3 | Don't want to deny it anymore

You know I'm coming tonight
Don't want to deny it anymore

Greedy, Ariana Grande

"Kamu serem banget, lho, kalo masang ekspresi kek gitu," tegur Shiki, yang mana langsung mendapat pelototan gratis dari Agesa. Shiki hanya menyengir, menepuk lembut pundak Agesa. "Masih berantem, nih, ceritanya?" Shiki duduk di sebelah Agesa, menempelkan pipi kiri di meja, mendapati Agesa tengah menatap tajam punggung Shahila yang keluar dari kelas.

"Nggak, tuh! Siapa yang berantem?" Agesa mengedikkan bahu, berusaha untuk cuek meski raut wajahnya tidak bisa dibohongi: masam, persis seperti orang yang menaruh dendam kesumat. Nada bicaranya agak ketus, menandakan ada hal yang membuatnya tidak senang.

"Masa?" Shiki menaikturunkan alisnya, tersenyum jail. Sebelah matanya mengerling, menggoda Agesa yang lagi-lagi memelotot kepadanya. "Bilang aja kamu tersinggung gara-gara Sha nolak kamu. Ye, kan? Ye, kan?" Cowok blasteran Indonesia-Jepang itu lantas terkikik geli. "Rekor baru! Agesa yang biasanya nolak cewek, untuk pertama kalinya ditolak cewek. Terluka nggak, tuh, harga dirimu?"

"Diam kamu!" Agesa tanpa ba-bi-bu mengalungkan lengannya di leher Shiki, mendaratkan satu jitakan di kepala sohibnya itu.

Shiki mengaduh, memberontak dari kungkungan lengan Agesa. "Sakit, tau! Jadi begini perlakuanmu ke orang yang kamu anggap sohib kental? Aku nggak sayang sama kamu lagi!" Shiki menggembungkan pipi, menyilangkan kedua belah tangan di depan dada, memasang ekspresi merajuk yang lucu.

Agesa mendelik. "Siapa, ya?"

"Jahat!" Shiki tanpa ampun langsung menggetok kepala Agesa dengan botol minum Arga yang ada di dekatnya. Kali ini, Agesa yang mengaduh tertahan. Shiki menjulurkan lidah. "Mamam, tuh, getokan. Baru selesai sakit, lho, ini. Main jitak aja kamu, mah!" Shiki mendengkus kesal.

Agesa ikut mendengkus, membuang muka ke arah lain. Toh, kenyataannya memang begitu. Tidak ada bendera pertengkaran yang dikibarkan dari pihaknya. Entah dari pihak Shahila. Namun, Agesa akui, ucapan Shiki sedikit banyak menohoknya. Ia tersinggung. Untuk pertama kalinya, Agesa Nadrawinata, salah satu most wanted SMA Nusa Garuda, ditolak mentah-mentah oleh cewek yang bisa dibilang biasa saja. Terluka, dong, harga dirinya. Biasanya, Agesa yang menolak para cewek itu tanpa pikir panjang. Sekarang justru kebalikannya. Padahal, kalau mau membandingkan Shahila dengan cewek-cewek yang pernah menyatakan perasaan padanya, Shahila itu termasuk kategori standar. Nggak ada yang spesial dari cewek itu.

"Shahila, ayo kita pacaran!"

Kata-kata itu bahkan masih terasa di lidah Agesa sampai sekarang, dan reaksi Shahila terekam baik dalam kepalanya. Cewek itu ternganga untuk beberapa saat, seperti mencerna apa yang dikatakan Agesa padanya. Butuh beberapa detik bagi Agesa untuk menunggu Shahila sadar dari keterkejutan.

"Apa?" Dari sekian banyak kata di kamus, hanya itu yang keluar dari mulut Shahila. "Tunggu dulu! Aku nggak mengerti," katanya lagi.

"Iya, kita pacaran. Mulai sekarang!" Agesa menatap Shahila lurus-lurus, menghujamkan tatapan ke iris seterang madu Shahila yang balas menatap bingung. "Dengan satu syarat." Agesa langsung mengangkat telapak tangan kanannya di depan Shahila begitu dilihatnya cewek itu ingin angkat bicara. "Jangan lo berani-berani bilang ke siapa pun soal tadi malam!" Alih-alih disebut permintaan, itu lebih terdengar seperti ancaman keras.

"Chat salah kirim itu?"

Cengkeraman Agesa di bahu Shahila justru semakin kuat, membuat Shahila meringis. "Gue tau lo cukup pintar buat sadar itu bukan sekadar chat salah kirim." Agesa mengguncang tubuh bahu Shahila dengan perasaan campur aduk. Gemas, kesal, dan marah bercampur menjadi satu. "Kita pacaran. Imbalannya lo kudu janji, nggak akan bocorin hal itu ke orang lain. Deal?"

"Sebentar dulu." Shahila mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia ingin menyela pembicaraan. "Aku masih belum nemu korelasi antara pacaran sama jaga rahasia orang lain."

Agesa menaikkan sebelah alisnya. "Karena nggak ada yang gratis di dunia ini?"

Shahila mengembuskan napas, melepaskan cengkeraman Agesa di bahunya. "Aku hargai usahamu buat meyakinkanku, Agesa." Shahila menatap lekat-lekat iris sekelam malam Agesa yang masih berkilat tajam. "Tapi, aku nggak ada niat buat mengutik-utik rahasiamu itu, apalagi ember sana-sini." Shahila tersenyum lembut sesudahnya. "Jadi, yah, maaf aku nggak bisa terima tawaranmu."

Agesa memicingkan mata. "Gue ragu."

"Terserah mau percaya atau nggak." Shahila mengangkat bahu, lagi-lagi menghela napas panjang. Tangannya terulur, menarik lembut kedua belah tangan Agesa, memegangnya perlahan. "Ada alasan kenapa aku dipercaya sebagai ketua konseling siswa. Aku nggak hanya mendengarkan dan tahu satu rahasia, tapi berbagai rahasia dari orang yang berbeda-beda." Lagi-lagi senyum terbit di wajah Shahila.

Namun, Agesa tidak peduli. Alih-alih menarik tangannya dengan baik-baik, cowok itu mengempaskan tangan Shahila dengan kasar. Ah, lagi-lagi perasaannya bergejolak tak menentu. Ada panas yang tiba-tiba menjalar di dadanya. Entah karena penolakan yang diberikan Shahila atau kata-kata cewek itu. Agesa mendengkus, melewati Shahila sebelum cewek itu menahan lengannya. Agesa menoleh, menatap tajam Shahila yang sekarang ini mulai berani menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi serius. "Apa?" gertak Agesa.

Tatapan Shahila melembut. "Jangan gegabah kalau kamu memang mau coming out soal orientasimu. Aku nggak tau orang tuamu itu tipe seperti apa, tapi topik soal gay dan sejenisnya masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Bisa aja orang tuamu salah satu di antaranya." Kali ini, tidak ada senyum yang merekah di wajah cewek dengan rambut cokelat gelap sebahu itu. Bibirnya membentuk garis lurus, menandakan keseriusan. "Kalau kamu butuh teman curhat, aku bersedia. Kebetulan aku dulu sempat riset soal ini."

Sontak, Agesa tertawa pelan. Tawa meremehkan. Terselip nada sumbang di sana. Cowok itu lantas menarik jemari Shahila yang masih mencengkeram pelan lengannya, menjatuhkannya dengan ekspresi sedingin es dan sedatar papan triplek. Tanpa banyak bicara, Agesa melangkah keluar dari taman dengan hati gondok. Beberapa kali anggota tim basket yang mampir ke ruang penyimpanan menyapanya, yang mana dibalas dengan dingin oleh yang bersangkutan. Tak terkecuali beberapa cewek yang berpapasan juga menyapa dengan gaya centil. Tanpa pikir panjang, Agesa langsung membalasnya dengan delikan tajam dan bibir melengkung ke bawah, tanda tak suka. Bahkan Runa yang menyapa baik-baik pun tak luput dari hal tersebut.

Sampai sekarang, rasa kesal itu belum berkurang sedikit pun. Malahan, rasanya justru semakin bertambah tiap kali memergoki Shahila yang seolah-olah tak terpengaruh sama sekali. Cewek itu tetap rajin menyapanya setiap pagi, bertanya kalau ada tugas atau materi yang tidak paham, bahkan mengingatkan Agesa jadwal piket saat cowok itu sekonyong-konyong kabur ketika dirinya kena jadwal piket. Empat hari berlalu. Bahkan dengan kembalinya Shiki pasca dirawat total (Agesa bahkan diusir mentah-mentah oleh satpam yang bekerja di rumah Shiki ketika dirinya ingin menjenguk sohibnya itu), hal itu tidak mengurangi rasa bete Agesa. Padahal, dengan adanya Shiki di sisinya, mood Agesa cepat membaik.

"Secara teknis, kamu sebenarnya nggak berhak marah sama Sha." Setelah sesi rajuk-merajuk yang cukup 'alot', akhirnya Shiki menyerah dan menowel bahu Agesa, mengajak berbaikan. Cowok dengan kulit seputih susu segar di pagi hari itu menopang dagu dengan sebelah tangan, menatap wajah serius Agesa yang tengah membaca buku matematika. Shiki mendengkus, merebut paksa buku tersebut. "Dengerin aku dulu! Jangan sok budek, deh!"

Agesa memberengut. Riak wajahnya masam. Bete setengah mati. Kedua belah tangannya terlipat di depan dada, menunggu Shiki bicara. Ia benar-benar sedang tidak mood berdebat dengan sahabatnya yang notabene baru selesai sakit. Agesa menunggu, enggan menatap balik Shiki yang menatapnya intens. Hening beberapa saat. Teman-teman sekelas masih berkeliaran di luar kelas. Hanya ada beberapa yang masuk untuk mengambil atau meletakkan sesuatu sebentar sebelum keluar lagi, menyisakan Agesa dan Shiki.

Shiki menghela napas, pasrah saja. Dikembalikannya buku di tangan pada empunya. "Serius, deh. Kamu nggak berhak buat marah sama Sha. Entah karena Sha nolak kamu tau rahasia kamu ada di tangan dia sekarang."

"Jadi, maksudmu aku yang salah? Gitu?" Agesa mendesis. "What the hell! Baru aja kita baikan, kamu udah lempar bom permusuhan! Hanya karena dia sepupumu, bukan berarti kamu harus ngebela dia!" Agesa berucap ketus, menekan setiap kata dengan kekesalan yang memuncak ke ubun-ubun.

"Bukan gitu, duh!" Shiki menepuk jidat, mulai kesal sendiri. Oke, tahan! Shiki menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan-lahan. Cukup Agesa yang uring-uringan. Dirinya jangan. Kalau sampai mereka berdua tersulut, yang ada masalahnya bisa tambah panjang. "Iya, yang salah kamu. Tapi, tuduhanmu itu jahat, lho! Aku nggak bela siapa-siapa. Hei! Jangan sekonyong-konyong pergi gitu aja! Kamu nganggep aku sahabat, nggak, sih?" Shiki langsung sewot saat dilihatnya Agesa memasang ancang-ancang ingin berdiri dan pergi. Kebiasaan buruk kalau mereka sedang bertengkar. Namun, kali ini berbeda. Maka dari itu, Shiki langsung menarik baju belakang Agesa, memaksanya untuk duduk lagi.

Agesa memijat pangkal hidungnya, berdecak pelan. "Fine!" Cowok itu merenggut, duduk kembali di tempatnya dengan kedua belah tangan terlipat di depan dada.

"Aku cuma berusaha objektif. Nggak peduli dia sepupuku atau bukan." Shiki menyentuh pundak kiri Agesa. "Kalau kamu mau tau, kemarin, ponselku disita sama ortu. Mereka bawa ke mana-mana gara-gara aku ketahuan ngambil diam-diam buat hubungin kamu kemarin. Coba bayangkan kalau salah kirim itu nggak terjadi. Pesan masuk ke ponselku. Salah satu dari mereka kepo. Lebih buruk mana? Just for you information, ponselku nggak ku-lock segala macem. Cuma swipe biasa." Shiki menghela napas. "Atau kemungkinan lain yang lebih parah, chat itu salkir ke yang lain, bukannya Sha. Wah, aku nggak jamin apa mereka bisa kasih jaminan buat tutup mulut tanpa imbalan."

Agesa terdiam, tak menyahut sedikit pun. Juga tidak berminat menyela Shiki. Kepalanya mulai penuh dengan pikiran-pikiran yang saling tumpang tindih. Cowok itu menyeka bulir keringat di dahi, menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Terus aku harus gimana?" Agesa bertanya dengan suara lemas seperti kehabisan tenaga.

"Kamu nggak mau terima tawaran Sha?" Shiki balik bertanya. Tangannya terulur merapikan rambut Agesa yang awut-awutan sebelum sahabatnya itu lagi-lagi mengacak-acak rambut frustrasi. "Coba, deh, kamu trial dulu curhat-curhat sama Sha. Dia bacaannya psikologi semua. Siapa tahu bisa membantu. Kalau kamu nggak percaya sama dia, coba percaya sama aku. Pas dia bilang pernah riset soal gay dan sejenisnya, itu emang bener. Aku saksi ngeliat dia berkutat sama buku, artikel, video soal itu. Mungkin kamu bakal dapat pencerahan kalau coba cerita sama dia."

Agesa mengembuskan napas, tidak bisa fokus mendengarkan ocehan Shiki. Rasanya, kepalanya semakin memberat. Di satu sisi, Agesa setuju dengan kata-kata Shiki. Kalau rahasianya jatuh di tangan orang lain, belum tentu orang tersebut akan tutup mulut tanpa imbalan. Di sisi lain, Agesa merasa menjadi orang paling bodoh sedunia karena membocorkan rahasianya pada orang yang belum tentu bisa dipercaya dan dipegang janjinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top