a for attraction.

Pertama kali Jisung bertemu dengan Seungmin, di saat itulah ia jatuh hati.

Pertemuan kala itu bukanlah pertemuan yang biasa kau temui di film-film romansa. Kala itu panas menyengat, gelombang panas menerpa Korea Selatan di saat yang tidak tepat. Jisung hanyalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang berjejal-jejal dalam panas mengantri bus untuk pulang. Tidak ada wangi bunga-bunga semerbak, hanya wangi bulir keringat dan kemeja bau apak yang tertangkap hidungnya. Bukan tipikal pertemuan yang patut dikenang, tetapi saat melihat Seungmin yang tengah menunggu bus, waktu seakan berhenti sejenak.

Ia baru tahu jika jatuh cinta pada pandangan pertama itu nyata adanya. Dengan efek sebelas dua belas dengan apa yang digambarkan kata-kata mereka yang kasmaran. Waktu seakan berhenti. Seakan kau tidak dapat melihat apapun kecuali sang terkasih. Tak lupa pula perutnya—perutnya seperti digelitiki, entah ini pengaruh naksir atau karena sembelit.

Masih tertegun Jisung menatap pemuda berwajah lembut yang tengah menunggu busnya. Pemuda itu kini menunduk, menatap layar ponselnya dengan jemari bergerak mengetik sesuatu. Fokus Jisung tersedot pada tiap gerak pelan jemari sang pemuda. Ada terpaan sinar matahari terik dan bulir-bulir keringat di pelipis, tapi di mata Jisung, sinar terik mentari bak cahaya surga dan bulir-bulir keringat tampak seindah kristal. Dengan sigap (dan tidak tahu malu), Jisung melangkah mendekati sang pemuda. Senyumnya merekah lebar, tangannya terulur mengajak berkenalan.

"Boleh kenalan? Aku Jisung."

Dan itulah kalimat pertama yang diucapkan Jisung pada pemuda itu, dengan cengiran lebar dan wajah berkeringat berkat panas. Pemuda itu menatapnya tajam seakan ia penculik anak. Cepat-cepat Jisung menambahkan, "Eh, aku mahasiswa di sini, loh! Anak komputer. Sumpah," dengan wajah panik takut-takut pemuda itu benar-benar menelpon polisi. Pemuda berwajah lembut itu tatapnya menajam, menatap Jisung dengan penuh selidik dan Jisung mendadak merasa ditelanjangi.

Memangnya Jisung semencurigakan itu?

(Memang.)

"Seungmin."

Tetapi akhirnya Seungmin menyebutkan namanya (tanpa membalas jabat tangan Jisung, Jisung berusaha berpikir positif, mungkin saja Seungmin sedang menunggu telepon penting atau tangannya berkeringat, siapa tahu?). Tidak apa, langkah pertama. Ia tahu nama Seungmin. Bagus. Tinggal ajak pemuda itu mengobrol lebih dalam demi mengorek informasi. Mungkin ia dapat mengajak Seungmin mengobrol lebih lama, toh bus masih lama datangnya, kan? Baru saja Jisung hendak membuka mulutnya demi bertanya lagi, sebuah teriakan lantang memecah keramaian.

"JANGAN MAU DIPEDEKATEIN SAMA JISUNG! DIA ENGGAK PERNAH SIKAT GIGI!"

Cepat-cepat Jisung menoleh ke arah sumber suara. Mendelik tajam pada Si Pembuat Keributan. Biasanya yang sering membongkar aib Jisung tanpa kenal tempat dan suasana hanya satu orang.

Benar, kan.

Changbin, kakak tingkatnya. Berdiri di sana dengan senyum jahil lima jari. Kebiasaan. Setiap kali Jisung terlihat tengah mendekati seseorang, selalu saja Changbin menyebutkan aib-aibnya (terakhir kali ia mendekati seorang gadis, Changbin berbicara soal Jisung yang tidak pernah ganti baju selama satu minggu. Pertama, itu berlebihan, ia hanya tidak ganti baju lima hari. Kedua, itu kan kaos favoritnya! Suka-suka dia, dong!). Tarikan napas. Diteriakkannya kalimat dengan desibel tak kalah kencang.

"BACOT KAK!"

Tidak sadar jika ia mempermalukan dirinya sendiri di depan Seungmin. Masalahnya, Jisung sejak kapan juga sadar diri? Changbin tertawa kecil di kejauhan seraya menjulurkan lidah. Jisung balas melakukan hal yang sama. Bocah.

Persetan dengan Changbin. Saat Jisung menoleh kembali, Seungmin sudah tidak ada di dekatnya. Ke mana? Matanya melihat sekitar hingga ia menemukan Seungmin ada di ujung sana, tampak mencari alternatif lain selain bus yang semakin lama antriannya semakin menyesakkan. Dengan tidak tahu malunya (sekali lagi), ia membelah kerumunan demi menuju tempat Seungmin. Gerakannya tergesa sambil setengah berteriak sampai tubuhnya tanpa sengaja mendorong beberapa orang. Orang-orang menatapnya tajam, tapi apa Jisung peduli?

Kalau ia membiarkan taksirannya lolos begitu saja, Jisung tahu ia akan menyesali ini seumur hidup. Kesempatan tidak akan datang dua kali.

"Misi, misi. Awas air panas—eh, bentar dong, Seungmin! Aku belum kelar ngomong nih!"

Seungmin baru menghentikan langkah setelah tangan Jisung menahan tangannya. Dengan malas pemuda itu menoleh. Tatap matanya lebih tajam dibandingkan yang tadi, tetapi Jisung adalah satu-satunya orang yang masih bisa cengengesan saat ditatap galak. Mungkin urat takut dan malunya sudah hangus sejak masuk kuliah, entahlah.

"Mau apa?"

"Mau minta id kakaotalknya, kalau boleh? Hehehe. He."

Cengiran terpeta di wajah Jisung, membuat Seungmin turut mengulaskan senyum (entah karena gemas, entah karena ingin menjitak). Dengan cepat Seungmin merogoh post-it note di kotak pensilnya, menuliskan username kakaotalknya di lembar post-it note teratas dan menyerahkannya pada Jisung tanpa banyak berkata.

"Nih."

Senyum Jisung melebar sementara Seungmin tetap tak peduli. Jika Jisung mentranslasikannya sebagai lampu hijau, Seungmin mentranslasikan sebagai upaya untuk membungkam mulut Jisung (baru beberapa menit dan telinga Seungmin sudah berdenging). Saat Jisung masih tersenyum dan melambai kecil, Seungmin cepat-cepat pergi. Berharap bahwa hari itu adalah hari terakhir ia bertemu dengan seorang pemuda berisik bernama Jisung.

Tapi tak ada yang tahu jika Seungmin akan bertemu dengan Jisung esoknya, dan esoknya, dan seterusnya tanpa peduli ia jenuh didekati oleh Jisung.

Tapi tak ada yang tahu jika Seungmin pada akhirnya menerima permintaan Jisung menjadi kekasihnya.

Dan itulah awal dari kisah-kisah ini semua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top