkan ponsel itu.

Aku memerhatikannya lalu melirik anak buah Arka yang berdiri disamping belakang suamiku. Masih kuingat betul pria itu. Pria yang mencoba sarapan yang kumasakan untuk Arka. Kalau tidak salah namanya Leo.

Seolah menyadari tatapanku Leo membalas memandangku. Dia membungkuk hormat yang kutanggapi dengan anggukan kikuk. Aku masih belum terbiasa dengan perlakuan para pelayan disini.

Arka bangun segera setelah menempelkan ponsel itu ditelinganya, meninggalkanku begitu saja dengan diikuti Leo. Aku menghela nafas berat. Astaga, hampir setiap saat aku menghela nafas jika berhadapan dengan suamiku itu.

"Ruth, tolong bereskan ini semua." Pintaku pada Ruth yang sedari tadi berdiri disudut ruangan dekat pintu.

Wanita itu mengangguk, dan berjalan menghampiri meja makan. Sementara aku bangkit meninggalkan ruangan itu. Rasanya dirumah ini kerjaanku hanya makan, bersantai dan tidur. Aku benar-benar merasa bosan.

Dengan lemas aku menaiki anak tangga menuju kelantai atas. Mungkin berenang bisa membuatku merasa segar dan menghabiskan sebagian waktu senggangku yang teramat banyak.

Tapi baru menaiki anak tangga kelima aku mendengar Arka memanggilku. Aku berbalik tanpa menghampirinya yang berada di anak tangga bawah. Berusaha bersikap seacuh mungkin kepadanya.

"Nanti malam pakailah baju yang ada dilemari." Perintahnya.

Aku menganggukan kepalaku meski bingung kenapa harus nanti malam. Bukankah nanti malam aku tidak diperbolehkan keluar kamar. Lalu menunggu apakah masih ada yang ingin disampaikan lagi olehnya. Karena dia terus menerus menatapku.

"A-apa?" Tanyaku kemudian. Merasa jengah dengan situasi bisu pada kami saat ini.

Tanpa menjawab pertanyaanku Arka berbalik dan memanggil para anak buahnya. Memerintahkan mereka untuk segera menyiapkan mobil dan berangkat.

Lagi-lagi seperti ini. Mengacuhkan aku meski itu hanya sekedar pertanyaan. Kukira ia akan berubah meski sedikit saja. Atau.. haruskah aku yang membantunya untuk merubah sikapnya terhadapku.

"Ha.. Hati-hati dijalan." Ucapku sedikit lantang saat Arka hampir sampai diambang pintu.

Pria itu berhenti yang dengan pasti diikuti para anak buahnya yang juga berhenti. Awalnya kupikir ia tak akan mengiraukan ucapanku. Tapi tak disangka dia menoleh kearahku.

Sebuah senyum tipis terbentuk dibibirnya. "Aku berangkat."

Arka segera pergi setelah mengucapkan satu kalimat dengan dua kata itu. Meninggalkanku yang masih terpaku ditangga melihat kepergiannya.

Tunggu. Apakah tadi dia membalas ucapanku? Apakah tadi dia tersenyum kepadaku? Benarkah itu?!

Jantungku berdegup kencang memproses sikap Arka tadi. Membuat darahku berdesir mengingat senyumnya yang memukau. Tanpa sadar aku menutup mulutku tak percaya.

Masih berdiri di tangga seorang diri. Menatap pintu yang sudah tak ada siapa pun disana. Aku masih menutupi mulutku dengan sebelah tangan. Menutupi senyumku yang entah kenapa tidak bisa kutahan.

Mungkin.. aku bisa mengubah sikap Arka terhadapku.

***

Aku memandang pantulan diriku dicermin. Aku sudah siap dengan kemeja kotak-kotak biru donkerku dengan kaus abu-abu didalamnya, dan celana panjang hitam. Ruth membantuku menyiapkan diri yang sebenarnya entah untuk apa.

Dan setelah semuanya selesai, aku mengerutkan kening menatap cermin. Well, ini seperti bukan diriku. Tampak terlihat sedikit lebih dewasa dari pada biasanya. Aku jadi terlihat 3 tahun lebih tua.

Umurku saat ini adalah 19 tahun. Aku tidak melanjutkan pendidikanku seperti kak Rena. Langsung bekerja paruh waktu disebuah toko roti begitu lulus sampai akhirnya Arka datang melamarku. Atau tepatnya mengambilku dari keluarga.

Aku tak tahu usia Arka, yang jelas pasti diatas dua puluh lima tahun. Selain nama dan kegiatan yang dilakukannya tak ada lagi yang kuketahui. Pria itu sungguh tertutup dan misterius. Aku bahkan tak tahu apa sebenarnya pekerjaan suamiku itu.

"Anda tegang?" Ruth bersuara dari balik bahuku.

Aku sudah memintanya untuk bersikap biasa padaku dan tidak perlu terlalu formal. Tapi seolah sudah menjadi bawaan lahir perempuan itu tetap bersikap kaku. Meski setidaknya kini ia mulai berinisiatif membuka percakapan diluar tugasnya.

"Hhm.. lebih tepatnya bingung." Jawabku dan dia tertawa.

Hei, dia sudah bisa tertawa didepanku. "Maaf." Ucapnya tak enak saat aku memperhatikannya.

"Tidak apa-apa. Kau harus lebih banyak tertawa saat bersamaku. Karena itu terlihat lebih hidup dan cantik, aku menyukainya." Bukan bermaksud menggodanya, tapi aku lebih senang jika dia bersikap seperti ini.

Ruth tersipu malu dan berdeham untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. "Apa yang anda bingungkan tuan?" Tanyanya.

Dia berjalan memunguti pakaianku sebelumnya. Menghela nafas aku kembali menatap pantulan diriku.

"Aku bingung dengan sikap Arka. Bukankah dia memerintahkanku untuk tidak keluar kamar? Tapi kenapa dia memintaku berpenampilan seperti ini?"

"Seperti apa? Anda sangat tampan tuan." Puji Ruth yang kutanggapi dengan senyuman kecut. "Sepertinya tuan besar lupa memberitahu anda bahwa sahabat tuan besar akan berkunjung kemari. Dan beliau bermaksud memperkenalkannya kepada anda." Jelas Ruth.

Aku ber-ohh dan menatap Ruth melalui kaca. "Tapi mengapa sebelumnya ia memintaku untuk tidak keluar kamar?"

"Karena sebelumnya orang lain yang akan datang, namun dibatalkannya."

Orang lain? Siapa dia? Perempuan Arka yang lainkah, dan dia bermaksud menyembunyikan keberadaanku. Aku mendesah lesu saat pemikiran itu muncul dikepalaku.

Sikap Arka dan kejadian kemarin malam membuatku tidak percaya diri akan statusku. Pernikahan ini belum tentu hal yang benar-benar diinginkan Arka. Membuatku berpikir posisiku sekarang bukanlah apa-apa. Dan aku dapat didepak dari rumah dan kehidupannya kapan saja.

Tak lama suara mobil memasuki halaman rumah terdengar. Menunjukan bahwa suamiku telah pulang. Aku berjalan menghampiri kaca balkon kamarku dan melihat tiga mobil memasuki halaman. Satu diantaranya mobil sport yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mungkin itu milik sahabat Arka yang diceritakan Ruth tadi.

Aku berbalik dan melangkah keluar setelah meminta Ruth membereskan kamarku. Turun kebawah untuk menemui sahabat Arka. Aku jadi penasaran orang seperti apa yang dapat menjadi sahabat suamiku yang dingin itu.

Sesampainya dianak tangga bawah suara orang bercakap-cakap mulai terdengar. Ditambah lagi suara berat yang jernih terdengar begitu antusias bercerita begitu memasuki ruang tengah.

".. lalu setelah itu aku bertanya padanya. 'Katakan kodenya jika kau ingin hidup!'. Dan dengan penuh ketakutan tua bangka itu menyebutkan sandinya meski sebenarnya aku tak menepati omonganku. Dan begitu dia selesai, Zrrraassshh.. kupisahkan kepa.. lanya." Ucapan pria berkulit hitam itu sempat terhenti saat pandangannya bertemu denganku.

Aku sudah menatapnya horor semenjak mendengar ia bercerita tadi. Apa-apaan itu? Apakah yang ia ceritakan itu nyata, atau bagian dari game yang ia mainkan. Kami sama-sama terdiam dengan saling menatap. Sampai Arka bersuara.

"Aku tak menyangka kau sudah siap secepat ini."

"Ruth yang memberitahuku kau akan pulang cepat." Aku melanjutkan langkahku menuruni anak tangga terakhir dan menghampiri dua pria dengan dua warna kulit yang sangat berbeda.

Pria berkulit hitam disamping Arka mengerjap mamandangku. Tubuhnya sangat tinggi, bahkan melebihi tinggi tubuh Arka. Membuatku harus mendongak menatapnya.

"Errr Arka? Dia siapa? Dan dimana istrimu?" Tanya pria itu. Mencolek bahu Arka dengan pandangan yang masih menatapku.

"Fredy, dialah 'istri'ku. Nial Hankal."

Aku mengernyit tak suka saat Arka menyebutku dengan sebutan 'istri'. Karena aku adalah seorang pria, setidaknya dipanggil suami meski itu oleh sesama pria.

"WHAT THE FUCK!?" Sumpah pria itu. "Kukira saat kau menyebut kata 'istri'.. kabar tentang dirimu yang menikahi pria itu bohong! You must be kidding me Arka Hankal?!"

Aku sedikit tidak suka dengan reaksi pria ini. Apakah seburuk itu mendapati sahabatnya yang merupakan pria menikahi seorang pria?! Ok itu memang buruk, tapi setidaknya pikirkanlah perasaanku juga saat mendengarnya.

"Jaga ucapanmu Fredy Jhonson." Arka memperingatkan dengan nada dinginnya. Membuat pria berkulit hitam yang dipanggil Fredy itu mendecih.

"Well, aku Fredy. Sahabat suamimu yang menyebalkan." Ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Aku sedikit terkekeh mendengarnya. Tak kusangka ada yang berani mengatakan itu pada orang sedingin Arka. Kusambut uluran tangan Fredy dan tersenyum.

"Nial.. Hankal." Aku sedikit ragu untuk menyebutkan nama belakangku yang telah berganti.

Fredy menaikan sebelah alisnya dan tak melepaskan genggaman tangannya pada tanganku. Ia menatapku dari atas hingga kebawah yang membuatku risih diperhatikan secara terang-terangan.

"Dari segi fisik kau tidak begitu menarik, tapi mungkin aku akan tahu kenapa Arka mau menikahimu." Meski nadanya terkesan biasa tapi pernyataannya cukup menohokku.

Fredy melepaskan tanganku dan berjalan melewatiku. Meninggalkanku dan Arka menuju ruang makan terlebih dahulu. Aku menghela nafas berat. Apakah semua orang dikehidupan suamiku memiliki mulut pedas macam pria itu.

"Jangan kau pikirkan ucapannya. Dia memang tak bisa menjaga mulut." Ucap Arka yang tiba-tiba menepuk puncak kepalaku.

Aku mendongak menatap wajah dengan ekspresi datarnya. Lalu merasakan aliran darahku berkumpul dikedua pipiku yang membuatnya terasa panas. Kenapa jantungku harus bereaksi lagi pada sikapnya yang berubah-ubah seperti ini.

"Arka!! Dimana makanannya?!" Teriakan Fredy terdengar.

Arka melepaskan tangannya dari puncak kepalaku dan berjalan meninggalkanku. Menghampiri Fredy diruang makan yang terus berkoar-koar, sementara aku masih berdiri mematung.

Kuremas baju tepat dibagian dadaku berharap dapat meredam degup jantung yang berpacu tak normal. Mengembalikan ketenangan yang kumiliki.

Meski aku sudah memutuskan untuk membunuh perasaan ini, tetap saja aku selalu terjebak dalam pesonanya. Tak berdaya oleh kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukannya terhadapku. Membuatku melupakan seribu luka yang telah ia goreskan padaku.

"Aku tak boleh jatuh cinta.." Gumamku.

Kutarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah merasa cukup tenang aku menyusul Fredy dan Arka ke ruang makan. Memutuskan tak terpikat pada setiap pesona yang dimiliki suamiku.

Sudah cukup aku merasakan sakit karena sikapnya. Sudah cukup aku kecewa karena berharap pada perilakunya. Sudah cukup aku bersabar pada egonya. Dan kurasa sudah cukup aku untuk terluka karena pria itu.

Meski ku tahu.. terkadang perasaan tak dapat diatur dan bergerak sendiri mengikuti rasa yang ada..

***

Aku tersenyum dan melambaikan tangan saat Fredy pergi seraya melambaikan sebelah tangannya dengan mobil sportnya. Pria itu ternyata tak setipe dengan Arka yang lebih sering diam dan memandang orang dengan tatapan tajam, Fredy sangat cerewet dengan mulutnya yang pedas. Tak jarang aku kena komentarnya yang menyakitkan.

"Kau ini seorang pria tapi tubuhmu kurus kering. Aku tak yakin kau dapat mengangkat beban lebih dari 20 kg dengan tangan sekurus itu. Bisa-bisa tanganmu justru patah layaknya ranting kering." Ucapnya seraya menikmati makanan yang dihidangkan.

Aku hanya dapat tersenyum kecut mendengarnya. Bingung harus membalas pernyataannya itu tanpa terkesan balas dendam menyindir. Tapi tak kusangka Arka membelaku.

"Aku senang dengan tubuhnya yang ramping seperti itu dari pada harus berotot."

Arka tak menatap Fredy, dia mengucapkannya dengan datar dan fokus pada makanannya. Saat dia mengatakan itu lagi-lagi jantungku berdegup lebih kencang.

Fredy hanya mendecih. "Tapi dia ramping dan datar. Tak berbentuk, layaknya papan triplek!" Komentar Fredy lagi.

Arka berhenti dan menatap tajam Fredy. Suasana menjadi tegang dengan kedua pria itu saling menatap tajam.

"Meski kau sahabatku bukan berarti kau bisa berkata semaumu pada 'istri'ku." Jelas Arka.

Seakan tak peduli Fredy memutar bola mata bosan. Dia kembali memakan makanannya yang sempat ia acuhkan. Menghabiskan porsinya yang ke tiga.

"Jangan pikirkan perkataan Fredy tadi."

Perkataan Arka menyadarkanku yang entah kapan mulai melamun. Aku menoleh menatap Arka yang berdiri disebelahku. Masih mengenakan jas yang dipakainya saat berangkat kerja tadi pagi.

Pandangannya yang semula menatap kepergian Fredy kini menoleh padaku. Menatap dengan ekspresinya yang datar. Kapan aku dapat melihat ekspresinya yang lain?

Kapan senyumnya dapat kulihat lagi. Seperti apakah saat dia tertawa atau bagaimana saat ia merajuk. Tapi sepenasaran apapun aku melihat bagaimana bermacam ekspresi muncul diwajah suamiku, satu yang membuatku ngeri untuk melihatnya.

Seperti apa jika Arka marah. Itulah yang tak ingin kulihat sampai kapan pun. Karena sudah cukup aku menghadapi prilaku dinginnya dibandingkan harus menghadapi emosinya.

Tanpa kusadari tangan Arka terulur. Jari tengahnya menyentuh kulit pipiku dan mengusapnya lembut.

Deg..

"Kau dingin. Cepat masuk!"

Meski perkataannya bernada perintah, tapi tetap dapat membuat dadaku bergemuruh. Dengan kikuk aku mengangguk dan mulai masuk mendahului Arka.

Deg..

Lagi dan lagi aku mulai berdebar karena kebaikan-kebaikan kecilnya padaku. Membuatku sulit untuk tetap pada keputusanku agar tak terpikat padanya. Bagaimana jika aku terluka lagi?

Jatuh dari hempasan angan menghantam kekecewaan lagi. Tersakiti dan terluka lagi. Memikirkan itu membuatku kembali menghela nafas.

Aku menghentikan langkahku saat mengingat sesuatu. Kupikir ini waktu yang tepat mengingat sikap Arka tak begitu dingin padaku. Dengan ragu aku berbalik. Melihat suamiku yang menyusul dan ikut berhenti lalu menatapku sedikit heran.

Dengan bergetar bibirku terbuka perlahan. Berniat mengutarakan apa yang ingin kukatakan. Dan saat perkataan yang merupakan pertanyaan itu keluar, kusadari wajah Arka berubah tegang.

"Apa alasanmu menikahiku?"

[Chapter 4: End]

Akhirnya bisa update juga!! Berhubung besok cuma UH MTK Nao jadi bisa sedikit santai buat ngalanjutin nih cerita :3

Dichap kali ini Angstnya gak terlalu kerasa. Kasihan sih ngeliat Nial ditindas mulu XD

Votement please♡

See you next chap~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top