12
"Sudah bagus." Haidar mengangguk, menutup bundelan kertas bimbingan Melani sore ini. "Kamu sudah menjabarkan semua hasil perhitungan kuisionernya. Dari hasil itu, kamu coba cari penyebab mengapa masih ada yang tidak menyukai lingkungan dan pola komunikasi di perusahaan itu. Kamu bisa membuat penjabaran sesuai dengan teori yang kamu tuang pada bab dua."
Melani mengangguk serius, lalu mencatat apa yang Haidar ucapkan. "Setelah itu? Saya kerjakan ini dulu lalu bimbingan, atau langsung coba buat bab empat?"
Haidar melipat kedua tangan dan menumpu di meja. "Kamu sanggup mengerjakan semua itu dalam satu minggu?"
"Saya ... belum ada info apakah ada banyak endorse untuk minggu depan, tetapi akan saya coba untuk mengerjakan itu semua. Kalau kepepet, mungkin bisa mengerjakan di rumah Bapak lagi."
"Jangan!" Haidar menggeleng tegas. "Nanti terjadi yang tidak-tidak. Saya khawatir."
Melani menatap Haidar dengan sorot geli. Ia tersenyum seraya mengangguk maklum. "Iya, Pak, maaf. Saya memang merepotkan."
"Bukan begitu maksud saya, Mel." Haidar mencoba menjelaskan. Ia tak ingin ada salah paham di antara mereka. "Saya hanya khawatir, mungkin saja merugikan kamu dalam hubungan kita. Saya ... nyaman, jujur saya nyaman, tetapi kita harus tetap berada pada jalur yang seharusnya."
"Memangnya, jalur apa yang harus terus kita sadari?" Melani memiringkan kepalanya seraya mengernyit. "Apa ada yang salah dengan hubungan ini?"
Haidar mengangguk. "Saya dosen dan kamu mahasiswa saya. Saya takut, salah satu dari kita terbawa perasaan dan akan berat mengakhiri ini ketika waktu kelulusanmu tiba. Kamu gadis baik, menarik, dan membuat saya terus mengarahkan mata kepadamu. Namun, ada hal yang tak bisa kita ubah, salah satunya kondisi yang sudah ada sebelum hubungan permainan ini kita mulai."
Wajah Melani berubah serius dan pupus. "Ini maksudnya Bapak menolak saya?"
"Bukan juga." Haidar menggeleng. "Saya hanya memberikan pandangan dan peringatan, agar kita saling menjaga batasan. Selain untuk menjaga norma yang ada, juga melindungi hati agar pada akhirnya kita tak tersakiti."
"Tidak akan ada yang tersakiti." Melani menyela dengan tegas. "Bapak dosen, saya mahasiswa, tetapi kita sama-sama dewasa. Saya tidak merasa dirugikan atas apa yang terjadi. Jujur, sejak malam itu saya jadi memiliki motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini."
"Apa?" Haidar menatap Melani penasaran.
Melani meneguk ludahnya kelat. Hatinya bergemuruh dengan jantung yang berdegup kencang. "Jika ... saya tidak bisa membuat ibu saya bangga, setidaknya saya ingin Bapak bisa bangga atas pencapaian saya. Ini memang bukan hal besar yang bisa saya banggakan, tetapi dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya bisa menyelesaikan ini dengan bimbingan Bapak. Saya ... saya ingin menjadi perempuan yang pantas bersanding dengan Bapak."
Haidar tak paham. Ia tak mengerti maksud ucapan Melani. Gadis itu mengungkapkan motivasi, tetapi mengapa ia dibawa-bawa?
"Maksudnya?" Haidar mengernyit. "Saya tidak paham."
Melani menunduk sesaat, terdiam dengan wajah sedikit memerah. "Saya ... uhm, maksud saya ...." Ia menggeleng cepat. "Tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin membuat bangga orang yang berjuang untuk saya. Hanya itu." Melani tersenyum dengan lengkungan terpaksa. "Saya permisi dulu, ya, Pak." Gadis itu lantas membereskan bundelan kertasnya, lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan Haidar.
*****
Haidar mendengkus kesal. Kesialan apa lagi yang menguji kesabarannya. Ia benci hujan, tetapi setiap jam pulang kerja, rinai selalu berjatuhan membasahi bumi Jakarta. Sepeda motornya kempes entah sejak kapan. Ibunya selalu meminta agar ia bekerja membawa mobil saja, tetapi bagi Haidar, langkah itu bukanlah efisiensi. Ia ingin lekas sampai di kampus dan lekas sampai di rumah tanpa harus membuang banyak waktu di jalan.
Pria itu mendongak, menatap langit yang masih saja mengguyur bumi. Sepertinya ia harus bertahan lebih lama di kampus, mungkin sampai petang. Jalanan mulai padat dan ia tak berani menerobos derasnya hujan. Ia mencintai buku-bukunya dan tak ingin semua itu rusak akibat basah. Apalagi laptop dan data penting yang tak boleh hilang.
"Saya bisa antar Bapak."
Haidar menoleh pada sumber suara. Melani berdiri beberapa langkah di belakangnya.
"Kamu belum pulang?"
Melani menggeleng pelan. "Saya tadi ke perpustakaan dulu, mengembalikan buku dan mencari buku pendamping untuk mengerjakan bab empat." Ia menunjuk pada tas jinjing yang dibawanya. "Sudah dapat bukunya dan mau pulang."
Haidar mengangguk seraya tersenyum. "Hati-hati di jalan kalau begitu."
Alih-alih meninggalkan Haidar, Melani justru mengambil kunci mobil dan mengangsurkan kepada Haidar. "Bapak yang bawa mobil saya, ya. Saya lelah dan mengantuk. Semalam saya begadang mengerjakan bab tiga sambil menemani Dicki mengedit vidio untuk diposting hari ini."
"Dicki?"
"Vidio editor. Salah satu tim saya. Semalam dia menginap di apartemen saya dan menemani saya begadang."
Tubuh Haidar menegang. "Lalu apa yang terjadi?"
"Tidak ada." Melani mengernyit. "Saya mengerjakan ini, dia mengerjakan pekerjaannya, lalu Laksmi datang jam tiga dini hari membawa perlengkapan yang kami butuhkan untuk proses pembuatan konten selanjutnya." Melani melangkah lebih dekat kepada Haidar. "Memangnya, Bapak berharap terjadi apa semalam?"
"Tidak ada."
Melani tersenyum tipis dengan sorot penuh arti. "Saya hanya mencium pria yang memiliki kedekatan khusus dengan saya. Jo dan Dicki hanya tim, bukan pacar. Beda dengan Bapak yang ...."
"Apa?" jantung Haidar berdegup kencang.
"Yang akan membantu saya untuk lulus dan menjadi hebat." Melani tersenyum, lalu melangkah mendului Haidar. "Jangan lama-lama, Pak. Saya tidak bisa masuk mobil kalau Bapak tidak membuka tombol buka kuncinya."
Haidar menghela napas panjang seraya menggeleng pelan. Melani benar-benar menguji mentalnya. Ia mengikuti langkah Melani menuju mobil gadis itu, lalu menekan tombol buka kunci dan mempersilakan Melani masuk ke dalam kursi penumpang depan.
Perjalanan sore ini cukup lama. Lalu lintas padat dan mereka hanya terdiam. Haidar tak tahu harus membuka topik apa. Ia hanya fokus mengemudi sambil mencuri dengar obrolan Melani dengan seseorang melalui sambungan ponsel.
"Lo itu kesayangan Ibu. Gak pulang juga gak akan diomelin. Beda sama gue yang dipandang anak durhaka dan hidup dalam pergaulan bebas." Suara Melani santai tetapi Haidar mampu menangkap ketus di dalamya. "Gue sama lo gak ada beda. Sama-sama tinggal sendiri di apartemen. Lo bahkan lebih jauh, karena berada ribuan kilo dari Indonesia. Tapi, tetap gue yang dipandang gak guna. Ah, entahlah, terserah, gue gak mood dateng di wisuda lo. Papi juga gak tahu apakah mau datang kalau Ibu datang. Papi sibuk dan belum balik ke Jakarta entah sampai kapan."
Haidar melirik Melani yang wajahnya tanpak keruh. Sedikit banyak ia mulai tahu kehidupan seorang Melani Indria yang jauh dari kesan ceria dan bahagia yang selalu gadis itu tampilkan di laman Instagramnya. Bagi Haidar, ia jauh lebih beruntung dengan adanya sang ibu yang selalu menemaninya.
Entah keributan kecil apa yang terjadi antara dua saudari itu, yang jelas Melani menggerutu dengan ketus sebelum akhirnya memutus sambungan dan meletakkan ponsel ke dalam tas dengan kasar. Tak lama, isak tangis terdengar lirih dan hati Haidar tercubit.
Lampu merah membuat mobil berhenti. Melani menutup wajahnya dengan tangkupan tangan dan masih tenggelam dalam isak.
Haidar mengambil coklat pemberian mahasiswa yang kemarin sidang, lalu meletakkan coklat kalengan itu di pangkuan Melani. Ia menarik tangkupan tangan Melani dan mengusap wajah gadis itu dengan lembut.
"Jangan nangis. Sebenarnya kamu lebih hebat dari yang kamu bayangkan. Kamu hanya ... perlu berdamai dengan kondisi yang kamu miliki." Haidar tersenyum, lalu membuka kaleng coklat berbentuk kotak. Ia mengambil satu bola coklat, lalu menyuapkan kepada Melani. "Katanya, coklat bisa membuat hati lebih tenang. Mungkin ini bisa membantu."
Melani membuka mulut dengan mata yang menatap Haidar tanpa putus. Ia mengunyah coklat berisi almond, lalu berkata. "Bapak jangan begini."
Haidar menatap Melani penuh tanya. Lampu lalu lintas sudah hijau dan ia harus mengemudi lagi. Ia melirik Melani dengan sorot tanya, sebelum melajukan mobil.
"Nanti saya jatuh hati, lalu cinta mati. Saya takut ... jika akhirnya harus patah hati."
*****
Dua hari lagi close PO yess ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top