19th Chapter
Nao nggak jadi hiatus!! *author labil* Nao pikir rasanya kurang tepat jika hiatus sekarang, karena akhir bulan Mei sampai Juli akan lebih sibuk dari sekarang  ̄︿ ̄ *Pkl… oh Pkl… kenapa tempatmu jauh sekali~ //curcol
Jadi sebelum kesibukan itu datang, Nao bakalan tamatin LY dulu. Semoga sempet!
Ok, selamat menikmati chapter ini :*
Aku membuka mataku perlahan, rasa sakit segera menyerang kepalaku. Bukan hanya kepalaku, tapi sekujur tubuhku. Kugerakan kepalaku saat mendengar suara disampingku. Seorang pria dengan empat perempuan sedang menatapku khawatir.
Siapa?
"Syukurlah kau selamat." Ucap salah satu perempuan yang paling tua. Lalu pria itu tersenyum dan menggenggam tanganku. "Aku ayahmu, dan mereka adalah saudarimu."
"…"
"Kami keluargamu… Nial Kenfallo."
※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Loving You! 19th Chapter:
※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Aku bangkit dari ranjang Arka yang sedari tadi sempat kutiduri. Merapihkan bagian spreinya yang kusut sebelum aku melangkahkan kakiku untuk keluar. Hatiku benar-benar merasa ringan tanpa beban perasaan yang biasanya menggelayuti. Aku bahkan mendapatkan kepercayaan diriku saat berhadapan dengan Sindri begitu keluar kamar Arka dan menutup pintunya. Perempuan itu berdiri bersandar pada dinding dengan kedua tangan yang menyilang didepan dada. Tatapan tajamnya kubalas dengan senyuman culas.
"Kau sudah mengerti?" Tanyanya.
Kulangkahkan kaki mendekatinya, berdiri dihadapan perempuan itu dengan satu tangan yang bertumpu disisi kepala Sindri pada dinding. Perempuan itu mengernyit saat aku tersenyum semakin lebar, lalu mendekatkan wajahku padanya.
"Sangat mengerti." Bisikku seduktif.
Sindri segera mendorong tubuhku agar menjauh darinya, dan sekuat tenaga aku bertahan. Meraih dagunya lalu balasnya menatapnya tajam.
"Kau bilang aku bisa menjadi penyebab kematian Arka bukan? Kalau begitu, akan kukirim iblisku tercinta keneraka secepatnya."
Mata Sindri membelalak lebar. Aku sendiri kaget kenapa bisa berkata seperti itu, namun tetap kupertahankan ekspresi menutupi keterkejutan dihatiku. Perempuan itu segera menepak tanganku, lalu mendorongku. Membuatku mundur hingga pinggulku membentur pagar pembatas dilantai dua ini. Tangan rampingnya segera mencengkram leherku. Mendorongku hingga tubuhku condong kebelakang. Dengan sigap tangan kananku berpegangan pada pagar sementara tangan kiriku berusaha melepaskan tangan Sindri.
"Akan kukirim kau ke neraka terlebih dahulu!" Bentaknya.
Tangannya semakin kuat mencengkram leherku dan mendorongnya, berniat menjatuhkan. Nafasku tercekat karenanya dan pandanganku mulai buram. Sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaran dan terjengkang kebelakang, siluet seseorang menubruk perempuan yang mencekikku kini. Lalu tangan lain segera menarik tubuhkku dan merengkuh dengan erat namun lembut. Aroma manis segera menyergap indra penciumanku.
"Apa yang anda lakukan Sindri?" Suara itu terdengar jelas dari atas kepalaku. Kai memelukku yang masih merasa lemas.
Sementara Sindri tengkurap dilantai dengan Pette yang memitingnya. Perempuan itu menatap kami dengan kesal. Tidak berniat menjawab pertanyaan Kai sedikitpun.
"Anda ingin saya melaporkan pada tuan Arka?" Ancam Kai. Mendengar itu aku segera mendongak dan berkata, "Jangan! Aku tidak ingin melihat kemarahan Arka lagi."
Kai yang masih memelukku, memandang heran. Mendorong pelan tubuh Kai hingga pelukkannya terlepas, aku pun menoleh pada Sindri. Dan menatapnya sedikit prihatin. Dalam hati aku tertawa saat melihat rasa heran pada ekspresinya.
"Aku tadi mengatakan hal yang menyakitkan pada Sindri, hingga dia marah dan… maafkan aku Sindri." Aku menunduk dan membuat ekspresi menyesal.
Ini bukanlah rasa penyesalan yang sesungguhnya, ini hanya topeng yang kugunakan sebagai Nial sibaik hati seperti biasanya. Aku tidak akan membiarkan diriku tersakiti lagi seperti dulu. Jika ada orang yang menyakitiku kali ini, akan kupastikan dia akan merasakan sakit dua kali lipat dari apa yang kurasa. Tidak peduli jika itu Arka orangnya. Sudah cukup aku untuk berbaik hati dan bersabar.
"Lepaskan Sindri, Pette." Perintahku.
Pria itu nampak sedikit ragu, namun tetap melepaskan Sindri pada akhirnya. Dan perempuan itu segera bangkit dan memijat lengannya yang dipiting Pette tadi. Matanya menatapku dengan penuh kecurigaan.
Tidak memperdulikannya, aku berbalik pergi. Kudengar langkah kaki Kai dan Pette yang mengikuti kami. Sedikit menunduk dan melangkah lebih jauh dari dua pria yang mengikutiku, aku pun menyeringai puas. Akan kubuat balasan ini jauh lebih menyenangkan.
***
Ketukkan sepatu dari ruang utama terdengar hingga ruang tengah, tempatku duduk disofa menikmati cemilanku disore hari seraya menonton TV. Bibirku mengulas senyum saat mengetahui jelas sipemilik suara sepatu itu adalah suami tercintaku. Berdiam diri ditempatku, sengaja aku tidak menyambut kedatangannya. Tidak lama suara ketukan sepatu itu terdengar semakin mendekat kearahku. Disusul sebuah tangan dari belakang yang menarik daguku dan mendongakkannya secara paksa. Wajah Arka yang merunduk segera tertangkap oleh mataku.
"Aku pulang." Salamnya datar.
Belum sempat aku menjawab, Arka segera menghatamkan bibirnya kebibirku. Aku tidak melawan dan memejamkan mataku menikmati gerakan bibirnya. Tidak lama, hingga Arka menjauhkan dirinya dan berdiri tegak.
"Aku akan mandi dulu, bisakah kau menyiapkan makan malamnya sekarang?" Pertanyaan yang lebih mirip perintah itu meluncur dari bibirnya.
Tidak menunggu jawabanku, pria itu segera melangkah pergi meninggalkanku menuju lantai dua. Aku bangkit dari dudukku dan segera menuju dapur. Beruntung makan siang tadi masih ada, karena saat ini aku sedang malas untuk memasak.
Selama menghangatkan makanan, pikiranku sempat melayang kenapa Arka baru pulang sore ini. Kukira Arka akan segera kembali kemarin meski itu tengah malam. Tapi hingga aku tertidur tadi pagi, aku tidak juga mendapati sosoknya, hingga sore ini. Apakah pekerjaan kali ini sangat menyita waktunya?
Kemunculan Arka bertepatan dengan selesainya aku menyiapkan makan malam. Malam ini pun Sindri ikut makan bersama dengan kami. Suasana sangat hening hingga Arka bersuara setelah kami selesai dan Sindri membereskan sisa makanan kami.
"Ada apa dengan lehermu?" Tanyanya tajam.
Kulihat Sindri yang menegang saat mendengar pertanyaan Arka. Pria itu bangkit dari duduknya dan menghampiriku, membungkuk dan mendongakkan daguku dengan paksa. Jemari kokohnya mengelus sekitar leherku.
"Ini bekas cengkraman…" desisnya. "Siapa yang melakukannya?"
Aku terdiam sejenak dan membiarkan Arka menatapku tajam beberapa saat. Lalu menundukkan kepalaku. Tapi lagi-lagi Arka meraih daguku dan memaksaku untuk mendongak.
"Siapa?!" Bentaknya.
Mendengar bentakkannya aku tersentak kaget. Mataku segera buram karena air mata yang tertahan di pelupuk mataku, dan tubuhku gemetaran. Tidak lama cairan bening itu lolos dan mengalir dari sudut mataku. Dengan kasar Arka menangkup wajahku dengan kedua tangannya, tidak peduli tumpul kuku jemarinya menancap dikulit wajahku. Ibu jarinya menyeka air mataku yang mengalir.
"Aku memintamu menjawab Nial, bukan menangis." Ucapnya.
"A-apa kau akan percaya…" Suaraku terdengar bergetar. Kulihat Arka mengerutkan keningnya. "Ba-bagaimana jika kau tidak percaya… dan… dan berbalik memarahiku."
Kedua tanganku menarik tangan Arka dari wajahku. Tapi dengan sigap tangan kokoh itu kembali menangkup wajahku agar tidak berpaling darinya.
"Aku tidak akan memarahimu." Bisiknya didepan wajahku.
"Janji?"
"Aku janji."
"…"
"Nial?"
"S-Sindri…"
Kurasakan tubuh Arka menegang. Suamiku segera menjauhkan wajahnya dan menatapku tidak percaya. Sudah kuduga dia tidak akan mempercayaiku. Sekuat tenaga aku menyingkar tangan Arka dari wajahku dan menundukkan kepala menghindari tatapannya.
"Lupakan saja! Anggap saja aku tidak berkata apapun dan tidak terjadi apapun padaku." Racauku dengan perasaan muak. Tentu saja muak, karena suamiku sepertinya akan tetap memihak perempuan itu. "Anggap saja bekas ini tidak ada, dan kau tidak pernah meli—"
PLAK!!
Aku segera mendongak kala mendengar suara itu. Arka berada didepan Sindri, sementara perempuan itu memalingkan wajahnya. Menunjukkan sebelah pipinya yang lebam sebelah. Tidak cukup sampai disitu, Arka kembali melayangkan tangannya pada wajah perempuan itu. Bahkan kali ini lebih keras, hingga Sindri jatuh tersungkur.
"Jangan ngelunjak!" Geram Arka dan menginjak tangan Sindri yang ada dilantai.
Aku tercengang melihat aksi Arka. Melihat Sindri yang menjerit karena tanpa sungkan Arka benar-benar menginjak tangan Sindri dan menekannya.
"LEON!" Teriak Arka setelah mengangkat kakinya dari tangan Sindri.
Tidak lama sosok Leon memasuki ruang makan disusul Zein, Pette dan beberapa anak buah Arka muncul. Menatap tajam Sindri, Arka berkata, "Bawa dia keruang bawah tanah dan rantai dia."
"Apa?! Ti-tidak! Kumohon ampuni aku.. ampuni aku." Sindri meronta-ronta saat Pette dan anak buah Arka menyeretnya paksa. "Ampuni aku kak Arka!! Ampuni aku!!"
Aku yang memerhatikan Sindri di seret, bertemu pandang dengan Zein. Pria itu menatap kearah leherku dan nampak terlihat kesal, sebelum akhirnya pergi mengikuti Leon. Lalu pandanganku beralih pada Arka yang menghampiriku.
Refleks, aku melangkah mundur hingga pinggulku menabrak bangku. Rasa takut kembali kurasakan setelah melihat kejadian tadi. Apakah Arka tidak merasakan apapun saat menginjak tangan Sindri yang sudah ia anggap sebagai adiknya? Apakah dia tidak mendengar jeritan pilu yang meluncur dari Sindri? Apakah suatu saat dia akan melakukan itu padaku dengan mudahnya? Mengacuhkan jerit pilu yang menyiksa dariku.
Tanganku sontak terangkat didepan wajahku membentuk perlindungan sementara kedua mataku terpajam saat melihat tangan Arka terulur. Tubuhku bergetar hebat. Aku sungguh merasa takut. Takut pada dirinya yang seperti ini, tidak jauh berbeda dengan sosok misterius bertopeng yang masih menghiasi mimpi ditidurku setiap malamnya.
Cukup lama aku dipeluk rasa takut, hingga kurasakan tubuhku tertarik dan terselubungi sesuatu yang hangat. Aroma hutan pinus segara tercium dihidungku. Dan saat aku membuka mataku, Arka tengah merengkuhku. Mendekapku begitu erat.
"Maaf! Kumohon jangan takut padaku." Bisiknya.
Mungkin jika dulu, aku akan sangat bahagia dengan sikap dan kata-katanya kini. Hatiku akan terasa hangat karena suasana ini. Dan dengan bodohnya aku pasti akan kembali terjerat pada perasaan yang tidak berarti. Tapi kali ini aku tidak merasakan apapun. Pikiranku kosong bagaikan kertas putih. Bahkan kedua tanganku yang seharusnya sudah balas mendekap erat, kini hanya terkulai lemas disisi tubuhku.
"Aku tidak ingin kau takut padaku, Nial…"
***
[Arka's POV]
Kedua kelopak mata itu terpejam menyembunyikan iris gelapnya. Hembusan nafas yang teratur keluar darinya menandakan dia telah tidur pulas dan nampak betah di alam mimpi. Kusingkirkan anak rambut yang menutupi sebagian wajahnya, memandang wajah yang tidak pernah bosan untukku melihatnya. Kepalanya yang terbaring nyaman dilenganku, kupindahkan dengan perlahan. Mengecup keningnya sebelum aku bangkit dari ranjang.
Meraih pakaianku yang tersebar dilantai, aku memakainya satu persatu. Setelah merasa cukup, aku kembali menoleh memandang sosok yang masih terlelap dibalik selimut sutranya. Mencermati wajahnya yang sedikit berbeda dengan Elena. Tidak, Nial memang berbeda dengan wanita itu.
Menyeringai puas, aku melangkah keluar dari kamar Nial. Namun seringainku segera menghilamg setelah berada diluar kamar Nial. Sedikit heran dengan sikapnya kali ini. Sering kali aku mendapatinya tidak fokus, pandangannya kosong, dan tatapannya tidak seperti dulu. Aku seolah kehilangan sesuatu yang sangat kuinginkan. Lagi.
Berdecak kesal, aku menggelengkan kepala pelan dan segera menuruni tangga. Nial tidak mungkin telah kehilangan perasannya. Dia hanya terfokus padaku, hanya aku. Jikalau pun iya, aku tidak akan membiarkan sampai kehilangan dirinya juga. Akan kukekang dia di istana kecilku ini, hingga aku mulai bosan dan membuangnya. Sampai saat itu, tidak akan kubiarkan siapa pun mengambilnya. Dia milikku!
Sesampainya dibawah aku segera melangkah menuju gudang, menuju pintu disamping gudang itu. Ku tekan kunci pasword pintu besi itu hingga terbuka, menampilkan anak tangga setapak yang menyambungkan keruang bawah utama dirumah ini. Pintu besi segera tertutup kembali setelah aku menuruni beberapa anak tangga. Lampu-lampu yang terpasang setiap lima meter menyala menerangi jalanku. Menyusuri tangga yang menurun dan sedikit memutar, tidak sampai lima menit aku sampai didasar.
Ruang bawah tanah ini seluas dengan bangunan yang ada diatasnya. Terbagi atas beberapa ruangan. Beberapa ruangan telah kugunakan untuk menyimpan senjata, mengurung beberapa target, menjadi tempat eksekusi, atau pun kandang binatang-binatang buas yang kugunakan sebagai salah satu eksekusi targetku.
Melewati beberapa ruangan, aku melihat seorang pelayang yang membantu Leom membawa Sindri kemari. Pelayan itu menundukkan kepalanya kala aku mendekat dan memasuki ruangan yang biasa ku jadikan tempat eksekusi. Sindri berdiri dengan lemas dengan kedua tangannya yang terangkat dan terikat rantai. Kedua kakinya di borgol dengan rantai yang menyambung dan menempel pada dinding beton. Wajahnya nampak lembab dengan mata sayu.
Saat aku melangkah mendekat, perempuan itu mendongakkan kepalanya. Menatapku sayu dan bergumam lirih, "kakak…"
Aku mendengus jengah, mengambil tongkat besi yang bersandar didinding samping pintu ruangan. Leon yang berada disamping Sindri segera menunduk dan mundur, sementara aku melangkah lebih dekat. Kudongakkan dagunya menggunakan tongkat besi sepanjang satu meter ini.
"Sudah kubilang, jangan sentuh milikku." Desisku. Rasa kesalku kembali muncul saat mengingat bekas cengkraman dileher Nial. Perempuan brengsek ini…
"Ma-maafkan aku." Suara parau Sindri, membuat sesuatu dalam diriku bangkit. "Itu karena dia bilang… dia, dia akan membawa kakak menemui ajalmu."
Aku menaikkan alisku kala mendengar penuturannya yang susah payah. Lalu tertawa karena menyadari perkataannya itu sungguh konyol. Mana mungkin malaikatku mengatakan hal seperti itu. Jangankan untuk mengatakannya, berpikiran seperti itu pun Nial pasti tidak pernah.
Puas tertawa, aku memandang Sindri dan tersenyum. Wajah perempuan itu segera memucat, dan nampak jelas dirinya gemetar ketakutan. Ahh lucu sekali, kenapa tidak dari dulu aku bermain dengannya?
Baagh!!
Aku mengayunkan tongkatku pada wajah Sindri, tidak kencang, tapi cukup bisa mematahkan beberapa giginya. Rintihan merdu mulai keluar dari bibirnya yang mengucurkan darah. Matanya memandangku takut.
"Ti-tidagh… jangahn! Ampuni akuuh… ampuuhn…"
Aku mengacuhkan permohonan adik kecilku dan meminta tali berjarum pada Leon. Setelah mendapatkan apa yang kumau, aku menghampiri Sindri yang kini meronta panik. Lucu sekali melihatnya ketakutan seperti ini.
"Aaahhk!! Tidaagh… Lepaahss!!"
Perempuan itu menjerit kesakitan saat aku melilitkan tali itu dilehernya. Membuat jarum-jarum itu menancap dikulit mulusnya. Warna mengagumkan segera keluar menghiasi kulit langsat Sindri. Aku tidak melilit tali itu dengan kencang, cukup agar jarum-jarum itu menempel di dilehernya.
"Uhhhk… bu-bunuh saja aku kak… ku mohon.."
Senyuman culas terulas dibibirku saat mendengar permohonannya. Aku mengambil tang yang tergeletak dilantai bersama alat lainnya. "Nyalakan perapian!" Perintahku pada Leon.
Selagi Leon mengerjakan apa yang kuminta, Sindri semakin meronta gelisah. Dia tidak pernah kusakiti selama ini, sekali pun tidak pernah. Namun sering ikut ketika aku melakukan permainan atau ritual kecil kami ini. Jadi, ketika melihat ketakutannya aku merasa senang dan tertarik untuk mendengar jeritannya lebih dari ini.
"Tidak!! Bunuh saja aku! Bunuh aku sekarang!!" Teriaknya histeris.
Ck! Siapa dia berani-beraninya memerintahku? Aku tidak akan membiarkan ini berakhir dengan cepat. Tidak akan.
"AAAAGGGGHHHHHH!!!"
Sindri menjerit keras saat aku mencabut kelompok rambutnya menggunakan tang. Ekspresinya sungguh menganggumkan. Adik kecilku sunggu hebat. Aku semakin tersenyum puas saat menyadari kulit kepala Sindri mengelupas karena rambut yang kucabut. Tubuh perempuan itu menggigil dengan aneh. Kurang puas, aku melakukannya berulang kali.
"AAAAGGGHHH!! STOOOHHPP!! STOOHHHP!! AAAAHHHK!!!"
Trak!
Aku membuang tang setelah berhasil membotaki bagian atas kepala Sindri. Tubuh perempuan itu menggantung lemas dengan pandangannya yang juling karena mulai kehilangam kesadaran. Tubuhnya masih bergetar akan rasa sakit.
Menyadari perempuan ini akan kehilangan kesadarannya, aku mendengus jengkel. Lemah sekali. Kuputuskan memberinya sedikit tanda sebelum pergi, dengan mengambil besi yang biasa tersampir diperapian, aku meraih gagang kayu tongkat besi itu. Mengeluarkan ujungnya dari perapian, menampakan ujung tongkat itu yang merah menyala karena panas.
"AAAAAAAAHHHHHKKKKKKK!!!!"
Jeritan indah Sindri segera meluncur kala ujung besi itu kutempelkan didada kirinya hingga menembus pakainannya. Matanya terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar. Aku menikmati setiap ekspresi yang ditunjukkan Sindria, terlihat menakjubkan. Sayang, tidak lama perempuan itu tidak sadarkan diri.
Cih, cepat sekali! Ku buang tongkat tadi dengan asal dan berbalik. "Periksa dia! Jika masih hidup, obati dia. Aku belum puas bermain dengannya." Perintahku pada Leon sebelum pergi.
Sudah lama aku tidak bermain-main seperti ini, jadi aku ingin memuaskan diri hanya dengan adik kecilku. Aku tidak mau jika sisi ini bangkit dan harus mengorbankan Nial. Aku lebih suka melukainya lewat hati dari pada harus menodai tubuhnya dengan bekas luka.
***
Aku mengerjab kesal lantaran mendengar gendoran di pintu kamarku. Sial! Siapa yang pagi-pagi mengganggu tidurku, akan kupatahkan lehernya nanti. Tanpa meraih kaos yang kulepas, aku segera bangkit dan menuju pintu yang sedang digedor seorang keparat.
Wajah panik Leon segera menyambutku begitu membuka pintu, membuatku mengernyitkan dahi heran. "Nona Sindri tuan… Dia… Dia tewas!"
Aku semakin menatap heran pria idiot dihadapanku. Apa maksudnya? Perempuan itu tewas setelah aku menyiksanya semalam atau baru pagi ini ajal menjemputnya. Terlihat jelas Leon nampak frustasi karena aku masih berdiam diri.
"Ada apa?"
Suara lembut yang sedikit serak itu membuat kami menoleh. Nial muncul dari balik pintunya seraya mengucek matanya yang masih terasa berat. Dia hanya mengenakan atasan piyama milikku yang entah kenapa bisa ada padanya. Menyadari Leon ikut memandang kearah yang sama pada arah pandanganku, aku berdeham.
"Apa yang sedang kau lihat?"
Pria itu kaget dan segera gugup karena pertanyaanku. Mengacuhkan hal sepele aku segera keluar dan menutup pintu kamarku dan menguncinya. Segera pergi menuju ruang bawah tanah diikuti Leon.
"Eh, tunggu! Apa yang terjadi?" Nial berteriak, dan berlari menyusulku. Mengikuti hingga keruang bawah tanah dimana Sindri disekap.
Beberapa pelayan dan anak buahku yang sudah ada disana nampak terkesiap dan membelalakan matanya saat aku mendatangi mereka. Pandangan mereka bukan tertuju kepadaku, melainkan kearah Nial yang berlari kecil di belakangku. Atasan piyama yang hanya menutupi sampai pertengahan pahanya berkibar kala kakinya bergerak cepat.
"Akan kucungkil mata kalian jika berani memandanginya!" Dengusku kesal.
Mereka segera mengalihkan pandangan mereka dari Nial. Aku tidak punya waktu untuk menceramahi istriku karena dengan bodohnya mengikutiku dengan penampilan seperti itu. Kaki segera melangkah memasuki ruangan Sindri yang kusekap semalam.
Tubuhku langsung membeku kala melihat kondisi perempuan itu dengan Fran yang sedang memeriksa disampingnya. Perempuan itu sudah tergeletak duduk bersandar pada dinding. Sebelah wajahnya nampak hancur dengan bola matanya yang menggantung. Perutnya bolong dengan organ dalam yang berhamburan keluar.
"Ugh!!" Nial yang ada disampingku segera menutup mulutnya dan memeluk pinggangku.
Wajahnya nampak pucat dengan tubuhnya yang gemetar hebat. Kurengkuh tubuhnya dan membawanya keluar dari ruangan yang mulai berbau busuk. "Buang mayatnya!" Perintahku.
"Leon, hubungi Fredy dan Jenny segera! Kita sudah kecolongan sampai sejauh ini!"
Sial! Siapa yang melakukannya? Apakah si brengsek itu? Atau…
Mataku bergulir melirik Nial yang masih gemetar dengan tangan yang menutup mulutnya, dalam rengkuhanku.
Tidak mungkin…
[Chapter 19 End]
Wuuuoooh… Nenek lampir dah modar dengan indahnya x) #Plak
Nao nggak sabar buat bikin kalian terkejut akan semua yang ada dibalik cerita ini!! Tapi nggak rela juga cerita ini tamat //labil lu nak!
Pokoknya Votment byr malming nanti langsung dilanjut *nodong golok*
*Readers bareng2 gebukin author*
Sampai jumpa di chapter 20… Huahahahaha
Love u ♥♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top