12 | Forget about it, forget about him, forget about me
I got a bad idea
Forget about it, forget about him, forget about me
— bad idea, Ariana Grande
"Wah, dia datang!"
"Katanya gosip itu bener, ya? Duh, ganteng-ganteng, kok, belok."
"Dia nembak Adrian, kan, katanya? Waktu ultahnya Shiki."
"Pantesan tiap ada cewek yang confess ditolak semua. Ternyata, oh, ternyata."
"Astaga! Untung gue kemarin ditolak. Amit-amit, deh!"
Lima hari berlalu, tetapi gosip itu seakan tidak pernah padam. Semua orang sibuk membahas. Ada yang diam-diam, tetapi ada juga yang blakblakan tidak tahu waktu dan tempat. Kebanyakan, sih, para cewek yang pernah Agesa tolak. Semua orang syok, tentu saja. Berita itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut. Benar kata orang. Tidak berlebihan kalau kecepatan menyebar gosip bisa menandingi kecepatan cahaya. Saking panasnya berita itu, terdengar selentingan para guru telah melakukan rapat untuk merundingkan tentang gosip yang tersebar luas. Kalau hanya di sekitar sekolah mungkin tidak akan sampai seperti itu. Masalahnya, gosip tersebut menyebar sampai ke sekolah-sekolah lain.
Gosip tentang Agesa sebenarnya berita lama. Namun, seiring waktu gosip nakal itu surut dengan sendirinya karena tidak ada bukti yang mendukung. Bisa-bisa terkena butir aturan tentang pencemaran nama baik. Cerita lama itu kembali terkuak, dengan bukti yang turut mendukung. Foto saat Agesa mencium Adrian di posko ketika malam pengukuhan tersebar di antara siswa SMA Nusa Garuda. Bahkan kabarnya ada saja orang yang jail membuat caption ngawur terkait foto tersebut, menyebarkannya ke grup-grup.
Bukan hanya nama sekolah yang tercoreng, tetapi Agesa juga. Cowok itu hanya berharap semoga berita itu tidak sampai diterima oleh Mama-Papa, meski ia tahu keduanya cepat atau lambat akan tahu juga. Agesa bahkan tidak lagi memikirkan siapa yang menyebar foto tersebut. Mungkin Adrian, sebagian hati kecilnya berkata. Namun, pasca kejadian itu, Agesa menjaga jarak sejauh mungkin dari cowok itu. Sudahlah, Agesa menghela napas, masuk ke kelas dengan langkah gontai. Agesa hanya berharap berita itu cepat padam. Tidak lebih.
"Pagi," sapa Shahila begitu dilihatnya Agesa memasuki kelas dengan lemas, seolah ada beban berat di kedua belah pundak cowok itu. Agesa hanya tersenyum, berlalu untuk duduk di kursinya. Penampilannya rapi, seperti biasa. Namun, lingkaran hitam di bawah mata tidak bisa dibohongi. Shahila mendekat, berjongkok seraya menatap Agesa yang menunduk dalam. "Kamu baik-baik aja?" Tentu saja dia nggak baik-baik saja, batin Shahila berteriak. Lihat dia! Kacau, dengan sorot mata sayu. Wajahnya pucat, seperti kekurangan tidur. Namun, apa lagi yang harus Shahila katakan? Mencoba menyemangati? Atau mengatakan semua akan baik-baik saja? Agesa bahkan tidak pernah bercerita soal kejadian itu padanya.
Malam itu, saat Shahila berniat mencari Agesa yang tiba-tiba menghilang entah ke mana, cowok itu muncul dari pintu di sisi kanan ruang pesta dengan wajah murung. Shahila melambaikan tangan, hendak menyapa sebelum menyadari ada sesuatu yang salah. Shahila mengangkat gaunnya, berjalan cepat menghampiri Agesa meski sepatu hak tinggi yang dikenakannya hampir membuat Shahila terjatuh. Shahila tercenung, mendapati kedua belah mata Agesa sedikit merah, seperti habis menangis. Oh, sepertinya memang iya. Shahila bahkan bisa melihat jejak air mata di kedua belah pipi cowok itu, membuatnya khawatir.
"Kamu kenapa?" tanya Shahila pelan. Wajahnya menyiratkan rasa khawatir saat Agesa menggeleng kecil dengan kepala menunduk dalam. "Hei," panggil Shahila.
"Gue baik-baik aja," lirih Agesa. "Gue pulang dulu," katanya lagi seraya berlalu tanpa repot-repot berpamitan dengan Shahila, atau dengan yang lainnya. Langkahnya gontai ketika keluar dari ruang pesta, tak menghiraukan sebagian orang yang bertanya ada apa. Padahal lilin belum ditiup, dan kue sama sekali belum dipotong. Agesa memilih untuk pulang tanpa memberi alasan yang jelas. Ketika Shiki dan teman-teman satu kelas bertanya di mana Agesa, Shahila hanya mengangkat bahu, dengan jujur menjawab kalau Agesa sudah pulang, membuat yang lain turut kebingungan.
Keesokan harinya ketika kembali dari ruang konseling menuju kelas, barulah Shahila mengerti sedikit banyak apa yang sebenarnya terjadi. Gosip itu mulai bertebaran. Nama Agesa menyembul, diiringi nama Adrian. Kronologi yang berhasil Shahila tangkap pun hanya berupa potongan-potongan. Sebagian mengatakan Agesa melakukan confess pada Adrian. Sebagian lain mengatakan kalau Agesa berciuman dengan Adrian yang notabene sama-sama cowok. Awalnya, Shahila tidak mau ambil pusing. Toh, hanya gosip. Kebenarannya belum tentu bisa dipertanggungjawabkan. Namun, setelah menerima forward berupa foto dan caption entah dari mana ketika malam harinya, Shahila tercenung lama.
Di sana, terdapat foto Agesa mencium Adrian yang sedang tertidur. Shahila kenal betul di mana tempat kejadian di foto tersebut. Posko pengukuhan pramuka yang terletak di parkiran mobil, dan seingatnya, Agesa memang dipasangkan dengan Adrian untuk menjaga posko tersebut saat acara jurit malam. Shahila terpaku, mematikan ponselnya dengan cepat tanpa membaca caption di bawah foto tersebut, terpukul. Jadi ... gosip itu benar? Sekarang sudah hari kelima sejak gosip itu tersebar luas dan menjadi bahan perbincangan panas semua orang, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau berita itu akan padam dengan sendirinya. Gosip tersebut justru kian panas. Seperti api besar ditiup embusan angin: kian membara, melahap apa yang dibakarnya.
Seperti itulah keadaan Agesa sekarang: perlahan hancur, membuat Shahila menatapnya prihatin. Tangannya terulur, hendak mengusap rambut Agesa yang tampak awut-awutan sebelum niat itu ia urungkan saat suara Miss Mala terdengar dari ambang pintu. Shahila mendongak, mendapati Miss Mala berdiri tepat di ambang pintu dengan dua orang yang Shahila tahu adalah orang tua Agesa di belakangnya. Sepasang mata guru cantik itu mengitari seisi kelas sebelum tatapannya jatuh pada Agesa yang masih menelungkupkan wajah di meja.
"Agesa Nadrawinata," panggil Miss Mala dengan suara tegas, membuat yang dipanggil mengangkat wajah lemas. "Ikut ke ruangan saya, sekarang."
Agesa menatap seisi kelas yang memandangnya dengan berbagai ekspresi yang tak terdefinisikan. Cowok itu tersenyum tipis, menghela napas panjang sebelum berdiri dan menghampiri Miss Mala tanpa banyak bicara. Kemarin, Miss Mala memang sudah memberinya surat panggilan orang tua. Mama-Papa berjanji akan segera memenuhi panggilan tersebut setelah bertanya secukupnya. Tidak ada pertanyaan yang menyudutkan mengingat kondisi Agesa yang sepertinya turut down. Mama hanya memeluknya, mengatakan semua akan baik-baik saja meski Agesa masih belum menceritakan soal gosip yang sedang menerpanya di sekolah.
Feeling seorang ibu, kata Mama menenangkan saat dilihatnya Agesa terisak pelan. Belum pernah ia melihat anak semata wayangnya itu menitikkan air mata di depannya. Dekapan itu kian erat, membuat Agesa tidak berdaya. Di samping Mama, Papa hanya diam, tidak berbicara sepatah kata pun.
Cowok itu menghampiri Mama dan Papa dengan senyum tipis, mengucapkan terima kasih karena keduanya sudah menyempatkan waktu untuk datang. Mama hanya tersenyum lembut, mendekap Agesa sebentar, lantas mengajak Agesa untuk segera mengikuti langkah Miss Mala yang sudah menunggu. Agesa menghela napas, mengangguk. Diliriknya teman-teman sekelas sebelum senyum lebar mengembang di wajah. Senyum yang terlihat menyenangkan itu ... entah kenapa lebih terasa seperti hujaman bagi semua orang, tak terkecuali bagi Shahila.
Shahila mengusap kedua belah pipinya, berusaha untuk menguatkan hati yang tiba-tiba saja berdesir. Saat Shahila hendak kembali ke tempat duduk, satu tepukan lembut mendarat di bahu. Shahila menoleh, mendapati Arga yang menyodorkan sebuah ponsel padanya. Shahila tahu benar punya siapa itu. Shiki.
Arga mengangguk, menyerahkan ponsel tersebut pada Shahila. "Tadi gue nemu di ruang ekskul pramuka. Mungkin dia nggak sadar kalau ketinggalan."
Shahila manggut-manggut, menatap ponsel Shiki yang sudah beralih tangan padanya, seolah-olah ada sesuatu yang akan tampil di layar. "Trims, ya," kata Shahila yang dibalas dengan lambaian tangan oleh Arga.
Shahila menarik napas, berniat menyimpan ponsel tersebut di laci sang empunya sebelum benda itu bergetar pelan, disusul preview pesan yang muncul di layar. Adrian. Shahila mengangkat sebelah alis ketika membaca sebagian teks yang tertera sebelum terpotong. Cewek itu melirik keadaan sekitar, lantas duduk dengan tenang di kursinya. Tidak ada tanda-tanda Shiki akan segera datang. Dengan gerakan hati-hati dan halus, Shahila menekan preview pesan yang tersedia, mengarah langsung ke room chat WhatsApp antara Adrian dan Shiki. Beberapa detik, Shahila terdiam dengan mata menyusuri beberapa bubble chat dari Adrian. Tanpa sadar jemarinya men-scroll up riwayat pesan antara Adrian dan Shiki, membuat cewek itu kian tercenung ketika membacanya.
[Kamu nyebarin foto itu!? What the hell!]
Chat pertama dari Shiki tepat tiga hari yang lalu. Foto? Shahila menaikkan sebelah alis, lanjut men-scroll down.
[Astaga! Buat apa, Bro? Gue nggak pernah berniat sedikit pun buat nyebarin foto itu. Lo pikir cuma Agesa yang bakal kecoreng namanya? Gue juga! Think again!]
[Kalau bukan kamu yang nyebarin, terus siapa lagi? Jelas bukan aku.]
[I dunno, tapi yang jelas itu bukan gue.]
Oh, ada lagi! Shahila melirik keadaan sekitar sekilas, semakin merendahkan posisi ponsel Shiki di tangannya.
[Mungkin lo pernah ngasih sama siapa gitu tanpa sengaja? Bisa aja, kan?]
[Aku cuma kasih foto itu ke kamu. Jangan mengada-ada!]
[Gimana kondisinya?]
[Buruk. Dia jadi lebih pendiam. Makanya aku agak khawatir.]
[Bukan gue pelakunya, oke? Terserah mau percaya atau nggak.]
Chat berakhir, menyisakan pertanyaan besar bagi Shahila? Foto apa yang mereka bicarakan? Jangan bilang.... Shahila terbelalak pelan, melakukan scroll up dengan gerakan cepat untuk memastikan. Eh, kelewat! Shahila menghentikan gerakan layar yang terus naik ke atas, men-scroll down benda tersebut sedikit sampai menemukan foto dengan tampilan yang familier bagi Shahila.
Sesuai dugaan. Foto yang sama dengan foto yang tersebar di kalangan para siswa. Namun, yang aneh, tanggal pengirimannya cukup jauh dari tanggal sekarang. Shahila menghitung-hitung, mendapatkan kapan pastinya foto tersebut Shiki kirim pada Adrian. Benar-benar di-send, bukan forward seperti yang Shahila terima tempo hari. Tanggal itu bertepatan dengan ... tiga hari sebelum ulang tahun Shiki dirayakan, dan empat hari setelah pengukuhan pramuka selesai. Hal yang membuat Shahila semakin bertanya-tanya. Jadi ... Shiki sudah lebih dulu tahu sebelum gosip soal ini tersebar?
Shahila menutup mulut yang sedikit terbuka dengan telapak tangan ketika membuka galeri di ponsel Shiki dan menekan folder kamera. Di sana, Shahila menemukan foto itu. Benar-benar foto tersebut. Agesa yang mencium Adrian di malam pengukuhan. Tanggal dan waktu pengambilan gambar bahkan sama persis dengan perkiraan kapan kejadian itu diambil.
Dua minggu yang lalu. Sabtu, pada pukul dua belas lewat tiga puluh tiga malam. Shahila bahkan tidak bisa mendeskripsikan apa yang dirasakannya saat ini. Shiki yang selama ini ia lihat selalu dekat dan menyokong Agesa ... adalah dalang dari semua ini?
Cewek itu menggertakkan gigi, melempar asal ponsel Shiki di tangan ke dalam laci sepupunya itu, menimbulkan bunyi yang membuat seisi kelas tersentak dan bertanya ada apa. Namun, Shahila tidak menghiraukannya. Cewek itu berdiri, menuju pintu kelas yang terbuka lebar dengan langkah lebar-lebar. Tepat saat Shiki datang dengan seplastik keripik dari kantin, tanpa banyak bicara, Shahila langsung mencengkeram kedua belah bahu cowok itu. Tatapannya dingin. Diamnya menyakitkan. Embun di mata begitu memilukan. Shahila bahkan tidak peduli dengan Shiki yang meringis kesakitan.
"We need to talk," desis Shahila dengan kekecewaan mendalam di balik suaranya yang sedikit bergetar ketika mengatakan hal tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top