5

"Ecieh, yang baru pulang wawancara. Lancar, Maemunah?"

Melani melirik Jeni yang duduk di sofa apartemennya. Ia tak menanggapi Jeni yang fokus dengan gunting kuku. Gadis itu menuju kulkas, mengambil air mineral, lalu meneguknya dengan cepat hingga habis. Udara Jakarta sedang panas sekali dan ia juga lelah fisik dan mental setelah menghabiskan hampir tiga jam di pabrik alat pertukangan.

"Lo habis wawancara di gurun sahara?"

"Bawel banget sih, lo, kayak enyak-enyak." Melani menggerutu seraya mengambil bolu yang sepertinya Jeni bawa entah dari mana. "Sudah kelar gue wawancara. Tadi ke kantor nyokap dan ketemu sama orang corporate communications."

"Terus?" Jeni berhenti memotong kuku, lalu memusatkan atensinya kepada Melani. "Nyokaplo ada ngomong sesuatu?"

Melani mengangkat bahu tak acuh. "Kayak biasa. Dia bilang gue gak sepintar Meli, terlalu dimanja Papi, dan gak memiliki masa depan pasti." Ia melirik Jeni. "Gak usah muka sedih begitu. Lo tahu, hidup gue udah begini sejak dulu. Gak demen gue dilihatin pake muka melas penuh iba dan prihatin kayak gitu."

"Sabar, ya, Mel. Nyokaplo cuma belum dekat aja sama lo, jadinya gitu."

"Mungkin." Melani menjawab skeptis. "Nyokap bilang, yang penting gue lulus sarjana udah cukup. Dia gak mau berharap gue bisa mengikuti jejak Meli yang calon dosen. Dia kayak udah hopeless gitu sama gue. Di mata dia itu, gue udah bego to the max dan ... mungkin saja benar. Buktinya, kalau gak dibantu Haidar dengan maksimal gini, gue gak yakin bisa jalanin skripsi."

"Lo punya kehebatanlo sendiri, Njir."

Melani menghela napas panjang. "Apa yang hebat sih dari model produk dan selebriti sosmed? Nyokap bilang, kerjaan kayak gue sekarang ini gak ada faedahnya. Gak ada masa depan dan gak membanggakan. Beda sama nyokap yang berhasil jadi general manager dan Meli yang calon dosen."

"Jangan pesimistis gitu, deh, Mel. Lo bisa hebat dengan caralo sendiri, keleus. Terus, Pak Haidar gimana? Lancar dong lo bimbingan sama doski?"

Kali ini, Melani tersenyum. Ia mengangguk pelan dengan wajah penuh semangat. "Dia tuh baik banget. Pas gue jalan ke kantor nyokap aja, dia kirimin gue pesan, kasih semangat. Katanya, gue harus konsentrasi agar wawancara berjalan lancar. Dan ... lo tahu dong hasilnya, lancar jaya pake banget! Sekarang, gue mau garap bab satu gue. Mohon maaf kalau lo gak bisa ngobrol sama gue lama-lama. Gue butuh konsentrasi tinggi." Melani beranjak dari sofa, lalu berjalan dengan penuh semangat. Saat ia hampir masuk ke dalam kamar, langkahnya terhenti.

Jeni memanggilnya dengan sorot curiga dan penuh tanya. "Mel, lo ... gak akan mungkin jatuh cinta sama Pak Haidar, kan?"

Melani mengernyit, tetapi jantungnya mulai bereaksi tak normal. "Gue ...." Ia menyeringai tipis, berusaha menutupi dan mengelak desir yang kini merambati hati. "Gak mungkinlah jatuh cinta sama dia. Kami pacaran, kan, main-main doang. Sampai gue lulus kuliah doang. Setelah itu, ya, gak akan ketemu lagi." Lalu, Melani tertawa dibuat-buat. "Lagian kami juga beda jauh, Marimar. Kayak langit bumi. Dia di mana, gue di mana. Ya gak mungkin, lah!" Melani mengibas tangan, lalu membuka pintu kamarnya.

Saat pintu sudah ditutup, Melani menyandar dengan tangan memegang dada.

"Gue cuma mastiin aja, Maemunah, kalau lo gak bakalan baper sama Pak Haidar." Jeni berteriak dari luar kamar. "Tapi, bener juga sih, modelan Pak Haidar biasanya bukan selera selebgram kayak lo."

"Iya, bukan selera gue." Melani berteriak dengan tangan terus menepuk dada. "Gak udah mikir macem-macem, lo, Marimar."

"Kerjain skripsilo, Maemunah! Gue mau lanjur manicure!"

Melani mengangguk sendiri dengan hati yang komat kamit, kalau Haidar bukanlah seleranya. Gadis itu harus sadar, jika dirinya juga pasti bukan selera Haidar. Pria itu berkata bahwa menyukai perempuan pintar, sedang dirinya tidak. Jadi, Melani juga harus mensugesti, bahwa yang Haidar lakukan hanyalah sikap seorang dosen kepada mahasiswanya dan Melani dilarang jatuh cinta. Lagipula, buat apa jatuh pinta pada pria biasa, jika ia bisa menggaet pria yang lebih tampan dan terkenal?

*****

"Ini sudah bagus. Memang belum sempurna, tapi sudah cukup bagi saya untuk kamu lanjut ke bab dua."

Senyum Melani terbit. "Yes! Gak sia-sia saya begadang."

Haidar tersenyum, hingga matanya menyipit. "Saya kan sudah bilang, kamu pasti bisa. Kamu hanya perlu sedikit keuletan dan bergerak lebih keras."

"Iya." Melani mengangguk.

"Lalu, kapan kamu berencana menyebar kuisionernya?" Haidar menumpukan tangannya di meja. "Kamu bisa melakukan pengambilan data, sambil mengumpulkan landasan teori untuk bab dua."

Melani mengernyit. "Kayaknya gak bisa, Pak. Masalahnya, ibu saya bilang, saya tidak boleh pakai orang lain untuk sebar kuisioner, harus saya sendiri. Sedang saya memiliki beberapa jadwal endorse dan harus fokus kerjakan bab dua."

"Saya takut waktunya tidak terkejar kalau begitu. Kamu masih ingat, kan, kalau dalam enam bulan tidak selesai, kamu drop out."

"Lalu baiknya gimana, ya, Pak?" Mendengar konsekuensi yang ia tantang kepada Haidar, nyali Melani seketika menciut sendiri. "Saya tidak boleh drop out. Jangan sampai itu terjadi." Melani panik. "Kita bahkan berpacaran demi ini. Jadi, Bapak tolong bantu saya. Saya janji akan temani Bapak di sela kesibukan saya, selama kita berhubungan sambil mengerjakan skripsi ini."

"Kalau gitu, usahakan bagaimana caranya, kamu mengatur waktumu di sela kesibukan. Perpustakaan buka di jam kerja. Kalau kamu tidak bisa menemukan buku yang sesuai, kamu bisa menghubungi saya. Saya bantu mencarikan buku yang dibutuhkan."

"Lalu soal kuisionernya?"

"Lakukan pengambilan data dalam waktu maksimal tiga hari. Bagaimanapun caranya, dalam tiga hari harus selesai. Saya bantu agar kamu bisa memasukkan data dengan mudah."

"Pakai SPSS, ya, Pak? Itu kan susah."

Haidar menggeleng. "Pakai format excel yang saya buat. Ada di laptop saya. Kamu bisa gunakan itu untuk menghitung data. Lebih sederhana dan mudah digunakan."

Mendengar penuturan Haidar, ada lega dan bahagia yang membuat Melani semangat. "Bapak ... bikin format untuk saya masukkan data penelitain kuantitatif ini?"

Haidar mengangguk. "Supaya lebih mudah dan cepat kamu selesaikan. Enam bulan bukan waktu yang panjang. Jadi, bantu saya untuk menyelesaikan semuanya sesuat tenggat yang kamu buat."

"Iya." Melani mengangguk. Ia mengulum bibirnya seraya membuka risleting tas kuliahnya. "Uhm, Pak, boleh saya bertanya."

"Iya. Apa?"

"Saya ... ada jam tangan untuk Bapak. Bapak, kan, pacar saya, jadi boleh dong saya kasih sesuatu untuk Bapak. Ini buka gratifikasi, ini murni ucapan terimakasih dan lumrah dilakukan perempuan kepada pacarnya." Melani meletakkan satu box jam tangan. "Saya diendors merek ini. Karena dapat yang model couple, untuk jam tangan prianya, saya berikan kepada Bapak. Anggap saja ... tanda sayang saya kepada Bapak."

Haidar tertegun sesaat. "Tapi, Mel." Ia melirik kotak jam tangan itu sambil mengusap tengkuknya. "Kalau boleh jujur, saya belum pernah pacaran. Mahasiswa yang mengucapkan terima kasih kepada saya, belum pernah memberikan jam tangan mahal begini. Paling pena atau hem batik." Ia tertawa malu.

Tangan Melani berkeringat dingin, tetapi dorongan untuk semakin dekat dengan Haidar, terus meninggi. "Saya pernah pacaran, beberapa kali. Kalau begitu, kita bisa saling membimbing. Bapak bimbing skripsi saya, saya bimbing Bapak agar tahu bagaimana rasanya pacaran. Gimana?" Melani tahu ini kurang ajar, tetapi hasrat dalam hati membuatnya berani bersuara seperti ini.

"Enam bulan, kan?" Tanya Haidar. "Sampai saat kamu lulus, coba arahkan saya bagaimana itu pacaran, agar saya tahu seperti apa bentuk hubungan semacam ini." Haidar tertawa lirih, menutupi debar di hati, tanpa tahu ada hati yang mulai mengembang lalu kempis karena harus ingat bahwa hubungan mereka memiliki batas waktu.

***** 

Double update!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top