3. Sora, The Girl Who Sings Without Melody
"Dachigo manggajyeodo na. Mwol midgo beotineun geoya"
"Aku patah hati dan hancur. Tak tahu apa yang membuatku bertahan."
🎵🎵🎵
Dinda, Tino, Aryo, Rina.
Ratusan nama sudah pernah aku tuliskan, menghiasi cangkir kopi sekali pakai yang beberapa menit kemudian akan sampai di tangan pelanggan. Bagian yang paling kusukai dari pekerjaan ini tentu saja melihat mereka tersenyum saat membaca sebaris kalimat motivasi yang juga kububuhkan dengan tulus, hasil malam-malam panjang yang kuhabiskan bersama ponsel, membuka twit-twit lucu untuk mengusir insomnia.
"Silakan dinikmati, semoga harimu menyenangkan," kataku setelah selesai menulis nama Langit dan Rinjani di kedua cangkir kopi terakhir.
Pemuda berambut ikal di hadapanku menyambutnya dengan senyum ramah. Ia lalu berpaling tanpa kata, sedangkan aku masih terpaku pada sosoknya hingga pemuda itu menghampiri seorang gadis yang menunggu di balik pintu kaca. Lantas menyerahkan salah satu cangkir kopi itu dan berlalu seraya berangkulan. Si gadis menampilkan wajah cemberut, sok jual mahal. Tampak menggemaskan.
Tiga bulan pertama yang menyenangkan, dari kafe ini aku bisa melihat berbagai macam drama kehidupan secara langsung. Seperti menonton ftv kejar tayang. Kisah cinta yang tak ada habisnya.
"Pokoknya aku mau pulang," gerutu seorang gadis berseragam putih abu-abu.
Di kursi seberangnya, pemuda lain dengan seragam serupa menyahut lemas.
"Tapi kita baru aja sampai. Tadi, kan, kamu yang mau ke sini."
"Udah gak mood lagi."
"Ya udah, terserah."
Begitulah sayup-sayup pertengkaran keduanya sampai ke telingaku.
Yah, yang seperti itu cukup menegangkan, tapi aku lebih suka suasana manis seperti dua orang yang memakai baju pasangan di ujung ruangan. Mereka tak banyak bicara, seolah bisa bertelepati lewat mata saja. Sejak tadi tampak asyik saling menatap, bergenggaman tangan di atas meja yang menyajikan dua gelas moka dingin.
Seperti sebuah iklan yang menjadi jeda tayangan televisi saat sedang seru-serunya,
lonceng yang berada di atas pintu samping berbunyi menarik perhatianku, diikuti suara seorang pemuda kemudian.
"Maaf, gue telat."
"Gak masalah," sahutku.
Tampaknya akan ada satu lagi hal menyenangkan dari bekerja sambilan di kafe ini. Ahda, pemuda itu cukup menarik simpatiku sejak ia mulai bekerja seminggu yang lalu. Menggantikan si gendut Kayla yang baru menikah.
Jujur saja aku cukup terkejut saat hadir di pernikahannya dan melihat betapa tak serasinya pasangan itu. Meski wajah Kayla tak bisa dibilang jelek dengan mata besar yang serupa boneka, ia tetap terlihat tak seimbang dengan pemuda tampan yang kini berstatus sebagai suaminya. Maksudku, hidup Kayla sangat beruntung, katanya dia berhasil menemukan pemuda itu hanya lewat sebuah aplikasi.
Awalnya aku tidak percaya, tapi sepertinya aplikasi itu benar-benar ajaib. Sempat beberapa kali aku mengintip Kayla yang membuka aplikasi itu dan tampak antusias menjawab beberapa pertanyaan. Lalu layar berubah menampilkan peta seperti yang sering kulihat di maps. Sampai di sini aku sangsi, sebab biasanya saat pergi ke suatu tempat dan menggunakan maps, aku sering tersesat.
Namun, tak bisa kupungkiri juga bahwa aku sangat bersyukur dengan kepergian Kayla, tak hanya karena kesal dengan sikapnya yang sering bertindak sok senior hanya karena dia sudah bekerja di sini bertahun-tahun, tapi juga karena ia membuat seorang malaikat datang ke hidupku. Siapa lagi kalau bukan Ahda.
Gaji yang lumayan, kegiatan yang menyenangkan, dan seseorang yang bisa dijadikan gebetan. Ah, ini memang pekerjaan paling keren. Aku mungkin bisa bekerja di sini selamanya!
Musik mulai terdengar dari panggung kecil di samping meja bar, seiring dengan cahaya mega yang marembes masuk lewat jendela kaca, menambah kesan romantis. Kafe ini memang menyediakan fasilitas live music menjelang malam hari. Aku meletakkan dagu pada dua telapak tangan yang bertumpu di atas meja. Menikmati lagu Stay dari blackpink dengan musik akustik yang dibawakan si penyanyi. Ikut bersenandung dalam hati. Sedangkan mataku tak bisa beralih dari Ahda yang sedang tersenyum ramah pada pembeli. Menularkan juga senyum di wajahku.
Meski hanya bisa menatapnya diam-diam, aku tetap merasa senang. Musik berakhir, menyadarkanku bahwa sift kerjaku akan segera selesai juga. Bukannya merasa lega karena bisa segera pulang ke rumah, aku malah resah karena harus meninggalkan sepenggal hatiku di sini.
"Lo gak pulang?" tanya Ahda saat aku tetap berada di tempat setelah melepaskan celemek berwarna cokelat dengan motif biji kopi yang menutupi separuh seragam kafe ini.
"Sebenarnya, di rumah gue gak ada orang, gue ... takut," jawabku sedikit berbohong, sebab meski benar tak ada orang yang menungguku di rumah karena ayah dan ibuku sedang pergi ke luar kota, aku tidak pernah merasa takut sendirian. "Gue mau di sini sebentar lagi."
Ahda terdiam sejenak, helaan napas lolos dari bibir merah yang sepertinya tak pernah terjamah nikotin itu. "Gue malah gak bisa pulang cepet karena terlambat hari ini."
"Emangnya lo perlu pulang cepet?"
"Iya, gue ada urusan sebenarnya."
"Mahasiswa kedokteran emang sibuk, ya." Aku tertawa, berusaha sedikit tebar pesona.
"Yah, tadi abis ikut kelas tambahan, sih. Terus janji yang abis ini juga penting banget."
"Oh ya?" Pikiranku berkecamuk, mencoba menimbang-nimbang apakah ini kesempatan yang tepat untuk menjadi pahlawan bagi Ahda dan bisa jadi peluang menarik perhatian pemuda itu. "Lo ... mau gue bantu?" tanyaku kemudian.
"Eh? Bantu gimana?"
"Lo tadi dihukum tambahan satu jam kerja, kan? Biar gue yang gantiin."
"Lo serius?"
Ahda mengenggam tanganku. Ini jarak terdekat yang pernah terjalin di antara kami. Aku hanya berharap jantungku tak terdengar lebih nyaring dari lagu yang mengalun di panggung.
"Iya, kan, gue juga lagi males pulang," ucapku yang kemudian memakai lagi celemek cokelat yang tadi teronggok di atas meja.
"Makasih banget, Sora."
Matanya berbinar. Aku merasa berhasil. Pertama, ambil dulu hatinya, baru bisa mendapatkan cintanya. Sebenarnya aku juga tak punya pengalaman apa pun soal cinta. Perasaan seperti ini baru pertama kali kurasakan. Bahkan mungkin, Ahda adalah cinta pertamaku. Kuharap taktik ini akan berhasil.
"Ya udah, lo siap-siap sana."
"Oh iya, tunggu sebentar."
Pemuda itu bergegas menuju mesin kopi, mengambil biji kopi dan mengolahnya dengan cekatan. Ia tersenyum setelah memindahkan sejumlah uang dari dompetnya ke dalam kotak kasir. Lalu seperti biasa menulis di cangkir itu tanpa ragu.
"Ini hadiah buat lo, sebagai tanda terima kasih."
Kutatap cangkir kopi itu, namaku tertulis dengan cantik diiringi kata-kata yang berhasil mengundang efek dopamin memenuhi seluruh relung jiwa.
Findia Soraya, terima kasih sudah jadi malaikat penyelamat hari ini.
"Besok gue kasih hadiah tambahan," katanya, mengembalikan lagi pikiranku yang hampir terbang ke awang-awang.
Meski sebenarnya tak suka kopi, tapi intuisi menuntutku untuk segera menyesap cairan berwarna kecoklatan bercampur susu itu. Sedangkan Ahda kembali sibuk sendiri. Merapikan celemeknya, lalu masuk dengan terburu-buru untuk mengganti seragam dengan baju biasa lagi.
Pintu kafe kembali terbuka, seorang gadis cantik dengan rambut sepinggang berwarna cokelat gelap menghampiriku.
"Selamat datang, mau pesan apa?"
"Aku bukan mau pesan."
Dahiku mengernyit bingung. Berbagai dugaan berseliweran. Mungkin dia salah satu anak alay yang cuma datang ke kafe untuk berselfi ria demi instastori, atau mahasiswi akhir bulan yang numpang wifi untuk tugas yang dikejar deadline. Namun, aku tak bisa memakluminya, bisa rugi kafe ini jika orang-orang seperti itu berkumpul tanpa dicegah.
"Maaf, kalau gak mau pesan, pintu keluar ada di sana," ujarku dengan tegas.
Gadis itu kembali membuka mulutnya hendak menyahut, tapi suara lain terdengar lebih dulu dari belakangku.
"Udah lama, Mel?" tanya Ahda yang sudah kembali mengenalkan kemeja santainya.
"Kalian saling kenal?" tanyaku tak bisa menahan diri.
Ahda mengangguk antusias, seolah senang karena bisa mengenalkanku dengan gadis itu. "Ini Melly, dia pacar gue, kami ada janji hari ini kayak yang tadi gue bilang."
Kopi yang tersisa di lidahku mendadak berubah rasa, tak lagi meninggalkan manis.
Keduanya saling melempar senyum, tepat saat lagu kesekian di live music itu berakhir. Lalu tanpa pamit lagi, mereka berjalan menuju pintu dengan tangan yang bergandengan erat.
"Apa-apaan ini?"
Ini bahkan bukan sekedar cinta pertama yang buruk. Ini cinta bertepuk sebelah tangan yang mengenaskan. Aku menatap telapak tanganku, membiarkannya bergerak sendiri, hanya menggapai angin. Diam-diam, tanpa suara. Seperti aku yang menyanyi tanpa irama. Seperti perasaanku pada Ahda yang tak disambut.
🎵🎵🎵
Niss's Note
Pernah gak kalian patah hati bahkan sebelum sempat memiliki, kayak Sora?
Apa pun kisah patah hati yang pernah kalian alami, jangan pernah berhenti untuk percaya pada cinta, wkwk. Sampai ketemu di part selanjutnya, pasti udah bisa nebak dong ya kita bakal ketemu siapa nanti?
Eh, tapi biar gak kelamaan nunggu Lovesick Girls yang baru update lagi Rabu depan, mending mampir dulu di lapaknya tokohfiksi_. Ada si Rinjani dan Langit yang tadi beli kopi, hihi.
Penasaran, kan, itu ceritanya tentang apa? Sini baca cuplikannya dulu.
Similir angin kian memeluk para insan yang tengah menghabiskan waktu pada malam ini. Menemani keluarga, atau mungkin menemani para bintang yang tengah bercerita melalui kedipnya. Ah, kisah yang ditorehkan para bintang selalu menarik dan dituntut mengingatnya kala kisah itu berubah menjadi kenangan.
Sama halnya dengan Langit, entah sudah berapa ribu bintang yang bercerita padanya. Sekarang, dalam perjalanan ini, bintang menuntutnya untuk mengingat salah satu kisah yang menyenangkan bersama temannya.
Kala itu, bermain bola atau tebak-tebakkan menjadi primadona di hidup Langit dan temannya. Sekali bolanya ditendang keras dan mengenai wajah temannya, dalam sekejap dia menangis atau berubah menjadi kucing garong yang siap menerkam Langit.
"Anjir, Lo! Kalo muka gue kenapa-napa gimana?"
"Yaelah, tinggal vermak pake setrikaan juga rapi lagi tuh muka!"
"Lo pikir muka gue pakaian?"
"Bukan, tapi sablon."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top