14th Chapter
Loving You! 14th Chapter:
Ini sudah hari kedua semenjak Arka menyeretku kembali ke rumah ini. Dan sudah dua hari pula aku sering merasakan tatapan seseorang yang memerhatikanku di rumah ini. Namun setiap aku menoleh atau pun berbalik tidak ada satu pun orang yang kutemukan tengah memandangku. Perasaan itu berbeda saat Arka yang sedang memerhatikanku, terasa lebih mencengkam dan membuatku merasa takut.
Deg!
Aku berbalik. Hanya ruang makan dalam keadaan kosong tanpa siapa pun selain aku di sini. Aku terus menyapukan pandanganku pada setiap sudut ruangan ini, sampai perasaanku kembali merasa tenang. Aku kembali menenggak air yang belum sempat ku minum tadi. Waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari, tapi aku masih belum bisa tidur. Entah kenapa rasa gelisa menemaniku dari kemarin.
Setelah dahagaku teratasi aku melangkah kembali menuju kamarku. Sebenarnya aku bisa meminta Ruth untuk mengambilkan air minum karena air yang ada di nakas sudah habis, tapi aku tidak mau mengganggu istirahat perempuan itu. Lagi pula aku masih punya dua kaki yang berfungsi normal hanya untuk mengambil minuman.
Ngomong-ngomong tentang Ruth, perempuan itu benar-benar menjauhiku sekarang. Dia sudah tidak lagi tersenyum dan tidak mau bercakap-cakap denganku. Mendapati hal itu aku merasa kesepian dan sedih. Apakah hukuman Arka membuatnya enggan untuk terbuka denganku lagi meski hanya sebagai teman?
Aku menghela nafas dan melangkah menaiki tangga menuju lantai dua. Suasana seluruh ruangan sangat temaram, dan aku tidak berniat untuk menyalakan penerangan. Meski ku akui rumah ini sangat seram dalam keadaan gelap seperti ini. Sesampainya di kamar aku segera mengunci pintu, dan berniat mencoba kembali untuk tidur. Aku dan Arka masih tidur terpisah, jika pun tidur bersama itu pasti di kamarku. Bukan di kamarnya.
Pergerakanku yang akan menyibak selimut terhenti saat melihat sesuatu di atas ranjang. Apa ini? Lilin aroma terapi? Siapa yang menaruhnya? Aku menghirup lilin berwadahkan mangkuk kaca segenggam tangan. Aroma Vanila tercium ke dalam hidungku, dan membuatku merasa nyaman seketika.
Aku tersenyum kecil memikirkan siapa yang menaruh lilin ini. Ku letakan lilin ini di atas nakas dan menyalakannya. Aroma vanila segera tercium. Aku pun beranjak menaiki ranjang dan berusaha mencoba tidur. Aroma yang menenangkan membuatku nyaman dan sedikit mengusir kegelisahanku. Membuatku akhirnya merasa ngantuk dan mulai terlelap.
.
.
.
"Saya yang akan mengantar anda ke kota." Ucap pelayan pria itu di depanku.
Aku mengernyitkan kening tidak suka. Kemana perginya Ruth? Dia masih pelayan pribadiku dan tentu saja aku hanya menginginkan dia yang menemaniku pergi hari ini. Aku menoleh pada Arka yang sedang menikmati kopi seraya membaca koran paginya. Arka balas melirikku, melepaskan kacamata bacanya sebelum berucap.
"Ada apa?"
"Dimana Ruth?" Tanyaku sedikit sebal.
"Aku mengizinkanmu pergi tapi tidak dengan perempuan itu." Arka menatapku tajam.
Tapi kali ini aku tidak merasa takut sedikit pun. Justru aku mulai sebal terhadap sikap suamiku ini. Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. Balas menatap Arka agar dia bisa mengerti kemauanmu.
"Pergi dengan Dean atau tidak sama sekali?"
"Lebih baik aku mengurung diri dikamar!" Ucapku dengan lantang lalu berbalik pergi ke kamar.
Sudah cukup! Aku mulai sebal dengan sikapnya itu. Apakah dia masih belum menpercayaiku? Menyebalkan! Dia sudah menyakiti sahabatku, membuat aku dan Ruth menjadi sedikit menjauh, dan sekarang dia mau benar-benar merampas sahabatku?! Memangnya aku manekin yang hanya ada untuk jadi pajangan di hidupnya? Aku butuh teman, aku butuh seseorang yang bisa kupercaya dirumah ini selain dirinya.
Sesampainya di kamar aku pun langsung membanting pintu. Menguncinya yang kemudian menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Biarlah sesekali aku merajuk. Aku tidak peduli jika dia akan murka atau apa.
Cukup lama aku terus berbaring dan tidak ada tanda-tanda Arka menyusulku. Menyebalkan! Dia benar-benar tidak memperdulikan kemarahanku.
"Tuan?" Aku langsung menoleh begitu mendengar suara itu. Suara lembut yang sangat kukenal. "Bisa tolong bukakan pintunya?"
Itu suara Ruth. Dengan hati yang lebih senang aku bangkit dan melangkah untuk membuka pintu. Tapi senyumku segera luntur kala melihat Arka berdiri di belakang Ruth.
"Kau boleh pergi dengannya dan Dean." Ucap Arka setelah menghela nafas.
Aku hanya terdiam melihat Arka. Tumben sekali dia mau mengalah. Atau justru dia punya maksud lain dari semua ini. Tidak mau membuang kesempatan ini aku segera mengangguk dan berjalan mengikuti Arka dengan di ikuti Ruth.
Aku, Ruth dan pelayan bernama Dean itu pun segera pergi meninggalkan Arka yang kembali membaca koran di ruang tamu. Hatiku sedikit bersorak girang kala akhirnya bisa melihat Ruth tersenyum di sampingku. Kami hampir keluar, sampai sesuatu kutendang begitu tidak jauh dari pintu depan.
Trak!
Sebuah paku tertendang oleh kakiku. Lalu suara benda berjatuhan lain terdengar di arah kananku. Seorang pelayan sedang membawa beberapa alat perkakas dengan kantung plastik robek yang menghamburkan paku-paku di dalamnya. Dia nampak kesulitan dengan membawa satu bongkahan kayu di pelukannya.
Aku merunduk mengambil paku di depan kakiku dan menghampiri pelayan itu. Membantunya yang sedang memunguti paku-paku yang berceceran diikuti Ruth dan Dean. Dia meminta maaf berkali-kali karena telah merepotkanku, sementara aku hanya menanggapinya dengan tawa.
"Terimakasih tuan!" Ucapnya untuk kesekian kali setelah semua paku telah terkumpul.
"Tidak masalah." Aku berniat berbalik sebelum terhenti kala melihatnya menyeringai.
Seringaian itu tidak asing untukku. Tapi aku tidak ingat pernah melihat dimana. Cara matanya yang memandangku membuat suatu perasaan jauh di dalam hatiku seolah terbangun. Perasaan ini…
"Tuan!"
Panggilan Ruth membuatku berhasil berbalik sepenuhnya. Aku kembali melangkahkan kaki menuju mobil yang sudah terpakari di luar. Sebelum masuk kedalam mobil aku kembali melihat pelayan itu, dan dia menggerakan bibirnya seolah mengucapkan sesuatu.
***
"Namanya Zein." Ucap Dean saat aku menanyakan tentang pelayan tadi. "Dia masuk minggu ini bersama tiga orang lainnya."
Aku mengangguk mengerti dan kembali melihat deretan buku di rak yang ada di depanku. Kali ini aku sedikit menjaga jarak dengan Ruth karena ada Dean yang mengawasi kami. Aku tidak ingin jika dia nanti melaporkan hal yang tidak-tidak pada Arka. Cukup sudah aku membuat masalah untuk Ruth.
"Pantas aku baru melihatnya." Ruth mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di dagu. "Siapa tiga orang lainnya?"
"Satu lagi bernama Sindri. Dua yang lainnya aku belum melihatnya." Jawab Dean seraya menerima buku yang kuberikan.
Saat ini kami sedang di toko buku untuk membeli beberapa buku baru. Aku sudah mulai bosan membaca buku-buku di perpustakaan rumah Arka.
"Sindri?" Keterkejutan Ruth menarik perhatianku.
"Siapa dia?" Tanyaku penasaran.
Dean terlihat sedikit ragu untuk menjelaskannya, tapi untunglah Ruth segera menjawab. "Sindri adalah gadis yang di pungut tuan Arka sepuluh tahun yang lalu di… panti asuhan. Gadis itu sudah tuan Arka anggap seperti adik sendiri. Tapi dua tahun yang lalu gadis itu pindah dari rumah untuk mengurus cabang perusahaan tuan Arka."
Aku kembali mengangguk. Gadis yang dianggap Arka sebagai adik sendiri. Aku penasaran sosok Sindri seperti apa.
"Lalu, perusahaan seperti apa yang dijalankan Arka?"
Ruth tidak langsung menjawab begitu pula dengan Dean. Mereka saling melirik satu sama lain sebelum Ruth tersenyum tipis. "Anda bisa menanyakannya sendiri pada tuan Arka."
Lagi-lagi, hal yang tidak kuketahui tentang Arka tidak pernah berkurang. Aku menghela nafas kecewa. Aku sedikit menyipitkan mata saat melihat sosok berjaket hodie berjalan menghampiri dari arah punggung Ruth. Aku menahan senyum kala sosok itu kukenali dan menyuruhku diam.
"Hallo sweatheart~"
Aku sedikit tercengang saat melihat Ruth segera menyikut Kai yang menutup matanya. Membuat pria itu mundur meringis dan membungkuk menahan sakit. Tidak berhenti di situ, Ruth segera berputar dan menendang pinggang Kai dengan salah satu kakinya. Kai jatuh tersungkur, dan disitulah Ruth terlihat kaget saat melihat siapa yang ditendangnya. Sepertinya tadi gerakan refleks.
"Maaf, ini hanya kesalah pahaman." Dean segera menjelaskan pada pihak keamanan yang menghampiri kami.
"Kau tidak apa-apa?" Tanyaku cemas pada Kai. Membantunya bangun dan berdiri, sementara Ruth masih mematung kaget.
"Uhk… tidak apa-apa. Lain kali aku tidak akan memberi kejutan seperti tadi." Gerutu Kai membuat Ruth tersenyum tidak enak. "Kukira kalian masih berantem mengingat kemarin aku melihat Ruth pergi belanja sendiri."
"Huh?"
Ruth segera mempelototi Kai sementara wajahnya mulai merona. Dan saat pandangan kami bertemu dia segera memalingkan wajahnya dariku. Sementara Kai terkekeh geli dan mengacak-acak rambut Ruth, membuat siempunya mengerang protes.
Mereka kelihatan begitu akrab sekali. Apakah ada yang terjadi diantara mereka saat kemarin bertemu? Ruth juga seolah menyimpan rahasia dengan Kai, tapi enggan untuk membahasnya denganku. Kulihat Ruth merengek protes karena Kai tidak henti-hentinya mengacak rambut perempuan itu.
Merengek? Satu hal yang tidak pernah dilakukan Ruth kepadaku. Melihat ini aku mengerutkan kening tidak suka.
"Siapa?" Pertanyaan Dean membuat kami bertiga menoleh.
Kai dan Ruth berhenti bercanda. Dean melihat Kai dari atas kebawah menilai penampilan pria itu. Keningnya berkerut kala pandangan mereka bertemu.
"Dia Kai. Teman tuan Nial." Ruth memperkenalkan Kai.
Dean mencoba tersenyum dan menyambut uluran tangan Kai saat mereka berkenalan. Terlihat sedikit ketidaksukaan Dean pada Kai saat mencoba tersenyum tadi.
Selama aktivitas kami menyusuri tempat perbelanjaan bersama, kusadari Dean terus menerus memperhatikan Kai. Mengamati gerak-geriknya. Aku hanya berharap Dean tidak melaporkan sesuatu tentang Kai pada Arka, yang membuatku akan kehilang teman lagi. Cukup hubunganku dengan Ruth menjadi renggang.
Pandanganku beralih pada Kai dan Ruth yang berjalan beriringan disampingku. Mereka berjalan terlebih dahulu meski jaraknya tidak jauh denganku dan Dean. Melihat Ruth yang tidak henti-hentinya mengoceh pada Kai dengan tangan yang mengait di lengan Kai, rasa tidak suka itu kembali muncul.
Ruth tidak pernah sedekat dan sebebas itu saat bersamaku. Langkahku terhenti saat sebuah pemikiran melintas di kepalaku. Apakah Ruth sebenarnya terpaksa berteman denganku? Apakah dia merasa terbebani menjadi pelayan pribadiku? Apakah Ruth tidak pernah bersungguh-sungguh untuk akrab denganku?
Aku masih terdiam saat Ruth berhenti bersama Kai dan menoleh berbalik. Rasa sedih mampir dihatiku saat melihat wajahnya. Dia menatapku biasa dengan pandangan sedikit heran. Tapi rasa sedih ini tidak kunjung hilang. Apakah Ruth tidak pernah mau menjadi temanku?
"Tuan?" Aku mengacuhkan panggilan Dean yang meluncur sedari tadi.
Pandanganku tidak lepas dari Ruth yang kini tengah memandangku juga. Hatiku terasa tercubit saat pandanganku beralih pada tangan Ruth yang masih mengait di lengan Kai. Tangan yang biasanya bertengger pada lenganku sebelum kejadian itu. Aku mencoba tersenyum saat pandanganku kembali pada wajah Ruth.
Kenapa aku merasa kesal dan kecewa?
"Dean, aku lapar." Ucapku mengalihkan pandangan dari Ruth.
"Ah, kalau begitu kita makan siang dulu."
Aku mengangguk dan kembali melangkah beriringan dengan Dean. Aku tidak memandang Ruth saat berjalan melewati dia dan Kai yang masih terdiam. Aku tidak mengerti mengapa bersikap seperti ini? Aku seperti anak kecil yang mainan bukan milikku sendiri diambil. Ingin protes namun aku hanya bisa bungkam menahan perasaan tidak rela ini.
Akhirnya aku terus menghindari bertatapan dengan Ruth dan berusaha menghindari perempuan itu. Lebih sering mengobrol dengan Kai dan Dean. Jika Ruth memanggilku aku hanya akan menanggapinya sebentar. Aku tidak marah dengan Ruth, tapi aku tidak ingin berbicara dulu dengannya. Entahlah mengapa aku seperti ini.
"Maaf jadi mengganggu acara belanja kalian." Ucap Kai saat kami akan berpisah pulang.
"Tidak apa-apa. Justru terasa lebih menyenangkan." Balasku.
Kai tersenyum. Tatapannya masih sama seperti terakhir kali kulihat. Tidak bercahaya dan tidak pas dengan ekspresi yang ditampilkannya. Pandangan Kai beralih pada Ruth lalu mengacak puncak kepala perempuan itu.
"Hei jangan berwajah sedih karena kita mau berpisah."
Perkataan Kai dan cara memperlakukan Ruth membuatku kembali mengerutkan kening tidak suka.
"Aku tidak sedih hanya karena berpisah denganmu!" Dengus Ruth.
"Hahaha, aku tahu. Karena fokusmu tidak pernah untukku."
Wajah Ruth merah merona. Memukul pundak Kai dengan sebal sementara pria itu tertawa. Sudah cukup! Kutarik tangan Ruth agar sedikit menjauh dari Kai. Memandang Kai dingin sebelum akhirnya aku memandang Ruth. Wajahnya masih merona dan nampak terkejut.
"Ayo kita pulang! Sampai jumpa Kai." Ucapku dan segera menarik Ruth pergi.
Perasaan ini, harusnya tidak ada selain pada Arka. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri jika aku tidak kesal dengan sikap mereka tadi. Aku mencintai Arka tapi aku juga menyayangi Ruth. Perempuan ini yang selalu menemaniku dari rasa sepi. Perempuan ini yang membuatku bisa tersenyum dan tertawa di rumah ini. Hanya Ruth yang terus menemaniku dari awal aku berada dirumah yang penuh akan rasa sepi hingga sekarang.
Sesampainya didepan mobil yang terparkir aku segera duduk di kursi belakang bersama Ruth. Berbeda saat berangkat tadi aku duduk di samping Dean. Aku tidak peduli dengan tatapan heran Dean. Mobil mulai meluncur pulang namun tidak satupun diantara kami bertiga yang bersuara. Aku terus menatap jalan di luar jendela di sampingku. Rasa kesal ini masih ada.
"Maaf."
Aku menoleh kesebelah. Ruth tengah duduk menunduk. Tangannya yang berada di pangkuannya mencengkram ujung bajunya.
"Maaf jika saya melakukan kesalahan."
Aku membelalak mendengarnya. Ini bukan salah Ruth. Ini masalah suasana hatiku sendiri. Tapi sepertinya Ruth merasa bersalah dengan sikapku yang uring-uringan tadi. Astaga Nial… bagaimana bisa kau seperti ini hanya karena iri sikap Ruth pada Kai?! Aku menghela nafas dan mengulurkan tanganku untuk mengusap kepalanya. Tapi Ruth sedikit menjauhkan tubuhnya dan melirik kearah depan. Aku mengerti, Dean pasti sedang mengawasi kami.
"Kau tidak bersalah. Aku… hanya sedikit kesal." Ucapku.
Ruth menoleh kearahku dan mengerutkan keningnya. "Kesal?"
"Ya!" Aku menyilangkan tanganku didepan dada. "Kau nampak akrab dengan Kai. Seolah-olah telah melupakanku!" Ucapku pura-pura marah.
Ruth yang menyadari maksudku tersenyum kecut.
"Kau juga menyimpan rahasia dengannya yang tidak kuketahui."
Wajah Ruth segera merona saat mendengar ucapanku selanjutnya. Aku menaikkan sebelah alisku melihat reaksinya. Ruth terlihat gugup dengan wajah meronanya. Penasaran aku sedikit membungkuk dan berbisik.
"Apa yang kau rahasiakan?"
Wajah Ruth semakin merah dan kemudian mendorongku. "Ji-jika saya memberitahu, itu namanya bukan rahasia." Jawabnya membuatku memberenggut kesal.
Aku kembali menatap jalanan menghiraukan Ruth. Bukannya merasa bersalah Ruth justru tertawa karena sikapku ini. Aku sedikit berjengit saat merasakan beban dipundakku.
Kepala Ruth sudah bersandar dipundak begitu aku menoleh. Dia memejamkan matanya dengan nyaman. Aku melirik kedepan dan mendapati Dean tengah mengerutkan kening menatap kami dari kaca kemudi. Melihat itu aku merasa gugup, bagaimana jika dia melapor pada Arka? Ruth akan terkena masalah.
"Ruth… Dean mengawasi kita." Bisikku.
"Maaf jika saya lancang." Ruth balas berbisik. "Tapi saya merindukan saat-saat seperti ini."
"Aku juga, tapi bagaimana jika Arka.."
"Saya tidak peduli." Potongnya masih dengan berbisik. "Saya akan menerima resikonya. Jadi biarkan saya menikmati ini hingga waktunya habis."
Bibirku tidak dapat kutahan untuk tidak tersenyum. Rasa kesal tadi segera lenyap digantikan oleh rasa senang. Kurengkuh bahu Ruth merapatkannya padaku. Menyandarkan kepalaku diatas kepalanya, sementara tangan Ruth melingkari pinggangku dari belakang.
Jika aku tidak bertemu Arka namun tetap bertemu Ruth, sudah dipastikan aku akan jatuh cinta pada perempuan ini. Tapi kini aku hanya menyayanginya. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri karena ia sahabatku yang paling berharga. Bagiku setelah Arka, Ruth adalah hal berharga kedua menggantikan keluargaku. Kuharap kami bisa seperti ini untuk seterusnya.
***
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Rasa sakit segera merajam kepalaku ditambah tubuhku yang ikut terasa remuk. Pandanganku sedikit kabur sebelum akhirnya mendengar suara-suara memanggilku.
"Tuan! Tuan anda baik-baik saja?!" Kulihat Ruth memandangku cemas. Didahinya terdapat lebam dan lengannya terdapat luka.
Apa yang terjadi?
Aku berusaha bangun, namun tanganku merasakan sesuatu yang basah saat memegang kepalaku. Cairan berwarna merah menempel ditelapak tanganku begitu menjauhkannya dari kepalaku. Aku mendongak dan menatap sekitar.
Kami berada diantara pohon pinus dengan mobil yang kutumpangi terbalik tidak jauh didepanku. Dean nampak sedang keluar dari pintu depan. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
"Kita harus segera pergi dari sini!" Ucap Ruth panik saat Dean telah berdiri didepan kami.
Aku ikut berdiri dan berlari pergi saat Ruth menarikku. Dean yang berada dibelakangku segera mengikuti dengan sebuah pistol di tangannya. Tidak lama suara deru mesin terdengar. Ah… aku ingat!
Saat diperjalanan pulang dan kami mulai keluar dari perkampungan dan memasuki jalanan di hutan pinus. Tidak lama sesuatu melintas di depan mobil yang kami naiki. Dean yang kaget membanting stir hingga keluar jalan. Bagian sisi jalan yang lebih rendah membuat mobil kami oleng dan terbalik. Syukurlah kami tidak mengalami luka yang berarti kecuali kepalaku yang masih terasa sakit.
Aku menoleh kebelakang saat mendengar tembakan. Dean terus mengikuti dari belakang dengan sesekali menembak sesuatu yang mengikuti kami. Suara deru mesin sudah tidak terdengar lagi. Namun keadaan langit gelap membuat kami semakin cemas akan keadaan ini.
Ruth terus menarikku berlari. Dan saat sesuat tiba-tiba muncul dari balik pohon pinus dan terayun, Ruth segera merunduk dengan tangannya yang menekan kepalaku agar ikut merunduk. Sesuatu itu terayun lewat diatas kepalaku dan menimbulkan bunyi keras.
CRAAK!! Brrugh
Aku menoleh kebelakang. Darahku seolah tersedot saat melihat pemandangan itu. Sebuah bongkahan kayu dengan tancapan banyak paku menghantam wajah Dean. Pria itu ambruk ketanah dengan bongkahan kayu berpaku menempel di wajahnya.
Pandanganku beralih pada sosok didepan yang memunggungiku. Tangannya masih terangkat diudara meski bongkahan kayu yang sepertinya tadi digenggamnya telah melepaskan diri dan menempel diwajah Dean. Aku membelalak ngeri saat sosok itu menoleh dan menyeringai.
Topeng setengah wajah dengan iris merah. Seringaian yang mengerikan itu..
"Dewa kematian menjemputmu… Angel." Ucapnya dengan suara serak.
[Chapter 14 End]
➡Q&A⬅
Panda: Holla… dizini zaya yang akan menemani kalian kali ini!!
Nao: *tendang Panda* ini cerita gue! Sono lu pergi jauh-jauh!!
Panda: Enak zaja… zayakan juga berjaza dalam membuat zerita ini!
Nao: lu cuma bantuin nyari nama tokoh-tokohnya doang juga. @( ̄- ̄)@
Panda: Tetap zaja zaya berperan penting! (⊙A⊙)9
Nial: Zzeeeessss!! Nih bagian masih ada aja… ditambah muncul boneka cacat. Pasti temennya Annabel! *nunjuk Panda*
Nao: Pffftt! *nahan ketawa*
Panda: (--〆) *ngasah golok*
Arka: Langsung saja tidak usah berbelat belit! *tendang panda jauh-jauh*
Boneka mengerikan!
●Q dari Gloryayo●
•Q1 for Arka ⇨ "Kapan pertama kali melihat Nial?"
Arka: …
Nial: *menunggu jawaban dengan penasaran*
Panda: Lama banget zih!! Zepetan zawab!
Arka: *Iket leher Panda pake tali BH Nao dan gantungin di tiang bendera sekolahan*
Nao: Σ( ° △ °|||)︴
Anjiiirrr tali BH gue!!!
Nial: A-anu… jawabannya?
Arka: Ah yah… aku pertama kali melihatnya saat sepuluh tahun yang lalu.
Nial: Eh?! Itu berarti umurku 9 tahun? Aku tidak ingat.. ╯△╰)a
•Q2 for Nial ⇨ "Bila kakak tertuamu yang akhirnya dinikahkan dgn arka, apakah kamu akan jatuh cinta juga dgn arka seperti cintamu padanya?"
Panda: Ohh kalau zaya zih ogah zatuh zinta zama om-om!
Arka: *jadiin Panda sebagai sansak hidup*
Nao: *sujud syukur* (untunglah lu muncul panda, jadi gue gak ikut dianiaya khkhkhkh) ╮(╯▽╰)╭
Nial: Uhm… aku tidak tahu. Mungkin aku akan tetap jatuh cinta jika pandangan kami bertemu. Tapi mungkin tidak akan seperti sekarang. *blushing* soalnya pasti cuma kakak yang mendapat perlakuan Arka.
Rena: *sujud syukur di balik panggung* untung gue gak sama tuh orang!
•Q3 for Ruth ⇨ "Perlakuan paling baik dan buruk yg dilakukan arka pada ruth apa ya?"
Ruth: Eh… ada pertanyaan untuk saya?
Nao: Yup! Kamu kan salah satu Character penting  ̄ω ̄
Panda: Tentu zaja Ruth penting… wong dia kan…
Nao: *tendang jauh-jauh panda* Awas aja lo kalo ember bocor!! Ini rahasia tau!
Arka: Panda sialan yang bikin naik pitam! *tarik Nial dan peluk*
Ruth: *ngeliatin Arka yang meluk Nial*
Arka: *balas menatap Ruth*
JGEEEERRRR!!!!
Nao: Jangan perang dingin ooi!! Dx
Nial: kok tiba-tiba ada petir? *tidak sadar dengan sikon*
Panda: *terkapar hangus karena tersambar petir*
Ruth: Ekhem… perlakuan paling baik tuan Arka adalah memberikan saya tempat tinggal dan mengijinkan saya istirahat saat sedang sakit.
Nial: *cengo*
Nao&Panda: *melongo* (Anjjiir yang kaya gitu disebut paling baik?!)
Ruth: Sedangkan yang paling buruk… dia menjual saya pada rekan bisnisnya karena tidak sengaja membiarkan nona Sindri hampir tenggelam di kolam renang. Menjadi pemuas nafsu selama seharian penuh.
Nao&Panda: *ngeliat Arka ngeri* (DASAR IBLIS!!!)
Nial: *muka berubah pucat* (Aku mengawani om-om berhati iblis… hiks, hiks) A-apa kau akan menghukumku seperti itu?
Arka: hum? Lebih baik aku menghukummu untuk menjadi pemuas nafsuku selama seharian penuh. Seminggu juga tidak masalah *smile*
Nial: *blushing* ╯//△//╰
Nao: Jiah malah blushing dia ╯▂╰
Ruth: *Cabik-cabik badan panda*
Panda: Apa zalah zaya!!!?? Σ( Q △ Q|||)︴
Nao: Ah ada pertanyaan buat Arka satu lagi nih… liat komen readers
●Q4 dari Adelvia for Arka ⇨ "apa pekerjaan arka? Berapa umurnya? Dimana tempat lahirnya?
Nao: Eh tempat lahir Arka dan pekerjaannya… aku juga ingin tahu!!
Arka: *menghela nafas berat* Pekerjaanku menjual apapun yang bernilai tinggi! Apapun asalkan itu menghasilkan uang! Umurku 33 tahun.
Panda: berarti ngepet juga dong~
Agh!! *dilempar asbak sama Arka*
Nao: kalau tempat lahir?
Arka:… aku tidak tahu.
Nial: *memandang Arka* (dia kelihatan sedih)
Ruth: *mendengus pelan* (pertanyaan yang sensitif)
Panda: Pazti kamu anak pungut!
Ruth&Nial: *tangkap panda dan berniat melemparnya kekobaran api unggun*
Panda: AMPUNI ZAYA!!! Σ( Q △ Q|||)︴
Nao: banyak yang tanyain perihal Arka ya… hmm sabar ya. Nanti juga bakalan kebongkar seperti apa iblis itu ╯﹏╰
PLETAK!! *dilempar sepatu sama Arka*
Ok deh… mungkin chap ini agak membingungkan ya.. maklum Nao lagi atid (sick) jadi agak gimana gitu buat berkhayal~ *alasan*
Votment buat cerita selanjutnya~
Love you minna♥ ╰( ̄▽ ̄)╭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top