3rd Chapter
Cerita ini Nao dedikasikan untuk pembaca setia yang dah ga sabar :D
Enjoy~
Loving You! 3rd Chapter:
*** Care ***
Pukul delapan pagi lewat dua puluh menit. Matahari mulai meninggi dan cahayanya menembus gordeng kamarku, membuat keadaan kamarku jadi terlihat lebih jelas.
Aku masih bergelung didalam selimut dan enggan bangun. Kepalaku sakit ditambah rasa dingin masih menyerang tubuhku. Aku merasa lemas dan tak berdaya. Rasanya tidak kuat hanya untuk bangun sekedar duduk.
Mungkin ini karena seharian kemarin aku hanya memakan sepotong roti. Ditambah aku berada diluar dengan kaki terendam air tengah malam. Nial kau sungguh bodoh! Harusnya kau menjaga kesehatanmu sendiri.
Kurasakan poniku disingkap dengan sebuah tangan yang halus. Meletakan kain basah diatas keningku. Siapa lagi kalau bukan Ruth.
Perempuan itu segera panik ketika mendapati kondisiku seperti ini. Dia menyarankanku untuk memanggil dokter namun aku mencegahnya. Itu hanya akan membuatku nampak merepotkan dimata Arka. Aku tak mau seperti itu.
"Maaf.." ucapku parau. Menyadari jelas kalau aku merepotkan Ruth.
Perempuan itu tersenyum dan kembali membasahi kain yang ditempelkan dikeningku. Rasanya sangat nyaman. Membuatku teringat pada mama saat ia merawatku sakit dulu.
"Apakah tuan bisa makan?" Tanya Ruth membuatku terjaga. Rasa pening membuatku selalu ingin memajamkan mata dan tidur.
"Saya sudah meminta Rachel membuatkan bubur. Setidaknya tuan harus minum obat." Jelasnya.
Sesungguhnya aku tidak ingin makan. Selain tidak nafsu mulutku juga terasa pahit membuatku malas hanya untuk sekedar menelan ludah sendiri. Tapi aku memutuskan mengangguk karena tak mau semakin merepotkan.
Ruth tersenyum dan bangkit dari sisi ranjangku. Ia mohon undur diri untuk mengambilkan bubur dan obat. Aku berbalik dan memunggungi pintu. Melihat jendela kamar yang tertembus cahaya matahari.
Sudah siang. Apakah Arka sudah berangkat kerja? Sepertinya sudah. Pria itukan tidak perlu repot-repot untuk sarapan dirumah.
Kembali ku eratkan selimut untuk mencari kehangatan lebih. Kuputuskan untuk istirahat seharian agar kondisiku cepat pulih dan tidak merepotkan Ruth lagi. Menjadikan pelajaran agar aku tidak telat makan dan berdiam diri diluar pada malam hari dengan pakaian tipis.
Saat aku akan memejamkan mata suara ketukan terdengar diikuti suara terbukanya pintu. Sepertinya Ruth telah mengambil bubur untukku. Namun aku enggan untuk bergerak dari posisiku.
"Apa tuan bisa makan sendiri?" Tanyanya.
Kurasakan tangannya kembali menyentuh keningku. Namun kali ini tangannya terasa dingin. Membuatku terasa nyaman dan makin mengeratkan pejaman mata.
"Uhm.. ya akan ku makan nanti." Suaraku terdengar sangat parau. Bahkan aku bisa merasakan nafas panas yang keluar saat membuka mulut.
"Kau sakit?"
Mataku segera terbuka dan membelalak mendengar suara berat itu. Suara yang jelas-jelas bukan milik Ruth. Dengan panik aku menoleh dan mendapati Arka menatapku datar dengan tangannya yang masih menempel dikeningku.
Aku terdiam menatapnya, lalu melirik Ruth yang tersenyum kikuk. Perempuan itu membungkuk dan beranjak keluar.
"Hanya demam." Jawabku kemudian setelah Ruth benar-benar pergi.
Arka menarik tangannya dari keningku dan ia beranjak bangkit. "Makanlah buburmu." Ucapnya kemudian pergi.
Aku hanya bisa memandang punggungnya yang mulai menghilang dibalik pintu. Ingin rasanya memaksa ia tetap disini untuk menemaniku. Tapi saat ini aku tak punya tenaga lebih mendengar perkataan pedasnya. Hingga kubiarkan pergi begitu saja.
Menghela nafas aku mengambil mangkok bubur yang berada diatas nakas samping ranjang. Tubuhku gemetaran terlihat jelas dari tangan yang kuulurkan. Dengan susah payah aku meraih mangkok itu, namun ternyata tenagaku tak cukup kuat hingga menyebabkan mangkoknya jatuh.
PRANG!!
Sial! Sebaiknya tadi aku memegangnya dengan dua tangan. Aku buru-buru beranjak dari ranjang untuk membereskan pecahan beling dan bubur yang mengotori lantai. Bersamaan dengan itu pintu terbuka, membuatku menoleh dan tak memperhatikan langkahku.
"Auuw!!" Jeritku saat merasakan kakiku sakit karena menginjak sesuatu.
"Tuan baik-baik saja." Ruth lah yang ternyata membuka pintu tadi.
Perempuan itu segera menghampiriku dengan panik. Tetesan darah keluar dari telapak kakiku. Menetesi lantai dan bubur yang berceceran.
"Uhm.. tidak apa. Tolong bereskan itu dulu." Pintaku seraya duduk ditepi ranjang.
Mengangkat kaki kananku keatas paha kiriku. Melihat telapak kaki yang luka dengan beling yang menancap disana. Ruth membereskan pecahan beling sementara aku berusaha mencabut beling ditelapak kakiku.
"Ukh!" Aku meringis pelan saat beling itu tercabut.
"Ada apa?"
Aku berjengit kaget saat mendengar suara itu. Lagi-lagi Arka muncul dikamarku. Dia melihatku lalu melirik kakiku. Kulihat keningnya mengkerut dalam.
Arka sudah rapi dengan jas dan laptop ditangannya. Lalu dia mendengus kasar dan memanggil anak buahnya.
"Gantikan aku menemui pria itu. Dan kau!" Arka menunjuk Ruth yang telah membereskan pecahan beling. "Bereskan itu dan obati dia." Perintahnya.
Arka pergi meninggalkanku dan Ruth. Aku menoleh ke Ruth dan menatapnya ragu-ragu. Ukh.. haruskah aku meminta ini padanya?!
Ruth mengambil gagang telpon diatas nakas dan menekannya. "Rachel bawa satu orang kesini untuk membersihkan lantai tuan Nial. Dan kau bawakan semangkuk bubur lagi." Ruth menutup panggilannya.
Perempuan itu bersimpuh didepanku. "Permisi tuan." Ucapnya meminta kakiku yang terluka.
Ia merogohkan tangannya pada kantong seragam maidnya. Lalu mengeluarkan kantong plastik yang berisi kapas, hansaplast, dan untuk mengobati lainnya.
Saat Ruth mengobati kakiku 2 pelayan lain datang. Yang satu membawa semangkuk bubur dan yang lainnya membawa alat kebersihan. Tanpa mengatakan apa-apa mereka segera melakukan tugas masing-masing. Dan pergi meninggalkanku dan Ruth.
"Ruth.. " Bisikku saat ia telah selesai mengobatiku. "Boleh aku minta tolong."
"Ya tuan."
Aku menatapnya ragu-ragu dan kurasakan wajahku memanas. Astaga ini akan memalukan!! Tapi kuakui aku tak punya tenaga sedikit pun. Bahkan tanganku pun gemetaran saat menopang tubuhku yang duduk saat ini.
Ruth menatapku menunggu, sementara aku masih mencoba untuk membuka suara. Kurasakan peningku yang mulai menjadi. Semuanya jadi terasa berbayang dan buram.
"Lebih baik tuan Nial segera berbaring, wajah anda makin pucat." Saran Ruth. "Jika anda tidak keberatan saya akan menyuapi buburnya."
Aku menatap Ruth dan kemudian mengangguk. Perempuan itu menata bantal tinggi lalu menyelimutiku setelah membaringkan tubuh. Aku benar-benar merasakan seperti dirawat oleh mama. Meski pun kenyataannya aku hanya merepotkan Ruth.
Awalnya tadi aku ingin meminta Ruth agar menyuapiku. Tapi tak kusangka dia menawarkan diri sendiri.
"Apa anda ingin yang lain?" Tanya Ruth setelah aku minum obat.
Aku berhasil menghabiskan empat sendok bubur. Rasanya aku merasa enggan untuk melahap apapun dengan mulut sepahit ini. Bagai anak kecil, aku membuat Ruth membujukku untuk makan lebih banyak. Benar-benar memalukan!
"Tidak.. aku hanya ingin tidur." Jawabku seraya menarik selimut.
Ruth hanya mengangguk lalu meninggalkanku dengan membawa semangkuk bubur yang masih tersisa banyak. Setelah pintu benar-benar tertutup aku kembali bergelung didalam selimut. Berniat untuk segera tidur, namun suara pintu terbuka membuatku terjaga kembali.
Kulihat Arka masuk kamarku dengan membawa laptop. Dia duduk disisi ranjang, sebelah tubuhku yang terbaring. Mengapa dia disini.
"Kau tidak kerja?" Tanyaku dengan suara parau.
Arka membuka laptopnya dan menyalakannya. Lalu ia melihatku. "Tidur." Perintahnya singkat.
Tak ingin berdebat aku pun menurutinya. Kupejamkan mataku dan berusaha tidur. Membiarkan suara ketikan mengantarku kealam mimpi.
***
Aku sedikit kaget saat terbangun mendapatiku dipelukan Arka. Pria itu tidur disampingku dengan bertelanjang dada yang langsung menyambutku begitu membuka mata. Apakah seharian Arka tidur disini? Apakah ia tidak bekerja?
Aku mendongak memandang wajahnya yang terpejam. Wajahnya sangat tampan membuatku enggan untuk berpaling. Betapa beruntungnya wanita yang dapat memilikinya jika saja ia tak menikahiku.
Dengan perlahan aku bangkit duduk. Rasa pening sudah tidak begitu kurasakan setelah minum obat tadi. Meski aku masih terasa lemas dan panas yang membuat ku berkeringat.
Aku sedikit terkejut saat mendapati kemeja besar melekat ditubuhku menggantikan piyamaku. Bukankah ini kemeja yang dikenakan Arka? Lalu pandanganku mendapati tumpukan baju disudut ranjang saat menoleh.
Kenapa begitu banyak baju? Kenapa kemeja Arka bisa melekat padaku? Aku mengerutkan keningku heran memikirkannya. Lalu menoleh saat merasakan pergerakan Arka disebelahku.
Dia menguap dan bangun duduk disampingku. Menoleh padaku yang membuatku salah tingkah dengannya. Tangan Arka terulur menyentuh keningku lalu mendesah lega.
Kenapa ia harus merasa lega? Kenapa ia tidak berangkat kerja? Kenapa ia tidur disini bersamaku? Apakah kemeja ini ia yang memakaikannya padaku?
Berbagai macam pertanyaan muncul dikepalaku akan tingkah laku Arka seharian ini. Lalu saat aku mulai mengambil kesimpulan yang benar-benar membuat perasaanku bahagia, wajahku terasa panas lagi. Bukan karena sakit, tapi karena rasa malu yang berkumpul dikedua pipiku.
Dia peduli padaku..
"Masih sakit?" Tanyanya perhatian.
Tak ada tatapan tajam dan suara dengan nada menekan. Ekspresinya sedikit lembut dengan suaranya yang juga melunak. Membuatku melonjak girang dalam hati mendapati suamiku masih mempunyai kepedulian.
Kugelengkan kepalaku sebagai jawaban. "Hanya masih terasa lemas." Tambahku.
Arka mengangguk mengerti. Dia menoleh ke telepon yang ada diatas nakas dan menekannya. Meminta pelayan untuk mengambilkan makanan kekamarku. Setelah menutup telepon itu ia berbalik lagi menatapku.
Kusadari manik matanya berwarna hijau kebiruan layaknya pegunungan atau lautan mungkin. Entahlah yang jelas itu indah sekali membuatku enggan untuk berpaling darinya saat ini. Ditambah tatapannya yang beda dari biasanya, lembut tanpa ada tatapan yang mengintimidasi seperti biasanya.
"Mengapa kau tak memakai satu pun pakaian yang ada dilemari?" Tanyanya.
Aku sedikit bingung untuk menjawab pertanyaannya. Merasa tak enak atas apa yang telah ia sediakan untukku tapi tak kupakai atau menyentuhnya sedikitpun. Mau bagaimana lagi, semua barang yang ada didalam lemari terkesan mewah. Dan itu tidak cocok untukku.
"Bajuku masih bisa dipakai."
Ingin rasanya aku menarik kata-kata yang meluncur dari bibirku tadi. Lalu mencabik-cabik dan mencaci maki bibirku yang telah melontarkan kalimat bodoh itu.
Oh Nial!! Itu seolah-olah kau menolak semua pemberiannya dengan mengatakan tidak butuh secara tak langsung. Kenapa tidak kau katakan 'nanti' atau 'aku merasa enggan karena terlalu bagus' dan sebagainya.
Kulihat Arka mengerutkan keningnya tak suka. Dia pasti berpikir bahwa aku adalah orang yang tak tahu diuntung.
Lalu suara ketukan pintu membuatku menoleh. Arka mengijinkannya masuk. Ruth --orang yang mengetuk pintu tadi-- masuk dengan sepiring nasi dan lauknya diatas nampan yang ia bawa.
Arka mengambil piring itu dan menyerahkannya padaku. Memerintahkanku untuk menghabiskannya. Entah kenapa hampir semua yang ia ucapkan bernada memerintah.
Setelah itu Ruth mengambil semua pakaian yang ada disisi ranjang saat Arka menyuruhnya. Membawa pakaian itu keluar dan kembali menutup pintu kamarku. Sementara Arka masih disini dan mulai membuka laptopnya kembali.
"Aku tak akan pergi sebelum kau menghabiskannya."
Mendengar itu aku terdiam dan menatap Arka yang mulai sibuk dengan laptopnya. Aku mengulum senyum. Tak kusangka ia ternyata perhatian padaku. Membuat hatiku melonjak girang karenanya.
Dengan antusias, meski kurasakan mulutku masih terasa pahit aku mulai memakan makanan yang ada dipangkuanku. Tak ada lagi yang bersuara dari kami. Hanya ada suara ketikan yang menghiasi suasana saat ini.
Entah kenapa aku jadi berpikir 'untung aku sakit'..
***
Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul tujuh malam. Pakaianku sudah berganti dan merasa lebih fresh dari tadi. Arka juga sudah meninggalkan kamarku dari sejam yang lalu. Lumayan lama juga aku tidur tadi siang hingga sore begini.
Aku melangkahkan kakiku keluar kamar. Sudah tidak merasa lemas dan lebih bertenaga. Keadaan sudah mulai sepi dengan para pelayan yang sudah pulang. Rumah ini rasanya jadi terasa membosankan.
Dengan perlahan aku menuruni anak tangga dan mencari keberadaan Arka. Tapi aku tak menemukannya dimanapun didalam rumah ini. Kuputuskan mencarinya keluar.
Hembusan angin malam yang dingin segera menyambutku begitu kekuar. Taman terkihat gelap dan menyeramkan meski sudah dipasangi lampu. Ditambah lagi langit gelap yang sepertinya tertutup awan mendung.
Seharuanya tadi aku memakai jaket. Tapi karena sudah terlanjur ada diluar aku kembali melangkah. Mencari Arka seraya menikmati taman ini meski aku harus menggigil kedinginan setiap kali angin berhembus.
Membuat gigiku bergemelutuk dan menciptakan uap dari mulutku setiap kali menghembuskan nafas. Dimana Arka sebenarnya?
"..."
Saat melewati taman belakang aku mendengar orang bercakap-cakap meski tak terlalu jelas. Kuputuskan menghampirinya, siapa tahu saja itu Arka. Heran kenapa pria itu betah berada diluar sehingga memutuskan untuk bercakap-cakap disana.
"Menyebalkan!" Suara rengekan perempuan menghentikan langkahku saat akan berbelok menuju taman belakang.
"Sudah kubilang Alice, aku melakukannya karena orang itu yang meminta." Suara ini aku yakin milik Arka.
Dengan perlahan aku melangkah maju dan mengintip apa yang terjadi di balik tembok ini. Kulihat Arka tengah duduk diatas pagar jembatan kolam yang ada disana dengan seorang wanita diantara kakinya. Tangan Arka memeluk pinggang wanita itu begitu juga sebaliknya.
Siapa wanita itu? Aku belum pernah sekalipun melihatnya.
"Jadi kau akan terus menuruti permintaan pria itu? Dia kan bukan siapa-siapamu!!"
Arka hanya hanya diam tak menyauri. Lalu salah satu tangannya meraih wajah wanita itu agar menatap kearahnya. Aku berpaling saat tahu apa yang akan dilakukan Arka. Kenapa dia mencium wanita itu?
Aku menggigit bibirku saat merasakan nyeri dihatiku dan mataku yang mulai memanas. Oh Nial kau tak akan menangiskan?!
"Sudahlah aku hanya berada dirumah sehari ini." Suara Arka kembali terdengar. Membuatku kembali memalingkan wajah mengintip mereka.
Wanita itu mengerucutkan bibirnya dan masih merajuk. "Aku masih bingung kenapa kau perhatian pada pria itu hanya karena ayahnya yang memintamu."
Hatiku mencelos mendengarnya. Mengetahui bahwa kepedulian Arka terhadapku karena ayah sungguh diluar dugaan. Tak dapat kutahan lagi-lagi air mataku menetes. Kurasakan sesak yang mengergap karena menahan rasa sakit ini.
Kenapa harus karena ayah? Kenapa kau tak melakukannya karena memang peduli padaku?
"Hei.. apa kau sudah melakukan itu dengan priamu?" Wanita itu bertanya dengan menggoda. Mendekatkan wajahnya ke wajah Arka.
"Tidak akan. Dan jangan sebut dia priaku." Jawabnya yang membuatku makin menggigit bibir.
"Eeeh?! Lalu buat apa kau menikahinya?" Tanya wanita itu.
Bukannya menjawab Arka justru tersenyum. Kedua tangannya menangkup wajah wanita itu dan menciumnya. Membuatku tak tahan membungkan isak tangisku.
Krosak
Aku keluar dari persembunyianku. Membuat wanita itu melompat kaget dan menjauh dari Arka meski masih berada dipelukan suamiku. Sementara Arka hanya menatapku datar seolah tak terjadi apa-apa.
"Aku.. sudah dari tadi." Jelasku dengan suara gemetar menahan emosi. Memberitahu mereka bahwa aku mendengar apa yang mereka bicarakan.
Tapi Arka tak kaget ataupun merasa bersalah. Pria itu justru mendengus geli mendengar perkataanku. "Lalu?" Tanyanya yang membuatku membelalakan mata.
Hanya 'Lalu?' yang kau bilang? Setelah kupergoki bercumbu dengan wanita lain dan menyakiti perasaanku kau hanya berkata 'lalu' dengan santainya.
Wanita yang didepan Arka nampak salah tingkah dan memandangku dengan tatapan bersalah. Aku tak peduli dia mau bersalah atau tidak. Karena aku mengingan pandangan itu dari suamiku bukan darinya.
Lalu tanpa bicara lagi, Arka menarik wanita itu mendekat padanya. Mencium leher wanita itu hingga membuatnya merintih didepanku.
Tahu kah kau bagaimana rasanya terjatuh dari ketinggian oleh hempasan harapan karena orang yang kau sukai? Lalu sekarang kau mengetahui bahwa semua itu kebohongan belaka hingga kau jatuh menghantam kekecewaan. Dan sekarang kau mendapatinya tengah bercumbu didepanmu seolah keberadaanmu tak ada. Tahu kah kau bagaimana rasanya?
"Umhh A-Ar.. dia melihat kita.." wanita itu mengerang protes.
Aku hanya bisa diam terpaku menatap mereka. Tak mempedulikan air mata yang membasahi wajahku dan bagaimana dinginnya hawa dingin yang memelukku.
"Biarkan saja." Jawabnya dan kembali mencium wanita itu.
Aku serasa ingin menjerit frustasi mendengarnya. Menanyakan pernahkah ia memikirkan perasaanku. Bagaimana hatiku saat mendapati prilakunya selama ini dan melihatnya bercumbu dengan orang lain dihadapanku.
Hatiku sakit. Kenapa harus semenyakitkan ini saat menyukai seseorang? Kenapa harus semenderita ini menjalankan kehidupan berumah tangga? Kenapa aku harus terjebak dalam hidup maupun perasaan terhadap pria ini.
Tak dapat menahan isak tangis lagi aku menatap mereka sendu. "Sebenarnya kau tak pernah peduli padaku.." gumamku.
Arka menghentikan cumbuannya dan menoleh kearahku. Mungkin hanya ilusi untukku saat melihat keterkejutan diwajahnya.
"Apakah alasanmu menikahiku untuk menyakitiku seperti ini?"
Suaraku bergetar dan parau. Susah untuk mengucapkan seuatu dengan lantang saat kau sedang menahan emosi yang merejam hatimu.
Tak mau mendapati hal yang lebih menyakitkan aku segera memutuskan tuk pergi dari sini dengan langkah cepat dan berlari. Memasuki rumah dan segera menuju kamar agar aku dapat menumpahkan emosiku.
Sesampainya dikamar aku membanting pintu dan menuju kamar mandi. Menyalakan shower lalu berdiri dibawahnya. Membiarkan suara ricikan air meredam sedikit isakan atau mungkin raung tangisku saat ini.
Mungkin aku nampak seperti wanita yang sangat rapuh. Tapi aku tak perduli karena rasa sakit ini benar-benar melumpuhkan ketegaranku.
[ Chapter 3 End ]
Nao update!! XD
Maaf ya kalau lama.. cerita ini emang agak susah dibuat kalo moodnya gak pas. Gak kaya Mbb yang kalo lagi senggang langsung bisa diisawang *plak
Semoga kalian puas dengan chap ini :*
Votment ya biar Nao semangat buat lanjutannya xD
See you next chap~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top