22
“Mel, gue salah lihat gak sih tadi?” Jeni menghampiri Melani yang sedang membersihkan riasan. “Ada Pak Haidar di bawah. Di depan ruko. Itu beneran Pak Haidar? Dia tadi lihat gue, tapi gak sapa. Gue juga mau sapa ragu, takut salah orang.”
Melani hanya melirik Jeni yang baru datang, tetapi tak menjawab.
“Kalau itu beneran dia, ada urusan apa ke sini?”
Melani mengangkat bahu tak acuh, lalu beranjak dari ruang rias. “Gue mau pulang.”
“Dih, kok gitu. Gue ke sini kan karena kita mau nonton sama ngemal. Kok lo jadi mendadak pulang? Tahu gitu gue gak samperin lo ke sini, Maemunah.” Jeni kesal. Ia melirik sinis kepada Melani, lalu mengikuti langkah sahabatnya. “Lo kalo PMS tuh kabar-kabar, jadi gue gak usah ribet samperin elo.”
“Gue mau pulang. Gue capek, Jen.”
“Tetep aja, ya. Lo ngeselin. Nyetir dari kantor gue ke sini juga capek, Neneng!”
Melani tak menggubris omelan Jeni sepanjang tangga menuju lantai satu. Ia lelah, terlebih pikirannya yang masih saja penuh dengan sosok Haidar. Pria itu ke sini dan sampai Jeni datang tadi, kabarnya masih di sini. Melani tak tahu apa yang ingin Haidar bicarakan. Sikap pria itu kepadanya tiga tahun lalu, sudah menjadi bukti bahwa ia tak pernah berharga. Melani sakit hati dan tak ingin memberikan celah untuk pria itu sekali lagi.
“Ah! Gue tau! Lo pulang mendadak karena ada Pak Haidar!” Suara Jeni melengking, tepat di pintu masuk ruko itu. “Mana dia? Pak Haidar!” Tanpa peduli dengan Melani yang terbelalak, Jeni melangkah antusias mendekati dosennya. “Bapak ada hubungan apa sama Melani, sampai dia seenaknya batalin janji kami untuk jalan malam ini?”
Haidar yang berdiri di samping mobilnya, menatap Jeni dengan penuh tanya. Pria itu menoleh kepada Melani yang berdiri di koridor depan pintu masuk ruko. Perempuan itu menatapnya dan Jeni dengan mata tajam.
“Bapak beneran jadian sama Mel? Beneran pacaran, makanya sekarang jadi posesif sama Mel?” Jeni bicara tegas dan lantang. Wajahnya yang penuh curiga, jelas menuntut jawaban dari Haidar. “Dia gak pernah jawab setiap saya tanya hubungan dia sama Bapak setelah wisuda. Saya pikir sudah tamat, meski dia gak pernah pacaran sampai sekarang. Rekor terlama ia jomlo. Kalau memang Bapak dan Mel ada hubungan, ya ....” Jeni mengangkat bahu, seakan maklum dan mewajari. “ya sudah. Cuma, lain kali, tolong info. Jadi, saya gak harus capek-capek ke sini hanya untuk dicuekin.”
Haidar tertegun. Ia bingung, setengah tak mengerti ucapan Jeni. Ia ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Haidar melirik Melani yang masih saja berdiri dengan wajah penuh emosi, hingga Jeni pamit pergi.
“Hati-hati di jalan, Pak. Salam buat Meliana, kalau Bapak mampir ke rumah Melani.” Jeni meninggalkan Haidar. Ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir agak jauh. “Mel, gue pulang juga. Jangan lupa sepatu endorse kemarin, gue pinjem, ya.”
Melani tak menjawab. Ia terus menatap Haidar yang masih mematung menatapnya. Enggan berlama, Melani melangkah menuju mobilnya yang terparkir tepat di sebelah mobil Haidar.
“Saya mau bicara ... soal kita.” Haidar mengejar Melani. Pria itu kini berdiri di depan Melani dengan jarak cukup dekat. “Saya mau minta maaf. Saya ... punya alasan meninggalkan kamu saat itu.”
Melani menatap Haidar penuh emosi. “Kalau begitu, saya juga punya alasan kuat kenapa harus menghindari Anda.”
“Saya cinta kamu.” Haidar menyela, bicara cepat dengan wajah serius. “Saya ... cinta kamu,” ulangnya dengan penekanan, wajah tegang, mimik tak bercanda.
“Saya tidak.” Melani berdusta dengan lantang. “Jadi, tolong bergeser karena saya mau pulang.” Ia membuka pintu mobil, menabrak tubuh Haidar lalu masuk dan menutup pintu dengan kencang.
Di dalam mobil, Melani berusaha meredam semua emosinya. Ia mencengkeram roda kemudi dengan kencang sambil terus mengembuskan napas panjang. Di samping jendela pintu mobilnya, Haidar masih berdiri dengan mata terus memperhatikannya. Melani menyalakan mesin, mengumpulkan konsentrasi, lalu pergi.
*****
“Lani, ada titipan dari Mas Haidar.”
Mendengar nama pria itu, sikap defensif Melani menguar. Ia melirik tajam Meliana yang baru pulang dan memperhatikan kantung yang saudarinya bawa. “Aku gak ada titip apa-apa.” Melani berwajah masam, tak peduli dengan ibu dan papinya yang memperhatikan dengan penuh tanya. “Lagian gak ada urusan juga sama dia.”
Melani tak buta, dua minggu belakangan, Haidar gencar mendekatinya. Pria itu beberapa kali mampir ke ruko, meminta bertemu, meski selalu ia tolak. Akhir minggu lalu, saat Melani ingin pergi dengan Jeni, ia mendapati Haidar ada di teras rumahnya, menikmati teh bersama Papi.
Melani kaget dan nyaris memuntahkan amarah, melihat Haidar berbincang ringan dengan papinya, seakan mereka memiliki hubungan sangat dekat. Melihat itu, hati Melani seperti berdenyut nyeri. Ia ingin mengusir Haidar, tetapi tak bisa karena Papi mengatakan kepadanya bahwa Haidar sedang menunggu Benu dan akan pergi main futsal.
“Haidar suka kamu.” Papi bersuara. “Dia bilang sama Papi.”
Melani menatap papinya dengan tajam. “Papi bilang apa? Lani gak mau ya dilepas sama Papi semudah itu. Lani bukan Meli yang gampang terima cowok.”
“Eh, tapi cowok yang aku terima itu, jelas cinta sama aku.” Meliana menyela. Wajahnya masam meski tak marah kepada saudarinya. “Kamu itu, Lani, yang harusnya introspeksi. Mas Haidar mungkin memang ada salah, tetapi dia berniat minta maaf. Setiap hari kalau ketemu aku di kampus, selalu nanyain kamu. Katanya, apa Melani masih marah, saya harus apa? Lama-lama aku kasihan.”
“Kalau kamu kasihan, bilang saja sama dia, gak usah ribet dekat-dekat aku lagi. Aku bukan perempuan murahan dan gampangan yang bisa dia ambil dan buang suka-suka. Aku punya harga diri. Masih mending Axel jauh.”
“Papi gak suka Axel.” Papi bersuara datar. “Ibumu juga.”
Melani mendengkus kasar. Ia lapar, ingin makan malam dengan tenang dan lahap, apalagi ibunya memasak rendang kesukaannya. Namun, seleranya diambil paksa oleh Meliana dan Papi yang mengangkat topik tak menyenangkan.
“Kamu mau sendiri sampai kapan? Sampai anak Meli ada tiga?” Ibunya angkat bicara. “Ibu tidak akan ikut campur urusan asmara kamu. Biar Papi saja. Kamu tidak seperti Meli yang lebih cepat menangkap dan menyelesaikan masalah. Daripada nanti Ibu kesal, jadi Ibu serahkan urusan kamu ke Papi.”
“Lani gak jadi makan.” Melani mendorong kembali piring yang sudah ia isi nasi, lalu beranjak dari kursi.
“Jangan kekanakan Lani. Papi gak mau kamu sakit.” Papi mencekal tangan Melani pelan, tersenyum lembut kepada putrinya. “Kita tidak akan membahas ini kalau kamu tidak nyaman. Duduk lagi dan makan. Ibu seharian memasak rendang karena tahu kamu sudah lama tidak makan masakan Ibu, kan?”
Melani mengerjap cepat, meredakan rasa panas di matanya. Ia melepas tangan yang papinya cekal, lalu mengusap wajahnya yang sudah basah air mata. Saat ia kembali duduk, Papi mendekat dan mencium pelipisnya.
“Kalau kamu masih kurang nyaman dengan dia, biar jadi urusan Papi saja. Kamu jangan tertekan.”
Melani menunduk, menarik kembali piringnya dan mengambil rendang sebanyak yang ia inginkan.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top