22nd Chapter

Nao update!!!
Meski bukan malming Nao usahian update... soalnya bentar lagi puasa (thanks buat gloria yang udah ngingetin)
Meski nao yakin LY bakalan tamat sebelum puasa #Plak

Enjoy~

Loving You! 22nd Chapter:

[Arka's Pov]

Aku mengernyit dalam tidurku saat merasakan cahaya silau menerpa wajahku. Berguling kearah sebaliknya, aku mendaratkan lenganku ke samping. Tapi saat tanganku mendarat, aku merasa kekosongan disana. Meraba-raba mencari sesuatu yang seharusnya ada disana. Tapi nihil, tidak ada apa pun.

Aku mengerjabkan mata dan mendapati di sampingku kosong. Dengan perlahan aku bangkit duduk dan mengumpulkan sisa kesadaranku yang masih bertebaran. Aku menyapukan pandanganku ke seluruh ruangan ini, tapi tidak ada sosok Nial atau siapa pun di sini. Jam di atas nakas menunjukkan pukul dua belas siang lewat dua puluh menit.

Kepalaku masih sedikit pusing, rasa kantuk masih sedikit kurasakan. Ini pertama kalinya aku tidur lama dan sepulas ini. Membuatku mengernyit karena rasa curiga. Pasti ada yang tidak beres dengan makan malam semalam.

Aku meraih gagang telepon dan menekan tombol berniat menghubungi Fran yang biasanya ada di ruang bawah tanah. Tapi panggilanku tidak ada jawaban sama sekali. Ck! Kemana pria tua itu.

Merasa kesal, aku bangkit dan turun dari ranjang. Ku buka gorden kamar membiarkan cahaya matahari menyinari kamar ini. Cuaca terlihat sangat cerah, namun kulihat di ujung langit awan gelap nampak menuju kemari. Sepertinya akan ada badai.

Aku memutuskan keluar kamar mencari Nial. Bibirku mengulas senyum atas sikapnya yang beberapa hari ini sungguh manis. Dia sudah tidak sungkan lagi untuk bersentuhan denganku, membuatku gemas dengan sikapnya yang menggoda. Tidak sabar aku untuk melihatnya siang ini.

Perasaan tidak enak segera kurasakan dan kecurigaanku semakin bertambah besar karena suasana yang kelewat sepi di rumah ini. Dengan terburu-buru aku menuruni anak tangga.

Aku mencemaskan keadaan Nial. Bagaimana jika ternyata si brengsek itu sudah berhasil memasuki kawasanku. Aku tidak akan segan-segan jika dia menyentuh Nial. Meski hanya seujung jari pun, akan kupisahkan rahangnya jika dia berani menyentuh milikku.

Langkahku segera terhenti begitu melewati ruang tengah. Perasaan lega segera kurasakan saat melihat sosok Jenny dari belakang yang sedang duduk di sofa menonton TV. Membuatku kembali merasa tenang dan berjalan santai menuju dapur.

Diwaktu-waktu seperti ini hanya ada satu tempat aku dapat menemukan Nial. Dapur. Lelaki itu pasti sedang memasak untuk makan siang saat ini. Bibirku kembali mengulas senyum saat membayangkan sosoknya yang memakai apron dari belakang.

Aku sangat menyukai tubuh ramping itu bergerak aktif saat memasak. Melihat wajahnya yang cerah saat membuat makanan untukku. Dia mirip dengan Elena, tapi saat tersenyum nampak berbeda. Senyuman Nial terlihat nampak lebih menentramkan siapa pun yang melihatnya.

Kakiku bergerak ringan saat melangkah menuju dapur. Beberapa suara aneh yang samar-samar sempat kudengar. Aku terus tersenyum untuk melihat sosok malaikatku. Tapi begitu diambang ruang makan aku melihat sesuatu yang mengerikan.

Langkahku sontak terhenti. Mataku membelalak menyaksikan pemandangan yang ada di depan sana. Kulihat Nial yang tengkurap diatas meja makan dalam keadaan telanjang. Tangannya yang diikat sedang di tahan oleh tangan seorang pria lain. Mulutnya yang sedari tadi mengeluarkan suara aneh -yang ternyata berasal darinya- tersumpali jari tangan lainnya milik pria itu. Aku mengenal sosok yang ada diatas tubuh Nial. Seorang pria yang di tugaskan menjadi pelayan pribadi Nial!

Rahangku segera mengeras dengan tangan terkepal kuat saat menyadari apa yang sedang di lakukan pelayan itu. Dia menyetubuhi Nial. DIA MENYENTUH MILIKKU!!

"APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN?!" Bentakku dengan suara lantang.

Pria yang ku tahu bernama Kai itu menoleh cepat. Bukannya takut, pria itu justru menyeringai melihatku yang murka saat ini. Kemarahanku semakin meningkat saat melihat Kai dengan beraninya menghentakan tubuh Nial di depanku. Membuat Nial melenguh pasrah.

Aku merasa marah dan muak melihat dua orang yang ada di depanku. Rasa sakit kurasakan lewat degupan jantungku yang berdegup nyeri. Dadaku terasa sesak. Aku... merasa kecewa untuk kedua kalinya.

Bagaimana bisa Nial melakukan ini? Kenapa dia bisa melakukannya bersama orang lain? Bukankah dia hanya menyukaiku? Akulah fokus hidupnya. Akulah pusat dunianya!!

Rasa kekecewaan yang kali ini kurasakan lebih besar pada saat Elena menolakku. Mataku bahkan mulai terasa panas karena emosi yang begitu kuat. Aku marah, aku kecewa dan aku merasa... kehilangan.

Kai mengeluarkan penisnya dari lubang Nial. Aku mengernyit jijik saat melihat cairan yang keluar dan menetesi lantai dari sana. Tubuh Nial segera terkulai lemas diatas meja makan.

Berani-beraninya lelaki itu mengkhiantiku. Berani-beraninya dia menjadi pelacur untuk orang lain. Dia... seharusnya dia hanya milikku.

Emosiku sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku berlari menerjang Kai yang telah dengan brengseknya menyentuh milikku. Aku segera melayangkan pukulan tangan kananku, yang sialnya dapat dia hindari dengan memiringkan kepalanya. Tapi dengan cepat aku mengayunkan tangan kananku kebelakang hingga mengenai kepala bagian belakangnya.

Tubuh Kai limbung kedepan yang segera kumanfatkan menghantamkan lututku keperutnya. Membuat pria itu terbatuk. Aku berniat memukul tengkuknya dengan sikutku, jika saja tidak ada yang memukul tepalaku dari belakang.

PRANG!!

Pandanganku segera buram, kepala bagian belakangku terasa dingin dan berdenyut dengan sakit. Tubuhku bergerak limbung kesamping, membiarkan Kai bergerak menjauhiku. Aku berbalik untuk mengetahui siapa orang yang memukulku tadi.

Jenny, bertolak pinggang dan tersenyum culas padaku. Tangannya yang berada di pinggang menggenggam sejumput rambut dari sebuah penggalan kepala, sementara tangannya yang tengah memegang botol Wine yang tinggal setengah. Sepertinya itu botol yang di gunakan untuk memukulku tadi.

"Waah... tidak ku sangka akhirnya sang iblis bangun juga dari tidurnya!" Pekiknya idiot. Manik Jenny bergerak melirik Nial yang masih belum bergerak. "Tapi sayang sekali, karena kau terlambat."

Aku mengepalkan tanganku. Melihat nyalang wanita itu, kemudian tersenyum sinis. "Akhirnya kau akan menikam juga."

"Hahaha, tentu saja. Memangnya aku sebodoh itu mempercayaimu sampai sekarang." Jenny meletakan kepala Fran di lantai.

Aku melirik Kai yang berdiri menutupi Nia yang masih belum menampakkan pergerakkannya. Pria itu menatapku datar dengan mata hitamnya. Aku mengerti jika Jenny melakukan ini semua, tapi pria ini? Siapa dia?

"Dia Kai, bocah yang gagal kau bunuh saat menghabisi si Elena itu." Jenny mengangkat ujung gaunnya, menampilkan kaki jenjangnya hingga paha. Aku melihat sebuah tongkat berukuran sekitar tiga puluh centi meter yang terlilit oleh tali hitam di pahanya. Perempuan itu menariknya lalu membiarkan ujung roknya terjatuh sebatas betis.

Jenny menyentuh sesuatu di ujung tongkat itu, membuat tongkat itu bertambah panjang dua kali lipat. Bagian tambahan tongkat itu membuka hingga menjadi tiga bagian. Dan barulah aku tahu tongkat iti membentuk trisula. Pastilah Fredy yang membuat senjata itu.

"Bukankah menggunakan senjata api lebih mudah untuk membunuhku?" Dengusku malas. Kepala bagian belakangku masih berdenyut nyeri.

Aku melirik Kai yang entah sejak kapan sudah memegang katana. Lalu mataku melirik kesosok yang ada di belakangnya . Nial masih belum bergerak dari posisinya.

Kali ini aku mengerti jika Nial bukan pihak yang mengkhianatiku seperti dua orang ini. Tapi jika tidak, berarti Kai...

"Apa?" Kai menaikan sebelah alisnya.

"Kau memperkosa Nial."

Pria itu tertawa lantang begitu juga dengan Jenny. Dia melihatku miris seraya menyeringai. "Kau baru menyadarinya tuan Arka?"

"Ah, aku tahu! Kau pasti mengira jika Nial tadi menyeleweng darimu?!" Jenny terkikik. Perempuan itu berdecak seraya menggelengkan kepalanya. "Kau bahkan tidak mempercai Nial."

Aku menggertakkan gigiku mendengar ucapan mereka. Menatap tajam Kai yang kini tersenyum licik padaku.

"Kai... biar aku duluan yang bermain dengannya." Ucap Jenny dan mengeluarkan trisula lainnya.

Aku terdiam sebelum akhirnya menyeringai. "Aku ingin kita main di luar."

***

[Nial's POV]

Aku hanya bisa menangis dan melenguh dengan semua ini. Berharap untuk mati sekarang juga bagaimanapun caranya. Aku sudah seperti mati rasa. Pandanganku tidak tentu arah dengan pikiran yang kosong. Entah tersadar atau tidak, aku seperti terlempar kedalam masa lalu dalam dunia mimpi. Memutar balik kejadian yang telah kulupakan.

Suatu memori mengerikan yang bangkit, memberitahuku akan kenyataan yang lebih menyakitkan.

Manik kelamku bergerak saat merasakan tepukkan di pipi. Bayangan blur tertangkap oleh indra pengelihatanku. Kukerjabkan mataku beberapa kali hingga bayangan itu menjadi jelas dan menampilkan sosok yang kutakutkan.

Aku yang panik melihat Kai yang tengah memandangku, segera bergerak dan berniat bangkit. Namun rasa ngilu dan lelah kembali membuatku ambruk di tempat. Kai bahkan menggenggam tanganku, menahanku agar tidak kabur darinya. Tubuhku segera gemetar hebat.

"Ohh... jangan takut." Ucapnya dengan pandangan rasa bersalah. Mendapati itu aku mengernyit heran, meski tubuhku tidak bisa berhenti bergetar.

Aku tersentak kaget saat Kai menarikku dalam pelukannya. Mendekat erat dan mengambil nafas di cengkuk leherku. Membuatku semakin merasa takut.

"Maafkan aku."

Gumamannya yang menyedihkan masih tidak dapat meredakan rasa takutku. Aku hanya terdiam sampai akhirnya pria itu melepaskan tubuhku dan menjauh. Onyxnya menatapku pilu.

"Apa kau sudah ingat?"

•flashback•

Aku menangis pilu dalam gendongan mama yang membawaku lari dari orang yang berniat membunuh kami. Seorang bocah yang lebih tua dariku ikut berlari dengan tangannya yang menggenggam gaun mama. Aku menyadari jika energi mama sudah terkuras membawa kami kabur menuju lantai bawah karena menggendongku. Tapi aku sudah tidak punya daya untuk sekedar berdiri.

Rikai, nama bocah itu, adalah kakak tiriku yang dibawa seorang pria yang mengaku ayahku. Seorang pria yang tadi kulihat sudah mati mengenaskan di tangan orang yang kini mengejar kami. Rikai berlari dengan menyamakan langkahnya dengan mama, meski kutahu dia bisa berlari lebih cepat dan meninggalkan kami.

Saat pertama kali aku melihatnya, aku dapat melihat kebencian dimata Rikai. Berhari-hari dia tidak mau berbicara denganku dan mama sejak kedatangannya kerumah ini. Meski papa sudah membujuknya, Rikai tetap memandang aku dan mama dengan penuh kebencian.

Sampai suatu hari pria itu menonjok pipiku ketika kami berpapasan di jalan. Aku yang melihatnya berjalan-jalan seorang diri segera menghampirinya. Menyapanya dan berharap bisa mengobrol layaknya kakak beradik.

Sejak dulu aku selalu menginginkan seorang kakak ataupun adik dalam keluarga kami. Bukan berarti aku tidak puas dengan mama, tapi jujur aku sering merasa kesepian jika mama tidak ada di rumah. Mama bilang aku punya seorang ayah yang tidak pernah kuketahui rupanya. Dan baru sembilan tahun ini dia kembali muncul, bersama seseorang yang di luar dugaanku. Aku bahagia, akhirnya setelah menahan keirianku akan teman-teman yang memiliki keluarga lengkap, aku juga bisa merasakannya. Hanya saja...

Bugh!

Aku meringis pelan dan mundur beberapa langkah saat merasakan pukulan dipipiku. Rikai menatapku tajam.

"Gara-gara kau dan mamamu, ibu dan kakakku mati! Bahkan calon adikku juga. Seharusnya kalian yang mati!!"

Aku hanya bisa diam mematung mendengar kalimat itu meluncur darinya. Memandangnya yang berbalik dan berlari pergi. Aku tidak tahu mengapa dia berkata seperti itu, dan aku hanya bisa menunduk menahan rasa sakit di pipiku dan hatiku.

Malamnya, setelah kejadian itu Rikai mengunjungiku yang sedang mengerjakan tugas rumah. Di belakangnya ada mama dan ayah yang tersenyum lembut. Kedua orang dewasa itu lalu meninggalkan berdua. Rikai mengalihkan pandangannya dariku dengan onyxnya yang bergerak gelisah.

"Maaf..." gumamnya. "Aku... aku tidak..."

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, aku segera menubruk dan memeluknya. "Aku minta maaf! Aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan bersama mama, tapi aku mohon... kau mau menjadi keluarga kami. Menjadi kakakku."

Aku memeluk Rikai erat. Aku sungguh ingin mempunyai keluarga lengkap dan sempurna seperti pada umumnya. Aku juga ingin mempunyai saudara yang dapat kuajak bermain bersama. Aku ingin merasakan apa yang di rasakan orang-orang.

Cukup lama sampai akhirnya Rikai membalas pelukkanku. Membuatku merasa senang dan mengerat pelukanku. Setelahnya, Rikai tidak lagi berprilaku dingin padaku dan mama. Meski dia belum sepenuhnya bisa terbuka dengan kami. Tapi tidak apa-apa karena akhirnya aku bisa merasakan kebahagian ini.

Hanya saja itu tidak bertahan lama sampai tiba hari ini...

"KAU TIDAK AKAN BISA LARI DARIKU ELENA!!" Teriakkan itu terdengar dari belakang kami.

Aku gemetar ketakutan melihat lelaki yang mengejar kami dengan balok kayu di tangannya. Seorang lelaki bersurai blonde yang kukenal beberapa minggu yang lalu. Seorang lelaki yang pernah memberiku es krim.

BAGH!!

Sebuah balok kayu yang di lemparnya mengenai punggung mama dengan cukup keras. Membuat wanita yang menggendongku yang tengah menuruni tangga terhuyung kedepan. Belum sempat aku berpegangan, tubuhku seolah di lempar oleh mama. Membuatku lepas darinya.

Aku melihat mama yang mulai terjatuh menggelinding di tangga. Aku yang takut akan merasakan hantaman kuat segera menutup mataku rapat-rapat. Menunggu rasa sakit yang segera menyambutku. Tapi bukannya hantaman yang kurasakan, tubuhku justru menabrak sesuatu yang lebih lembut dari lantai. Sesuatu yang seolah menangkap tubuhku.

Bruk!

Akhirnya aku jatuh dengan menimpa sesuatu yang ternyata itu Rikai. Dia menangkapku dan menjadikan tubuhnya sebagai alas agar aku tidak menghantam lantai secara langsung. Tangannya yang lebih besar memelukku erat, sementara bibirnya mengeluarkan rintihan.

Aku segera bangkit dari atas tubuhnya, membantunya untuk bangun. Meski ngeri karena setiap dia bergerak, Rikai akan mengerang keras.

"Aaaaagghh!!"

Aku terperanjat kaget saat mendengar itu. Kutolehkan kepalaku, dan mataku semakin membelalak.

Aku melihat mama yang sedang di injak seorang pria tepat di bagian dada sebelah kirinya. Mama yang berteriak kencang menandakan jika pria itu benar-benar menginjak dengan sekuat tenaga. Mama memukul-mukul kaki pria itu, tapi pria itu justru semakin menekannya.

Aku memandang dengan ngeri. Air mataku kembali jatuh melihat mama yang kini di tendang dan di injak-injak. Tubuhku membeku tidak dapat bergerak. Aku tidak mau! Aku tidak mau melihat ini!

"Apa aku harus menghancurkan jantung dan hatimu? Agar perasaanmu pada pria itu ikut hancur juga. Jawab aku Elena!!" Pria bersurai blonde itu menendang dada bagian kiri mama. Dia berteriak murka, tapi kulihat dia juga menangis.

"BERHENTI!!" Aku menoleh pada Rikai yang tiba-tiba berteriak.

Pria itu berhenti menendang mama. Diambilnya balok kayu yang tergeletak di anak tangga dan menghampiri kami. Aku hanya bisa diam membeku melihat pria itu berjalan mendekat. Dia berhenti tepat di depan kami, lalu mengayunkan balok kayu.

BUGH!

Rikai segera terkapar begitu balok kayu itu menghantam kepalanya dengan keras. Darah segar mengalir dari pelipisnya yang terluka. Aku mendongak pada pria yang kini menatapku. Dia menyeringai.

"Mungkin aku akan mengambilmu sebagai ganti Elena."

"JANGAN MENYENTUH PUTRAKU, ARKA!!!"

Dan itulah teriakan terakhir mama sebelum sesuatu menghantam kepala dan kegelapan memelukku.

●Flasback End●

Aku memandang sepasang iris onyx yang indah di depanku. Onyx yang kini menatapku sendu.

"Aku mencintaimu, Nial."

Dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuh Kai. Tanganku kini sudah bebas tanpa apapun yang mengikatnya. Aku menatap Kai nyalang dengan emosi yang meledak-ledak.

"BULLSHIT!!" Teriakku murka. Mataku segera panas dengan pandangan blur, dan air mata yang terjatuh. "Kau tidak mencintaiku! Kau hanya menginginkanku!! Kalian tidak pernah mencintaiku, dan kalian selalu menyakitiku!"

Ya, tidak ada orang yang benar-benar mencintaiku. Semua orang yang bilang cinta padaku pada akhirnya akan menyakitiku, menghancurkanku seolah aku hanyalah kain yang dapat di muluskan kembali setelah mereka buat kusut. Bahkan orang yang kucintaipun merobekku berkali-kali.

Aku memandang nanar Kai yang menatapku kaget. Dengan perasaan campur aduk, aku kembali memakai pakaianku. Terburu-buru karena aku tidak mau berduaan dengan pria ini.

Tepat selesai mengenakan kaos, aku merasakan sepasang tangan yang merengkuhku. Kai memelukku dari belakang dengan erat.

"Aku mencin-"

"Stop!" Tubuhku bergertar dalam pelukkannya. "Kenapa kalian tidak membunuhku saja. Mengawetkan tubuhku. Dengan begitu kalian dapat memilikiku tanpa menyakitiku."

Aku menangis. Hatiku hancur. Setelah mengingat kenangan buruk kini aku harus mendapati sesuatu yang lebih buruk sudah menimpaku. Dijadikan obsesi dengan dua alasan berbeda oleh dua orang pria dengan jiwa yang sakit benar-benar menghancurkanku. Tidak ada satupun diantara Arka dan Kai menjadi pilihan terbaik. Meski hatiku lebih memihak Arka.

"Lalu apa? Kau mau kembali pada suamimu yang telah melihat apa yang kita lakukan?"

Tubuhku menegang mendengar itu. Arka melihat apa yang Kai lakukan padaku?

"Nial." Aku merasakan pelukan Kai semakin erat. "Ikutlah denganku, dan aku janji tidak akan ada lagi rasa sakit yang kau dapatkan."

Aku terdiam dalam pelukkan Kai. Memikirkan apakah aku akan ikut dengan pria yang jelas-jelas sudah melecehkanku. Meninggalkan Arka yang selama ini menyakitiku. Apakah aku harus melakukan itu?

[Chapter 22 End]

Votmen?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top