14. The Nostalgic Place

"No diamond rings that set in stone. To the left, better left alone."

"Tidak ada cincin berlian yang terpasang.
Lebih baik dibiarkan saja."

🎵🎵🎵

Tyssa merinding saat melewati pintu karavan. Padahal saat ia melirik remote AC, layar kecilnya menampilkan angka dua puluhan derajat. Cukup normal, seperti biasa. Satu-satunya yang tampak berbeda adalah kursi kemudi yang sekarang ditempati oleh Ochi. Sementara Djenar duduk bersandar dengan tangan bersedekap. Mata gadis itu tampak terpejam dengan penutup mata biru bergambar lumba-lumba yang menempel di dahi.

Tadinya Tyssa pikir teman-temannya itu akan menyambut dengan heboh kedatangannya, tapi yang ia temui hanya kesunyian.

"Kenapa, nih?" tanya gadis itu tak bisa menahan diri.

Sora hanya melirik kemudian mengendikkan bahu dengan senyum seadanya. Ketika ia mengalihkan pandangan pada Ochi, gadis itu malah membuang muka, pura-pura tak melihat. Ochi merasa bersalah, tapi ia sendiri bingung hendak bereaksi bagaimana.

"Djen," panggil Tyssa pada Djenar yang biasanya selalu bisa membaca keadaan. Mungkin ia bisa dapatkan pencerahan dari gadis itu.

Namun, Djenar tak menyahut. Gadis itu bahkan lebih memilih menurunkan penutup matanya. Pertanda tak ingin diganggu.

"Jadi, kita lanjut pergi, nih?" tanya Ochi sambil mengambil ponselnya. Tak mau suasana kian tak nyaman.

Tyssa mengembuskan napas lega. Setidaknya Ochi masih mau mengajaknya bicara meski ia sendiri tak mengerti di mana letak salahnya. Namun, aplikasi Lovacation yang terbuka kembali mengingatkan mereka soal notifikasi kemarin. Meski belum ada yang secara terang-terangan membahasnya.

"Berangkat aja, Chi," jawab Sora lebih dulu.

Wajah Ochi masih dipenuhi keraguan. Ia lantas melirik Djenar. "Djen, lo yakin nih gue yang nyetir?"

Yang ditanya tak mengucap sepatah kata pun. Hanya jari-jarinya yang diutus sebagai jawaban, memberikan gestur oke. Mobil mulai menggeram pelan, perlahan memutar roda-roda di bawah sana. Membawa mereka melaju meninggalkan tempat itu.

Suasana masih sama, kiri-kanan jalan penuh rumah-rumah penduduk dengan cat berbagai warna. Semakin menjauhi kota, jalanan kembali sepi dan menyempit, tak lagi seluas jalan utama. Kota kecil yang tampak damai menyambut mereka, dengan kelengangan lintasannya. Entah ke mana perginya para mobil yang tadi mengiringi, hilang saat Ochi membelokkan karavan mengikuti jalur yang tertera di aplikasi.

"Kalian ingat notifikasi kemarin gak?" tanya Tyssa mengemukakan rasa penasarannya.

"Yang mana?"

"Yang soal 'perubahan berhasil', maksudnya apa coba?"

"Seneng banget bahas perubahan," celetuk Djenar tiba-tiba. Matanya masih berlapis kain penutup, sementara bibirnya menyunggingkan senyum miring. "Oh iya, sama dong kayak lo yang udah mengubah rencana kita."

Dari sini, Tyssa akhirnya mendapat keyakinan. Rupanya gadis itu kesal pada pilihan yang dibuatnya. Hanya ada dua pilihan saat ini, meminta maaf atau membela diri. Jika ia memilih yang pertama, kemungkinan masalahnya akan sedikit teratasi. Hanya saja, Tyssa merasa tak punya alasan yang cukup kuat untuk melakukan itu.

"Kok, lo ngomongnya gitu sih Djen?" tanyanya yang akhirnya mengambil pilihan kedua.

"Emang gitu, kan, kenyataannya?"

"Ya, terus kenapa? Gak ada yang salah dari itu."

"Tapi itu bukan rencana kita."

"Hak gue dong maunya gimana."

"Oh gitu, capeknya sama-sama, tapi lo mau suka-suka lo aja gitu?" Djenar mengubah posisinya, tak lagi bersandar. Gadis itu menengok ke arah Tyssa sambil membuka penutup matanya. Mata tajam Djenar terlihat berkilat saat balik menatap mata belo milik Tyssa.

"Djen, Tyss, udah." Ochi yang sejak tadi fokus menyetir karena ini pengalaman pertamanya membawa mobil mahal pun merasa tak bisa diam saja menyaksikan pertengkaran kedua rekannya.

Padahal biasanya Ochi yang selalu ribut dengan Djenar, dan Tyssa selalu bertindak sebagai mediator karena keahliannya dalam manajemen konflik setelah cukup lama menekuni organisasi. Namun, hari ini Ochi percaya, masalah datang pada tiap orang tanpa terkecuali. Mereka yang sepertinya dengan mudah menyelesaikan masalah orang lain, bukan berarti bisa menyelesaikan masalah sendiri semudah itu juga.

"Ini hidup gue, meski pun kalian bantu, kalian gak ada hak buat ngekang gue, dong." Tyssa menatap Ochi dan Sora bergantian, lalu kembali lagi pada Djenar. "Lo gak capek ya, Djen, ngatur-ngatur hidup orang?" Meski samar, Tyssa masih bisa menangkap gerak-gerik Djenar yang tampak begitu tersentak dengan ucapannya, tapi Tyssa tak menyesal mengucapkan itu. Baginya Djenar sudah kelewat ikut campur. "Kalo tau gini, gue gak usah ngelakuin hal konyol ini, sekalian juga gak usah ikut liburan."

Tak mau Tyssa melihat sinar kekecewaan di matanya, Djenar buru-buru berpaling seraya berucap, "Turun aja kalo gitu."

"Djenar!" seru Sora disertai gelengan, sementara tangannya meraih tangan Tyssa dan menggenggamnya agar tak pergi.

Tyssa berdecih pelan. "Oke, gue turun, kita selesai."

"Tyssa, lo turun gue turun!" Ochi mengancam, Tyssa tak bisa melihat keseriusan di wajahnya karena gadis itu tetap memandang jalanan di depan. Karavan sendiri tak berkurang kecepatannya sedikitpun hingga tak memungkinkan Tyssa untuk meninggalkan mereka.

"Guys, please. Selesaikan baik-baik," ucap Sora setelah menghela napas. Wajahnya tampak memohon penuh harap. "Djen, di mana letak salah Tyssa saat dia mau lakuin sesuatu untuk mengakhiri hubungannya dengan baik? Balas dendam bukan cuma melakukan hal yang sama ke orang yang ngelukain kita, tapi bikin dia sadar kalo dia salah aja udah cukup."

Hening. Djenar menatap gelang yang melingkar di lengannya. Lambang persahabatan mereka, yang baginya lebih berharga dari cincin berlian sekalipun. Ya, jika cincin yang melingkar di jari manis melambangkan komitmen antara pasangan, gelang yang menghias lengannya jadi janji antar sahabat. Ia hanya ingin teman-temannya mendapatkan yang terbaik dan meninggalkan semua perasaan sedih itu. Sesuai rencananya. Ia kira ketiga gadis itu paham akan maksudnya. Sementara Sora mengalihkan fokusnya pada Tyssa yang berpaling, sibuk memandang jalanan.

"Tys, kenapa Djenar dan kami mau capek-capek ngelakuin ini? Karena kami peduli sama lo, kita udah rencanain ini sama-sama. Oke, gak masalah sama tindakan impulsif lo yang tiba-tiba lari nemuin Zian. Tapi hadiah itu apa? Gak mungkin simsalabim langsung ada di tas lo, kan? Lo rencanain itu sendiri tanpa bilang-bilang. Itu yang bikin Djenar ngerasa lo gak percaya sama kami, lo gak jujur sepenuhnya."

Tyssa tak menengok ke arah Sora, tapi gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya yang hampir bergetar, bayang wajahnya terpantul jelas di kaca jendela karavan.

"Itu, kan ...."

Kata-kata Ochi menggantung, mengundang rasa penasaran para gadis yang tengah bersitegang. Karavan itu melambat seiring fokusnya yang teralihkan. Tak lagi ingat bahwa Tyssa mungkin akan nekat melompat. Benar saja, gadis itu malah ikut terkagum pada apa yang kini dilihatnya. Di sisi kanan, kerumunan orang terlihat, lengkap dengan deretan payung pelangi dan terpal sebagai pelindung langit. Motor dan mobil pun berjejer rapi di ujung lapangan.

"Wah, kalian masih ingat?" tanya Sora saat melihat sebuah tugu kecil nan sederhana, berbentuk bongkahan batu yang di puncaknya dibubuhi marmer hitam dengan tulisan 'Lapangan Vriendschap.'

"Pasar malam!" seru Djenar dan Tyssa berbarengan, mereka jadi salah tingkah. Di sisi lain, Ochi dan Sora mengulum senyum. Mereka memang masih canggung, tapi setidaknya suasananya tak lagi sekaku tadi.

Tempat itu cuma padang rumput biasa, atau pasar malam pada hari ini, tapi dulu, tempat itu adalah lokasi yang mereka gunakan untuk festival sekolah, saat keempatnya sama-sama menjadi anggota OSIS dan menyarankan karya wisata yang mereka anggap monoton menjadi sebuah kegiatan amal. Di mana hasil festival waktu itu disumbangkan. Tentu saja atas ide Djenar, dengan eksekusi sempurna dari Tyssa, dan kepopuleran Ochi yang memengaruhi anak-anak lain agar setuju, serta tak ketinggalan doa Sora yang tiada henti menyertai.

Setelah lulus SMA dan hilang kontak, para gadis itu tak pernah lagi kembali ke tempat ini. Djenar pindah dan menetap di kota baru--tempat kampus mereka berada--, Sora yang pindah ke kota itu karena ingin kuliah sambil bekerja, Ochi yang memilih tempat itu karena kakaknya alumni sana dan Tyssa yang mengejar kampus impiannya. Mereka pergi ke tempat yang sama, tapi tidak lagi bersama-sama. Hingga patah hati kembali menyambungkan tali takdir keempatnya.

"Mau mampir bentar?" tanya Ochi dengan wajah penuh harap.

Gayung bersambut. Ketiganya mengangguk kompak. Pasar itu masih belum buka sepenuhnya. Hari masih sore dengan langit menjingga. Para pedagang baru bersiap, menata dagangan mereka sedemikian rupa agar tampak menarik.

Hal yang mengingatkan Sora pada hari festival sekolah yang juga menyibukkan mereka. Seperti pemandangan kali ini.

"Kalian ngerasa gak, sih?" tanya Tyssa mencicit kecil. "Lovacation, kok, bikin kita nostalgia terus, ya?"

Ketiga gadis itu dibuat tersadar bahwa yang dikatakan Tyssa memang benar, meski hal itu lebih dominan dialami Tyssa sendiri. Namun, hari ini mereka merasa ikut andil juga.

"Mungkin karena kita pilih perjalanan sama sahabat?" tebak Ochi dengan mata yang menjelajah tiap sudut tempat itu. Hingga ia tak menyadari bahwa salah satu di antara mereka tampak menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga seraya memilin bibir salah tingkah. Ochi lebih tertarik pada sesuatu yang dipajang salah satu pedagang. Matanya membulat sempurna dengan mulut terbuka dan pipi memerah. "Tunggu, liat itu ..." lanjutnya pelan.

Mereka menengok, dan tak perlu waktu lama bagi Ketiga gadis lainnya untuk menduplikat ekspresi serupa.

🎵🎵🎵


Kalian bisa tahu gak itu apa?

Sambil nebak-nebak, mending cari pencerahan sambil baca Kutunggu Kau Putus di akunnya tokohfiksi_

Liat dulu deh cuplikannya.

*
*
*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top