17

Notes: Aku lupa bilang. Jadi, Yang kemarin-kemarin aku posting itu adalah naskah versi parade atau yang mentah. Belum diedit juga ditambah-tambahkan yang kurang. vesi plek jiplek sama yang kuposting di parade nulis. Spesial bab 17 ini, aku posting bab versi terbit. Agak beda sama yang bab 17 versi parade. Semoga, lebih deep dan berasa feelnya. Muuaaaccchh. 


Aku juga mau ucapin makasih buat kalian yang sudah ikutan PO. Alhamdulillah, Haidar Melani dapet emblem best seller. Naskah sudah siap cetak dan akan langsung masuk antrain cetak. Semoga prosesnya lancar dan bisa dikirim ke kalian dalam waktu semingguan. Aamiin. 

Yang belum pesan sekarang, jangan khawatir. Aku stok sekitar 20 buku di rumahku nanti, buat kalian yang mau nyusul beli. Biasanya, kalau stok di penerbit sudah habis, cetak ulang bisa makan waktu semingguan lagi. Jadi, biar kalia gak nungguin cetul pas mau beli, bisa ambil ready stoknya di aku. Namun, aku hanya stok 20 buku saja, ya ... dan kemungkinan yang kujual cuma 15 buku wkwkwk

Udah, ah, cuss baca Melani Haidar lagi. Gak ada double up ya, sampai bab 22-24, up nya sehari sekali saja. Saat ebook sudah terbit, bab di wp akan aku hapus menyisakan 8-10 bab saja. Terima kasih sangat, sayang-sayangnya Melianaaa muuaaccchhh! 


****** Bab 17 **** 

Haidar tak bisa dihubungi selama satu minggu. Melani sudah menyelesaikan revisi skripsinya dan membutuhkan tanda tangan Haidar pada lembar pengesahan, sebelum revisian itu dibukukan. Ia mencari Haidar di kampus, tetapi tak pernah berhasil ketemu. Saat ia bertanya pada petugas TU, mereka menjawab jadwal mengajar Haidar berkurang banyak, membuat pria itu tak lagi harus berada di kampus seharian.

Melani mulai panik, lantas memutuskan untuk menghampiri Haidar ke rumah pria itu. Setelah mendapat tanda tangan dosen-dosen lain, Melani melajukan mobilnya ke rumah Haidar. Entah apa kesibukan kekasihnya sekarang, tetapi sejak ia selesai sidang, Haidar seperti membentangkan jarak. Melani menduga, Haidar mulai menjauh dan ingin segera menghakhiri hubungan mereka. Memikirkan itu, Melani sedikit banyak takut dan kalut. Ia tak ingin hubungannya dengan Haidar harus berakhir seperti perjanjian awal mereka.

Sepanjang perjalanan, Melani berpikir. Apa yang harus ia lakukan agar hubungan mereka semakin erat. Haidar membuatnya nyaman dan ketenangan pria itu memabukkan. Ini pertama kalinya Melani ingin memperjuangkan hubungan dengan pria. Sebelumnya, ia hanya berjalan santai. Jika masih berminat lanjut, ia akan menjalani hubungan itu, jika tidak, ia akan meninggalkan sang pria dengan ringan. Tak ada rasa ingin memiliki yang sebesar ini, sebesar keinginannya untuk terus memeluk Haidar.

Mobil sampai di depan rumah Haidar. Melani mengernyit, melihat rumah tampak sepi dan tak ada mobil Haidar di carport rumah itu. Apa Haidar ke luar kota? Namun, jika benar, bagaimana nasib skripsinya? Ia butuh tandatangan Haidar dan lekas mengumpulkan skripsi dan daftar wisuda.

Melani menghubungi Haidar lagi, tetapi panggilannya tak terjawab. Ia bingung harus bagaimana. Ia butuh bertemu Haidar demi kelulusannya, juga penasaran apa yang terjadi dengan pria penggenggam hatinya. Namun, Ia bingung bagaimana cara untuk bertemu. Apakah Melani harus menunggu di depan rumah Haidar hingga pria itu pulang entah kapan? Atau pergi saja mencoba lagi esok hari? Jika begitu, sampai kapan Melani mengerjar Haidar seperti ini? mengejar sosok yang tiba-tiba hilang dan tak terjamah.

Lamunan Melani terhenti saat pintu rumah Haidar terbuka. Ia segera membuka pintu mobil dan turun, lalu menyapa ibu Haidar yang keluar membawa kantung sampah besar.

"Selamat sore, Bu." Melani tersenyum manis.

Ibu Haidar terperanjat melihat kedatangan Melani, lalu tersenyum dan membalas sapaan tamunya. Wanita itu membuka pagar, mempersilakan Melani masuk, lalu menuju tempat sampah depan rumah.

"Ibu buatkan teh hangat, ya?"

"Jangan, Bu, gak usah repot-repot. Saya ke sini mau bertemu Pak Haidar dan minta tanda tangan."

Ibu Haidar mengernyit. "Belum selesai? Haidar bilang semua sudah clear."

Melani meringis. "Sudah selesai, tinggal tandatangan skripsi yang sudah direvisi. Setelah itu pengajuan yudisium dan wisuda."

Wanita paruh baya itu mengangguk. "Akhirnya ... selesai juga. Lega, ya?"

"Iya." Melani mengangguk. "Saya ingin bertemu Pak Haidar untuk tandatangan dan berterima kasih."

Senyum ibu Haidar terukir. "Kamu itu anak baik. Ibu yakin, kamu pasti jadi sukses di kemudian hari." Ada yang tersembunyi dari lengkungan bibir ibu Haidar.

Melani mengernyit samar dengan mata penuh tanya. Ada pertanyaan dan curiga yang bercokol di pikirannya, melihat sorot mata ibu Haidar yang dalam. Ada isyarat kesedihan dan kehilangan, saat melihat Melani. Apa ... ibu Haidar menyayangkan ia lulus hingga kemungkinan tak main lagi ke rumah ini nantinya?

Tidak. Melani tak ingin berpikir hingga sejauh itu. Ia yakin, ibu Haidar sedikit banyak bahagia atas pencapaiannya.

"Aamiin, terima kasih, Bu." Melani tersenyum dengan wajah bahagia. "Tapi, Pak Haidarnya di mana, ya?"

"Haidar masih ada urusan. Sebentar lagi sampai. Dia sudah di jalan pulang sejak satu jam lalu. Kamu tunggu di teras saja, tidak masalah, kan?" Ibu Haidar menatap Melani sungkan. "Ibu sedang beberes rumah dan di dalam kotor juga berantakan. Ibu buatkan teh hangat dulu."

"Jangan repot-repot, Bu." Melani berbasa-basi.

Ibu Haidar menggeleng santai. "Gak repot. Hanya teh saja, kok. Ibu tidak masak, karena seharian mengurus pensiunan di Taspen. Jadi, gak bisa jamu kamu dengan baik. Semoga teh saja tidak masalah, ya." Wanita itu lantas masuk ke dalam rumah, meninggalkan Melani yang kini duduk di kursi teras.

Selama menunggu, Melani fokus dengan ponselnya. Ia memantau pergerakan Instagramnya dan bagaimana respons para pengikutnya. Ia mendengar dari Andina, akhir-akhir ini banyak yang ingin menggunakan jasa endorsenya hingga perempuan itu mulai sibuk mengatur jadwal. Para klien mereka mengaku puas bekerjasama dengan Melani Indria.

Bukan hanya gambar Melani yang menarik dengan banyak pengikut, metode pembayaran, harga, dan tulisan pada caption postingan, seluruhnya membuat klien senang. Melani sadar, semua itu adalah kerja keras timnya. Ia hanya menjual wajah, citra baik, dan berusaha untuk tidak terlibat dalam skandal yang merusak nama baiknya.

Ia bukan selebritis, artis atau orang terkenal. Ia hanya influencer yang suka mengunggah foto dan caption menarik. Dicky yang mengambil gambarnya dengan posisi dan konsep terbaik, Jo yang pandai menulis caption sesuai dengan konsep dan citra Melani. Meski Jo tak sesempurna yang lainnya dan bekerja dari kursi roda, Jo tak pernah mengecewakan timnya. Pria itu tahu cara membuat tulisan yang menarik dan mempublikasikan hingga banyak netizen mengenal Melani Indria.

Mengingat itu, Melani sadar bahwa hidupnya sudah baik. Ia memiliki alasan kuat mengapa tak boleh rendah diri. Haidar menyadarkannya bahwa selama ini ia salah. Bayang Meliana dan ibunya yang selalu membandingkan mereka, membuat Melani tak lagi melihat dunianya dengan objektif. Tak ada yang salah dengan apa yang ia kerjakan dan tak perlu merasa rendah apalagi hina.

Kesuksesan tidak ada ukuran pastinya. Haidar meminta agar Melani fokus pada apa yang membuatnya bahagia dan berkembang. Ia mencintai dunianya, sosial medianya, dan timnya yang selalu mendukung tanpa melihat kekurangannya. Setelah wisuda nanti, Melani ingin lebih fokus membesarkan bisnis influencer-nya. Tak ada salahnya mengkaji ide Jo yang mengajaknya membuat agensi.

Sorot lampu yang menyilaukan, membuat Melani mengalihkan fokusnya dari ponsel ke arah luar pagar.

Motor Haidar masuk ke dalam carport, lalu pria itu turun dan menatap Melani dengan kaget. Ia mematung sesaat, sebelum melepas helm lalu melangkah menuju teras.

"Saya cari Bapak semingguan ini. Bapak ke mana saja?" Seperti istri yang menunggu suaminya ribuan hari, Melani bangkit dari kursi lalu memeluk Haidar dengan erat. "Saya bukan hanya rindu. Sudah lebih dari itu." Melani mengurai pelukan mereka, tersenyum, lalu mengecup pipi Haidar. "Skripsi saya sudah jadi. Minta tandatangannya, dong."

Haidar hanya tersenyum tipis. "Wajah saya kotor. Kamu seharusnya jangan cium saya seperti tadi. Tunggu sebentar, saya cuci muka dulu."

Tak lama, Haidar kembali. Pria itu menerima bundelan skripsi dan membacanya sepintas sebelum membubuhkan tanda tangan pada lembar pengesahan. Ia tak bicara apapun, karena banyak hal berkecamuk dalam pikirannya dan jutaan emosi yang menggelung hatinya.

"Sudah." Ia mengembalikan bundelan itu kepada Melani dan tersenyum. "Langsung urus yudisium dan wisuda. Jangan buang waktu."

Melani mengangguk dengan wajah riang. "Saya sebenarnya mau lebih lama di sini bersama Bapak, tetapi Jo membutuhkan saya untuk membahas konsep tulisan projek taman wisata." Ia beranjak, diikuti Haidar. "Saya akan ke sini lagi, jika pekerjaan sudah selesai."

Haidar hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Melani menuju mobil perempuan itu. Namun, saat Melani sudah melewati pagar dan hendak membuka pintu, Haidar mencekal tangan Melani, menarik perempuan itu hingga tersungkur ke dalam pelukannya, lalu mencium Melani dengan pagutan yang panjang dan dalam.

Melani memeluk Haidar, merekatkan mereka dan memperdalam ciuman itu. Entah berapa lama bibir mereka menyatu dan saling melumat dengan emosi yang menggulung. Napas mereka saling beradu saat ciuman mereka terjeda. Melani membalas tatapan Haidar yang dalam dan menghanyutkan, lalu menyambut bibir Haidar yang kembali menyapanya. Ciuman ini adalah yang terpanjang selama mereka bersama. Melani merasakan ada sesuatu yang Haidar sampaikan dari sikap, ciuman, dan pelukan mereka yang masih erat sejak tadi.

Ini di luar nalar Haidar, melewati batas etika dan kesopanan yang berusaha ia jaga, juga perasaan yang harus ia penjarakan. Namun, menyadari sesaat lagi semua ini usai, Haidar ingin merasakan satu saja kenangan mendalam bersama Melani.

Semua bersambut saat Melani membalas ciumannya dan hanyut dalam rasa saling merindu. Hanya saja, saat ciuman itu terlepas dan usai, Melani menjatuhkan air mata dengan wajah yang terlihat hancur.

"Saya tahu ini bukan ungkapan rindu. Yang tadi itu ... perpisahan, kan?" Lalu, tangis Melani pecah dan ia pergi meninggalkan Haidar yang mematung dengan wajah kehilangan.

*****

Masih bisa nyusul ya, Genkss ... wa ke 087853513454

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top