Prolog
"Gue ditolak Agesa, Lit!"
"Udah gue bilang, kan?" Lalita bersedekap. "Agesa itu sebelas dua belas kayak Joe. Nggak bisa dideketin kalau nggak pakai otak. Apalagi main tembak. Please, lah, Nad! Nggak heran lo ditolak Agesa."
"Terus gue harus gimana?" Nadia masih mencak-mencak, tak terima. "Masa gue harus pasrah gitu aja? Mana gue tau kalau Agesa itu tipe cowok kek Joe."
"Ikhlasin aja." Lalita geleng-geleng. "Lagian lo tuh, ya, nggak kenal baik kok asal confess aja. Sadar diri, dong, sama posisi lo, Dear. Gue tau Agesa itu tipe lo banget. Mana dia cakep gitu, kan? Pemain basket, kulit cokelat terang, fashionable abis kek model. Lo, sih, impulsif." Lalita berdecak, geleng-geleng melihat ekspresi masam Nadia.
Nadia menghela napas, kembali duduk di samping Lalita. Cewek itu menopang dagu dengan kedua belah tangan, menatap malas pada Lalita yang asyik dengan ponsel di tangan. "Gue nggak ngerti, Lit. Apa rumor itu bener, ya?"
Gerakan Lalita membalas beberapa pesan yang masuk terhenti. Cewek dengan rambut hitam legam itu menoleh, menatap Nadia lekat-lekat. "Lo percaya sama rumor nggak jelas kayak gitu, Nad?" Lalita menepuk dahi. "Nggak nyangka gue bisa satu clique sama orang yang gampang kemakan hoax."
"Halah!" kilah Mita yang tengah duduk di sudut ruang UKS. "Bilang aja lo kesel gara-gara ditolak Agesa, Nad. Segitunya, ya, sakit hati ditolak sama gebetan?" Mita menohok tajam tanpa mengalihkan tatapan dari buku di depanya. Tangannya bergerak lincah menulis list obat-obatan yang baru saja datang di buku arsip UKS.
"Loh? Bener, kan?" Nadia tak goyah. Ada jeda beberapa saat ketika dua orang siswi masuk ke UKS dan permisi untuk mengambil obat sakit kepala. Nadia kembali melanjutkan setelah memastikan dua cewek tersebut sudah benar-benar pergi dari UKS. "Coba kalian liat temen-temen cowoknya. Si Arga deket sama Runa. Joe sama Tata—sorry, Lita, kenyataannya mereka memang deket meskipun lo naksir berat sama Joe. Bahkan Shiki yang imutnya ngalahin cewek, pernah beberapa kali pacaran meskipun nggak lama. Nggak heran, sih, ceweknya kalah saing kalau jalan sama Shiki. Cantikan Shiki—"
"Terus intinya apa, Nadia?" Lalita gemas sendiri. Kedua belah tangannya terangkat, memeragakan gerakan ingin mencakar Nadia saking geregetan sendiri. "Lo mau ngomong soal Agesa atau ngeledek Shiki yang mukanya lebih imut dari pacarnya sendiri? Shiki itu sepupu gue, please. Gue jitak lo, baru tau."
Nadia menghela napas. "Agesa itu cakep. Hot. Ganteng. Seenggaknya menurut gue, ya. Nggak kalah sama Joe atau Arga, tapi, gue nggak pernah liat dia jalan sama cewek. Deket aja nggak pernah. Malah cenderung anti sama cewek. Gue curiga gosip itu bener."
"Itu nggak ngebuktiin apa-apa, Sayang." Lalita geleng-geleng. "Emang lo dua puluh empat jam ngintai dia? Sampai tau dia nggak pernah deket sama cewek. Bisa aja dia nyari cewek di luar NuGa. Itu, Neil, nggak pernah tuh deket sama cewek NuGa. Mainnya sama cheerleader SMA lain."
"Sejujurnya, Lit, gue nge-stalk semua info tentang dia. Medsos dia, gosip-gosip di sekitar sekolah, perilaku dia ke cewek gimana, dan lain-lain, lah, pokoknya. Nggak pernah ada tanda-tanda dia deket sama cewek, tuh. Lo tau kan dia itu terkenal? Salah satu most wanted NuGa. Kalau dia dikit aja ketahuan PDKT sama cewek, pasti ada aja gosip yang bocor. Ini nggak pernah, bo!"
"Ye, kali, Nad!" Tanpa pikir dua kali, Mita langsung menggebrak meja di dekatnya, membuat Nadia dan Lalita terkejut. Mita bahkan tidak peduli dengan pelototan Lalita, menegur. "Nggak semua cowok reveal status hubungan mereka, Sayang. Hanya karena lo nggak pernah dapat clue soal asmara Agesa, bukan berarti gosip itu bener. Lagian, lah, ya, nolak satu cewek bukan berarti apa-apa. Think again, Nad!"
"Sok tau, lo, Mit!" Nadia tak kalah garang membalas argumen Mita. "Dia itu nolak hampir dua puluh cewek. Mulai dari adek kelas yang imut-imut sampai angkatan kita yang seksi cantik semua ditolak. Kalau satu dua masih oke, lah. Gue nggak bakal mikir macem-macem. Ini hampir dua lusin—kurang empat lagi, tuh, biar genap. Masa nggak ada satu pun yang bikin dia tertarik?"
"Ya, berarti emang nggak ada yang bikin dia tertarik atau bukan selera Agesa, Nad." Lalita memutar bola mata jemu. Jemari telunjuknya terangkat, mengetuk-ngetuk pelan pelipisnya, memberi isyarat agar Nadia tidak asal bicara, tapi juga harus dipikirkan baik-baik. "Nad, cinta boleh, bego jangan. Gue nggak sudi, ya, satu clique sama orang yang gampang kemakan hoax atau bucin. Gue sama Mita paham, kalau lo kecewa abis ditolak Agesa. But, Dear, itu juga bukan alasan buat ngatain dia belok."
"Lho? Gue nggak ngatain dia, ya, Lit. Gue cuma ngasih dugaan-dugaan yang ngarah ke rumor kalau Agesa itu belok. Gue cuma bilang, apa rumor itu jangan-jangan bener? Nggak ada satu pun kalimat gue yang nge-judge dia tanpa bukti," kilah Nadia.
"Ya, tapi, kata-kata lo itu, lho, Nad! Seolah-olah lo mojokin dia hanya karena dia nggak pernah keliatan deket sama cewek. Sama dia nolak tiap kali ditembak. Itu bukan bukti, Dear. Itu cuma spekulasi. Belum tentu bener, dan ya, gue harap lo nggak ember sok bikin rumor ini tambah panas. Lo nggak mau, kan, kena butir peraturan tentang pencemaran nama baik? Salah-salah, lo bisa di-skors."
Setelahnya, tidak ada lagi percakapan yang terdengar di ruang UKS. Ketiga cewek itu sudah keluar dari UKS dan kembali ke kelas mereka. Ada keheningan yang meliputi ruang utama UKS untuk beberapa saat. Dari ruang istirahat untuk siswa, terdengar derap langkah seseorang yang baru saja keluar dari kolong ranjang. Benar. Tanpa sadar, percakapan tiga cewek itu sudah kecolongan, di depan orang yang mereka bicarakan itu sendiri.
Perlahan, Agesa menggeser tirai yang membatasi antara ruang utama UKS dan ruang istirahat yang biasa digunakan para cowok dengan perasaan tak menentu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top