18th Chapter
Yaampun Nao lupa buat update lantaran ketiduran nunggu something ><
Dan yang ditunggu sampe sekarang nggak muncul2 juga… Ngenes banget malming gue ╯ 3╰ *curcol*
Ya udah… dari pada Nao galau sendirian mendinga Nao galau bareng Nial XD #PLAAAAAK
Di Arka Pov ini menceritakan kehidupan dimasa lalunya akan someone lewat mimpinya. Dan menjelaskan bagaimana orang itu bisa menjadi alasan iblis itu menikahi Nial.
Enjoy~
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Loving You! 18th Chapter :
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
[Arka's POV]
Warna terindah bagiku didunia ini, adalah merah. Jeritan dan tangis adalah alunan melodi paling merdu menurutku. Aku tinggal di dunia hitam yang kotor di mana jerit, raungan, keputus asaan, dan ego adalah sesuatu yang kekal di sana. Dunia yang mengajarkanku untuk kuat, bukan hanya lewat fisik dan otak, tapi begitu juga hati. Mengacuhkan segala bentuk yang disebut dengan kemanusiaan. Membuatku dapat merasakan sensasi yang menakjubkan di dada.
Melihat darah melumuri tanganku dan dosa yang mengisi kehidupanku, tidak membuatku takut sedikit pun. Aku justru merasa senang. Ayolah, semua manusia pasti akan menemui ajalnya. Dan bagiku, mempercepat kematian seseorang bukanlah sesuatu yang spesial. Meski kuakui sangat menikmati diriku berperan menggantikan dewa kematian. Memenuhi keinginan para pemimpin busuk itu hanyalah sebatas pekerjaanku, dan menikmati bagaimana jalannya pekerjaan itu adalah kesenanganku.
Apa bedanya menepuk seekor nyamuk dengan mencabut nyawa seseorang, bukankah sama-sama membunuh?
Aku tidak peduli jika aku disebut gila, karena aku memang tidak waras. Aku tidak peduli disebut iblis, karena perilakuku tidak bisa disebut sebagai manusia. Aku tidak peduli jika aku disebut psychopat atau apa pun itu. Karena didunia ini sudah tidak ada lagi makhluk yang bisa disebut manusia. Hanya para makhluk berotak yang mempunyai akal dan bertingkah seperti binatang yang memenuhi dunia ini.
"U-uuh.. aku… t-tidak tahu.."
Wanita itu sedang terbaring diatas ranjang besarnya yang bersprei putih, yang kini sprei itu telah dihiasi warna yang sangat indah. Merah. Kedua tangan dan kakinya diikat pada tali yang masing-masing dipegang anak buahku disetiap ujungnya. Perutnya yang menggembung besar, terikat tali dengan puluhan jarum yang kini menancap dikulitnya.
Bosan, aku mendengus kasar. "Tarik!" Perintahku pada keempat anak buahku yang memegang ujung tali-tali itu. Menarik tali yang mereka pegang ke arah yang berbeda.
"AAAAAAAAGGGHHHHH!!!!"
Jeritan pilu yang memekakkan telinga dan menyayat hati untuk kebanyakan orang, mengalun indah diindra pendengaranku. Wajah yang penuh penderitaan akan rasa sakit kini mulai terlihat cantik bagiku. Hanya saja, wanita ini sungguh bodoh!
"Kau masih mau melindungi pria brengsek yang meninggalkanmu hah?!"
Wanita itu hanya diam merintih disela nafasnya yang tersengal. Bibirnya masih bungkam untuk memberitahukan bangsat yang membawa kabur uangku. Mungkin ini yang disebut orang dengan cinta sejati, tapi bagiku, semua ini hanyalah kebodohan.
Kesal menunggunya untuk bersuara, aku memerintahkan anak buahku, "Jahit bibirnya jika ia memang masih tetap bungkam."
Aku bangkit meninggalkan ruang eksekusi wanita hamil itu. Berharap jika dia masih dapat bertahan saat aku kembali lagi nanti. Aku masih ingin bersenang-senang karena rasa kesal akan bangsat yang kini entah dimana. Semua ini terasa menyenangkan saat aku bisa melihat penderitaan orang lain karena rasa sakit.
Aku tahu, yang kulakukan adalah salah. Namun tidak ada niat sedikit pun bagiku untuk berubah. Inilah diriku. Seorang manusia yang di lumuri darah dan dosa di hidupnya.
"Bos!"
Aku menoleh saat Fran, tangan kananku berseru. Seorang bocah berumur dua belas tahunan berada digendongannya. Wajah gadis kecil itu lembab karena air mata dengan mata yang sembab. Rambut pirangnya yang dikepang kini terlihat berantakkan.
"Kami menemukannya saat mengelilingi pantai." Ucap Fran.
Aku melangkah mendekat menghampiri Fran. Mengangkat dagu gadis cilik itu agar menatapku. Wajahnya cantik seperti ibunya yang sekarat tadi.
"A-apakah kalian orang-orang yang akan membawa kami pergi?"
Aku menaikan sebelah alisku saat bibir mungilnya yang bergetar berucap. Air mata kembali mengalir membasahi wajahnya.
"Apa kalian orang-orang yang akan menyembunyikan kami dari setan jahat?"
Menggelikan. Didikkan seperti apa hingga bocah seumurannya masih belum bisa melihat dunia dan masih bersikap polos. Tidakkah bangsat itu mengajarkan putrinya akan kekejaman dunia ini, agar malaikat kecilnya mampu bertahan nanti? Dasar bodoh.
"Ya… kami adalah orang-orang yang akan menyelamatkan kalian." Aku tersenyum setulus mungkin. Beruntung gadis itu tidak menolak saat aku meraihnya dari gendongan Fran. "Siapa namamu anak manis?"
Kuusap air mata dipipinya dan kembali melangkah pergi. Aku tidak suka dengan rumah kayu berbau busuk ini. Hawa pantai dimalam hari sungguh tidak cocok untukku.
"…"
Gadis itu tidak menjawab pertanyaanku dan masih menatap dengan memohon. Aku tersenyum dan mengecup kepalanya lembut. Mungkin ini akan menjadi lebih mudah untukku. "Kau tahu dimana ayahmu sekarang? Karena aku akan membawamu kesana bersama ibumu."
Gadis cilik itu nampak ragu sesaat meski pada akhirnya dia mengangguk. "Dia ada di…"
***
Salju. Itulah menjadi ciri khas tempat ini. Hampir seluruh permukaan yang ada tertutupi benda dingin berwarna putih. Bibirku menyimpulkan sebuah senyuman kala memikirkan akan melihat warna lain diatas benda dingin itu. Warna terindah yang sangat kusukai.
Mataku kembali bergulir pada sebuah rumah berukuran minimalis dengan halaman yang cukup luas. Sudah dua jam aku duduk dicafe sebrang jalan dari rumah yang kuamati, namun belum sekali pun aku melihat siempunya keluar dari sarangnya. Sepertinya pergi tanpa didampingi siapapun adalah keputusan yang buruk, karena aku kini mulai merasa bosan.
Setelah menengguk kopi yang entah cangkir keberapa akhirnya pintu rumah itu terbuka. Seorang wanita bersurai gelap dengan kulit pucatnya nampak menggandeng seorang bocah meninggalkan rumah itu. Dengan terburu-buru, aku segera bangkit pergi setelah membayar beberapa cangkir kopi yang telah keteguk.
Hawa dingin segera menyambutku begitu pintu cafe terbuka. Melangkah panjangkan kakiku mengitu seorang wanita yang beberapa ratus meter didepanku melangkah dengan terburu-buru. Tubuh rampingnya bergerak ringan dibalut mantel coklat itu. Dia terlihat indah.
Tidak lama, wanita itu akhirnya memasuki sebuah toko yang ramai akan hiasan natal. Tanpa membuang waktu aku pun ikut masul kedalam toko itu. Mencari wanita yang baru saja kubuntuti.
"Mama, kenapa ayah baru pulang setelah sekian lama meninggalkan kita?"
Suara merdu yang menyapa gendang telingaku, menarik perhatianku seketika. Kulihat seorang bocah berumur sepuluh tahunan tengah berbicara pada seseorang yang tertutupi rak.
Bocah itu memiliki rambut sekelam malam tanpa bintang dengan kulit putih pucat. Bibir tipis mungilnya berwarna pink yang terlihat sangat menggemaskan. Tangan mungil dengan jari lentiknya yang memegang boneka rusa. Dan saat manik gelap itu menangkapmu, sekita aku menahan nafas.
Manik itu gelap namun terlihat jernih dan indah saat cahaya memantul disana. Bibirnya yang semula lurus kini melekung dengan kedua sudut yang keatas. Senyumannya sangat menenangkan. Dia seperti tokoh dongeng anak perempuan, snow white versi lelaki.
Aku menepuk kepalaku saat sebuah pemikiran terbesit dikepalaku. Bagaimana bisa aku tertarik pada bocah berumur sepuluh tahun. Aku bukanlah seorang pedhofil, dan terlebih lagi aku bukan seorang gay!
"Karena ayahmu sibuk Nial." Suara merdu lainnya kembali terdengar.
Kulihat seorang wanita yang memiliki warna rambut dan kulit yang sama dengan bocah tadi muncul dari balik rak. Rambut hitamnya tergerai dengan sangat indah. Kulit pucatnya nampak kontras dengan gaun selutut berwarna merah. Warna itu terlihat sangat cocok untuknya.
Dan saat aku menatap wajah cantiknya, bibirku segera membentuk sebuah seringaian. Akan kumiliki snow white dengan malaikat kecil digandengannya itu.
***
"Sudah lebih baik?"
Bocah itu menganggukkan kepala dan tersenyum dengan menggemaskan. Ini sudah hari keempat aku berada dinegara ini dan mengawasi rumah yang menjadi incaranku. Namun saat perjalananku menuju cafe, aku tidak sengaja melihat malaikat kecilku yang baru pulang dari sekolahnya. Sebelah pipinya nampak biru dan lebam.
Aku mendudukkan diriku disebelahnya dibangku besi. Menatap taman yang hanya ada beberapa orang yang tengah melakukan kegiatan mereka yang entah apa. Sementara bocah disampingku masih menempelkan es krim yang kubelikan dipipinya.
"Terimakasih." Suara lembutnya kembali terdengar. Aku tersenyum hanya karena mendengar suara lembutnya, hatiku terasa hangat. "Boleh kubuka?"
"Dingin-dingin begini makan es?"
"Aku suka manis, jadi dingin pun tidak masalah." Ucapnya. Bibir tipis itu segera melahap es krim berwarna coklat, membengkak dan menjadi lebih merah karena sensasi dingin yang menyengat.
Berkali-kali kewarasanku berteriak agar aku tetap sadar. Aku tidak mungkin menyerang bocah sepuluh tahun lantaran melihatnya makab es krim. Itu sungguh konyol.
"Nial!" Panggilan dari suara merdu lain membuat kami menoleh. Bibirku tersenyum lebar kala melihat snow white-ku berlari menghampiri. "Kenapa kau tidak langsung pulang, dan— oh siapa ini?"
Mata hitamnya membulat dengan indah sementara salah satu tangannya menutupi bibir yang terbuka. Ekspresinya saat ini sungguh menggemaskan. Aku sangat terpukau dengan mata kelam itu. Jantungku berpacu cepat karena tatapannya yang menjalakan sengatan kecil dihatiku.
Inikah cinta pada pandangan pertama? Ck, menggelikan!
"Dia kakak yang membantuku." Ucap bocah itu menunjuk pipinya. Aku menyinggungkan senyum saat dia memanggilku kakak, karena setahuku aku tidak semuda itu.
Kulihat wanita itu menganggukkan kepalanya lalu mendongak kearahku. Senyuman yang mampu membuatku terbelalak karena terpesona terukir dibibirnya.
Ini pertama kalinya aku merasa tertarik dengan manusia. Berambisi untuk memilikinya tanpa berniat untuk menyakitinya. Hanya lewat tatapan dari iris sekelam hati manusia, aku merasa terjerat. Aku bahkan seolah membeku ditempat.
"Terimakasih banyak."
Aku tidak peduli jika cinta itu hanya akan membuatku bodoh. Aku juga tidak peduli apakah ini benar disebut cinta atau bukan. Yang jelas dua makhluk didepanku akan kumiliki bagaimana pun caranya.
***
Perasaan ini benar-benar membuatku gila. Mengundur rencanaku dalam jangka waktu yang cukup lama hanya untuk dapat melihatnya lebih lama. Menjadikan diriku seorang maniak, dengan mencuri semua yang berhubungan dengannya. Mulai dari barang-barang kesayangan hingga potret dirinya dalam wujud dua dimensi.
Mendekatinya dan menikmati setiap sikapnya yang semakin menjeratku. Aku semakin menginginkan dirinya. Mengabadikan senyum dibibir merahnya dalam hidupku. Aku menginginkan dia menjadi milikku.
Apa kalian mempercayai cinta?
Ya, aku percaya, aku merasakannya.
Apa kalian percaya cinta pada pandangan pertama?
Ya, aku percaya, aku mengalaminya.
Tapi aku tidak memilikinya. Aku tidak mampu mendapatkannya. Cinta yang kupikir dapat merubah hidupku, tidak memilih diriku sebagai cintanya. Karena objek cintaku sudah memiliki cinta pada orang lain, bukan diriku.
Aku sangat menyukai senyumannya. Dia yang menemukan dan memungut dari box dunia yang kotor ini. Dia yang mengajarkanku sedikit demi sedikit mengenai perasaan. Dia yang tidak pernah berpura-pura padaku meski nyawa sebagai taruhannya. Dia yang tidak pernah membohongiku hingga dapat dengan tegasnya menolakku.
"Maaf… tidak ada cintai untukmu."
Sekeras apapun aku memaksanya untuk tetap disampingku, dia akan tetap bisa lepas kembali pada pilihannya. Seberusaha apapun aku mendapatkannya, dia tetap bisa lepas kembali pada yang lain. Apapun yang kulakukan, aku tetap tidak bisa mendapatkan cintanya.
Aku murka. Semua yang kuinginkan harus menjadi milikku, bagaimanapun caranya. Tapi wanita itu justru memilih cinta yang menduakannya diwaktu-waktu yang lalu. Lebih memilih pria brengsek itu. Pria yang jelas-jelas meninggalkannya selama sembilan tahun untuk hidup berasama wanita lain, dan pria itu sekarang pergi menemuinya untuk bersembunyi, meninggalkan wanita lain yang masih setia melindunginya. Kenapa pria brengsek selalu lebih disukai?
Lebih baik dia mati. Jika aku tidak dapat memilikinya, maka dia pun tidak boleh memiliki siapapun. Menikmati setiap ekspresinya saat aku mencongkel kedua mata pria brengsek itu didepannya. Memutus telinga pria itu dihadapannya. Merenggut nyawa pria itu sebelum kupenuhi kulit pucatnya dengan darah dari luka yang kuukir.
"Kau iblis! Kau tidak pernah mengerti!! Kau bilang kau cinta, tapi kenapa kau tidak membiarkan cintamu bahagia?! Kau justru menyakitinya!"
Kupikir jika aku melakukan segala cara, aku bisa memiliki dia dan cintanya. Tapi justru yang kudapat kebencian darinya.
Mataku bergulir pada sosok malaikat kecil yang meringkuk dalam pelukan seorang bocah yang lebih tua darinya. Melodi pilu terdengar dari bibir mungilnya saat aku menyiksa wanita yang dipanggilnya mama dihadapan sosok itu.
Jika snow white tidak dapat kumiliki, maka akan kurenggut malaikat kecil itu memasuki kubangan dosa dalam hidupku.
Diantara genangan darah di lantai… aku melangkahkan kaki menghampirinya. Kupikir kini aku dapat meraih dirinya. Dapat meraih sosok yang akan menjadi milikku.
"Jangan mendekat!!"
Kepala bersurai hitam itu berteriak, menghentikan langkah kakiku. Memeluk bocah yang lebih besar darinya itu dengan erat. Manik gelapnya menatapku penuh kebencian, dengan cairan bening yang membasahi pipinya. Kulit pucatnya berlumuran cairan berwarna merah pekat.
Tapi aku tidak perduli, dan kembali melangkah mendekat. Sampai teriakan lantangnya membuatku membeku. Mendorongku dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
"TIDAK AKAN PERNAH ADA CINTA UNTUKMU!!"
Wanita itu menatapku nyalang. Meraih pemuda bersurai gelap itu dan menggendongnya, sementara bocah lainnya ia tarik agar bangkit bangun. Berlari sebisanya kabur dari diriku. Aku terdiam menatap tiga sosok yang kini pergi meninggalkanku.
Apa kau percaya cinta itu buta?
Aku percaya.
***
Alunan rintihan itu terdengar indah digendang telingaku. Bagaikan melodi pengantar tidur untuk selamanya.
Aku mengelus kepala bersurai gelap yang ada dipangkuan ku dengan lembut. Kedua kelopak mata itu terpejam menyembunyikan iris sekelam rambutnya. Nafasnya berhembus teratur meski kutahu kesadarannya telah menghilang jauh.
"Kau… kau iblis.." Wanita itu merangkak dengan sisa tenaganya. Menghampiri seonggok mayat yang sudah terbaring menemui ajalnya terlebih dahulu. "Kenapa kau.. menghancurkan kami.. kenapa kau melakukan ini.."
Aku tersenyum. Kukecup lembut kepala bocah yang ternyata berumur sembilan tahun yang ada dipangkuan. Menatapnya dengan kepuasan. "Aku mencintaimu." Bisikku ditelinga bocah yang pingsan itu.
"Kau tidak memiliki cinta.." Seru wanita itu. Dia segera terbatuk dengan cairan merah yang keluar dari mulutnya. Nafasnya mulai terputus-putus. "Tidak akan ada cinta untukmu.. tidak akan ada."
Wanita itu meringis seraya memeluk mayat disampingnya. Menangis pilu menunggu ajal yang akan menjemputnya tidak lama lagi.
"Tidak akan ada cinta untukmu.."
Mendengus kasar, aku mengangkat tubuh dengan kepala bersurai gelap ini. Menggendongnya dan menghampiri wanita itu. Dia menatapku dengan amarah.
"Jangan menyentuhnya… lepaskan tanganmu darinya.. lepaskan tangan kotormu.."
Tangan kiriku yang bebas mengambil pistol dan mengarahkannya pada wanita itu. Mataku terus menatap wanita yang kini meraung pilu. Aku mengecup pipi sosok yang tengah kugendong dan berkata, "Aku mencintaimu."
DOR!
Apa kau percaya cinta?
Ya, aku percaya.
Apa kau memiliki dirinya yang merupakan objek cintamu?
Bagaimanapun caranya aku akan mendapatkannya.
Apa dia memiliki cinta untukmu?
Dia harus memilikinya. Dan dia hanya boleh memiliki cinta untukku.
Hanya mencintaiku.
***
Aku membuka mataku yang entah sejak kapan terpejam. Mengangkat kepalaku dari atas tangan yang terlipat diatas meja. Tidak biasanya aku tertidur tanpa sadar, ditambah lagi memimpikan kejadian dimasa lalu. Aku mendengus geli.
Kualihkan pandanganku pada figur dalam bingkai foto yang menghiasi meja kerjaku. Sesosok wanita bersurai gelap dengan kulit pucat yang tengah tersenyum kearah kamera. Aku mengelus permukaan foto itu dan tersenyum picik.
"Kau bilang aku tidak mempunyai cinta, kau juga bilang tidak ada cinta untukku." Dengan cepat tanganku menepak bingkai itu hingga terlempar menghantam dinding. "Tapi lihatlah dari atas sana Elena, malaikat kecilmu memiliki cinta untukku. Sosok yang menggantikanmu itu memberikan cinta yang lebih dari cukup."
Aku bangkit dari dudukku, meraih jasku sebelum pergi meninggalkan ruangan pengap yang membosankan. Bibirku tersenyum kala memikirka sosok malaikatku yang kini pasti sedang menungguku. Malaikat yang hidup dalam kubangan dosa dikehidupanku dengan cintanya untukku.
***
[Nial's POV]
Aku memandang kamar yang penuh dihiasi dengan potret wajah yang sangat kurindukan. Wajah mama yang sudah lama tidak pernah kulihat kini hadir dalam foto dengan berbagai macam ekspresi. Wajah itu mirip sekali denganku, seolah itu cerminan wajahku dalam versi wanita dewasa.
"…"
Rasa sakit yang menggodam hatiku kini sudah hilang seutuhnya. Rasa kecewaku entah pergi kemana. Hatiku terasa ringan, sangat amat ringan.
Inikah alasan Arka menikahiku?
"Hahaha…"
Karena aku mirip dengan sosok potret yang memenuhi kamarnya.
"AHAHAHAHAHAHA!!!"
Aku tertawa lantang hingga perutku terasa sakit dan mataku berair. Kujatuhkan tubuhku diatas ranjang Arka dengan masih tertawa. Meremas kain spreinya tidak peduli jika itu akan membuat kusut.
"Aku mencintaimu Arka… hahaha… mencintaimu.."
Tawaku berhenti digantikan senyum tipis yang terukir dibibirku. Mungkin aku harus memberi hadiah pada suamiku tercinta atas semua yang telah dia lakukan padaku.
[Chapter 18 End]
Nao mengucapkan terimakasih untuk readers yang mengikuti Loving You hingga chapter ini… terimakasih atas kesadaran para readers yang mendukung Nao lewat Votment. Tanpa kalian cerita ini hanya sebuah karangan tertulis. ╮(╯▽╰)╭
Votment?
Love you and See you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top