16th Chapter

Loving You! 16th Chapter:

Aku menatap kesekeliling yang hanya ada kegelapan tanpa cahaya. Berdiri diatas lantai dingin entah dimana. Aku mengerjabkan mata dan menguceknya dengan punggung tangan, namun kegelapan itu terus melekat dipandanganku. Telapak tanganku sendiri pun tidak dapat kulihat. Bagaikan berdiri diruang hampa tanpa setitik cahaya.

Aku melangkahkan kaki, tidak ada rasa takut sedikit pun jika tersandung. Namun sejauh dan selama apa pun aku melangkah, aku hanya merasa seperti berputar-putar ditempat. Lelah, aku menghembuskan nafas pelan dan kembali mengucek mataku. Tidak nyaman rasanya tidak dapat melihat apapun sementara kita masih bisa merasakan dinginnya lantai yang dipijak.

Saat mataku terbuka, barulah aku dapat melihat sekelilingku. Pohon pinus dimana-mana dengan keadaan lembab. Entah kenapa terasa dejavu. Tidak lama sebuah suara terdengar dari belakangku. Aku membalikan tubuhku. Bibirku menyimpulkan senyum saat melihatnya berdiri disana dengan seragam putih hitam yang biasa dia pakai.

"Ruth."

Perempuan itu tersenyum saat aku memanggil namanya. Aku berniat melangkah mendekatinya, namun seseorang yang melewatiku membuatku terhenti. Seseorang yang sangat kukenal dengan kulit pucat dan rambut hitam. Sekelilingku tiba-tiba berubah dengan pemandangan ruang makan di rumah Arka. Itu Ruth dan… aku?

"Aku berhasil membuatnya, semoga Arka menyukai ini!" Ucap sosok diriku yang lain. Ditangannya terdapat sepiring makanan yang entah apa. "Ah, sepertinya Arka sudah pulang. Aku akan menyambutnya!"

Sosok itu pergi melewatiku dan meninggalkan Ruth seorang diri. Aku ingat, ini adalah saat dimana aku mulai akrab dengan Arka. Aku menatap Ruth yang masih berdiri ditempatnya. Senyumnya perlahan luntur digantikan dengan wajah terlukanya. Tangannya mencengkram seragam didepan dadanya.

"Aku harus ingat siapa diriku, tuan Nial bukanlah jangkauanku." Gumam Ruth yang terdengar jelas olehku.

Tidak! Ini tidak mungkin. Ruth adalah sahabatku. Dia tidak mungkin memiliki perasaan seperti itu.

Kakiku melangkah menghampirinya namun saat tanganku terulur meraihnya, sosok itu berubah jadi kepulan asap. Sekitarku pun mulai berubah dengan dikelilingi pohon pinus kembali. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok yang menghilang tadi.

"Nial…"

Tubuhku refleks berbalik. Ruth berdiri disana dengan pakaian kasualnya. Lehernya dipenuhi darah segar yang mengalir. Wajahnya terlihat pucat dan pilu. Apa yang terjadi dengannya?!

"Aku menyayangimu." Ucap Ruth.

Tidak! Jangan katakan!

"Nial…"

Tidak!! Kumohon jangan katakan! Itu seperti mantra untuk membawamu pergi Ruth!!

"Saya mencintai anda…"

"AAAAARRRRRGGHHH!!!"

Aku tersentak kaget saat mendengar teriakan itu. Kualihkan pandanganku dan melihat diriku yang lain tengah terduduk dan menjerit pilu. Saat aku kembali menoleh sosok Ruth telah tidak ada.

"BANGUN!! AKU BILANG BANGUN RUTH!!"

Diriku yang lain berteriak pada kepala yang digenggamnya. Itu… kepala Ruth?! Dengan cepat pandanganku tertuju pada sosok bertopeng yang berdiri didepan diriku yang lain. Dan saat sosok itu menoleh padaku, ketakutan segera mencengkramku.

Tubuhku membeku kala sosok itu melangkah kearahku. Lidahku kelu saat melihat seringaian dibibirnya. Pandanganku terkunci pada sepasang iris berwarna merah. Sosok itu meraih pedang dipunggungnya masih dengan terus melangkah kearahku.

Tidak! Jangan mendekat!!

"Kau hanya milikku… bukan milik siapapun. Tidak dengan iblis itu ataupun perempuan ini."

Tidak kumohon jangan mendekat!! BERHENTI!

"Kau milikku Ni—"

STOP! JANGAN MENDEKAT!!

"Iblis itu juga lebih baik kulenyapkan!"

"TTIIIIDDDAAAAAAKKK!!!!!"

Aku tersentak bangun dari tidurku. Mataku membelalak dari tugasnya menyembunyikan sepasang iris berwarna hitam kelam. Nafasku tersengal dengan adrenalinku yang berpacu tidak menentu. Keringat dingin membanjiri kening dan leherku, sementara cairan bening mengalir dari kedua sudut mataku.

Ruth…

Tubuhku masih bergetar akan ketakutan yang masih memelukku. Membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan kesadaran dan ketenanganku.

"Ada apa?"

Aku tersentak kaget kala mendengar suara berat itu. Arka melihatku dengan wajah kantuknya, dan rambutnya yang berantakan. Melihatnya ada disisiku, aku segera menghambur memeluknya. Berusaha mencari ketenangan dari kehangatan tubuhnya. Kusadari Arka mendengus sebelum dia balas memelukku, mendorongku berbaring dengan dia yang masih mendekapku.

"Tidurlah!" Perintahnya.

Aku hanya mengangguk tanpa suara. Tidak lama kurasakan deru nafas teratur Arka diatas kepalaku, sementara aku masih terjaga dan tidak bisa tidur. Pikiranku masih dibayangi kejadian beberapa hari lalu.

Ruth…

***

"Selamat pagi tuan!"

Aku hanya diam tidak membalas sapaan pelayan bernama Sindri itu. Pelayan perempuan yang bertugas menggantikan Ruth itu membuatku selalu merasa tidak nyaman. Apalagi saat ada Arka bersamaku, perhatiannya terpusat pada suamiku itu melainkan padaku yang notabene 'majikannya'. Lagi pula tidak ada satu pun yang dapat menggantikan Ruth.

"Selamat pagi Nial."

Aku menoleh pada Fredy yang pagi-pagi sudah ada dirumah ini dan ikut sarapan bersama. Kuanggukkan kepalaku sebagai balasan atas sapaannya, tidak berniat sedikit pun untuk bersuara. Aktivitas sarapan pun di mulai dengan Arka dan Fredy yang membahas sesuatu —aku tidak berniat untuk mengetahui apa itu.

Aku berusaha menikmati hidangan yang ada, yang ternyata masakan pelayan bersama Sindri itu. Masakan Sindri sungguh enak, bahkan lebih enak dari pada masakkan Ruth. Tapi aku lebih suka masakkan Ruth, dan aku merindukkan makanan yang dibuat sahabatku itu.

"Nial." Aku menoleh saat Arka memanggil namaku. "Sindri sudah bersusah payah membuatnya, kenapa kau seolah tidak menikmatinya? Aku tidak ingin masakkannya terbuang percuma."

Lagi. Ini entah keberapa kalinya Arka menunjukkan perhatiannya akan Sindri. Segala sesuatu akan Sindri akan ia selalu lihat, dan aku merasa telah dilupakannya. Aku melirik Sindri yang duduk di depanku, yang tepatnya disebelah Fredy. Baru tahu aku ada pelayan yang duduk berdampingan disatu meja makan dengan majikan saat sarapan. Ruth bahkan waktu itu tidak ikut sarapan dan berdiri tidak jauh dibelakangku. Sebegitu sayangnya kah Arka pada Sindri?

"Ya." Balasku kemudian dan berusaha menikmati makanan yang ada.

Pikiranku kembali pada hari itu, dimana aku kehilangan sahabatku didepan mata. Setelah sosok bertopeng itu memenggal Ruth dan sempat mendekapku, dia pergi begitu saja meninggalkanku yang masih memeluk kepala Ruth. Menangis sesenggukkan ditengah dinginnya hawa yang memeluk. Sekitar setengah jam barulah aku melihat Arka berlari dengan anak buahnya menghampiriku. Ekspresinya saat itu sulit digambarkan, antara amarah dan ketakutan. Mungkin.

"Nial, aku sudah mencarikanmu pelayan yang lain." Fredy membuka percakapannya denganku. "Mengingat Sindri tidak bisa diandalkan…"

Fredy menekan tiga kata terakhir saat menggantung kalimatnya,  mengacuhkan pandangan tajam dari arka dan rasa tidak suka dari Sindri. "Aku menyarankan Arka untuk mencari pelayan lain yang dapat menjagamu. Nanti siang dia baru akan datang." Lanjut Fredy.

Aku hanya mengangguk tidak peduli. Mendengar Arka bersuara menggantikanku.

"Apa kau bisa menjamin identitasnya?" Tanya Arka dingin yang dibalas anggukkan oleh Fredy.

"Jenny sendiri yang merekomendasikannya."

"Kalau begitu kenapa aku masih tetap menjadi pelayan tuan Nial? Bukankah cukup satu saja yang menjadi pelayannya, dan aku bisa kembali menjadi asisten pribadimu."

Aku mendongak saat mendengar perkataan perempuan itu. Sindri tidak menatapku dan masih menikmati makannya sementara bibirnya sesekali mengerucut tidak suka. Aku menyipitkan mataku, mulai jengah dengan sikapnya yang semakin terang-terangan menunjukan ketidak sukaannya padaku.

"Ya, satu pelayan saja cukup yang penting berguna dari pada memiliki sepuluh pelayan tapi tidak bisa diandalkan." Balasku dengan datar.

Fredy terkekeh pelan yang jelas sekali menahan tawanya. Sementara Sindri menatapku tidak percaya yang kemudian berubah bengis. Sepertinya aku telah memancing emosi perempuan itu.

"Oh, itu bagus. Pekerjaanku akan jadi lebih dan tidak merepotkan, tuan." Sindirnya.

"Baguslah kalau begitu. Tugas ini memang tidak sebanding dengan kemampuanmu." Aku tersenyum sinis sementara ia mulai mengepalkan tangannya yang ada diatas meja.

"Terimakasih, tugas ini memang tidak sebanding. Terlalu membuang waktu."

"Kau—"

BRAK!

Perkataanku terhenti kala Arka menggebrak mejanya. Membuat kami semua bungkam dan menatapnya ngeri. Meski kusadari Arka menatap tajam hanya padaku. Apa salahku?

"Ini meja makan. Bukan tempat berdebat!" Bentaknya. "Dan kau Nial, berhenti menyindir Sindri. Tidak tahukah kau bahwa perkataanmu menusuk?"

Aku tercengang mendengarnya. Apa yang dia bilang? Tidak salahkah aku mendengarnya? Arka membela perempuan itu dibanding aku padahal jelas-jelas Sindri yang memulainya. Dan lagi kalimatnya itu, butakah dia akan semua ini?! Lagi pula sikapnya inilah yang paling menusuk perasaanku kini.

"A-aku—"

"Maafkan aku." Sindri mendahuluiku berbicara. "Akan mencoba mengatur emosiku agar tidak ikut terpancing."

HAH?! Apa aku tidak salah dengar. Dia berkata seolah-olah aku yang mengejek dan mencoba menyulut emosinya, padahal aku hanya mencoba membalas setiap ucapannya. Perempuan ini benar-benar bermuka dua!

"Tidak, aku juga akan emosi jika seperti itu."

Kini aku menoleh cepat pada Arka. Dia membela perempuan itu, dia sepenuhnya menyalahkanku. Sebegitu pentingkah perempuan itu baginya? Sebegitu mudahkah aku kehilangan posisiku dihatinya?

"Habiskan makananmu!" Perintahnya saat aku terus terdiam.

"…"

"Nial!"

"Aku tidak nafsu."

BRAK!

Lagi, Arka menggebrak meja dan menatapku nyalang. "Sebenarnya apa maumu hah?!" Bentaknya pada.

Apa itu tidak salah? Arka membentakku. Setelah selama ini, Arka kembali membentakku karena kesalahannya. Aku menatap Arka tidak percaya dan terus terdiam. Bibirku terasa kelu.

"Aku sudah cukup pusing setelah kematian pelayanmu. Kau kira aku suka melihatmu seperti zombie tidak bernyawa?! Kau pikir aku tidak lelah hampir setiap malam istirahatku terganggu karena harus mengurusimu?! Pikirkan aku selain kau hanya bisa membayangkan perembuan tidak berguna itu!"

Hening. Tidak ada suara lagi setelah Arka menyelesaikan kalimatnya. Suamiku itu akhirnya bangkit dan pergi dengan amarahnya yang masih nampak jelas diwajahnya. Sindri menyusul Arka dengan segera, begitu juga Fredy.

Aku hanya terus terdiam, menatap bangku Arka yang kini kosong. Tubuhku seolah mati rasa atas sensasi yang meremas hatiku hingga untuk bernafas saja aku kesulitan. Setelah selama ini, aku seolah kembali melihat diri Arka yang dulu. Dirinya yang tidak memperdulikanku dan mengacuhkanku akan setiap rasa yang kudapat atas sikap dan ucapannya.

Pandanganku berubah buram saat air mata yang meluncur karena tidak dapat terbendung. Aku menangis dalam diam. Tanpa suara dan reaksi emosi atas sakit yang kurasakan. Hanya air mata yang terus meluncur, seolah cairan bening itu menggambarkan darah yang keluar dari hati yang tergores. Aku sungguh tidak menyangka. Haruskah aku kehilangan perhatian dari suamiku setelah kehilangan sahabatku dirumah ini?

Namun, sesakit apa pun yang kurasakan, aku sadar betul bahwa aku tetap mencintai pria itu. Mungin aku sangat bodoh, bodoh dalam cinta ini.

Aku menenggelamkan kepalaku diatara tangan yang terlipat diatas meja. Isak tangisku mulai meluncur saat memikirkan apakah yang kemarin hanya mimpi? Sikap Arka dan perkataannya di waktu yang lalu, apakah hanya sebuah delusi yang aku buat? Dan kini saatnya aku harus bangun dan mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Begitukah?

Aku ingin perasaan ini menghilang atau hancur sehancur-hancur hingga aku hatiku mati tidak tertolong. Akan lebih mudah untukku jika perasaan ini tidak ada. Akan lebih baik jika perasaan ini tidak pernah ada.

Aku mencintainya. Tapi mencintainya seolah menelan racun dalam madu. Manis sesaat, menyiksa untuk seterusnya.

***

[Arka POV]

Hentakan sepatu yang kukenakan menggema saat melangkah cepat menuju ruang tamu. Para pelayan yang melewati atau kulewati segera menunduk hormat. Begitu juga para anak buahku yang telah bersiap di dekat mobil. Mereka menunduk bersamaan kala aku dan Fredy sampai di depan mereka. Namun alisku mengernyit saat melihat dua wajah baru di belakang Leon.

"Siapa mereka?" Tanyaku dingin. Leon yang mengerti siapa yang kumaksud segera menjawab. "Mereka pelayan baru yang di bawa Mr. Jonshon."

Kulirik Fredy yang kini tengah membuang wajahnya sambil bersiul tidak jelas. Terus menatapnya tajam hingga ia merasa jengah. Bisa-bisanya dia memasukkan orang kedalam rumah tanpa persetujuanku.

"Aaargh!! Berhenti menatapku seperti itu!" Decaknya kesal. "Aku hanya menjalankan permintaan Jenny. Mereka dua orang yang dipilih Jenny untuk 'istri'mu, begitu perempuan itu tahu pelayan 'istri'mu mati!!"

Aku terus menatap Fredy tajam sementara pria bertubuh gelap itu menyilangkan tangannya di depan dada. Membalas tatapanku dengan pandangan yang seolah berkata, "Salahkan jalang itu!". Mendengus kasar, aku pun menggedikkan dagu pertanda memperbolehkan mereka masuk kedalam rumahku.

Setelah dua orang itu pergi, aku pun masuk kedalam mobilku sementara Fredy ke mobilnya sendiri. Namun saat pintu akan ditutup, seorang perempuan yang sangat familiar dihidupku menghentikannya. Sindri membungkukan badannya.

"Maaf." Ucapnya.

Aku tidak peduli dan segera menarik pintu, menutupnya kasar. Memerintahkan Leon untuk segera melajukan mobil menyusul Fredy yang sudah pergi terlebih dahulu. Rasa pening yang kutahan sejak tadi, membuatku kini harus memijit pelipisku kuat-kuat. Semua ini merepotkan.

Awalnya aku memanggil Sindri kerumah ini kembali untuk menggantikan posisi Ruth, jika saja perempuan itu tidak mati. Namun melihat sikap Sindri dan Nial yang tidak cocok membuatku sebal. Mereka selalu saja saling bersikap dingin satu sama lain. Dan jika bersuara mereka akan saling melempar sindiran.

Aku tahu tadi pagi bukan kesalahan Nial, terlihat jelas Sindri menunjukkan ketidaksukaannya pada Nial di awal perkataan. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Sindri begitu saja. Apalagi aku sudah menahan emosi semenjak menemukkan lelaki itu dihutan pinus dalam keadaan mengerikan.

Sikap Nial yang tidak bisa bangkit dari kematian pelayannya membuatku kesal. Sebegitu pentingnyakah perempuan itu? Aku tahu, Nial tidak akan tertarik pada perempuan itu, siapa pun. Karena kini aku sudah menggenggamnya seutuhnya. Tapi kedekatan mereka membuatku tidak suka. Lelaki itu milikku, tidak ada yang boleh menyentuh dan berniat memilikinya. Dia milikku!

"Leon! Hubungi Jenny untuk menyelesaikan pengiriman barang malam nanti." Perintahku.

"Tapi tuan, Mr. Fang pasti akan kecewa jika anda tidak turun langsung." Balas Leon tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.

"Aku tidak peduli. Sei." Kutolehkan wajahku pada sekretatisku yang ada disebelah. "Bagaimana dengan keparat yang membawa uang kita."

"Hilang tanpa jejak setelah dia kabur dari negara ini."

"Cari dia sampai dapat. Dan jika uangku tidak bisa kembali, aku ingin dia hidup-hidup."

Tidak ada yang akan kubiarkan kabur ataupun hidup tenang setelah merugikanku. Termasuk keparat itu.

***

[Nial Pov]

Aku mengerjap melihat dua pria didepanku, meski sebenarnya hanya satu orang yang membuatku kaget. Bukan hanya aku, pria itu pun nampak kaget karena senyuman yang sempat tersampir hilang. Dia menatapku lekat, seolah memastikan ini diriku.

Onyxnya bergerak dari atas kebawah yang kemudian kembali menelisikku keatas. Saat pandangan kami beradu, dia pun kembali memamerkan senyumnya. Masih nampak seperti biasa, senyuman yang dibuatnya madih terlihat mati. Namun kali ini sangat terlihat jelas.

"Mereka berdua, Pette Peterdon dan Kai Denmian. Mereka yang akan menggantikan tugas Ruth." Ucap pelayan disampingku yang bernama Zein.

"Selamat pagi tuan." Sapa Kai dan Pette bersamaan.

Namun aku masih belum mampu terlepas dari keterkejutanku. Apakah Kai didepanku benar-benar Kai yang kukenal. Onyx itu, dan ekspresi wajahnya, benar-benar menampakkan sesosok pria yang kukenal.

"Tuan?"

"Ah, ya?" Aku menoleh pada Zein yang berdiri disampingku. Zein menatapku dengan mengernyitkan keningnya. Shapirenya bergerak melirik dua pria lain sebelum akhirnya menatapku dan tersenyum.

"Jika anda masih belum terbiasa, saya bisa  menemani anda bersama mereka." Senyuman yang ditampilkannya sangat manis.

Semenjak insiden aku membantunya dalam memunguti paku dan kematian Ruth, Zeinlah yang selalu memenuhi apa yang kubutuhkan. Dia berkali-kali menghiburku setiap kali memergokiku menangis. Dibandingkan Sindri yang diberi tugas akan diriku, Zeinlah yang paling sering mengurusiku. Tapi aku tidak begitu suka ada didekatnya. Dia membuatku merasa tidak nyaman dengan tatapannya.

"Tidak perlu, mereka sudah cukup. Kembalilah melakukan tugasmu." Balasku dan tersenyum.

Aku meminta Kai dan Pette untuk ikut denganku ke lantai atas, menuju perpustakaan dirumah ini. Namun Sindri yang melangkah cepat kearahku membuatku menghentikan langkahku. Wajah perempuan itu nampak kesal dengan menatapku tajam.

"Kak Arka tidak pernah mengacuhkanku, tidak pernah membanting pintu didepanku, dan tidak pernah menatapku tajam." Cecarnya begitu sampai dihadapanku. "Tapi gara-gara kau dia melakukan itu semua padaku."

Aku mengernyitkan keningku heran pada perempuan didepanku. Dia melampiaskan emosinya padaku?

"Karena kau, aku akan nampak buruk didepannya. Karena kau, dia akan mulai menjauhiku." Sindri tidak berhenti sedikitpun. "Padahal kau hanya penghambat ambisinya. Kaulah yang membuatnya rugi besar. Dan kaulah yang akan menjadi sumber kematian dia nantinya. Aku tahu itu. Kaulah kematiannya!"

Tubuhku membeku kaku, lidahku tersa kelu sementara pandanganku terpaku pada perempuan itu. Apa yang dia maksud? Mengapa dia mengatakan semua ini padaku? Kenapa?

"Nona, anda tidak boleh berkata seperti itu." Kudengar Zein memperingatkan.

PLAK!

Mataku terbelalak saat dengan mudahnya Sindri melayangkan tamparan pada Zein. "Diam kau pelayan!" Desisnya. "Aku tidak sudi diatur olehmu, dan kau!"

Telunjuk Sindri mengarah padaku, dengan matanya yang menatap nyalang. "Jangan pernah membuat kak Arka repot karenamu."

"Tapi aku—"

"Ingatlah alasan mengapa dia menikahimu!"

Bibirku segera terkatup rapat. Alasan Arka menikahiku?

[Chapter 16 End]

See you next chapter ♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top