d for date.

Kencan pertama mereka dimulai pada pagi saat Jisung memamerkan dua buah tiket bioskop dan ajakan menonton.

Dan Seungmin terpaksa mengiyakan. Pertama, karena tiketnya gratis (dan sebenarnya ia kasihan juga pada Jisung yang susah payah membelikan, tiket weekend kan mahal, akhir bulan pula). Kedua, karena iming-iming dibelikan makan malam setelah menonton. Biarpun yang akan mereka tonton adalah film anak-anak. Coco. Kata Jisung, trailernya bagus dan menjanjikan. Seungmin hanya mengangguk dan menurut saja. Mereka agak sial, dapat tempat yang berdekatan dengan anak-anak berisik—Jisung saja kalah berisik. Setidaknya Seungmin masih kebagian soda dan popcorn caramel. Sementara Jisung, pemuda itu menjejali tasnya dengan roti-roti selundupan ("Makanan bioskop mana bikin kenyang," kilahnya) dan sebotol air mineral juga hasil selundupan.

Film dimulai. Seungmin memakan popcornnya dalam diam selagi memusatkan perhatiannya pada film. Pura-pura tidak mendengar rengekan anak-anak di belakangnya. Pura-pura tidak tahu jika tangan Jisung mencuri kesempatan mampir di bahunya. Film ini film animasi di mana Miguel sang karakter utama menyukai musik, tetapi tinggal di keluarga pembenci musik. Semua berubah saat Miguel tahu jika leluhurnya sebenarnya pemusik dan karena sesuatu, anak lelaki itu terjebak di dunia orang mati. Anak-anak di belakang mereka masih berisik, tetapi dada Seungmin terasa nyeri.

Membuatnya teringat sesuatu, sesuatu yang ingin dikuburnya bertahun-tahun lalu.

Seungmin tersenyum kecut.

Film ini mungkin film anak-anak. Namun, konflik yang dialami, perdebatan yang dialami, semuanya begitu nyata dan begitu dekat.

Sampai pada adegan klimaks, mata Seungmin mulai panas. Berkaca-kaca, menahan air mata yang hendak keluar. Bukan karena Seungmin cengeng. Karena apa yang ditampilkan, apa yang diutarakan, semuanya terasa begitu familiar. Begitu dekat. Tenggorokannya mulai sakit, sama dengan hatinya yang nyeri. Samar-samar ia mendengar suara isak pelan di sisinya, membuat pemuda itu menoleh dan mendapati Jisung yang menangis.

Jisung pun—menangis tanpa tahu malu.

Dengan susah payah Seungmin menahan dirinya, menahan air matanya. Malu rasanya kalau menangis di sini, apalagi menangis di depan Jisung. Adegan demi adegan berlalu. Mata Seungmin masih terpaku pada layar, hingga ia merasakan ada yang mengusap-usap lengannya, membuatnya menoleh.

Disaksikannya sendiri di depan mata. Jisung menyapu ingusnya dengan tangan sendiri. Tangannya kemudian ditempelkan ke lengan kemeja Seungmin. Tangan yang basah bekas ingus itu. Refleks, Seungmin mengambil gelas kertas soda yang sudah kosong dan dilemparkannya tepat di wajah Jisung.

Rasakan.

"ADUH!"

Suara Jisung terlalu keras untuk situasi di dalam bioskop. Beberapa pasang mata memandang mereka (dan memicing—apa-apaan ini, dua orang pemuda berisik dan menangis karena menonton acara animasi?) sinis, tapi apa Seungmin peduli. Biarpun penerangan bioskop hanya sebatas sinar layar, mata Seungmin mendelik menatap Jisung (yang masih sibuk menyapu ingusnya, apa orang ini tidak tahu dengan yang namanya tisu?). Bubar sudah perasaan terharu dan sedih berkat film. Yang ada di hati Seungmin hanya kedongkolan setengah mati.

"Jorok. Ganti rugi kemejaku pokoknya."

"Tapi ini akhir bulan!"

"Siapa suruh lap ingus ke bajuku?! Ganti pokoknya!"

Satu lemparan telak bungkus plastik popcorn caramel ke wajah Jisung. "Aw! Iya, iya, ampun!"

.

.

.

Mereka keluar dari bioskop dengan masing-masing tangan memegang roti mocha. Asap roti masih mengepul selagi mereka melangkah. Tidak ada kata-kata yang terlontar. Jisung sibuk dengan tisunya (yang dibelikan Seungmin), suaranya masih sengau efek menangis. Kepala Seungmin masih kacau, lebih baik tidak bicara sebelum Jisung meledek suaranya yang serak menahan tangis. Malam telah turun, masih ada sisa beberapa puluh menit sebelum bus terakhir mampir di halte. Digigitnya roti dalam diam. Kunyahan itu baru saja ditelan saat ia mendengar suara.

"Remember me, though I have to travel far."

Jisung bersenandung. Seungmin tertegun. Jisung memang berantakan, tetapi suaranya teramat merdu. Belum lagi lagu yang dinyanyikan itu—lagu dari film tadi. Lagu yang terngiang-ngiang di kepala Seungmin. Pemuda itu berdeham sebelum balas bersenandung.

"Remember me, each time you hear a sad guitar."

Setelah itu Jisung tertawa kecil, membuat Seungmin turut mengulas senyum kecil. Melupakan kekesalannya akan insiden bajunya dan ingus. Lupa sejenak akan benang-benang kusut ke kepala. Mata mereka saling menatap. Dilihatnya mata Jisung yang masih merah sisa menangis, tetapi wajah itu tersenyum senang.

"Aku suka suaramu."

"Gombal."

"Ih, seriusan loh ini." Bibir Jisung mengerucut, sebal. "Suaramu lembut, Seungminnie. aku suka."

Seungmin memilih memandang langit alih-alih wajah Jisung. Baru kali ini ada yang berkata menyukai suaranya. Seungmin suka bernyanyi, tetapi keluarganya tidak suka melihatnya bernyanyi—seperti Miguel dalam film Coco. Mereka berkata, Seungmin harus mengejar karier yang lebih pasti ketimbang dunia musik. Kekesalan itu memuncak saat mereka tahu Seungmin mendaftar menjadi trainee diam-diam, membuatnya dimarahi habis-habisan. Kata mereka, suara Seungmin buruk. Dan bagi anak SMP yang hanya tahu keluarga, perkataan orang tua mereka mematri luka lebih dalam dibanding sayatan pedang.

Sejak saat itu, Seungmin tidak lagi bernyanyi. Tidak sampai tadi.

"... aku enggak tahu kamu bisa nyanyi."

Jisung tertawa lagi, "Aku juga bisa main gitar. Tapi orang tuaku lebih mau aku kuliah daripada jadi artis."

"Sama." Mata Seungmin memandang jauh. Mengingat masa-masa itu. "Aku sempat ikut audisi diam-diam dan diterima, tapi saat mereka tahu, aku disuruh berhenti."

"Baguslah. Kan aku bisa ketemu kamu."

Jisung berseloroh. Seungmin melengos.

"Bodo."

Tetapi kalimat itu diucapkan Seungmin dengan tawa geli dan kerlingan jahil. Jisung menatapnya cukup lama, cukup intens dan dengan tatapan paling teduh yang pernah Seungmin lihat. Pemuda itu memilih berdeham kecil dan mengalihkan pandangnya ke lampu-lampu jalan yang mulai dinyalakan. Dibiarkannya Jisung mencuri genggam tangannya, berpura-pura tidak melihat dan tidak merasakan apapun. Nyatanya, tangan Jisung hangat biarpun agak sedikit kasar (tangan Seungmin justru kasar, anggap saja mereka impas). Tangan itu menggenggam tangannya erat, isyarat bahwa tidak ingin dilepas. Langkah Seungmin melambat, berusaha mensejajarkannya dengan langkah Jisung. Bukannya apa, melihat kaki-kaki mereka berdua melangkah beriringan membuat hatinya hangat.

(atau, Seungmin hanya berusaha mencari alasan dari dadanya yang membuncah senang saat tangan Jisung menggenggam tangannya—atau membuncah karena Jisung memuji suaranya? Entahlah.)

"I'll buy a guitar and I'll sing for you all night long. Promise."

Jisung tersenyum. Sudut-sudut bibir Seungmin melekukkan senyum lembut sebagai balasan.

"Nah. Let's sing together."

//

a/n: ini based on true story soalnya—AKU JUGA NANGIS SAMPAI BENGEK DONG NONTON COCO HUHUHUHUHU

btw aku bikin dua side story dari lover's dictionary (biar baru dipublish satu sih). satu judulnya firewalking, tentang changlix. satunya lagi rencananya tentang banginho. monggo mampir :"D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top