11. How Many Colors In Our Life

"But we were born to be alone. Yeah, we were born to be alone."

"Tapi kita lahir untuk menyendiri. Ya, kita dilahirkan untuk menyendiri."

🎵🎵🎵

Sampul-sampul novel yang ciamik dengan warna-warna pastel itu perlahan turun,  menampakkan mata ketiga gadis yang saling melirik. Sementara wajah mereka masih tertutup setengahnya, berpura-pura sibuk dengan barisan kata di lembar-lembar kisah itu. Padahal dalam hati saling bicara khawatir. Berbeda dari mereka, Tyssa tampak serius dengan buku di genggamannya. Tak terganggu meski ia dapat merasakan atmosfer berbeda dalam karavan malam ini.

Setelah Zian pergi, mobil itu memang bisa menyala lagi. Tapi Djenar merasa ragu untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya dengan persetujuan Tyssa dan yang lainnya, mereka sepakat untuk menunda satu malam lagi.

"Emang ya, kisah cinta yang indah itu cuma ada dalam novel." Tyssa mendengkus, perlahan menjatuhkan tubuhnya di tumpukan bantal. "Mungkin gak, sih, kita bisa masuk ke dunia ini?" tanya gadis itu sembari mengangkat novelnya yang berjudul Happy Ending itu tinggi-tinggi.

Djenar mengendikkan bahu. "Kalo gue lebih milih dia aja yang masuk ke dunia kita."

"Seandainya juga ada orang yang kayak Dilan di hidup gue," balas Sora menyebutkan tokoh utama di novel yang baru ia baca.

Mendadak mereka seolah mengadakan acara bedah buku. Berandai-andai memiliki kisah hidup yang menyenangkan. Sementara Ochi tak banyak bicara kali ini. Di benaknya tersemat perasaan bersalah karena dialah yang membawa Zian ke tempat mereka, secara tidak langsung mempertemukannya dengan Tyssa. Meski tadi sore sebelum pergi, Zian sempat memohon-mohon agar Tyssa mau bicara dengannya, tapi gadis itu menolak dengan tegas.

"Maaf ya, Tys," kata Ochi yang tak tahan lagi berpura-pura baik-baik saja.

Tyssa yang tahu apa maksud di balik ucapan Ochi langsung menyahut, "Jangan dibahas."

Sora dan Djenar kompak memilin bibir ke dalam. Berusaha tak ikut campur pada urusan kedua gadis itu.

Hening menjadi jeda pembicaraan mereka sebelum akhirnya Ochi kembali bersuara, "Kalau dibiarin gini aja, kayaknya gak bakal enak juga, deh, Tys."

"Bukan salah lo, kok." Tyssa menggeleng lemah, sebenarnya ia ingin memaksakan seulas senyum agar Ochi tak cemas, tapi wajahnya mendadak kaku, tak bisa membohongi hati sendiri.

"Tapi tetep aja." Seperti biasa, Ochi bersikeras. "Kayaknya lo bener-bener harus mengakhiri ini. Maksud gue, bener-bener dihadapi, bukannya ngehindar gini."

"Itu Djenar bisa, kok." Tyssa mengungkit lagi peristiwa kejar-kejaran mereka karena Djenar yang tak ingin berbicara dengan Riko tempo hari.

"Kalo Djenar mah, emang dia yang udah mati rasa."

Gadis yang dibicarakan itu terdiam. Entah mengapa hatinya meragu. Sebab hari itu, ia hampir saja mengalah. Namun, Djenar segera mengalihkan pikirannya, meletakkan kembali buku di genggaman itu ke dalam rak. Lalu menarik tangan Tyssa untuk kembali duduk, menghadap penuh ke arahnya sehingga mereka berempat duduk melingkar.

"Gue punya rencana," ucap gadis yang sejak kecil bercita-cita menjadi event organizer itu. Mata Djenar mengerling dengan sebelah sudut bibir yang terangkat tinggi. "Ayo menciptakan karma."

Tyssa memandang Sora dan Ochi bergantian, tapi yang ia temukan hanya kerutan di dahi mereka. Menandakan bahwa kedua gadis itu juga tak tahu menahu pada rencana Djenar kali ini.

Tak perlu diminta, Djenar menjelaskan detailnya. Dari awal hingga akhir dengan mata berbinar dan semangat berapi-api, seolah ini adalah masalahnya sendiri.

"Masa harus kayak gitu, sih?" Tyssa mengernyit sangsi saat Djenar menyelesaikan topiknya.

"Menurut gue bener juga, kok, apa kata Djenar." Ochi yang sejak tadi tak tahan melihat sendu di wajah Tyssa memilih setuju. "Zian perlu tahu apa yang lo rasain," tambahnya meski sedikit merasa bersalah karena biar bagaimanapun pemuda itu adalah penyelamat mereka kemarin.

Bimbang masih bertandang di hati Tyssa, tapi melihat kesungguhan di manik mata teman-temannya, mau tak mau kepalanya mengangguk juga. Menciptakan seri yang tambah kentara di wajah para gadis itu.

Ochi merebut buku Sora dan Tyssa, hingga membuat kedua gadis itu sedikit tersentak.  Lantas bergerak ke sisi Djenar untuk meletakkannya kembali di rak. "Sekarang giliran lo cerita, momen paling tak terlupakan yang terjadi antara lo sama Zian, kita bikin ini jadi lebih dramatis." Ia pun duduk manis, bersiap mendengarkan curahan hati gadis bersurai pendek di hadapannya.

"Hari itu ...," ucap Tyssa memulai kisahnya.

Mengulang kenangan tak terlupakan bersama pemuda yang pernah menjadi orang yang paling disayanginya itu. Dari hal remeh, sampai yang terasa istimewa. Tyssa sendiri bahkan tak menyangka bahwa dia bisa mengingat tiap partikel-partikel memori yang mereka buat bersama. Tak tinggal diam, Ochi ikut beraksi. Mencari-cari informasi yang sekiranya bisa membantu mereka melancarkan aksi lewat ponselnya.

"Oh!" seru Sora menghentikan kisah Tyssa. Jari telunjuknya teracung ke atas, meminta perhatian. "Kita pakai itu aja, hari jadian lo sama Zian." Melihat wajah Tyssa yang meminta alasan di balik pilihan itu, Sora kembali melanjutkan, "Cowok biasanya selalu lupa hal-hal lain, tapi dia pasti gak bakal lupa momen di mana dia merasa harap-harap cemas, takut ditolak, tapi juga berdebar gak sabar." 

Djenar melongo menatap Sora yang begitu antusias. Padahal setahunya, kisah asmara gadis itu tak jauh beda darinya, nol besar. Andai saja ia tak mengenal Sora sebelumnya, Djenar pasti akan menganggap saran seperti itu keluar dari seorang gadis yang sudah berulang kali merasakan jatuh hati.

"Tapi gue ragu, deh, ini gak bakal mudah." Tysaa mengerang frustasi mengingat dana yang mungkin akan diperlukan untuk misi ini, sebab hari jadiannya dengan Zian sempat diakui pemuda itu sebagai salah satu peristiwa yang membuatnya merasa dirampok dengan suka rela.

Sora tersenyum seraya mengenggam tangan Tyssa, sementara tangan yang lainnya bergerak cekatan merogoh tas selempang berwarna merah tua. Mengeluarkan dompet dan membalik posisinya ketika terbuka, sehingga beberapa lembar uang terjatuh diiringi suara recehan yang bergerincing.
"Sesuatu yang sulit itu bakal jadi mudah kalo sama-sama."

Djenar dan Ochi menduplikasi tindakan itu pula. Tanpa banyak diskusi, mereka sepakat menginvestasikan uang untuk patah hati.

Tyssa menggeleng cepat. "Itu, kan, uang kalian," katanya merasa tak enak hati.

"Anggap aja ini bayar tiket buat pertunjukan yang luar biasa antara Romeo dan Juliet versi Tyssa." Djenar meraih kotak kecil yang sejak tadi teronggok abai di sela-sela buku. "Oh iya, gue punya satu lagi."

Segera setelah kotak berwarna hitam yang sepertinya bekas tempat jam tangan itu terbuka, empat pasang gelang memancarkan pesonanya. Warna pink neon dan hitam berpadu, tak hanya itu, juga ada warna lilac, moka, dan mint yang tampak lucu bergabung bersama putih gading dan salem. Membentuk anyaman dengan motif panah segitiga yang terlihat estetik meski sederhana.

Saat salah satu di antara gelang itu tersodor padanya, Sora langsung tersadar bahwa itu adalah kumpulan tali prusik yang kemarin menyibukkan Djenar.

"Warna ini kalo dilihatnya cuma dari satu tali, pasti kesannya biasa aja, tapi setelah jadi gelang gini, jadi cantik, kan?" tanya Djenar seusai membagikan gelang-gelang itu. "Perlu proses biar sesuatu itu bisa punya makna. Kita dilahirkan sendirian, tapi bukan berarti kita harus menghadapi dunia ini sendiri juga."

Sora mengangguk diiringi senyum lebar. "Bener, Tys, lo gak sendirian. Ada kita di sini."

Tyssa memakai gelang itu lebih dulu. Sekarang jejak gelang merah pemberian Zian terhapus sepenuhnya. Digantikan oleh gelang persahabatan yang lebih manis.

"Kayaknya ini bakal lebih seru dari yang kita bayangin, deh," kata Ochi mengubah topik, gadis itu memperlihatkan layar ponselnya yang menampilkan maps.

Sebuah rute terlihat, memamerkan jalur menuju sebuah rumah makan yang tak terlalu jauh. Tempat yang sepertinya sesuai dengan kisah Tyssa. Keempatnya saling pandang dengan yakin, hingga sebuah notifikasi yang muncul kemudian merubah ekspresi mereka.

Lovacation: Perubahan berhasil, segera lanjutkan perjalanan.

🎵🎵🎵


Niss's Note

Kuharap kalian gak bosen😌 Jadi gimana, nih, bab kali ini? Kasih komentarnya, ya.

Jangan lupa juga mampir ke Kutunggu Kau Putus yang makin seru di lapaknya tokohfiksi_


Sekilas cuplikannya 👇👇👇


*
*
*


“Gi, aku enggak ada maksud untuk ninggalin kamu. Aku hanya takut, dia temanku sejak kecil. Dia sudah jadi bagian dari keluargaku, saudaraku,” terang Langit, menatap Anggita dalam tekuk lututnya.

“Tapi kenyataannya dia bukan keluargamu. Kamu itu dari awal emang gak pernah bisa ngertiin perasaan aku! Hampir semua orang yang kenal sama kita, khususnya kamu yang memiliki penggemar di luar sana. Mereka menjelekkan aku! Enggak pantaslah, bahkan sampai ada yang memanggilku—“ Anggita menghentikan ucapannya di ujung air mata yang telah hadir, bagaimana bisa ucapan yang ia anggap sudah dikubur dalam-dalam bisa bangkit begitu saja dari mulut mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top