Chapter 17. Cerita Jaejoong

            Untuk yang kedua kalinya Jaejoong sampai di rumah Yunho. Yunho mencoba mengingat masa lalu mereka berdua, namun semakin dia ingat... semakin terluka hatinya. Jaejoong malah lebih sakit lagi. Hatinya terluka hanya dengan melihat Yunho beserta kenangan mereka. Yunho menarik Jaejoong masuk ke dalam kamarnya dan mendorong lelaki cantik itu. Kamar Yunho yang luas itu sekarang jadi saksi masa lalu mereka lagi.

Jaejoong semakin sakit hati.

"Apa maumu, Jung?" Jaejoong terluka.

"Bicara denganmu."

"Apa lagi yang harus kita bicarakan, Jung?"

"Banyak, Kim Jaejoong."

"Namaku bukan Kim Jaejoong lagi."

"Kau masih anak ayahmu, bukan?"

"Bukan urusanmu, Jung! Mau apa kau? Kalau kau hanya ingin membahas soal nama keluargaku, lebih baik kau hubungi pengacara ibuku. Aku tidak punya waktu bicara denganmu." Jaejoong bersiap pergi, namun Yunho menghalangi.

Jaejoong ingin menangis sekarang. Hatinya berantakan, jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba bersikap baik-baik saja meski sebenarnya tidak. Jaejoong iri dengan dirinya di masa lalu, namun juga kesal. Benci. Marah. Dan muak pada dirinya sendiri. Kenapa dulu dia sangat naif dan mengidamkan sebuah pertemanan dengan Yunho? Padahal Yunho sama sekali tidak mengharapkannya. Jaejoong bodoh.

Sekarang mengingat kenaifannya lagi, Jaejoong seolah sedang disindir keras. Sekarang mereka tak akan pernah kembali seperti dulu. Jaejoong yang cengeng dan mudah dibodohi itu sudah menghilang seiring waktu, seiring dengan hilangnya lemak dari tubuhnya. Semuanya lenyap tak tersisa, lenyap bersama kenangan masa lalu.

"Jangan pergi, Jaejoong!"

"Apa maumu sebenarnya?"

Pembicaraan mereka sudah semakin jauh. Jaejoong bertanya mau Yunho, sementara lelaki itu tidak bisa mengungkapkan maunya secara gamblang. Yunho seolah berputar-putar dengan pemikirannya sendiri, mengabaikan Jaejoong yang sedang ingin kabur darinya. Obrolan mereka jadi makin canggung dan tajam.

"Bicara."

"Aku tak punya hal yang bisa kubicarakan denganmu, Jung!"

"Ada. Tentang masa lalu kita."

"Bahkan aku tak pernah mengingatnya, Jung."

Jaejoong berdusta. Yunho pun tak pernah menganggap itu serius. Baginya Jaejoong adalah sebagian dari masa lalunya. Yunho tak pernah melupakan Jaejoong meski Jaejoong menghilang dan meninggalkannya. Yunho menyesal waktu itu, tetapi ketika dia ingin memperbaiki semuanya... Jaejoong sudah terlanjur pergi.

"Aku akan membuatmu mengingatnya."

"Apa urusanmu? Aku sudah menghapus semua kenangan masa laluku, Jung."

"Kau bohong."

"Tidak."

"Kau bahkan ingat kalau kita punya kenangan itu, Jaejoong. Kau mencoba menghapusnya? Kau tidak akan pernah bisa, Jaejoong."

Jaejoong semakin muak dengan perlakuan Yunho. Yunho sama sekali tak peduli dengan perasaan dan pemikirannya. Sekarang Yunho menginginkan semuanya terkuak lagi. Apa mau Yunho sebenarnya? Kau sudah terlambat, Jung! Terlambat!

Jaejoong yang berdiri di depanmu bukan lagi babi gendut yang dulu kau hina. Jaejoong yang sekarang adalah lelaki cantik menawan yang lebih senang dengan luka dan sakit. Dia tidak lagi melipat kertas atau menanam bunga. Dia tidak lagi...

"Aku sudah melupakan semuanya...." Jaejoong menghela napas.

"Oh, ya?" Yunho terusik dengan respon Jaejoong. Lelaki itu mendekati Jaejoong, lalu menarik lengan Jaejoong pergi. Kali ini Yunho membawa Jaejoong ke sebuah ruangan besar. Ada sebuah piano di tengah-tengah ruangan. Penataan yang sangat sederhana, namun terlihat mendewakan piano itu.

Yunho mendorong Jaejoong duduk di sebuah sofa, setelah itu Yunho duduk di depan pianonya. Musik itu perlahan mengalun lagi. Jemari Yunho berlari di tuts piano itu. Jaejoong bungkam. Lagi-lagi kenangan masa lalu seperti sedang menamparnya.

"Apa kau masih bermain piano?" Yunho bertanya cepat.

Jaejoong bungkam. Dia tidak peduli.

"Kau pasti mengingatnya, Jaejoong."

Jaejoong mengingatnya, tetapi dia tidak peduli. Jaejoong menelan ludah gugup. Matanya mengerling beberapa kali karena gugup. Jaejoong lelah sebenarnya, namun dia tak begitu lelah untuk peduli dengan semua masa lalunya. Tidak, Jaejoong sangat peduli! Dia tidak akan melupakannya.

Yunho kembali fokus dengan permainan pianonya.

"Kau benar-benar tidak bermain piano lagi?" Di sela-sela permainannya, Yunho menoleh. Matanya mengerjap beberapa kali. Jaejoong hanya menatapnya datar.

"Tidak."

"Apa kau sudah melupakan semua nada-nada itu, Jae?"

Jaejoong berdecih. Dia tak suka ketika Yunho memanggilnya begitu! Padahal dirinya pun memanggil Yunho dengan marganya. Jaejoong merengut tak peduli.

"Apa urusanmu, Jung?"

"Kenapa kau selalu menanyakan urusanku? Aku hanya ingin bertanya."

"Aku tak ingin menjawab kalau begitu."

"Dulu kami semua takjub dengan permainan pianomu, Jae. Sayang sekali kalau kau melupakannya."

Tidak, Jung Yunho! Jaejoong ingat semuanya, terutama ketika dia terjatuh pasca bermain piano waktu itu. Semua kekaguman itu menguap karena kesalahan fatalnya. Kakinya terlalu pendek, namun jemarinya mampu bergerak sangat cepat.

"Mungkin aku adalah pianis yang telah kehilangan jari-jarinya." Jaejoong berbisik pelan, namun Yunho mendengar semuanya.

Yunho berdiri, lalu melangkah ke arah Jaejoong. Matanya menatap lurus-lurus lelaki itu, bungkam ketika Jaejoong tampak tak peduli. Jemarinya terulur, menarik lengan Jaejoong lembut.

"Mainkanlah satu lagu untukku!" ucap Yunho perlahan.

Jaejoong menarik lengannya, namun Yunho telah mencengkeram lengan itu erat. Yunho tak mengizinkan Jaejoong meronta ataupun meloloskan diri kali ini.

"Kau manusia, Jung?"

"Aku manusia."

"Kenapa kau tidak mengerti bahasa manusia kalau begitu? Aku sudah tidak bermain piano lagi."

"Kau bohong, Jae."

"Kau yang sok tahu!"

"Bakat tak akan pernah berbohong, Jae." Yunho menggenggam kedua telapak tangan Jaejoong, meremas jemari lelaki itu hangat. Yunho tersenyum lembut meski hatinya sakit. Melihat Jaejoong yang sekarang membuat hatinya campur aduk. Jaejoong terlihat berantakan. Yunho hampir tak melihat sisi Jaejoong yang dulu sekarang.

"Aku tidak punya bakat bermain piano. Kau ingin tahu bakatku yang sebenarnya?" Jaejoong mencoba menarik jemarinya, namun Yunho menggenggam jemari itu lebih erat.

"Apa?"

"Membunuhmu!"

"Ironis sekali, Jae."

"Aku tidak butuh pujianmu, Jung!"

"Jadi, mainkanlah satu lagu!" Yunho sangat pemaksa. Dia sudah berlatih bernegosiasi sebelumnya. Bahkan di usia mudanya ini Yunho sudah belajar berbisnis. Dia mampu melakukan banyak cara untuk mendapatkan tujuannya.

"Kenapa kau memaksaku?"

"Aku akan membebaskanmu setelah ini."

"Kau serius?"

"Tentu. Kenapa kau sangat ingin pergi dariku, Jae? Aku ingin berteman lagi denganmu. Dulu ketika kita masih kecil, kita sangat naif. Aku terlalu kekanakan dulu."

"Kau tahu sesuatu, Jung? Ibuku mengatakan kalau anak kecil begitu jujur soal perasaannya. Aku lebih percaya Jung Yunho yang menghujat dan menghinaku dulu daripada Jung Yunho yang sedang berdiri di depanku sekarang."

"Jaejoong?"

"Aku akan melakukannya dan bebaskan aku setelah itu!" Jaejoong berkata tajam. Yunho tersenyum lembut, lalu mengangguk cepat.

Jaejoong melangkah cepat ke arah piano dan duduk di depannya. Jaejoong duduk nyaman di sana, lalu mulai meletakkan jemarinya di atas tuts. Dalam beberapa detik, denting piano itu terdengar.

Lagi, Beethoven Symphoni no. 8.

Melodi itu mengalun di ruangan itu, menembus relung hari Yunho yang sudah lama kosong. Mengusik memori Jaejoong yang sudah hancur. Keduanya larut dalam pemikiran dan masalah masing-masing.

"Kau ingat ini?" Jaejoong berbisik pelan.

"Tentu saja. Itu melodi yang pertama kali kau mainkan di depan kami."

"Hanya melodi ini yang kubisa hingga saat ini." Air muka Jaejoong berubah.

TBC

Mamiihhh... *sungkem* aku republish karena gak masuk notipnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top