17th Chapter
Nao balik lagi dengan cerita yang bikin readers misuh2 kusut lantaran tokoh sampingan atau pun jalan cerita yang cuma bikin penasaran doang :'v
Oh ya ada yg nanya setting cerita ini ada dimana… dengan sangat menyesal Nao nggak tau crita ini bersettingkan didaerah atau negara manapun *author pe'a*
*digebukin readers*
Nao juga nggak nyangka kalau cerita ini berjalan dengan super duper lambat, yang bakal selesai lebih dari dua puluh chapter *author mulai bosan*
Y udah lah… langsung aja dari pada Nao kebablasan curcol ╮(╯▽╰)╭
Loving You! 17th Chapter:
Selama hidupku, baru kali ini aku dapat merasakan perasaan yang dimiliki orang-orang pada umumnya. Lewat tatapan mata dengan iris sehijau hutan aku langsung jatuh cinta padamu. Entah, apakah jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada atau tidak. Yang jelas, saat menatap jade itu aku seolah terjerat masuk kedalam hutan dan tersesat disana.
Status yang kumiliki menjadi alasan aku menguatkan perasaan itu, meski luka yang terus kudapat. Rasa sakit sempat meruntuhkan semua yang kurasakan, namun perhatian kecilmu bagaikan sesendok air digurun savana. Menyirami tanaman yang mulai layu karena panas dan tandusnya gurun. Membuat tanaman itu kembali tumbuh, tidak memperdulikan bagaimana kejamnya keadaan gurun itu.
Aku selalu berpikir, dibalik sikap kasar, ego dan tegasmu, ada kesepian yang kau pendam jauh dalam hidupmu. Memiliki sikap perhatian dan kasih sayang sama seperti orang pada umumnya, meski kau sangat jarang melakukannya. Aku berharap pikiranku itu benar adanya, atau semua hanya akan menjadi delusi semata.
Diantara luka yang ditorehkan, terkadang kau memberikanku air untuk kembali bergantung padamu. Membuatku berharap terus hidup melupakan keputus asaan akan rasa sakit yang mencengkram. Kau seolah memerangkapku dalam perasaan ini agar kau bisa menikmati diriku terlukai karenamu.
Selalu, sepasang manik emerald milikmu meluluhkan kebencianku. Menghancurkan keputus asaanku agar aku menyerah. Saat kau memandang datar dan sedikit lembut, tanpa cinta dan kasih sayang didalamnya, kau sudah berhasil menguatkan perasaan ini.
Membuatku agar terus mencintaimu.
Tanganku terulur ketika kau menatapku saat ini, dengan tatapan datar dan hasrat didalamnya. Menangkup parasmu yang mampu membuat banyak orang berdecak kagum dan terpesona. Diantara deru nafas yang menggebu, aku menatap langsung tepat pada sepasang emerald yang sangat kupuja.
Sangat indah namun menyesatkan.
Kedua ibu jariku mengelus lembut masing-masing pipi wajahmu. Menyalurkan kasih sayang dan perasaanku, berharap kau merasakannya. Sepasang manik kelamku menatapmu penuh kasih, memancarkan kode hanya dirimu pusat hidupku. Tapi apakah kau menyadarinya saat ini?
Kutahu, sentuhan lembutmu saat ini hanya untuk memanjakanku dalam kegiatan ini. Gerakan yang kau ciptakan, hanya untuk memuaskan dirimu dan mengikatku dalam hubungan ini. Semua yang kau lakukan membuatku nyaman dan menikmatinya, tapi aku tidak dapat merasakan cintamu sedikitpun.
Bibirku terus mengalunkan namamu diantara desahan yang meluncur. Memanggil-manggil dirimu agar kau mendengar perasaan yang kumiliki. Menginginkan dirimu menoleh padaku, melihat bagaimana keadaanku saat mencintaimu. Aku menderita, namun tidak pernah bisa berhenti mencintaimu.
Saat bibirmu menyentuh bibirku, aku memejamkan mata mencari satu hal yang sangat kuingin dan kuharapkan. Namun yang kudapat hanya hasrat yang menggebu disetiap gerakan lembutmu yang menuntut. Atau aku belum bisa merasakan setitik kecil perasaanmu terhadapku?
Sentuhanmu yang memabukan, melayangkan libidoku hingga ke awang. Tapi dengan tangis perih hatiku yang merasa kesepian. Aku masih merasa buta dengan apa yang kau rasakan terhadapku. Aku masih merasa tersesat dalam perasaan yang menjerat.
Arka… Arka…
Tidak dengarkah kau, hatiku yang selalu memanggilmu? Meminta dirimu untuk balas melihatku.
Arka… Arka…
Tidak merasakah dirimu, akan cinta yang kusalurkan lewat setiap sikap dan tatapan mataku?
Arka… Arka…
Hanya dirimu yang kucintai meski kau tidak pernah membalasnya. Meski kau masih meragukannya, hanya dirimu yang tetap kucintai.
Arka… mencintaimu seolah menjadi tujuanku untuk hidup.
"Nial.."
Dan saat bibirmu memanggil namaku, tahukah kau aku merasa bahagia diatas penderitaan ini. Merasa kau memelukku dari atas latar sementara aku berdiri diatas bara. Seperti kau memberikan air disaat aku dehidrasi dengan campuran serbuk biji mahoni didalamnya.
Aku terus menerus mencari. Disetiap sikapmu, disetiap sentuhanmu, disetiap tatapanmu, dan disetiap panggilanmu. Tapi tidak pernah kutemukan apa yang kuinginkan.
Sebenarnya, apakah yang kucari ada dalam dirimu.
"Arka…" Untuk kesekian kalinya aku menyebut namamu. "Aku mencintaimu." Dan entah keberapa kalinya kalimat itu terus mengalun.
Tapi kau buta. Dan kau pun membutakan diri untuk melihatku. Bibirmu hanya tersenyum atas apa yang kuungkapkan tanpa kebahagian yang terpancar dari matamu.
Kau menjeratku agar terus terluka karena rantai yang kau pasang. Kau mengurungku dalam penderitaan yang kau berikan. Aku mencintaimu..
"Nial!" Kau menyerukan namaku saat puncak kenikmatan akhirnya kau dapat.
Pada saat itu, aku sering berpikir. Apakah kau akan menyerukan namaku saat aku berniat pergi. Apakah kau akan memanggil-manggil namaku saat aku mulai tidak lagi melihat dirimu. Apakah kau akan meneriakan namaku saat aku menghilang dari hidupmu.
Apakah kau mencintaiku Arka? Meski tidak sebesar cintaku padamu.
Kuulurkan jemari tanganku, menyingkap anak rambut yang menutupi dahinya. Wajahnya yang terlelap nampak sangat tentram dan terlihat begitu polos. Jariku mengusap peluh yang masih menghiasi dahinya. Dengan lembut dan perlahan agar tidak mengganggu tidurnya.
Deru nafas teraturnya menenangkan diriku yang sedari tadi merasa kebingungan dan tersesat. Lengan kokohnya yang memelukku protektif membuatku merasa aman. Kehangatan tubuhnya selalu menyamankan diriku.
Aku terus berusaha terjaga dan menatap wajahnya. Sesekali melirik jam yang kini menunjukan waktu sudah dini hari. Merasa pegal, aku bergerak sedikit untuk mengatur posisi tidurku. Tapi ternyata, itu justru membangunkannya.
"Ada apa? Kau bermimpi buruk lagi?" Tanyanya serak, ciri khas suara orang bangun tidur. Tersenyum lembut aku menjawab, "Tidak. Aku justru bermimpi indah."
Ya. Aku sedang bermimpi indah. Mendapatkan perlakuan lembut dan perhatianmu saat ini merupakan mimpi indah yang sedang kualami saat ini. Karena aku mulai meragukan, semua yang membuatku senang karenamu adalah sesuatu yang nyata.
"Nial." Aku bergumam saat Arka memanggil namaku. Lengannya yang memelukku kini mengerat. "Apakah kau sangat kehilangan perempuan itu?"
Emerald Arka menatapku diantara gelap yang temaram. Memandangku serius seolah meminta kepastian akan sesuatu.
"Ruth adalah sahabatku." Entah nyambung atau tidak, hanya itu yang mampu kukeluarkan sebagai jawaban.
"Jika disuruh memilih diantara aku dan Ruth yang harus mati, siapa yang akan kau pilih?"
Jantungku seketika berdenyut nyeri. Apa ini cara dia meminta penegasaan perasaanku yang sudah teramat jelas. Menghembuskan nafas panjang, aku mengusap wajahnya dengan lembut.
"Kau tahu jika cinta itu buta?" Ya, cinta bisa membutakan pandangan seseorang. "Tentu saja aku akan memilihmu untuk tetap hidup."
Kukecup sekilas bibir Arka dengan lembut. Dan seperti biasa, aku melakukannya dengan penuh kasih.
Cinta yang telah membutakanku, akan membuatku untuk lebih memilihmu dari pada Ruth. Mengabaikan kasih sayang dan cinta yang diberikan untukku dan lebih memilih cinta yang kumiliki. Tidak perduli jika cinta yang kupilih akan membuatku menderita seumur hidup.
Arka mendekapku erat, seolah tidak rela untuk kehilanganku. Ah, lagi-lagi mimpi yang indah. Mimpi yang akan hilang tidak lama lagi. Dengan perasaan senang, kunikmati mimpi yang memanjaku. Membalas pelukan Arka dengan erat.
"Nial.. maafkan aku."
Mimpi kali ini benar-benar indah.
***
"Selamat pagi." Senyuman Arka menyambut begitu aku membuka mata. Senyuman yang tipis, namun sanggup membuatku terpesona.
"Uhm… pagi." Aku mengucek mataku, sementara Arka menarikku kedalam pelukkannya dan mengecup puncaj kepalaku. "Bagaimana tidurmu?" Tanyanya.
Apa ini? Apakah aku masih bermimpi. Aku memandang Arka yang masih tersenyum. Sepertinya mimpi kali ini akan berlangsung lebih lama.
"Sangat nyenyak dan nyaman." Jawabku seraya memeluk pinggangnya erat dan menenggelamkan kepalaku didadanya.
Arka terkekeh pelan dan kembali mengecup puncak kepalaku. Kami kambali terlelap dengan saling berpelukkan, hingga tidak terasa hari sudah siang.
Aku bangun terlebih dahulu dan beranjak kekamar mandi untuk membersihkan diri. Saat aku kembali, Arka masih terlelap diranjang dan sepertinya enggan untuk bangun. Aku hanya tersenyum kecil melihatnya. Segera berpakaian agar aku bisa menyiapkan makan siang untuk Arka.
Begitu keluar dari kamar —yang tentu saja kamarku— dan turun menuju dapur, aku melihat Kai dan Pette yang sedang mengurusi sesuatu diruang tengah. Ah, aku hampir lupa keberadaan pria itu dirumah ini. Dan saat Onyxnya menangkap keberadaanku, Kai tersenyum dengan khasnya.
"Selamat pagi tuan." Sapanya yang membuatku menahan tawa. Mendengar Kai mengucapkan salam, Pette menoleh dan ikut menyapaku sama seperti Kai.
"Pagi." Balasku singat. "Apa yang sedang kalian lakukan?"
Kulihat tumpukan buku yang masih tersegel plastik dilantai. Buku-buku yang kebanyakan novel itu menarik perhatianku.
"Mengecek buku-buku yang baru dikirim pagi ini." Jawab Kai, dan Pette menyanbungnya, "Tuan Arka meminta kami untuk mengganti buku-buku yang ada diperpustakaan.
Aku mengangguk mengerti lalu memanggil Kai. "Bantu aku memasak didapur."
Kai menaikkan sebelah alisnya dan menatapku heran namun tetap mengikutiku. Ruang makan dan dapur, adalah tempat yang tidak tersentuh sedikitpun oleh pelayan Arka dan anak buahnya. Jadi saat kami sampai disana, tidak ada siapa pun.
"Wow! Malam yang panas huh?" Seru Kai dengan suara kecilnya. Telunjuknya kemudian mengarah kearah lehernya saat aku memandang bingung.
Sontak aku segera menutupi leherku dan wajahku memanas. Seharuhnya aku memakai kaus berkerah bukan model V-neck begini. Melihat reaksiku Kai terkekeh geli sambil memegang perutnya. Ok mungkin lebih tepatnya menahan tawa daripada disebut terkekeh.
Satu hal yang kusyukuri Kai menjadi pelayan pribadiku, pria itu akan bersikap biasa jika hanya kami berdua. Aku masih ingat bagaimana bisa dia bekerja dirumah ini dan tentang semua hal yang dia beritahukan kepadaku.
※Flashback※
Telunjuk Sindri mengarah padaku, dengan matanya yang menatap nyalang. "Jangan pernah membuat kak Arka repot karenamu."
"Tapi aku—"
"Ingatlah alasan mengapa dia menikahimu!"
Bibirku segera terkatup rapat. Alasan Arka menikahiku?
Setelah puas melampiaskan emosinya padaku, Sindri segera berbalik pergi. Apa maksud dari semua perkataannya. Kenapa dia mengatakan itu semua padaku. Kenapa banyak yang tidak kuketahui.
"Pette, bantu Zein mengompres wajahnya, biar aku yang menemani tuan Nial." Suara Kai menyadarkanku dari keterbisuan.
"Saya tidak apa-apa, tuan Nial bisa bersama saya terlebih dahulu." Tolak Zein. Aku melihat wajahnya yang bengkak sebelah dan darah segar disudut bibirnya. Tidak kusangka tamparan Sindri sekeras itu, mirip sekali dengan kakak angkatnya.
"Tidak apa-apa Zein, obatilah wajahmu." Ucapku pelan. Zein berniat menolak tapi segera mengatupkan mulutnya dan mengangguk. Entah perasaanku saja atau bukan, sekilas kulihat Zeib menatap tajam Kai.
"Jadi, bisa kau jelaskan?" Aku bersuara setelah hanya tinggal berdua saja dengan Kai. Kai mengusap dagunya dan berpikir sejenak. "Aku ingin ditempat yang tidak ada pengganggu."
Aku mengangguk pelan, membawa Kai ke lantai dua yang lebih tepatnya kekolam renang diluar perpustakan. Tidak akan ada pelayan atau anak buah Arka yang akan kemari tanpa perintah. Kami duduk dikursi bambu pinggir kolam.
"Jadi… kau mengenal Arka?" Tanyaku membuka percakapan.
Kai menggeleng. "Aku mengenal Jennifer, sepupuku. Dan dia memerintahkanku untuk bekerja pada bosnya sebagai baby sister."
Aku merenggut sebal dan memukul bahu Kai. Tapi pria itu tertawa datar. Ciri khasnya sekali. "Duni ini sempit sekali." Gumamnya.
Aku mengangguk membenarkan. "Jadi… kau tahu mengenai Ruth."
Ku dengar Kai menghela nafas panjang. "Beruntung aku ditolaknya." Gumamnya.
Menolehkan kepala, aku menatapnya tidak percaya. Apa maksudnya dia punya perasaan terhadap Ruth. Dan Ruth menolaknya.
"Ya, Nial. Aku tertarik pada perempuan yang mengaku istrimu, dan dia menolakku, jika itu yang ingin kau tahu."
Bibirku terkatup rapat dan mengalihkan pandanganku dari Kai. Kai ditolak karena Ruth menyukaiku. "Maaf."
"Kau sudah tahu perasaan Ruth?"
Aku mengangguk. "Tepat sebelum dia pergi."
Kami kemudian terdiam. Memandang riak air kolam yang memantulkan cahaya matahari. Sebuah pemikiran melintas dikepalaku.
"Jika kau mengenal Jenny, apa kau tahu pekerjaan suamiku?"
Aku terkejut saat mendengar Kai terbatuk. Dengan prihatin aku menepuk-nepuk bahunya. Karena apa dia tersedak tiba-tiba?
"Jadi, kau benar 'istri' dari Arka Hankal? Dan kau tidak tahu apa yang dikerjakannya untuk menafkahimu?" Akhirnya ekspresi lain aku melihat diwajahnya dengan pandangan mata yang menyiratkan hasrat yang sama. "Kukira Jennifer bercanda mengenai pria itu yang menikahi.. pria juga. Dan itu kau."
"Jadi?" Aku bertanya tidak sabar. Jujur, aku penasaran akan semua hal tentang suamiku. Sangat sedikit yang kuketahui tentangnya.
"Kau tahu mafia?"
Aku membeku saat mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Kai. Arka… seorang mafia?
"Bukan. Jika disebut mafia, rasanya kurang tepat. Tapi yaah mirip juga sih. Pria itu seperti… pawang dibalik panggung pemerintahan negara ini."
Aku mengerutkan kening, bingung dengan ucapan Kai. Tapi pria itu tetap melanjutkan ucapannya.
"Dia bekerja didunia belakang, yaah sebut saja begitu. Berperan sebagai Jin yang mengabulkan keinginan busuk para pemimpin dinegara ini. Kau tahu, dia seperti iblis yang disembah manusia-manusia busuk itu. Mengabulkan pembalasan dendam, pencapaian ambisi, dan keinginan busuk lainnya. Tentu saja dengan mendapat imbalan tinggi. Selain itu, dia juga melakukan bisnis jual beli barang-barang terlarang dipasar gelap. Kedudukkannya diantara para pemerintah, membuatnya lebih leluasa berbinis apapun dinegara ini. Bahkan melelang perempuan sekalipun." Kai menyeringai. "Mungkin hanya dia mafia satu-satunya dinegara ini dan hanya dinegara inilah dia dapat bertindak seperti itu."
Aku membeku mendengar semuanya. Pantas tidak ada hal normal dalam sikapnya dan semua yang ada dirumah ini. Semuanya terlalu ekstrim dan mengerikan.
"Tapi Nial, aku kagum padamu yang mau hidup bersamanya."
Aku menoleh pada Kai, melihat senyuman khasnya. Entalah. Pikiranku langsung kosong.
"Haah, dan kau harusnya merasa beruntung menjadi hal berharga untuk orang sepertinya, tuan."
Pada saat itu, aku hanya terdiam dan tersenyum miris. Benarkah aku berharga untuk Arka? Bukankah aku hanya pajangan dalam hidupnya?
※Flashback End※
"Melamunkan diriku heh?!"
Aku memukul pelan bahu Kai dan dia lagi-lagi tertawa. Pria ini sungguh berbeda dengan yang lain. "Bantu aku memasak untuk makan siang." Perintahku dengan nada datar.
Kai tersenyum, "Baik, tuan."
***
Selesai mandi dan berpakaian, aku segera keluar dari kamarku. Waktu baru menunjukan pukul tujuh malam kurang sepuluh menit. Sebagian para pelayan dirumah ini sedang bergegas karena waktu kerja mereka segera habis. Kakiku melangkah menuju ruang tengah, dimana ada Arka disana dan… Sindri.
Menarik nafas, aku melangkah mendekati Arka yang duduk disofa menghadap TV, dari belakang. Mengeluarkan seluruh keberanian akan resiko yang mungkin kudapat. Kuulurkan kedua tanganku dan mendekapnya dari belakang. Aroma samphoo tercium dari surai bolndenya.
"Kau juga baru selesai mandi?" Tanyaku seriang mungkin. Kukira Arka akan menatapku tajam atau datar, tidak kusangka pria itu tersenyum. "Ya." Jawabnya singkat.
Arka memutar tubuhnya dan menarikku kasar hingga terhuyung kedepan. Dengan sigap tangannya menangkap dadaku agar tidak jatuh tersungkur, sementara tangannya yang lain menarik bagian tubuhku melewati sandaran sofa. Mendudukkanku dipangkuan dan memelukku dari belakang.
Hatiku menghangat mendapati perlakuan manisnya, meski ada bagian dari diriku yang terus mengingatkan bahwa semua ini hanya mimpi. Mataku melirik Sindri yang duduk disofa tunggal. Membersihkan pisau-pisau logam yang ada dipangkuannya.
"Arka…" Pria itu bergumam saat aku memanggil namanya. "Uhm.. kapan kita pergi honeymoon?" Tanyaku gugup.
Trak!
Sindri menjatuhkan pisaunya dengan mata yang terbelalak menatapku. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah. Aku mengacuhkan Sindri dan kembali berucap. "Kau tahu, kita sudah lebih dari dua bulan menikah, tapi belum.. hanya kencan satu kali."
Sesungguhnya aku tidak benar-benar berharap kali ini, jadi jika Arka menolak, tidak masalah. Yang penting saat ini aku bisa merasakkan perhatiannya. Apakah ini masih mimpi?
"Kau ingin pergi kemana?"
Aku tersentak begitu Arka bertanya. Dia menyetujuinya. Kami akan pergi honeymoon. Benarkah itu.
"Kaka—"
Aku segera memotong Sindri yang berniat mengacaukan. "Kemanapun asal saat pergi kita bisa menaiki kapal pesiar. Aku belum pernah sekalipun menaiki benda terapung diair itu." Ucapku riang.
Arka terkekeh dan memelukku erat. Dia mencium pipiku lembut sebelum berkata, "Baiklah. Aku akan meminta Jenny mengurus semuanya."
Aku tersenyum puas dan segera berbalik. Memeluk suamiku itu dan menciumnya. Baru kali ini dia menuruti keinginanku dengan mudahnya. Ah.. aku tidak ingin sikapnya ini berakhir.
"Jangan memancing." Kurasakan tangan Arka meremas pinggangku. Membuatku terkekeh karena tumben sekali dia menahan hasratnya.
"Oh ya… apa boleh kali ini giliranku yang tidur dikamarmu? Bukankah selama ini kau yang selalu tidur dikamarku, jadi kupi—"
Bibirku segera terkatup saat melihat ekspresi wajah Arka yang berubah tegang. Sepertinya aku melakukan kesalahan. Dan mungkin ini untuk saatnya aku kembali bangun.
Kupikir, Arka akan menatapku tajam dan mengacuhkanku, atau mungkin meninggalkanku. Tapi pria itu menghela nafas yang kemudian mengusap puncak kepalaku lembut. Emeraldnya menatapku dengan lembut.
Oh tidak! Jangan lagi. Kupalingkan wajahku kearah lain menghindari tatapan suamiku. Aku tidak ingin semakin terjebak dalam perasaan ini karena sepasang emerald miliknya. Tapi tangan Arka menarikku agar menatapnya, membuatku kembali terjerat semakin dalam perasaan ini.
Aku membalas menatap wajah Arka. Mengulurkan tangan untuk menangkup wajahnya, mengusap pipinya dengan ibu jariku. Arka memejamkan matanya, nampak menikmati sentuhanku.
Tuhan… akhirnya aku dapat merasakan apa yang dirasakan orang-orang pada umumnya.
Tuhan… benarkah perasaan ini salah? Tapi mengapa aku hanya bisa mencintainya. Kenapa aku tidak dapat menghilangkan perasaan ini.
Pria ini, hanya pria ini yang kucintai.
"Kak!" Seruan Sindri mengejutkanku. Aku yang berniat mendekatkan wajahku pada Arka kembali menjauh. Melepaskan tanganku dari wajahnya. "Leon sudah menunggumu untuk pergi menemui Fredy." Ucap perempuan itu.
Arka menghela nafas dan memintaku turun dari pangkuannya. Dia bangkit berdiri,menghampiri Leon yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping sofa tunggal Sindri. Memakai jas yang dibawakan Leon sebelum kembali lagi menghampiriku.
Mengecup puncak kepalaku dan berpamitan, "Aku pergi dulu."
Saat Arka meninggalkan ruangan ini, aku hanya mampu diam mematung. Mengingat setiap perlakuan Arka selama ini.
Bolehkah aku kembali meraba mencari apa yang kuinginkan?
"Kau benar-benar membuatku sebal." Sindri berdiri didepanku dengan wajah geramnya. Tanpa aba-aba dia segera menarikku bangun dan membawaku menuju lantai dua. Aku ingin berontak, tapi segera kuurungkan saat perempuan itu berkata, "Akan kutunjukan kamar Arka!"
Tidak lama kami sampai didepan pintu bercat coklat. Sindri melepaskan tangannya dari lenganku, membuka kancing bajunya didepanku. Mau apa dia? Setelah tiga kancingnya terbuka, tangankannya merogoh bra hitam yang dikenakannya. Menyelipkan jari diantara dadanya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah kunci kencil.
Perempuan itu segera memasukan kuncinya kedalam lubang dibawah kenop pintu. Dan saat bunyi ceklikan terdengar, Sindri membukakan pintu itu untukku. "Semoga kau mengerti dengan semua yang ada…"
Aku membelalak melihat kamar bernuansa soft cream itu. Dipenuhi barang-barang yang sangat kukenal dimasa lalu. Apalagi puluhan foto menghiasi setiap inci dinding ruangan didalamnya. Berbagai ukuran foto dengan objek yang sama.
Mataku akhirnya terpaku pada foto besar berbingkai diatas ranjang berukuran kingsize itu. Rambut kelam dan mata hitam dengan kulit pucat. Aku sangat mengenali figur itu. Tentu saja aku mengenalinya, tidak akan ada orang yang tidak mengenali…
"Ini adalah alasan kak Arka menikahimu."
Lututku terasa lemas, dan aku jatuh terduduk diambang pintu kamar Arka. Aku tidak menyangka karena inilah dia menikahiku.
[Chapter 17 End]
Ahaaa terbongkarlah mengapa Arka menikahi Nial!!! XD
Itu udah Nao kasih clue loh ╯ 3╰
Btw kok banyak yg mihak Nial sama sosok misterius kemaren dari pada sama Arka sih?? Kan sosok itu belum tentu baik sama Nial.
O iy ada yg minta seperti apa sih sosok character LY… Nao udah nyari para artis/model/penyanyi/actor/dan orang ganteng lainnya buat gambaran sosok mereka. Tapi cari gambaran sosok Nial sama Arka yang sesuai imagenasi Nao nggak ketemu2. Dri nyari di tumbrl, pinterest, google, blog2, sampai worldcosplay tpi gk ktemu juga. Malah dapetnya gambaran sosok Nia sama Haris #plak *author malah curcol*
Ya udahlah ya… bayangin aja pake otak readers masing-masing XD
Satu lagi… LY mau dibuat Happy End atau Sad End?
Udah gitu aja curcolan Nao dari pada ntar nyerempet ke curhatan laen. Soalnya Nao udah hampir sebulan gak dapet jatah (?) Dari my baby darling *piiiiiiip* <nama disamarkan* lantaran dia UN. Jadi agak galau buat lanjutin cerita2 yang ada! QwQ
See you next chap~
Lov u ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top