4 | Tell me why you gotta look at me that way

Tell me why you gotta look at me that way
You know what it does to me

goodnight n go, Ariana Grande

Hujan.

Agesa mempercepat laju motornya sampai menyentuh angka tujuh puluh kilometer per jam. Tetesan air menerpa berbagai sisi tubuhnya. Basah kuyup. Agesa bisa merasakan jersey basketnya menempel sempurna di kulit. Kebodohan lain yang ia lakukan setelah memilih motor sebagai alat transportasi. Harusnya ia turuti saja kata Mama untuk menggunakan mobil. Toh, waktu itu tidak ada tanda-tanda akan hujan. Agesa santai saja membawa motor sport tanpa mengenakan jaket seperti biasa. Hanya bermodal jersey dan celana di atas lutut. Latihan basket di sekolah sebentar, lantas menuju pemberhentian selanjutnya: rumah Shahila.

Hari ini, sesuai janji, mereka akan mengejar progres kerja kelompok fisika yang sempat mandek. Besok ada asistensi satu kali. Minimal mereka harus menyetor draf laporan pada Miss Mala untuk dilihat dan dikoreksi. Sementara mereka baru selesai melakukan praktikum dan mencatat hasil pengamatan di sela-sela kesibukan masing-masing. Agesa dengan ekskul basket, Shahila dengan urusan konseling, dan Shiki dengan persiapan acara pengukuhan anggota baru pramuka yang sebentar lagi akan dilakukan. Semua sibuk. Baru hari ini mereka bertiga bisa meluangkan waktu dua jam pada sore hari untuk mengejar progres.

Harusnya begitu. Namun, tiba-tiba, Shiki men-chat tepat saat Agesa kembali dari masjid usai salat jumat. Ponselnya bergetar halus, menandakan ada pesan yang masuk. Agesa yang baru melepas baju koko langsung meraih ponsel di atas nakas. Nama Shiki terpampang di layar berikut preview pesan yang dikirim via WhatsApp. Agesa menggigil, merasakan hawa dingin AC yang diset terlalu rendah menerpa punggung telanjangnya saat membuka pesan dari Shiki.

"Aku diseret paksa buat ikut ke Bali. Ada acara keluarga dadakan. Maaf aku nggak bisa ikut ngerjain tugas kelompok bareng kalian sore ini. Nanti kutebus pas hari-H. Aku yang presentasi."

Agesa ternganga. Dengan cepat diketiknya balasan. "Astaga! Harusnya cek jadwalmu dulu. Yang minta ngebut tugas hari ini siapa, yang nggak bisa hadir siapa." Cowok itu gusar sendiri. Agesa mengacak kasar rambutnya, mulai merasakan mood-nya perlahan jatuh.

Balasan dari Shiki tiba kurang dari semenit. "Mendadak. Aku udah bilang hari ini urgent karena kudu ngejar tugas bareng kalian. Tapi Kaa-san nggak mau tau. Papa dukung Kaa-san. Dua lawan satu. Aku nggak bisa berkutik."

Agesa menghela napas, lemas sendiri. Cowok itu mengempaskan tubuh ke kasur, berlama-lama menatap layar ponsel yang masih menampilkan room chat antara dirinya dengan Shiki. Dengan setengah hati, Agesa membalas pesan Shiki, memberikan doa semoga sahabatnya itu sampai dengan selamat ke tujuan. Tanpa memastikan apakah pesan itu sudah dibaca yang bersangkutan atau belum, Agesa menarik laci nakas di samping ranjang, memasukkan ponselnya dengan gerakan lunglai. Tidak bergairah sama sekali melakukan aktivitas setelahnya. Ingin rasanya bolos latihan basket, tapi sayang rasanya. Momen berinteraksi langsung dengan pujaan hati sebisa mungkin tidak boleh dilewatkan. Berbekal motivasi itu, Agesa beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri lebih lama dari biasanya.

"Mendung, lho, Sayang." Mama menepuk bahu Agesa ketika cowok itu berpamitan untuk latihan basket. "Kamu bawa aja mobil Mama. Nggak apa-apa. Daripada nanti kehujanan di tengah jalan."

"Nggak usah, Ma." Agesa bergeser satu langkah, menghalangi Mama yang sudah berdiri dari sofa untuk mengambilkan kunci mobil. "Gesa males bawa mobil. Ribet." Agesa menarik tangan Mama yang terasa halus, mencium punggung tangan wanita yang menjadi sandaran hidupnya itu. "Gesa berangkat dulu."

Tanpa memedulikan panggilan Mama yang menyuruhnya membawa jaket atau jas hujan sekalian untuk jaga-jaga, Agesa mengeluarkan motor sport merahnya dari dalam bagasi, langsung tancap gas menuju SMA Nusa Garuda. Aman. Tidak ada tanda hujan sedikit pun selama perjalanan menuju sekolah. Bahkan, langit mulai bersih dan mengizinkan sinar matahari sore bersinar ketika tim basket melakukan latihan sesi dua. Satu jam setengah berlalu, dan langit masih baik-baik saja ketika Agesa meninggalkan sekolah untuk menuju rumah Shahila.

Barulah di tengah perjalanan, mendung kembali berarak, memenuhi langit yang semula cukup cerah. Tak perlu menunggu lama, tetesan air mulai mengenai kulit Agesa, disusul hujan dengan curah cukup banyak, membuat pandangan ke depan terhalang saking derasnya.

Pokoknya cari tempat berteduh dulu. Agesa melirik ke kanan-kiri, berusaha menemukan tempat yang ideal untuk berhenti sebentar. Bisa saja ia menerobos hujan ini. Namun, Agesa tidak yakin sampai kapan tas waterproof-nya bisa bertahan di cuaca seperti ini. Di dalamnya ada laptop. Bisa kaos urusannya kalau sampai benda itu rusak hanya karena kecerobohannya. Saking fokusnya Agesa celangak-celinguk mencari tempat berteduh, cowok itu tidak menyadari ada sebuah batu besar mengadang di depan sana.

Sepersekian detik kemudian, tanpa bisa dicegah, ban motor Agesa menabrak batu besar tersebut, membuatnya kehilangan keseimbangan. Ditambah kondisi jalan yang licin karena tumpahan air hujan, motor yang Agesa kendarai semakin meliuk tak terkendali. Cowok itu menjerit tertahan, refleks menarik kedua belah rem kuat-kuat tanpa pikir panjang. Tak ayal, Agesa terempas dari motor, tersuruk ke depan hingga ia bisa merasakan tubuh bagian depannya bergesekan dengan aspal. Perih. Untungnya wajahnya tidak apa-apa. Helm sport banyak membantu meminimalisir luka. Kendati demikian, Agesa bisa merasakan hampir seluruh tubuh depannya tergores dan perih. Tak terkecuali telapak tangan, siku, dan kedua belah lutut yang dirasa tergores cukup parah.

Agesa menggigit bibir bawahnya, mengangkat wajah ketika satu suara jeritan tertahan tertangkap telinganya. Suara yang familier. Di ujung sana, terlihat bayangan seseorang dengan payung berlari kecil ke arahnya. Agesa tahu siapa cewek yang sekarang ini berusaha membantunya untuk berdiri, bahkan sampai tidak memedulikan dirinya sendiri kehujanan karena payung itu sudah terlempar entah ke mana.

Shahila.

Agesa mendesis tertahan saat kapas yang sudah diberi antiseptik tersebut mengenai luka di punggung kaki. Perih. Di sana, tidak ada goresan atau luka kecil seperti yang ia kira sebelumnya. Jauh lebih parah. Kulitnya terkoyak, meninggalkan luka yang cukup besar di permukaan. Di ujung sana, Shahila dengan telaten mengusap perlahan kapas di tangan pada luka Agesa. Raut wajahnya serius, dengan bibir membentuk garis lurus dan mata fokus pada luka Agesa.

Agesa membuang wajahnya ke arah lain, tiba-tiba merasakan dadanya bergejolak malu. Entah kenapa. Bibirnya bergerak ragu, hendak mengucapkan terima kasih. Namun, entah angin apa yang berembus padanya, justru bukan itu yang keluar dari mulut. "Sakit," lirih Agesa pelan. Suaranya tertahan di ujung lidah, menahan sakit yang sebenarnya tidak seberapa.

Agesa menggigit bibir bawahnya, semakin enggan balas menatap Shahila yang tersenyum lembut padanya. Cewek itu tidak mengatakan apa-apa, kembali fokus pada kaki Agesa yang sedang ia perban. Dua kali putaran dan selesai sudah. Shahila memasukkan perban ke kotak P3K di dekatnya, berbenah barang sebelum Agesa memanggilnya. Shahila mendongak, mendapati Agesa seperti malu-malu ingin mengatakan sesuatu. Bahkan, dari sini, Shahila bisa melihat kedua belah pipi cowok itu merona bak tomat segar yang baru matang.

Shahila tersenyum. "Ya?"

Agesa memalingkan wajah. "Trims udah bantuin gue," ucapnya pelan. Cowok itu refleks mengaduh pelan seraya memegang bahu kanannya. Agesa meringis.

Shahila tidak mengatakan apa-apa. Cewek dengan sweater kedodoran itu bangkit, mendekati Agesa. Shahila membuka kembali kotak P3K di dekatnya, menyiapkan kapas, antiseptik, dan juga kain kasa. Agesa menaikkan alis, tidak mengerti. Cowok itu baru sadar setelah Shahila mengulurkan tangan, hampir menyentuh kancing kemeja Agesa. Oke, ralat. Kemeja yang dipinjamkan Shahila. Agak besar di badan Agesa, tapi lebih baik dibanding jersey yang bentuknya sudah tak karuan. Entah ke mana Shahila membawa jersey basketnya yang kotor dan robek di beberapa tempat akibat kecelakaan tadi.

"Lo mau ngapain?" Refleks, Agesa menangkap tangan Shahila yang terulur.

"Buka."

"Maksudnya?"

"Pasti ada luka di sana." Shahila menarik tangannya, meletakkannya di pangkuan. Cewek dengan rambut cokelat sebahu itu memiringkan kepala, menatap Agesa lekat-lekat, mencoba meyakinkan cowok itu. "Biar sekalian kuobati."

Agesa menggigit bibir bagian bawahnya, malu setengah mati. Dia paling anti membuka pakaian di depan orang lain, bahkan meski itu adalah teman-teman dekatnya sekali pun. Di hadapan Shiki pun tidak pernah. Apalagi berganti pakaian bersama tim basket dalam suatu ruangan. Aneh memang. Rasanya seperti ditelanjangi ketika ada orang yang menatap tubuh topless-nya. Terlebih, dengan kondisi orientasinya, Agesa semakin jaga-jaga dan berpikir dua kali untuk berganti pakaian dalam satu ruangan bersama teman laki-laki. Lebih-lebih, bersama anggota tim basket. Apalagi jika si kapten basket ada di sana. Wah, bisa mati berdiri Agesa. Cowok itu menggeleng, berusaha menyingkirkan bayangan punggung kukuh dan lebar kapten basket SMA Nusa Garuda di pikirannya.

Terlambat. Agesa menunduk, gelagapan ketika dilihatnya Shahila mengulurkan tangan dan membuka semua kancing kemeja yang Agesa kenakan. Baru saja Agesa ingin membuka mulut, protes atas perbuatan Shahila yang terkesan kurang sopan baginya, cewek itu langsung memberi isyarat agar Agesa diam dengan meletakkan telunjuk di depan bibir. Agesa tercenung, kembali panik saat Shahila menyingkap kemeja yang Agesa kenakan, memaparkan tubuh depannya. Agesa menggigil, entah karena suhu memang tengah dingin atau karena Shahila yang ia rasa terlalu 'berani' untuk ukuran seorang cewek. Terkesan agresif, kalau boleh jujur.

Dengan cekatan, Shahila membersihkan luka di bahu dan dada kanan Agessa, membuat cowok itu refleks meringis tertahan. Tidak ada gerakan yang terkesan dibuat sengaja untuk menyentuh bagian lain selain luka. Kurang dari sepuluh menit, luka di tubuh Agesa sudah selesai ditutup dengan kapas dan kain kasa sebagai penahan. Agesa terkesima. Buru-buru cowok itu mengancingkan kembali kancing kemeja yang dikenakannya dengan wajah merona hebat. Seolah-olah seluruh gulali di dunia ini tumpah di sana: manis dan menggelikan.

"Ada serbuk aspal di luka bahu dan kaki." Shahila bersila di hadapan Agesa setelah meletakkan kembali kotak P3K di lemari yang ada di sisi kanan ruang tengah. "Tenang aja. Nanti bakal keluar sendiri pas luka parutnya membaik." Cewek itu tersenyum, menghela napas pendek setelahnya. "Besok kamu pakai sandal aja. Jangan sepatu. Nanti kuuruskan izin ke BP. Sementara kamu nggak usah pakai kaus kaki."

Agesa tidak menyahut. Matanya sibuk menatap punggung kaki yang sudah dibalut perban dengan rapi. Canggung, cowok itu mengangkat kepala, melihat Shahila yang merenggangkan kedua belah tangan ke atas. Cewek itu menguap sebentar sebelum beranjak mengambil laptop dan kembali bersila di dekat Agesa.

"Kamu istirahat aja nggak apa-apa." Shahila menepuk lembut pundak Agesa. Lupa kalau bagian yang ditepuk justru terdapat luka di sana. Tak ayal, Agesa langsung meringis, terkejut dengan tepukan mendadak tersebut. "Sorry!" Shahila menarik tangannya, ikut menangis. "Oh, laptopmu baik-baik aja. Mungkin yang agak parah itu keadaan motormu. Spionnya pecah. Lecet di beberapa bagian. Nanti kuminta supir aja buat nganter kamu pulang."

"Nggak usah." Agesa langsung menyambar tanpa memberi jeda. "Gue udah terbantu banget. Tapi kalo sampai gitu, that's too much."

"It's okay." Shahila tersenyum lagi. Seolah-olah cewek itu tak pernah lelah mengangkat sudut bibirnya ke atas. "Udah. Itu nanti aja. Laporan ini nggak bakal selesai sendiri kalau nggak mulai ditulis." Cewek itu mulai mengetik laporan dengan cepat. Jemarinya menari di atas keyboard laptop, menimbulkan irama yang beraturan. Baru dua menit, Shahila sudah menggaruk tengkuk. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Beberapa kali ia membuka catatan, buku paket, dan hasil pengamatan sebelum tatapannya jatuh pada Agesa. Shahila tersenyum malu-malu. "Ini cara masukin rumusnya ke laporan gimana, ya?"

Mau tidak mau, Agesa tersenyum tipis. Cewek ini, pikirnya. Sok-sokan ingin mengerjakan sendiri dan menyuruhnya istirahat, akhirnya bingung sendiri. Agesa mendekat, melihat ke layar laptop, menjelaskan beberapa hal yang ia tahu pada Shahila. Sesekali cowok itu menunjuk-nunjuk ke layar, memberi koreksi jika ada yang salah dan perbaikan yang dirasa perlu.

Agesa tidak tahu, kalau degup jantung cewek di sebelahnya mulai tidak karuan, terutama ketika sesekali napasnya mengenai leher jenjang Shahila. Mereka terlalu dekat, dan jeritan itu hanya bisa Shahila simpan dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top