Chapter 24
Interupsi,
Ini postingan terakhir Lovesick untuk tahun ini.
Mohon maaf lahir dan batin kalau aku banyak salah.
Sampai ketemu lagi tanggal 9 Januari 2019, ya.
Selamat berlibur semua.
Dia terbangun karena Gwen mengguncang bahunya sambil memanggil-manggil namanya. Renard mengerjap berkali-kali, baru menyadari -entah bagaimana- dia bisa tertidur setelah mandi. Kemarin dia memang nyaris tidak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk langsung menyerbu setelah tubuhnya segar. Niat untuk berbaring sejenak malah membuatnya terlelap entah berapa lama. "Gwen? Baru datang, Nak?"
"Paa... itu Mama marahin Tante Nana. Aku..." Anak itu malah menangis kencang.
Renard melompat dari ranjang, nyaris kehilangan keseimbangan saat kakinya menginjak lantai. Dia buru-buru meraih Gwen, menggendong anak itu seraya meninggalkan kamar secepat yang dia mampu. Jantungnya seolah akan pecah, membayangkan Bella dengan agresif memojokkan Siahna. Mantan istrinya adalah perempuan yang sangat tahu caranya memanfaatkan lidahnya untuk menyakiti seseorang.
Renard akhirnya tiba di ambang pintu dapur dengan napas terengah, memandang Siahna dan Bella yang berdiri berhadapan. Dia buru-buru menyerahkan Gwen ke gendongan Riris yang tampak cemas dan berdiri mematung. Renard memberi isyarat agar Riris membawa putrinya ke kamar Miriam, yang memang berjarak paling jauh dari dapur.
Renard baru saja maju untuk bicara ketika Siahna membuka mulut. Suara perempuan itu terdengar tenang dan datar. "Silakan aja kamu menghina atau mengusirku, Bel. Aku nggak takut sama kamu. Karena aku bukan lagi Siahna yang dulu. Sekarang, aku bisa membela diriku sendiri. Lagian, ini masih rumah mertuaku. Justru kamu nggak nggak berhak ada di sini."
"Perempuan kayak kamu, nggak pantas dekat-dekat Gwen."
"Oh ya? Kenapa? Karena aku pernah aborsi?" Siahna tersenyum tipis. "Kamu kira, dengan ngomong ke Mbak Petty, hidupku bakalan kacau? Kamu salah banget, Bel! Justru aku senang kalau orang-orang jadi tau apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ashton. Supaya dunia juga tau, ada perempuan bejat kayak kamu yang hidup di dunia ini. Saran aja sih, kamu tuh nggak cocok ngurus butik. Bagusnya jadi muncikari aja sekalian. Nipu cewek-cewek polos untuk diumpankan ke laki-laki bejat. Kayak yang dulu kamu dan yang lain lakuin supaya Verdi bisa nidurin pacar-pacarnya tanpa kesulitan."
Renard benar-benar terperangah. Hari ini, dia melihat sisi lain dari sang kekasih. Siahna yang tangguh dan memberikan perlawanan dengan berani. Bella tampak kesulitan bicara, terutama setelah mendengar kata "muncikari" yang diucapkan Siahna dengan artikulasi jelas.
"Aku kan udah bilang, kamu nggak boleh lagi masuk ke sini," Renard menyela. Dia melewati mantan istrinya, berdiri di sebelah kanan Siahna. Sebenarnya, Renard sangat ingin memegang tangan kekasihnya, menunjukkan dengan jelas keberpihakannya. Namun lelaki itu tahu dia harus menahan diri untuk sementara.
"Aku nggak boleh masuk tapi dia boleh masak di sini?" Tangan kiri Bella teracung ke arah Siahna. "Kalian ada hubungan apa, sih? Kalian selingkuh di belakang Kevin, ya? Apa..."
"Nggak usah repot-repot mikirin plot yang masuk akal untuk tuduhanmu itu," sergah Siahna tajam. "Nggak semua orang demen selingkuh. Nggak semua perempuan yang ada dekat Renard, bakalan tertarik sama dia. Tapi, kalaupun ada yang naksir Renard, kurasa itu bukan urusanmu. Kalian udah resmi cerai, kan?"
Wajah Bella sudah semerah tomat matang. Kemarahan menyala-nyala di matanya. Renard menyergah, "Baiknya kamu pulang aja sekarang. Kamu udah bikin Gwen takut."
Tanpa menunggu jawaban Bella, Renard meninggalkan dapur dengan langkah cepat sembari menarik tangan mantan istrinya. "Jangan pernah lagi masuk ke rumah ini, Bel."
"Aku juga nggak mau, tapi nggak ada orang di depan. Aku cuma nganterin Gwen..."
"Biasanya juga kamu cuma ngedrop di depan. Dan memang nggak pernah ada yang sengaja nungguin Gwen di teras. Toh, pintu depan dibuka. Jadi, Gwen bisa masuk ke dalam rumah." Renard melepaskan tangan Bella. Namun lelaki itu terus melangkah menuju pintu gerbang. "Jangan sengaja nyari gara-gara sama Siahna, Bel. Kamu nggak akan mau ketemu Kevin kalau dia tau. Sori ya, bukan nakut-nakutin."
Bella berdiri dengan sikap menantang. "Kamu memang sengaja nakutin, kok!"
Renard ingat, di masa lalu, kadang dia sengaja mencium Bella ketika perempuan itu marah seperti saat ini untuk meredakan emosinya. Dengan wajah memerah karena menahan kesal, Bella memang terlihat cantik. Namun, saat ini, Renard cuma ingin perempuan itu segera pergi. Andai bisa, dia tak ingin melihat wajah Bella lagi selamanya. Bagaimana bisa cinta yang dulu begitu menggelora, kini mengempis dan berganti rupa menjadi perasaan muak?
"Pulang dan jangan pernah balik lagi ke sini. Kamu cuma berhak nganterin Gwen sampai depan pintu pagar. Kalau kamu berani masuk lagi, aku..."
"Kenapa nggak kamu aja yang jemput Gwen di rumah?" sergah Bella.
"Supaya kamu bisa maksa aku tetap di rumah dengan macem-macem alasan? Harus benerin keran yang rusak dulu, minta dipijat karena sakit kepala, lampu yang tiba-tiba ngadat tiap Sabtu pagi, dan beribu alasan untuk bikin aku merasa bersalah? Kalau kamu keberatan nganterin Gwen ke sini, aku bisa kok minta tolong sama Kevin. Dia berkali-kali nawarin tenaga untuk jemput Gwen supaya aku nggak ngeliat kamu lagi," dustanya dengan santai.
Pupil mata Bella melebar. "Kenapa kita jadi kayak gini sih, Re? Kamu jadi benci banget sama aku. Ke mana Renard yang dulu cinta mati sama aku?"
"Kamu yang ngebunuh Renard versi itu, Bel. Kamu yang bikin aku berubah jadi kayak sekarang. Makasih, omong-omong. Karena aku jadi orang yang lebih baik."
"Re..." tangan kanan Bella terangkat, hendak menyentuh wajah Renard. Lelaki itu mundur dua langkah.
"Pulanglah, Bel. Pacarku nggak bakalan suka kalau ngeliat kamu nyentuh kulitku."
"Kamu punya pacar?" Suara Bella meninggi.
"Iya. Kenapa? Aku harus melanjutkan hidup, kan? Kita udah cerai setengah tahunan, wajar kalau aku ketemu sama orang lain. Kamu juga boleh bareng sama orang yang cinta mati sama kamu," sarannya. "Kurasa, kita bisa hidup bahagia dengan cara masing-masing. Cuma Gwen yang bikin kita terhubung. Untuk Gwen, kita bakalan jadi versi terbaik masing-masing supaya dia bisa dibesarkan tanpa merasa kekurangan."
Renard sengaja melebarkan pintu pagar. Bella tidak langsung beranjak, masih menatapnya dengan tak percaya. "Kamu beneran udah move on, ya? Udah ketemu orang lain?"
Saat itu Renard merasa sudah membuat kekeliruan besar karena pengakuannya tadi. Dia bermaksud membungkam Bella sekaligus menjauhkan perempuan itu dari hidupnya. Renard salah perhitungan karena Bella justru tampak tidak terima jika dia sudah melanjutkan hidup. Seharusnya, Renard lebih paham dibanding siapa pun, bahwa Bella tak seharusnya diberi tahu jika dia sudah menemukan perempuan yang dihujaninya dengan cinta. Tadi dia lepas kontrol karena terlalu kesal pada sang mantan.
"Bel, itu nggak penting untuk dibahas. Karena fokus kita cuma Gwen. Sekarang, kamu baiknya pulang. Aku mau bujukin Gwen karena dia tadi nangis kencang, ketakutan gara-gara kamu marahin Siahna."
Bella yang sudah melangkah, berhenti dan berbalik. "Kenapa kesannya aku ini jahat, ya? Aku nggak marahin Siahna, Re! Kami saling..."
"Pulanglah!" tukas Renard dengan nada final. Lalu, untuk pertama kalinya dalam hidup, lelaki itu menutup pintu pagar meski tamunya masih mematung di depannya. Pengusiran yang terang-terangan itu belum pernah dilakukan Renard pada siapa pun. Apa pun pendapat Bella, dia tak peduli. Dia sudah melepaskan ikatan di antara mereka sebagai pasangan. Renard tak mau Bella terus mengusik hidupnya. Setelah ini, mungkin dia harus bicara dengan Kevin.
"Sweetling, kamu baik-baik aja?" tanya Renard dengan nada cemas begitu memasuki dapur. Siahna sedang membungkuk di depan cetakan puding yang sudah terisi penuh. "Kamu lagi ngapain?"
"Lagi ngecek, apa ada lapisan yang 'bocor'. Ini kan tiga lapis. Kalau ada yang nyampur, berarti tadi masih ada yang belum cukup keras waktu aku nuang lapisan berikutnya. Kalau..."
Renard menarik Siahna ke dalam pelukannya. "Aku baru nyadar kalau kamu suka nyerocos untuk nutupi perasaanmu. Maaf ya, tadi aku ketiduran. Aku nggak tau Bella datang."
Siahna menjawab dengan suara pelan. "Biasanya aku nggak nyerocos, kecuali di depan kamu. Karena aku kewalahan sama semua emosi yang kurasain," akunya. "Re, ntar Gwen sama Riris ngeliat kita." Meski bicara seperti itu, Siahna akhirnya balas memeluk Renard. "Kamu jangan merasa bersalah. Aku harus bisa bela diri sendiri."
Renard mengecup rambut kekasihnya. "Aku tau kamu bisa. Bella ngomong apa?"
Tawa pahit Siahna bergema di telinga Renard. "Bukan hal baru. Ngungkit-ngungkit cerita lama. Trus minta aku jangan pernah lagi ke sini, jauh-jauh dari kamu dan Gwen."
"Jangan diturutin, itu saran gila." Renard mengetatkan pelukan.
"Nggak akan."
"Tapi kamu harus sabar ya. Karena Bella nggak mungkin lenyap gitu aja dari hidupku. Kita hadapi sama-sama."
"Aku tau." Siahna melonggarkan pelukan, menengadah untuk menatap Renard. "Kamu lapar, nggak? Aku iya. Kayaknya adu mulut sama Bella cukup nguras tenaga dan bakar kalori."
Renard menepuk pipi kanan Siahna sambil tersenyum lebar. "Aku juga. Efek nenek-nenek seksinya udah ngilang."
Ketika Siahna menyiapkan meja makan, Renard menjemput putrinya dari kamar Miriam. Gwen sudah tidak menangis tapi wajahnya masih memerah. Anak itu langsung menghambur ke pelukan ayahnya. "Mama mana, Pa?"
"Mama udah pulang, Sayang." Renard menggendong putrinya, berjalan meninggalkan kamar. Gwen memeluk leher ayahnya, sementara Riris berjalan di belakang Renard.
"Aku nggak suka Mama marahin Tante Nana, Pa. Tadi Mama galak banget."
Tangan kanan Renard mengelus punggung putrinya. Dia tak bisa berkomentar netral karena Gwen melihat sendiri apa yang dilakukan Bella. Reaksi atau opini putri tunggal mereka tidak pernah dipikirkan mantan istrinya. Ketika emosinya terpicu, yang dipikirkan oleh Bella hanyalah melepaskannya. Entah berapa ratus kali Renard mengingatkan Bella agar belajar menahan diri. Namun sarannya diabaikan. Sebelum mereka bercerai, Bella masih saja meledakkan emosinya pada Renard di depan Gwen tanpa pikir panjang.
"Gwen mau makan juga, nggak? Tante Nana lapar, nih." Siahna langsung menyapa Gwen begitu mereka memasuki ruang makan. Gwen merayap turun dari gendongan sang ayah. Bukannya menjawab pertanyaan tantenya, anak itu memilih memegang tangan kiri Siahna sambil mendongak.
"Tante Nana nggak apa-apa?"
Siahna berjongkok dengan buru-buru. "Nggak apa-apa, Sayang."
"Kalau Tante Nana sedih, sini kupeluk."
Renard terkelu menyaksikan putrinya yang sok dewasa itu mencoba menghibur Siahna. Perempuan itu tertawa kecil sebelum membiarkan dirinya dipeluk Gwen. "Tante Nana langsung hepi gara-gara Gwen, nih," balas Siahna.
Hari itu Renard makin paham, bahwa jalan berliku hubungannya dengan Siahna memang nyata adanya. Selama ini, walau pernah mengutarakan soal itu, Renard tidak pernah memikirkannya dengan serius. Namun hari ini mata Renard terbuka. Bella bisa menjadi sandungan besar jika tidak segera diatasi. Masalahnya, Renard kehabisan akal jika sudah berkaitan dengan Bella. Jika tidak, mustahil dia memilih untuk bercerai.
Renard lebih suka menyembunyikan kecemasannya. Dia harus fokus menyingkirkan satu demi satu rintangan yang ada di hadapan. Sembari berkali-kali mengingatkan Siahna agar tetap bertahan. Karena semua tidak ada artinya jika perempuan itu menyerah di tengah jalan.
Status Siahna akhirnya mendapat kejelasan setelah hakim mengabulkan gugatan cerai yang diajukan Kevin. Bagi Renard, itu adalah satu langkah maju untuk mereka. Setelah ini, pelan-pelan dia akan memberi tahu kedua kakaknya tentang hubungan dengan Siahna.
Lelaki itu tidak menutup mata, bagi dunia hubungan asmaranya dengan Siahna dianggap tak biasa. Kedua kakaknya pun pasti bereaksi keras, terutama Petty. Kendati demikian, semua itu takkan bisa menyurutkan langkah Renard. Dia mencintai Siahna, dengan kadar yang terus bertambah setiap harinya. Dia juga mencintai Kevin, apa pun kondisinya.
Karena itu, dia tidak menolak rencana Kevin mengadakan acara makan malam di rumah keluarga mereka. Siahna yang memesan makanan dari salah satu restoran karena memang tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk memasak. Sang adik mewanti-wanti agar kakaknya menyiapkan makanan dalam jumlah banyak karena dia mengundang beberapa teman.
Malam itu, Kevin mengajak serta Razi dan memperkenalkan si perancang pada Renard untuk pertama kalinya. Malam yang seharusnya berjalan tenang itu terpatahkan karena ternyata "teman" yang dirahasiakan Kevin adalah Petty dan Arleen yang datang bersama suami masing-masing. Kevin membuat suasana menjadi dramatis ketika dia berbicara dengan tenang di depan semua orang.
"Aku dan Siahna mau ngasih tau, kami udah resmi cerai." Lalu, dia menunjuk pria di sebelah kirinya. "Ini Razi, pasanganku selama lima setengah tahun terakhir," katanya dengan suara jernih, memicu tangis Arleen dan makian Petty.
Gimana? Suka ending-nya? Hahaha kabur dulu, ya. Peace.
Lagu : No Matter What ( Boyzone)
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - @kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - @purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - @awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - @coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - @matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top