13 | The day you left me, an angel cried

When raindrops fell down from the sky
The day you left me, an angel cried

raindrops (an angel cried), Ariana Grande

Agesa menghela napas, mengembuskannya perlahan ketika memasukkan pakaian terakhir ke dalam koper. Tidak semua. Hanya beberapa saja sesuai kebutuhan di tempat baru. Ia akan segera kembali, jadi untuk apa membawa banyak pakaian yang hanya akan merepotkan? Dua-tiga tahun bukan waktu yang lama, kan? Entahlah. Agesa sendiri tidak yakin. Cowok itu duduk di ranjang, menatap seisi kamar dengan perasaan tertikam. Ah, dia pasti akan kembali! Agesa mengusap kedua belah pipi, menegarkan hati.

"Sayang." Suara Mama menyembul dari ambang pintu. Wanita yang menjadi sandaran hidup Agesa itu berdiri di sana, dengan pakaian rapi dan senyum sendu di wajah. Ada kabut di balik tatapannya ketika menatap Agesa yang menoleh, balas tersenyum meski rasanya aneh sekali. "Ada yang mau ketemu sama kamu," kata Mama lagi.

Ragu, Agesa mengucapkan nama yang langsung terlintas di kepala. "Shiki?"

Mama menggeleng. "Cewek. Mama nggak kenal. Sahabatmu, mungkin?"

Agesa mengangguk, setengah hati berdiri dan keluar dari kamar mengikuti langkah Mama menuju ruang tamu. Agesa tidak terlalu kaget dengan kedatangan cewek yang sekarang berdiri di ambang pintu utama itu. Shahila tersenyum padanya. Senyum yang mengingatkan Agesa pada deret kenangan bersama cewek itu. Di taman, saat Shahila membantunya pasca kecelakaan, atau saat cewek itu menyapa di saat semua orang sibuk membicarakannya. Men-judge tanpa ampun. Agesa balas tersenyum tipis, berdiri di depan Shahila setelah Mama pamit untuk menyiapkan keperluan lain sebelum pergi.

"Hei," sapa Agesa setelah hening beberapa saat, bingung bagaimana memulai percakapan. "Apa kabar?" tanya Agesa dengan nada kaku dan datar.

"Baik." Shahila menyahut pendek. "Kamu sendiri?"

Agesa mengedikkan bahu, mengembuskan napas panjang. "Seperti yang lo liat." Cowok itu membukakan pintu lebih lebar, memberi isyarat agar Shahila masuk ke dalam. "Yuk!" ajak Agesa seraya berbalik, hendak melangkah menuju sofa sebelum Shahila menarik ujung baju belakangnya, menggeleng kecil. "Nggak apa-apa. Daripada berdiri di situ," kata Agesa lagi, meyakinkan.

Shahila menggeleng pelan. "Aku cuma sebentar, kok. Nggak lama."

Agesa terdiam untuk beberapa saat. Tanpa berbicara sepatah kata pun, cowok itu menarik lengan Shahila menuju kursi panjang yang ada di beranda. "Duduk dulu." Agesa dengan lembut menarik Shahila untuk duduk di sebelahnya. "Mau minum?" tawar Agesa, yang sebenarnya itu hanya basa-basi belaka. Toh, apa yang bisa disodorkan pada tamu dadakan di saat seperti ini? Agesa meringis pelan, merasa bodoh sendiri.

Lagi-lagi, Shahila menggeleng pelan, berterima kasih atas tawaran Agesa sebelum menyerahkan paper bag di tangan pada cowok itu. "Sorry, aku baru sempat balikin. Perlu waktu buat memperbaiki bagian yang rusak." Shahila berujar pelan. Kedua belah jemari telunjuknya saling berpilin. Cewek itu menunduk, dengan rambut pendek sebahu menghalangi sebagian wajah.

Agesa melirik Shahila sebentar, lantas membuka paper bag yang disodorkan padanya. Jersey basket lamanya. Ah, dia ingat. Jersey yang dikenakannya saat pergi ke rumah Shahila untuk kerja kelompok, dan itu sudah cukup lama. Ia kira, Shahila sudah membuang benda tersebut, mengingat keadaannya yang cukup mengenaskan pasca kecelakaan yang dialami Agesa. Robek sana-sini. Kucel. Agesa sendiri sudah melupakannya karena ada banyak stok jersey cadangan. Shahila juga tidak pernah mengungkit soal jersey atau kecelakaan itu, membuat Agesa lupa seiring waktu.

"Trims," ucap Agesa pelan. Tangannya meraba jersey di genggaman, di mana namanya tertera di sana. Agesa ingat benar ketika pertama kali mendapatkannya. Senang, sekaligus excited. Bukan karena basketnya, tapi karena—ah, lupakan saja. Masa lalu mungkin memang ditakdirkan untuk dilupakan. Bukannya diingat dan dikenang jika hanya menorehkan rasa tertikam dalam dalam hati dan perasaan. "Gimana kabar yang lain?" tanya Agesa setelah menghela napas panjang, mengubah topik pembicaraan yang terasa hambar dan canggung. Cowok itu tersenyum, menatap Shahila yang menoleh dengan sudut bibir melengkung ke atas.

"Baik. Besok NuGa Competition resmi dimulai. Semua orang lagi sibuk-sibuknya." Shahila menyelipkan rambut ke samping telinga. "Yang paling sibuk jelas Arga. Kebayang, kan, gimana keadaannya? Stres mendadak. Tugas, laporan, PR, semuanya campur aduk sama ngatur persiapan NuGa Competition. Masih sering ngeluh soal fisika, kimia, biologi, matematika." Suara Shahila memelan di akhir. Namun, cewek itu tetap tersenyum. "Ya, sebenernya bukan dia aja. Aku pun sama. Semua orang juga punya problem serupa." Shahila terkekeh.

Mau tidak mau, Agesa ikut terkekeh membayangkan Arga yang sedang dilanda lautan stres saat ini. Rambut awut-awutan yang ditata sekenanya, kantung mata, dan juga sering teler saat pelajaran fisika. Agesa tersenyum kecil sebelum sudut bibir yang terangkat tiba-tiba turun. Ragu, Agesa menanyakan nama yang terlintas. "Shiki?"

Sejenak, Shahila terdiam. Cewek itu berdeham pelan, seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan sepupunya itu saat ini. "Dia baik." Shahila mengawali dengan senyum tipis di wajah. "Sejak kamu di-drop out, dia jadi lebih pendiam. Nggak sebawel biasanya. Kadang lebih suka menyendiri. Puncaknya, dia sempat nangis pas istirahat. Di ruang konseling. Aku coba ajak bicara. Kami semua support dia. Yang lain ngira mungkin dia lagi sedih karena kehilangan sahabat dekat. Cuma kita bertiga yang tau alasan sebenarnya apa." Cewek itu mengembuskan napas perlahan. "Alhamdulilah, akhir-akhir ini dia mulai semangat lagi, meski nggak seaktif sebelumnya."

Agesa manggut-manggut. Cowok itu menunduk dalam, seakan-akan ada beban yang ditimpakan di leher. "Aku kangen dia meskipun aku kecewa sama dia. Seharusnya dia jujur aja kalau memang—ah, sudah, lah."

Drop out. Itu keputusan yang diberikan sekolah pada Agesa atas kasus pencemaran nama baik, juga pelecehan seksual. Mama dan Papa hanya diam, tidak berkata sepatah kata pun saat Miss Mala yang menjadi perwakilan sekolah menyampaikan keputusan itu menceritakan tentang gosip Agesa. Bukti-bukti, juga rekaman wawancara dengan Adrian yang dianggap sebagai korban pelecehan sudah cukup memberi alasan bagi sekolah untuk menindak apa yang dilakukan Agesa.

Miss Mala hanya meminta maaf, berharap semoga semua kejadian yang ada bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Guru cantik itu menyudahi pertemuan, meminta Agesa untuk segera berkemas sesuai dengan surat keputusan, di mana berlaku setelah surat disampaikan pada wali murid. Agesa mengangguk, mengucapkan terima kasih banyak atas semuanya selama ini. Tanpa disangka, Miss Mala memeluknya, membisikkan semoga Agesa tidak menyerah dengan keadaan.

Mama-Papa tidak mengatakan apa-apa setelah keluar dari ruangan Miss Mala. Keduanya kecewa, jelas. Ada sirat kekecewaan, kemarahan, dan rasa sedih bercampur menjadi satu di wajah keduanya. Namun, Mama hanya tersenyum, bertanya apa Agesa sudah makan? Kalau belum, nanti kita mampir ke restoran seperti biasa. Papa hanya diam, tetapi sorot matanya tidak bisa dibohongi. Kita harus bicara, itu yang Agesa tangkap. Cowok itu mendesah, berpamitan untuk mengambil tas di kelas.

Semua orang menatapnya dengan berbagai ekspresi. Agesa hanya tersenyum tipis ketika Arga berdiri, membentangkan kedua belah tangan, memeluk teman sebangkunya itu. Agesa memejamkan mata, merasakan bulir hangat meleleh pelan dari sana. Agesa berpamitan pada semua orang, kecuali Shiki dan Shahila. Mereka ada di ruang konseling, kata Arga. Agesa mengangguk, permisi untuk ke ruang konseling, di mana terdengar bisik-bisik berisik saat dirinya berjalan melewati kelas-kelas. Namun, Agesa memutuskan untuk menutup telinga rapat-rapat.

Tepat saat Agesa hendak membuka pintu ruang konseling, terdengar pembicaraan antara Shahila dan Shiki yang membuatnya tercenung lama. Tentang Shiki yang ternyata menaruh perasaan padanya, juga bagaimana cowok yang ia anggap sebagai sahabat itu justru memberitahu Adrian kalau Agesa adalah gay dan menyukai kapten basket itu.

Klimaksnya, saat Agesa mendengar kalau Shiki-lah yang memotonya diam-diam malam itu, saat Agesa melakukan perbuatan yang akan ia sesali seumur hidup pada Adrian. Shiki juga lah yang mengirimkan foto itu pada Adrian, memberitahu segalanya. Agesa lemas. Kedua belah lututnya seperti garam yang disiram dengan air. Terlebih, saat dirinya mendengar kata-kata Shiki yang terasa seperti hujaman di dalam dada.

"Aku cuma pengin dia sadar kalau cowok di sekolah ini bukan hanya Adrian." Terdengar getar di balik suaranya ketika Shiki meneruskan, "ada cowok lain yang lebih care sama dia. Selalu ada saat dia sedih atau down. Nyemangatin dia. Kenapa dia cuma liat Adrian yang jelas-jelas bukan siapa-siapa?"

Ketika Agesa membuka pintu, menyaksikan Shahila dan Shiki di sana, mereka sama-sama terpaku. Ada embun di matanya ketika balas menatap Shiki. Bagaimana bisa ia menyukai orang yang ia anggap saudara sendiri, dan juga ... ia anggap normal? Rasanya ... menjijikkan ketika membayangkan Shiki harus menjadi pelampiasan perasaannya. Namun, kenapa harus seperti ini caranya? Agesa menggigit bibir bagian bawahnya, berbalik tanpa menghiraukan panggilan Shiki, atau pun Shahila. Orang yang ternyata ia percaya ... ternyata dalang dari semua ini, dan itu didasarkan pada alasan perasaan cinta. Rasanya, ada sesuatu yang menyayat hati, entah apa.

Seminggu sejak kejadian itu, Agesa seperti orang linglung. Semua orang di lingkungan sekitar membicarakannya, membuat cowok itu semakin tertekan. Mama-Papa lantas menyarankan agar Agesa pindah ke rumah Eyang Kakung dan Eyang Uti di tempat yang jauh, demi ketenangan hati. Mama-Papa juga meminta dengan penuh harap agar Agesa mau menjalani terapi penyembuhan. Kita serahkan semua pada Tuhan, kata keduanya malam itu. Percayalah pada firman-Nya, kalau semua makhluk diciptakan berpasang-pasangan sesuai fitrah. Agesa menyetujuinya tanpa banyak bicara. Apa pun demi menebus rasa bersalah pada Mama-Papa. Itu saja yang ia pikirkan saat ini.

Malamnya, Shiki mengirim pesan, berisi pesan panjang yang membuat Agesa terisak pelan dalam gelapnya kamar. Agesa tidak bisa membaca semuanya sampai selesai. Ada terlalu banyak luka yang tertoreh. Shiki meminta maaf, berjanji tidak akan lagi mengganggu Agesa setelah ini. Namun, Agesa tidak yakin, kapan ia bisa melakukannya. Hanya waktu yang bisa menunjukkan kapan itu tiba nantinya.

"Agesa," panggil Mama dari pintu depan, membuyarkan Agesa dari lamunannya. "Kita berangkat sepuluh menit lagi, ya? Flight-mu satu jam lagi," ingat Mama seraya tersenyum pada putranya itu, juga pada Shahila sebelum berlalu ke dalam.

Shahila balas tersenyum, menghela napas pendek setelahnya. Cewek itu berdiri, dengan lengkung manis di bibir ketika menoleh pada Agesa. "Aku pamit dulu, ya. Semoga perjalanannya lancar sampai tujuan," kata Shahila meski ia tidak tahu ke mana Agesa pergi dan dalam rangka apa. Cewek itu undur diri, berbalik dengan kedua belah tangan mengusap ujung mata, menguatkan hati yang entah kenapa tiba-tiba terasa teriris.

"Sha," panggil Agesa, membuat langkah Shahila terhenti, menoleh. Cowok itu mendekat, memegang kedua belah bahu Shahila lembut. "Lo pantas dapetin cowok yang lebih baik dari gue." Agesa tersenyum kaku, merasa lega setelah mengatakan hal tersebut.

Sesaat, Shahila terpana. Kedua belah matanya perlahan terbelalak sebelum bulir bening jatuh tanpa bisa dicegah, membasahi pipi dan turun ke dagu. Cewek itu tertunduk dalam. "Sorry," lirih sekali Shahila mengatakannya.

"Untuk?"

"Semuanya."

Tanpa mengatakan apa-apa, Agesa menarik Shahila ke dalam dekapannya. Cowok itu memejamkan mata, mengusap perlahan rambut Shahila dengan perasaan tersayat, terutama saat dirasakannya Shahila tergugu tanpa suara di dadanya. "Kita bakal ketemu lagi. Gue janji." Agesa mengeratkan dekapannya, membiarkan air mata yang menggenang jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah.

Karena mencintaimu memang penuh dengan ketidakadilan....

A/N:

Dengan ini Loving Unfairness sudah menemukan akhirnya, ya. Terima kasih banyak buat kalian yang sudah mengikuti dari awal sampai akhir.

Yes, sama seperti dua ceritaku yang udah tamat, status Loving Unfairness masih berupa first draft. Akan direvisi kalau suatu hari nanti aku mau submit ini ke penerbit. Nanti. Kalau sekarang, masih nggak ada niatan sama sekali ahaha.

Jujur, menulis part-part terakhir ceria ini membuatku menjadi agak emosional. I can relate dengan Agesa, yang di saat titik terendah dalam hidupnya sadar kalau meski seisi dunia menghakimi, orang tua akan selalu berada di dekatmu.

Ps: akan ada epilog, tapi entah kapan akan ku-publish. Aku perlu break sejenak.

Akhir kata,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top