g for gath

"Sung."

"Hm?"

"Abangku ke Seoul buat tes S2 di SNU. Dia ngajak ketemuan. Besok jam makan siang."

Spontan, Jisung langsung memalingkan wajahnya dari layar komputer. Melupakan segala baris HTML setengah jadi yang tersusun rapi di notepad. Matanya menatap Seungmin horor seolah Seungmin baru saja membacakan vonis hakim di pengadilan.

"HAH?!"

Dan tak lupa pula suara yang (tidak dimaksudkan) melengking tinggi. Seungmin hanya mengangkat alis, menatapnya datar abai akan reaksi Jisung yang hiperbolik. Lagipula wajar saja Jisung bereaksi demikian. Pertemuan itu nantinya bukan hanya pertemuan makan-makan biasa, melainkan juga melibatkan sesuatu yang lebih penting. Keluarga Seungmin ingin mengenal siapa orang yang menjadi pacar (pertama) putranya, wajar saja jika pihak keluarga mengirimkan utusan untuk menyelidikinya, bukan?

"Besok bisa?" Seungmin menatapnya serius. Detik itulah. Jisung tahu bahwa ia tak akan bisa kabur. "Ini penting banget, kalau kamu mau dapet restu Abang."

Tidak ada kuasa lain yang dapat dilakukan Jisung selain menghela napas. Bahunya turun. Ia tahu bahwa tidak akan ada yang dapat ia lakukan untuk menghindar (pun menghindar akan membuatnya terlihat semakin buruk). Dicobanya untuk mengambil langkah terbesar dalam hidupnya, demi cinta.

"Bisa kok, bisa. Tenang aja, Seungminnie."

.

.

.

Sejujurnya, Jisung hanya tahu kakaknya Seungmin dari cerita-cerita orang.

Dari Kak Chan (yang kebetulan masih di Seoul demi S2) yang notabene teman sekamar kakaknya Seungmin dulu, kakaknya Seungmin adalah orang yang lembut hati. Sementara testimoni dari Kak Minho (yang sudah menjadi manusia keset berkat kehidupan koas), kakaknya Seungmin seperti penjaga neraka berwajah manis. Entah yang mana yang benar, mungkin kakaknya Seungmin punya lebih dari satu muka untuk ditampakkan pada dunia. Suatu hari, Jisung memberanikan diri bertanya langsung pada Seungmin, membuat kekasihnya tersenyum penuh misteri.

"Abang baik, kok. Selama enggak dibikin kesel aja."

Jawaban itu sesungguhnya tidak membuat Jisung tenang. Kepalanya beralih fungsi menciptakan ratusan skenario terburuk. Bagaimana nantinya jika ia ditolak mentah-mentah oleh kakaknya Seungmin? Bagaimana nantinya jika ia kikuk dan merusak semuanya? Namun, tiap kali ia melihat wajah Seungmin (yang menurut Jisung menaruh harapan besar padanya, padahal Seungmin hanya menatap Jisung kasihan), pemikiran-pemikiran buruk itu sirna.

Jisung pasti bisa memberikan kesan yang baik di depan kakaknya Seungmin. Sekali lagi, demi cinta.

.

.

.

"Oh, jadi ini pacarnya Seungminnie?"

Sesungguhnya di detik ini, Jisung mendadak ingin pura-pura mati.

Kakaknya Seungmin tidaklah semengerikan bayangan Jisung—biarpun pemuda itu tetap tampak intimidatif dengan tubuh tegap dan senyum yang menyembunyikan banyak hal. Suara kakaknya Seungmin lembut, seperti suara Seungmin. Tetapi melihat Seungmin yang kadang-kadang bisa sangat seram (misalnya, saat Jisung tanpa sengaja menumpahkan percik minumannya di atas kertas-kertas Seungmin), bukan mustahil jika kakaknya pun sama seram dengan adiknya, atau bahkan lebih parah. Mendadak, tangan Jisung dingin, bersamaan dengan keringat dingin yang mulai membanjiri. Grogi. Bagaimanapun juga ia berhadapan dengan kakak kekasihnya sendiri dan masa depan hubungan mereka dipertaruhkan sepanjang makan siang ini.

Bagaimana Jisung tidak merasa mulas dan takut setengah mati?

"Nama kakak Woojin, kakaknya Seungmin." Tepukan di bahu Jisung, pemuda itu sontak tersentak. "Namanya siapa, Dik?"

"AING MAUNG!"

Refleks, Jisung berteriak. Masih untung yang keluar teriakan, bukan air seni karena sumpah, Jisung masih ketakutan setengah mati. Teriakan itu, sayangnya, keras sampai seluruh orang yang melintas menatapnya aneh. Seungmin menepuk jidatnya keras, menunduk dan pura-pura tidak kenal. Sementara pandangan Kak Woojin padanya tidak terdefinisikan. Siaga satu. Jisung harus membuat semua ini tidak kacau. Fokus, Jisung! Berpikir!

"M-maaf Kak. Grogi, hehe. Namaku Han Jisung, salam kenal, Kak."

Dan hanya cengiran setengah ringisan yang dapat dikeluarkannya. Dilihatnya Kak Woojin terkikik geli. Dirasakannya Seungmin menyikut rusuknya kuat ("Aw! Kan grogi, Seungminnie!" "Bodo."). Setelah itu, Jisung tidak mengatakan apapun. Hanya mengikuti langkah Kak Woojin menuju rumah makan dengan langkah kecil-kecil bak kambing hendak disembelih.

//

Sayangnya, makan siang mereka tidaklah berjalan maksimal.

Selama makan siang, mata Jisung dengan was-was mengamati raut wajah dan gestur Kak Woojin. Waspada, seakan pemuda itu adalah predator yang siap memangsanya hidup-hidup. Jantung Jisung seakan berhenti tiap kali Kak Woojin membuka pembicaraan. Hal-hal remeh, seperti menanyakan jurusan kuliah Jisung, asal Jisung, bagaimana Jisung bertemu dengan Seungmin dan seterusnya. Ia tahu seharusnya ia membuat impresi bagus, atau minimal mencairkan suasana karena pertemuan ini tampak seperti interograsi detektif pada pelaku pembunuhan. Sayangnya otak Jisung terlalu macet untuk memikirkan hal-hal menyenangkan berkat dibanjiri rasa takut.

Dan tangannya lengket. Dan wastafel terlalu jauh dari jangkauan.

Refleks, tanpa berpikir, tangan Jisung yang lengket dan berminyak disapukan di balik punggung Seungmin. Pemuda itu mendesis, ujung kakinya di bawah meja menyenggol-nyenggol kaki Jisung sadis. Saat itulah, Jisung tersadar bahwa tatapan Kak Woojin mengarah tajam padanya. Menusuk. Membuat Jisung tiba-tiba ingin pura-pura mati demi melindungi diri. Pemuda itu berdeham, meletakkan sendok dan garpu di atas piring sebelum bangkit dan mendekati Seungmin. Dilihatnya wajah sang kekasih pias—baru kali ini ia melihat Seungmin wajahnya sepias itu.

"Seungminnie. Saran Abang sih, mending cari yang lain aja."

Suara itu lembut, tetapi kata-kata yang diucapkan lebih parah dibandingkan pembacaan putusan hukuman mati. Seungmin membatu. Matanya nanar menatap lurus mata Kak Woojin. Dan Jisung kemudian paham mengapa Kak Minho berkata bahwa Kak Woojin seperti penjaga neraka—pemuda itu memang demikian saat ini, dengan suara lembutnya dan senyum manisnya.

"... kok?"

"Abang enggak yakin sama pilihan kamu, Dik. Dan kamu tahu sendiri Ayah dan Ibu gimana." Woojin kemudian menepuk halus bahu adiknya, "Mending cari yang lain, sebelum terlambat."

Kak Woojin berlalu sejenak demi mencuci tangan, meninggalkan Seungmin yang menunduk di atas bangkunya. Bibir bawah Seungmin digigit keras. Jisung tak dapat melakukan apapun, selain memberikan rangkulan hangat. Seungmin terdiam seakan ia patung batu, dengan isak tangis tertahan yang Jisung pura-pura tak tahu.

Satu hal yang Kak Woojin tak tahu, oleh Jisung hati Seungmin telah lama direnggut.

//

a/n: ngaco dan buru buru banget i know huhu pls dont yell at me ;u;

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top