11st Chapter
Loving You! 11st Chapter:
*** Family ***
Aku menatap sebal pada dua perempuan yang kini tertawa pelan di depanku. Sebenarnya sih hanya Ruth yang tertawa pelan. Perempuan itu membungkuk seraya memegangi perutnya dan menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tawa meski percuma. Sedangkan perempuan lain disebelahnya tertawa lantang. Membuat wajah cantiknya berubah seratus delapan puluh derajat dari yang selalu terlihat anggun menjadi layaknya gadis bodoh dengan tawanya yang menggema di kamarku.
"Astaga, jika kau perempuan. Dipastikan kau akan hamil karena rahimmu penuh dengan sperma, mrs. Hankal." Ejek Jenny. "Tapi untunglah kau tidak punya itu."
Kalian pasti bertanya-tanya mengapa perempuan ini ada di sini -di rumah Arka- dan duduk bertumpang kaki di sini -di kamarku. Perempuan cantik yang ternyata memiliki tabiat jelek ini, datang pagi-pagi buta ke rumah. Dan dengan tidak sopannya menerobos masuk kamarku saat dia tidak menemukan Arka di manapun. Aku yang kaget setengah mati, ditambah keadaanku yang telanjang bulat tengah terlelap di pelukan Arka yang juga telanjang, sontak saja berteriak keras. Lalu tidak lama Ruth datang dengan membawa samurai dalam keadaan panik.
Awalnya seperti yang mudah di tebak, Arka yang marah karena tidurnya terganggu. Ruth meminta maaf dengan kikuk dan wajah merona sementara Jenny minta maaf dengan cuek. Lalu Arka bangun dari ranjangku dan melangkah pergi ke kamarnya. Mengacuhkan Ruth yang wajahnya semakin merona dan Jenny yang bersiul menggoda melihatnya telanjang. Dan kemudian kebodohanku terjadi saat aku hendak bangkit namun justru jatuh tersungkur bergelungkan selimut kebawah ranjang. Tubuhku terasa sakit dan ngilu ditambah lengketnya di seluruh badan, sementara kurasakan sesuatu mengalir keluar dari anusku. Dan pertanyaan Jenny keluar begitu saja.
"Berapa ronde kalian semalam?"
"Li-lima." Dan bodohnya aku menjawab pertanyaan itu begitu saja.
Dan beginilah mereka, menertawakanku yang tidak bisa berkutik karena tubuhku ngilu-ngilu dan sakit setelah olah raga ranjang lima kali. Padahal menurutku semua ini tidak lucu. Lagi pula sampai kapan mereka akan terus berada di kamarku hanya untuk menertawakanku. Di tambah lagi tak ada satu pun dari mereka yang berniat membantuku yang masih meringkuk bergelungkan selimut di lantai.
"Astaga, di pengalaman pertama saja sudah lima kali. Bagaimana untuk kedepannya?" Jenny kembali tertawa.
"Tapi anda kuat juga tuan, dapat bertahan sampai lima ronde. Atau bahkan lebih?" Ruth bertanya menggoda.
Sial! Tidak majikan atau pun bawahan, sama-sama suka menggodaku. Memang benar aku meminta Ruth agar bersikap layaknya teman terhadapku. Tapi tidak kusangka itu jadi membuatnya sering menggodaku. Kupastikan wajahku merah padam saat ini.
"Sebenarnya mrs. Hankal.." Jenny melangkah menghampiriku dan berjongkok di depanku. Yang kemudian tidak kusangka dia mengangkat tubuhku dan memindahkanku ke atas ranjang kembali. "Aku berniat meminjam suamimu selama seminggu untuk urusan pekerjaan." Lanjutnya.
Aku mengernyitkan kening dan menatap Jenny.
"Murni urusan pekerjaan Nial." Tambah Jenny meyakinkan. "Apakah Arka tidak memberitahumu?"
"Tidak."
"Mungkin tuan Arka lupa." Ujar Ruth yang kutanggapi dengan anggukan.
"Ya, karena terlalu fokus bercinta denganmu." Jenny tertawa lagi.
Di tengah gelak tawa Jenny, pintu kamarku terbuka. Arka muncul dengan setelan jas hitamnya. Masuk dengan ekspresi datar dan tatapan tajam yang di tunjukkan untuk Jenny. Melihat itu Jenny segera menghentikan tawanya. Sepertinya perempuan itu merasa terancam.
"Kau boleh keluar asalkan bersama Ruth." Ucap Arka langsung begitu berdiri didepanku. Lalu tatapannya beralih pada Ruth. "Lakukan tugasmu dengan benar!"
"Baik tuan."
"Aku sudah tidak punya banyak waktu." Aku memejamkan mataku saat Arka menunduk dan mencium puncak kepalaku. "Aku pergi."
Ingin aku mencegahnya untuk beberapa saat. Namun kuurungkan niat itu. Aku tidak mau membuat Arka terlibat masalah dengan terlambat pergi karena aku menahannya beberapa waktu. Jadi saat ini yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk dan berkata..
"Hati-hati."
Arka tersenyum tipis sebelum kembali berdiri tegak dan berbalik melangkah pergi. Jenny segera menyusul Arka. Sebelum anak buah Arka menutup pintu kamarku, sesaat aku mendengar ucapan Jenny.
"Kuharap kau tidak kena karma karena ini."
***
Aku menangkap tubuh Fea yang melemparkan tubuhnya padaku. Dia memeluk bahuku dengan erat dan berceloteh girang. Kemudian Fio dan Lyla menyusul memelukku. Membuatku hampir terkubur diantara pelukan tiga perempuan ini.
Saat ini aku sedang berada di depan rumahku -memutuskan untuk pulang selagi Arka pergi. Di temani Ruth yang akan ikut menginap, aku pulang kerumah diantar salah satu pelayan di rumah Arka dengan mobil. Setelah melakukan perjuangan dalam merayu dan memohon pada Ruth untuk di ijinkan pulang, akhirnya perempuan itu mengijinkanku juga asalkan dia ikuti bersamaku. Aku tidak keberatan, aku justru merasa senang Ruth ikut. Dan di sinilah kami di depan rumah dengan tiga perempuan yang memelukku erat. Begitu Fea membuka pintu tadi, dia langsung berteriak kencang memanggil namaku. Lalu dengan mengerikannya dia meloncat kearahku, yang tentu saja segera kutangkap tubuhnya sebelum menghantam lantai. Tidak lama setelah Fea berteriak, Fio dan Lyla ikut muncul dan memeluk.
Mereka bertiga berceloteh bersamaan akan kepulanganku. Membuatku bingung bagaimana harus menjawab. Tapi di dalam hati, aku merasa sangat bahagia saat mendapati reaksi-reaksi saudariku. Mereka benar-benar telah berubah. Semoga begitu juga dengan ayah.
"Hei, hei! Berhentilah memeluknya. Apa kalian tidak lihat dia mulai condong kebelakang karena dorongan kalian." Aku melirik kearah suara yang sangat familiar itu. "Aku tidak ingin melihat kejadian memalukan akan para adikku yang tersungkur di depan pintu karena berpelukan."
Kak Rena berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang panjang dikuncir menampilkan leher jenjangnya yang indah. Penampilannya selalu sama, simple dan terbuka. Kak Rena hanya mengenakan tanktop dengan celana pendek yang mungkin hanya 1/4 pahanya. Memamerkan kaki jenjang dengan kulit kuning langsat yang mulus. Dia tersenyum ke arahku setelah Fea, Fio dan Lyla melepaskanku.
"Aku pulang." Ucapku tersenyum tipis.
"Selamat datang." Kak Rena mengaitkan kedua tangannya keatas pundakku dan memelukku erat. Tentu saja aku membalas pelukannya. "Kami merindukanmu."
Setelah kak Rena melepaskanku, aku segera memperkenalkan Ruth. Keempat saudariku menyambut Ruth dengan antusias dan menanyakan bagaimana kehidupanku di rumah Arka. Tentu saja aku segera memberi kode -tanpa diketahui para saudariku- pada Ruth agar tidak menceritakan yang sesungguhnya. Dan terimakasih untuk kak Rena yang segera sadar bahwa kami masih berdiri depan, yang kemudian mempersilahkan kami berdua masuk.
Barang bawaanku hanyalah ransel yang berisikan pakaianku. Pakaian yang dulu kubawa ke rumah Arka tapi akhirnya tidak berguna disana karena suamiku pasti akan langsung memelototiku jika pakaian yang di sediakannya tidak kupakai. Jadi akhirnya kubawa pulang kembali. Sedangkan Ruth membawa satu tas jinjing yang cukup besar -berisi pakaian ganti- dengan satu tas kecil yang sepertinya berisi 'kebutuhan wanita'.
Aku dan Ruth dipersilahkan untuk menaruh barang-barang kami di kamar. Ruth akan tidur di kamar Lyla. Sementara aku di kamarku sendiri yang dulu. Aku memandang kamarku yang tidak kusangka terawat dengan baik. Tidak ada yang berubah dengan kamarku selain foto ibu yang sekarang ada di kamarku di rumah Arka, tidak lagi di atas meja disamping lemari di ruangan ini.
Setelah membereskan pakaianku kedalam lemari, aku keluar kamar dan turun kebawah. Semuanya ada di ruang makan termasuk Ruth yang saat ini sedang menikmati kue dan minuman yang di hidangkan. Sepertinya dia sedang di introgasi oleh para saudariku.
"Nial, benarkah kau tinggal di rumah besar dengan kolam renang dilantai dua?" Tanya Fea setelah aku duduk di samping Ruth .
"Iya. Dan kau tahu? Dirumah itu ada taman seluas lapangan sekolahmu sebelum sampai ke taman utama di depan rumah." Jelasku.
Fea dan Lyla yang duduk di sebrang meja berdecak kagum. Aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada kak Rena yang memberikanku segelas minuman. Kakakku itu duduk di sampingku tepat di depan Fio.
"Huuaa aku juga mau punya rumah seperti itu. Huh! Apa aku harus mengawini om-om kaya dulu?" Ucap Fea.
"Om-om?" Aku mengernyitkan alisku heran.
"Iya. Bukankah suamimu dengan kamu berbeda empat belas tahun?" Ucapan Fea membuatku terkejut.
Kutatap Ruth yang berada di sampingku meminta penjelasan. Perempuan yang sedang meminum sirupnya itu melirikku. Meletakan gelasnya diatas meja dengan kedua tangan yang menggenggam gelas itu. Lalu melihatku sebelum menjawab.
"Ya, Fea benar. Tuan Arka berumur tiga puluh tiga tahun."
Penjelasan Ruth membuatku sedikit shock. Aku tidak menyangka itu. Maksudku, Arka tidak terlihat telah berkepala tiga. Kukira dia masih sekit dua puluh lima atau dua puluh tujuh tahun. Wajahnya begitu masih terlihat muda. Astaga, aku mengawani om-om! Suamiku adalah seorang om-om! Dan aku telah bercinta dengan om-om!
Hah?!
Aku menggelengkan kepalaku saat menyadari tiga pemikiran terakhirku. Biarpun Arka memang om-om dia tetap suamiku. Dan perlu diketahui, itu berarti Arka merupakan om-om yang sangat tampan!
"Tapi bagimana kau tahu itu Fea." Tanyaku menyelidik.
"Fea tanya Ruth." Jawab Lyla.
"Ya sudah, kau kawini saja om-om biar bisa punya rumah seperti Nial. Atau kakek-kakek sekalian, siapa tau dapat istana." Goda kak Rena membuat Fea mengerutkan bibir kesal.
"Kau tidak perlu mengawini om-om atau pun tua bangka bau tanah. Aku yang akan memberikan rumah impianmu itu nanti, lihat saja." Fio yang sedari tadi diam kini bersuara.
Aku tersenyum melihat dan mendengar ucapan Fio. Gadis itu masih tidak banyak berubah. Masih menyayangi saudara kembarnya itu. Meski Fea sangat berisik dan hyperaktif, beda dengan Fio yang lebih senang diam dan memilih suasana yang tenang di sekitarnya. Tapi Fio tidak keberatan jika ada Fea disisinya. Yang berarti tidak akan pernah ada ketenangan.
"Hehehe, kamu memang belahan jiwa dan tubuhku yang paling kusayangi!" Fea memeluk Fio yang ada di sebelahnya.
"Lalu Nial.." Aku menoleh pada kak Rena yang menyeringai. "Menurutmu sendiri bagaimana sikap suamimu terhadapmu?"
"Eh?" Aku terdiam memikirkan sikap Arka padaku selama ini, minus sebelum dia memperkosaku. "Dia baik dan perhatian. Meski sangat senang menggoda dan memerintahku."
"Lalu bagaimana sikap suamimu di ranjang?"
"EHH?!" Pertanyaan Fea membuat wajahku sontak memanas. "Buat apa kau menanyakan itu?"
"Kenapa? Aku kan cuma penasaran."
"Iya, aku juga." Lyla ikut-ikutan.
"Hmm benar juga, sikap keseharian terkadang beda dengan sikap diatas ranjang." Fio berkomentar membuat wajahku semakin panas.
"Ya, siapa tau saja dia di ranjang suka berbuat kasar. Senang BDSM mungkin?" Komentar kak Rena makin membuatku salah tingkah.
"Tidak!" Sangkalku. "Diranjang Arka tidak pernah berbuat kasar atau pun aneh-aneh seperti itu." Aku merinding saat membayangkan Arka melakukan BDSM terhadapku.
"Dia.. dia sangat lembut meski tidak sabaran." Lanjutku dengan wajah terasa seperti akan gosong.
"Tidak sabaran. Berarti kau cukup kewalahan dong?" Kak Rena kembali bertanya.
"Iya. Berapa kali sehari kalian melakukan itu.. aauwwh Fio!" Fea mendeathglare Fio yang menoyor kepalanya.
"Buat apa aku harus menjawab pertanyaan ini!?" Kesalku dan memilih bungkam. Sungguh mengapa mereka menanyakan hal pribadi seperti ini?
Kak Rena, Lyla dan Fea -Fio nampaknya tidak terlalu peduli- menatapku tajam. Mereka menuntut dan memaksaku lewat tatapan untuk menjawab. Tentu saja aku tetap bungkam dan meminum kembali sirupku.
"Baiklah!" Kak Rena menghela nafas dan sepertinya menyerah. "Ruth, berapa kali mereka melakukan itu sehari?"
Aku segera tersedak kala kak Rena melemparkan pertanyaannya pada Ruth. Sial! Kutatap Ruth tajam agar dia tidak menjawabnya.
"Lima ronde saat awal mereka melakukan."
"Eehh!!!!" Para saudariku berteriak histeris.
Akhirnya aku di introgasi habis-habisan oleh mereka bertiga. Jika aku tidak menjawab mereka akan melemparkan pertanyaan itu pada Ruth. Terus begitu sampai ayah akhirnya pulang dan mereka lupa memasak untuk makan malam.
***
Hembusan angin malam menyambutku begitu aku keluar dari mini market. Langit malam masih penuh dengan bintang yang menghiasi tanpa awan sedikitpun. Menandakan jika malam ini begitu cerah meski hawanya lebih dingin dari biasanya. Jalanan mulai sedikit sepi meski waktu masih menunjukan pukul delapan malam kurang sepuluh menit. Di daerah ini memang sedikit sepi meski sudah termasuk daerah perkotaan.
Aku melirik kantung belanjaan yang ada di tangan kiriku. Mengingat-ingat apakah ada yang kurang sebelum aku pergi melangkah pulang. Kak Rena menyuruhku membeli beberapa bahan untuk membuat sarapan besok pagi yang disusul titipan makanan dari ketiga adikku. Ruth yang baru selesai mandi dan melihatku akan pergi berniat untuk ikut bersamaku namun ku tolak. Sudah hampir seharian dia di introgasi para saudari, aku ingin dia sedikit bersantai di saat-saat seperti ini.
Aku melangkah pulang di jalan raya yang mulai jarang dengan kendaraan. Menikmati pemandangan langit malam yang indah. Apakah langit yang Arka lihat sekarang secerah dan seindah ini? Apakah ia juga sedang memandang langit saat ini? Memikirkan itu membuatku sedikit merindukan sosok egois namun perhatian itu. Padahal baru satu hari dia pergi, masih ada enam hari lagi.
Aku menghela nafas. Semoga saja Arka saat ini tidak menyeleweng mengingat dia pasti masih tertarik payudara seksi dengan tubuh meliuk indah. Meski sikapnya tidak lagi kasar dan terbilang sangat perhatian -dia juga bilang menyayangiku- aku tetap masih merasakan keraguan di hatiku. Apakah perasaanku benar-benar terbalaskan? Atau, semua ini hanya delusi yang kubuat akan sandiwara yang sebenarnya tengah dilakukan Arka? Kugelengkan kepalaku saat menyadari pikiranku mulai melantur. Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu? Aku harus percaya pada Arka dan tidak mengecewakannya.
Aku menghentikan langkahku di jalanan perumahan yang sudah sepi. Mendongakan kepala menatap langit yang masih menunjak keindahannya. "Mama, doakan aku bahagia.." gumamku.
Srak!
Aku mengalihkan pandanganku dari langit menuju asal suara itu. Melihat sesosok orang yang muncul dari balik tikungan pertigaan yang cukup gelap karena tidak ada penerangan di sana. Mataku menyipit kala orang itu melangkah ke arahku. Menampilkan sepasang kaki panjang dengan rip jeans. Lalu disebelah tubuhnya menggantung tongkat basseball besi yang dipegang di tangan kiri, disusul jaket hodie berwarna hitam yang di kenakan. Mataku membelalak saat sosok semakin terlihat jelas dengan topeng hitam yang menutupi setengah wajahnya.
Dia berhenti sekitar tiga meter di depanku. Tubuhku terasa membeku di tempat. Jantungku berpacu dengan cepat karena rasa tegang yang mengelilingiku. Aura yang di keluarkan sosok itu membuatku merinding seketika saat angin berhembus pelan. Keringat dingin mulai menghiasi kening dan leherku, tenggorokanku pun terasa seret mendadak.
Perasaanku mengatakan bahwa sosok di depanku ini berbahaya. Tapi aku tidak bisa menggerakan tubuhku sedikit pun untuk berbalik dan segera lari dari sini. Sosok itu masih diam di tempatnya seolah menelisik diriku. Sampai kemudian sebuah seringai mengerikan muncul di bibirnya yang tidak tertutupi topeng. Barulah aku dapat menggerakan tubuhku saat menyadari dia melesat kearahku. Segera berbalik dan berlari kabur dari sosok itu.
Tapi semuanya terlambat saat ada sepasang tangan yang melesat mendahuluiku dengan masing-masing di sisi tubuhku.
"Ti..Uhmp!!!"
Teriakanku teredam salah satu tangan itu yang membekap mulutku. Sementara tangannya yang lain mengait di perutku dan menarikku hingga pungguku menabrak sesuatu. Aroma manis yang entah apa menguar dari tangan dan tubuhnya di hidungku. Kantung belanjaanku terjatuh saat sosok itu menarikku kencang dan kini menarikku mundur entah kemana.
"Nggmm!!"
Aku mulai panik saat dia membawaku ke bagian jalan yang lebih gelap melewati tikungan. Aku berusah memberontak dan melakukan perlawanan. Namun semuanya percuma karena sepertinya tenagaku bukan apa-apa bagi dia. Di tambah lagi bekapannya dimulutku mengerat dengan tangannya yang menekan hidungku. Membuatku susah bernafas dan rasa pening mulai menyerangku.
"Aku menemukanmu."
Suara berat dan serak terdengar di kuping sebelah kananku. Hembusan nafas hangat menerpa kulit leher dan belakang daun telingaku. Bekapannya mengendur meski tidak lepas, namun tangannya yang melingkar di perutku mengerat dengan erat. Langkahnya terhenti, dan aku menyadari kami berada di sebuah gang sempit yang cukup gelap diantara dua gedung yang entah apa.
Siapa?
Aku menerka-nerka orang yang yang menangkap dan membekapku saat ini. Namun aku tidak mengenali sama sekali pemilik suara barithon ini.
"Unghh!?"
Aku tersentak kaget saat dia menjilat tengkukku. Tubuhku segera menegang dan bulu kudukku berdiri. Dia terus menerus menjilat dan mulai diiringi kecupan-kecupan ringan.
"Mengapa malaikat sepertimu bersama iblis macam dia?" Dia menghentikan aktivitas lidahnya di leherku. "Mengapa malaikat sepertimu bisa memikat dewa kematian sepertiku?"
Aku mulai panik saat tangannya yang di perutku merayap masuk kedalam bajuku. Aku menjerit tertahan dalam bekapannya. Berusah meronta meski ternyata sia-sia. Tangannya mengelus perutku yang membuat otot-otot disana menegang. Merayap naik ke dadaku dan terus bergerak disekitar sana. Tubuhku seperti disengat listrik saat merasakan telapak tangannya yang dingin. Tidak! Aku tidak mau disentuh olehnya! Aku tidak mau disentuh selain Arka!
Kurasakan kerah bajuku disingkap lebar yang sepertinya menggunakan gigi karena tangannya masih membekap dan mengelus tubuhku dari balik baju. Tubuhku bergetar saat merasakan sapuan lidahnya di cengkuk leher dan bahuku. Tidak! Aku tidak mau seperti ini! Arka! Kumohon tolong aku!!
"UUNGH!!!"
Aku mejerit hebat dalam bekapannya saat merasakan sesuatu yang tumpul menekan, menancap, dan merobek kulit bahuku. Dia menggigitku?!
[Chapter 11 End]
Huaaa muncul lagi sosok tidak terduga!! *jingkrak-jingkrak girang*
Nial: *lempar gayung* Author sialan! Kapan aku bisa bahagia tanpa rasa sakit?!
Nao: *usap-usap kepala yang kena gayung* sabar Mrs. Hankal... masih lama.
Arka: *muncul tiba-tiba* haah... cerita jelek saja dibuat bertele-tele!
Nao: *JLEB in the kokoro!*
Ya udah... please Votment cerita jelek ini biar Nao semangat lanjutinnya ╰( ̄▽ ̄)╭
Btw ada yang mau bertanya tentang character LY? Misalkan tentang hobi, kesukaan, yang di benci, atau benarkah Nial itu maso seperti yang di katakan salah satu Readers (*author dibejek-bejek Nial). Silahkan tanya lewat komen, nanti jawabannya di kasih tau di next chapter... semacam character interview gitu~
P.s:: asal jangan nanya perasaan Arka o(╯□╰)o
Votment?
See you next chap ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top