4
“Ada yang bisa saya bantu, Mel?”
“Banyak!” Melani menggulir kursor ke atas dan bawah, tanpa tujuan jelas. “Saya tidak tahu harus memulai dari mana. Ya ampun, saya sebodoh ini ternyata.”
Haidar tertawa dari seberang sana. “Kamu tidak bodoh, Melani. Kamu hanya butuh ketekunan dan keberanian untuk mengerjakan ini. Yang saya tangkap, kamu seperti pesimistis dan tak memiliki motivasi.”
“Memang motivasi apa yang harus saya miliki untuk ini? Tujuan saya hanya untuk lulus, sudah. Setelahnya, saya tak memiliki keinginan apapun selain melanjutkan yang saya miliki. Ibu bilang, saya tidak sepintar Meliana. Dia sudah mengirimkan undangan wisuda paskasarjana kepada Ibu. Sedang saya, skripsi saja belum selesai.” Melani menghela napas panjang. “Aduh, maaf, ya, Pak, jadi curhat.”
“Tidak apa.” Ada hening sejenak, sebelum Haidar kembali bersuara. “Kalau boleh tahu, siapa Meliana?” Haidar tahu ini tak seharusnya ditanyakan, karena siapapun Meliana, tak ada hubungannya dengan skripsi yang sedang mereka jalani. “Maaf, sepertinya saya terlalu banyak ingin tahu.”
“Tidak apa.” Melani menggeleng cepat, seakan Haidar bisa melihat gerakannya. “Dia itu kembaran saya. Ibu memiliki anak kembar. Setelah orang tua kami bercerai, Meli ikut Ibu dan saya dengan Ayah. Meli pintar, tidak seperti saya yang bab satu saja, banyak coretannya. Kata Ibu, saya salah asuh.”
Melani tak tahu apakah ini salah satu dari sesi bimbingan. Ia paling benci membuka keadaan keluarganya yang terpecah. Ia hanya ingin terlihat hebat dengan caranya, terlihat mandiri dengan tidak mengganggu finansial ibunya.
“Kamu .. tinggal bersama ayahmu?”
“Tidak.” Melani menggeleng lagi sambil mengusap wajah. “Ayah di luar kota. Ayah bekerja di kontraktor dan membuatnya harus pindah dari satu kota ke kota lain. Saya tinggal sendiri di apartemen. Kadang Laksmi menemani, kalau saya memiliki jadwal pengambilan foto produk di pagi hari.” Melani beranjak dari meja belajarnya, lalu menaiki ranjang dan berbaring di sana. “Saya tidak memiliki siapa pun yang bisa membantu mengerjakan tugas akhir. Hanya Bapak harapan saya.”
“Kalau begitu, tolong kirimkan alamat surel kamu. Saya akan kirim contoh bab satu milik salah seorang mahasiswa dulu. Jangan diplagiat. Saya hanya ingin kamu membaca dan mencoba memahami konsep penulisan latar belakang dan tujuan. Setelahnya, kita bisa diskusi. Kamu kapan ada waktu untuk diskusi?”
Melani mengernyit, menimbang sekiranya memiliki waktu untuk bertemu Haidar. “Besok bisa. Laksmi tidak mengatakan tentang jadwal saya. Besok saya free.”
“Oke. Jam sepuluh pagi di perpustakaan kampus. Kita akan membahas bab satu yang akan saya kirimkan sebentar lagi. Baca dan pahami konsepnya. Besok, kita akan berdiskusi.”
Hening menjeda selama beberapa saat. Haidar tak bersuara, hingga Melani mengira barangkali percakapan mereka memang sampai di sini saja. Melani hendak menutup dan pamit, saat suara Haidar terdengar lagi.
“Saya boleh minta satu hal, Mel?”
“Iya, apa?”
“Jangan pernah merasa bodoh hingga menyimpan pesimistis. Kamu memiliki kemampuanmu sendiri dan hanya perlu sedikit motivasi untuk menyelesaikan ini. Anggap saja, dengan lulus dan memiliki gelar, orangtuaku bisa senang dan kamu bangga pada dirimu sendiri.” Suara Haidar lembut. Terdengar menyenangkan.
Senyum Melani terbit saat sambungan mereka terputus dan tak lama setelahnya, ia mengetik pesan untuk Haidar.
Melani: Ini alamat email saya, Pak. [email protected]
Melani: Terima kasih untuk obrolannya. Semoga saya bisa memiliki motivasi untuk menyelesaikan ini dengan baik, sesuai tenggat yang saya buat.
Tak lama, ponsel Melani berbunyi. Ada notifikasi surel masuk dari Haidar. Ia membuka lampiran berisi delapan halaman dan membaca sepintas. Melani lantas membuka aplikasi pesan, karena Haidar mengirimkan pesan balasan.
Haidar: Sama-sama. Kamu mengalami kesulitan berpikir, mungkin karena masih lelah. Sebaiknya, jangan dipaksakan dulu. Minum air putih yang cukup, makan, lalu istirahat. Jika merasa baikan, kamu bisa mulai membaca lampiran yang saya kirim dan mulai menelaah konsep membuat bab satu yang baik.
Haidar: Jika sekarang belum memiliki motivasi, tak apa. Setidaknya, keinginan untuk lulus adalah satu motivasi yang bagus. Semangat, Mel.
Melani mengangguk dan tersenyum pada ponselnya. Ia lantas beranjak dari ranjang, menuju kulkas dan mengambil botol air mineral. Entah di mana Laksmi membeli air mineral merek ini, karena rasanya segar dan manis. Perasaan Melani menjadi lebih ringan dan berenergi.
*****
“Anjir, lo, Mel, jam segini udah di perpus aja.”
Melani tersenyum dengan wajah bangga. Ia menatap layar laptopnya dan membaca ulang lampiran yang Haidar kirim. “Lo gak usah heboh. Gue ini sebenernya anak cerdas dan genius. Cuma, karena kemarin kebanyakan jajan es akuarium yang Laksmi beli, jadi rada geser otak gue.”
“Cih, gue yakin bukan masalah es tiga ribuan kesukaan Laksmi. Ini sih elonya aja yang manja. Maunya pacaran dulu baru bisa belajar. Anjae lo, ya, Mel. Gue doain Pak Haidar segera tobat dan kembali ke jalan yang benar.”
“Jalan sama gue udah yang paling bener.” Melani menatap pintu masuk perpustakaan dan tersenyum menyambut Haidar. Pria itu berjalan santai mendekatinya sambil membalas sapaan beberapa mahasiswa. “Dosbim gue udah dateng. Gue tutup dulu.” Tanpa menunggu respons Jeni, Melani menutup sambungan mereka sepihak.
“Sudah lama, Mel?” Haidar duduk di depan Melani.
“Sudah dipelajari fail yang saya kirim kemarin?”
Melani mengangguk, lalu mulai mengutarakan apa yang ia tangkap dari hasil membaca. “Menurut Bapak, kalau saya membuat sepuluh pertanyaan untuk wawancara, apa bisa dimasukkan ke dalam latar belakang?” Ia mengarahkan layar laptopnya kepada Haidar. “Tadi sambil nunggu Bapak, saya coba membuat ini.”
Haidar membaca dengan saksama, lalu tersenyum. “Boleh. Jawaban dari pertanyaan ini bisa membuat kamu memiliki latar belakang yang kuat untuk penelitian. Ini sudah kemajuan yang bagus, Mel.”
Seperti mendapat Pajero Sports secara cuma-cuma, Melani tersenyum semringah dengan wajah bahagia. “Kalau begitu, saya coba hubungi Ibu agar dibantu untuk wawancara terkait pertanyaan ini.”
Haidar mengangguk. “Jadi, kapan?”
“Apanya?”
“Kamu bisa memberikan saya hasil wawancara, berikut bab satu kamu.”
Melani mengetuk jemarinya sesaat seraya berpikir. “Satu minggu, paling lama. Saya akan ke kantor Ibu hari ini dan berdiskusi barangkali bisa wawancara secepatnya. Sekalian mengirim surat permohonan penelitian di sana.”
“Oke.” Haidar mengangguk mantap. “Good luck. Jadi pacar saya harus semangat dan smart, Mel.” Haidar memajukan tubunya dan berbisik lirih. “Meski hanya selama bimbingan, kalau mau jadi pacar saya, harus sesuai kriteria saya.”
Melani melirik sekitar mereka dan jantungnya berdegup kencang. “Memangnya, kriteria Bapak seperti apa?” Rasa takut menyerangnya lagi. Ia tak ingin Haidar menghindarinya dan membatalkan hubungan mereka hanya karena Melani tak sesuai kriteria dan skripsinya mandek lagi.
Haidar tersenyum dengan lengkungan berjuta arti, membuat degup jantung Melani semakin kebat-kebit.
“Yang tak takut dengan penelitian dan tak malu bertanya jika kesulitan. Dengan begitu, saya jadi merasa dibutuhkan sebagai pria.”
Melani ingin mengumpat udara perpustakaan yang seketika dingin dan membuatnya meremang. Tanpa bisa di cegah, ada desir halus yang merambati dan menyusup ke dalam hati.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top