Chapter 1. Murid Baru di Kelas Piano

            Seharusnya tak ada masalah apapun selama Yunho ada di sini. Yunho sudah nyaman seperti ini. Teman-temannya baik, guru-guru pun sangat profesional dan telaten. Orang tuanya tetap sibuk bekerja, sementara Yunho masih bersama pembantu setiap hari. Dia kesepian, namun tak pernah bisa protes dengan keputusan kedua orang tuanya. Mereka bekerja juga demi dirinya. Yunho tumbuh dewasa, atau bahkan jauh lebih dewasa daripada anak TK seusianya. Yunho tak pernah menangis ketika jatuh. Ia akan melangkah mencari guru, meminta obat, lalu kembali bermain.

Lagipula kalau dia menangis, dia dapat apa? Orang tuanya tak mungkin pulang dari luar negeri hanya karena Yunho menangis. Ketika dia sakit saja mereka tak bisa pulang karena bisnis. Menurut mereka, bisnis jauh lebih penting daripada anaknya sendiri. Atau masa depan anaknya itu harus lebih baik dan juga terpenuhi. Hanya dari segi finansial, bukan dari segi kasih sayang seperti anak lainnya.

"Kita harus berangkat, Tuan." Seorang lelaki tua menghampiri Yunho, menyerahkan tas punggungnya seperti biasa. Dialah kepala asisten rumah tangga di kediaman Jung. Kepala asisten rumah tangga di rumah ini juga sudah Yunho anggap sebagai kakeknya sendiri. Lelaki itu selalu menjaga Yunho, mengurusi segala keperluannya. Bahkan juga mengurusi ayahnya ketika masih kecil dulu.

"Aku berangkat, Kakek." Yunho memeluk lelaki tua itu. Yunho tak pernah bertingkah seperti tuan muda di rumah ini. Semua pembantu adalah keluarganya. Merekalah yang menjaga dan melayani Yunho.

TK tempatnya bersekolah adalah milik keluarganya sendiri. Yunho tak pernah diizinkan mengambil TK lain. Padahal ia juga ingin bersekolah dengan anak-anak biasa, bernyanyi dengan wajah gembira, melupakan kenyataan kalau dirinya cukup kesepian. Di TK milik keluarga Jung ini, Yunho diperlakukan istimewa daripada anak lainnya.

Yunho sampai di sekolah dengan wajah kalut. Dia anak yang aktif dan juga ceria meski begitu. Teman-temannya yang lain menganggap Yunho beruntung karena memiliki orang tua yang sangat kaya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Yunho ingin seperti yang lain. Meski berasal dari keluarga menengah ke atas, anak lainnya masih memiliki kasih sayang dari orang tuanya. Meski sebagian juga bernasib sama seperti dirinya.

Rutinitas ala Yunho kembali seperti biasa. Sekolah, lalu les piano. Dunia bermainnya seolah dirampas oleh tuntutan dan tradisi keluarga Jung. Yunho harus mengikuti dan melakukan segala hal sebagai penerus keluarga Jung.

"Yunho! Yunho!" Teman-temannya muncul, membawa tas mereka dan berlari. Yunho menghentikan langkahnya dan menoleh. Sepulang sekolah, Yunho selalu dijemput oleh supir untuk les piano.

"Ya?" Yunho menoleh sembari tersenyum. Anak itu jauh lebih bisa menyembunyikan sisi sakitnya.

"Les piano?"

Yunho mengangguk enggan.

"Kau tahu tidak?"

"Apa?"

"Guru mengatakan kalau akan ada murid baru di kelas."

Jujur, Yunho tak terlalu peduli. Percuma saja ada teman baru. Nantinya dia juga akan seperti teman yang lain. Mendekatinya hanya untuk mendapatkan mainan baru. Atau karena desakan orang tua mereka untuk memiliki popularitas dan juga nama. Yunho pernah dengar istilah itu dari bibir para ibu. Yunho tak sengaja mendengarnya, jadi dia bisa mengerti. Perhatian dan kebaikan teman-temannya tidak tulus.

Ketika Yunho sampai di salah satu gedung mewah milik keluarga Jung, sebuah mobil berhenti di depannya. Gedung mewah ini juga diberikan sebagai tempat les eksklusif untuk Yunho dan murid kelas elite lainnya.

"Aku tidak ingin les!" Sebuah teriakan terdengar, disusul dengan tangis yang menyayat. Jeritan marah terdengar setelah itu.

Mau tak mau Yunho menghentikan langkah dan menoleh. Ia tak bisa melihat anak yang menangis itu karena tubuh ayahnya menghalangi. Yunho merengut, lalu menggeleng. Dia harus segera sampai di ruang les.

Yunho tak akan pernah tahu kalau anak lelaki yang sedang menjerit itu akan mengubah jalan cintanya suatu hari nanti...

"Duduklah, Anak-anak! Hari ini Ibu membawa teman baru untuk kalian. Ayo, perkenalkan namamu, Sayang."

Yunho mendongak enggan dan matanya berjibaku dengan mata anak lain. Murid baru katanya. Yunho menelan ludah gugup. Seorang anak lelaki berdiri di depan kelas dengan ekspresi kacau. Ada jejak air mata di pipinya. Bibirnya mengerucut enggan. Matanya merah karena tangis. Pipinya tembem. Tubuhnya gemuk. Meski begitu, bibirnya berwarna merah, kulitnya putih sekali.

Apa dia laki-laki?

"Aku tidak bisa, Seonsangnim!" Anak itu mengeluh.

"Kenapa tidak bisa?"

"Aku malu..." Lagi-lagi dia menunduk. Guru gemas sekali dengan sikap malu-malunya, namun akhirnya wanita itu tersenyum.

"Apa kalian ingin mengenal teman baru kalian ini, Anak-anak?" Wanita itu mengajukan pertanyaan polos. Anak-anak yang lain mengangguk semangat.

"Si Gendut! Gendut..."

Seisi kelas heboh. Mereka tertawa karena melihat tubuh anak itu. Guru itu mulai gugup. Dia hanya ingin membuat teman lain berkenalan dengan anak ini, namun ternyata dugaannya salah. Murid lain malah menggodanya habis-habisan.

Anak gembil di depannya ini mengerjap, mendongak. Matanya mulai berkaca-kaca. Dalam beberapa detik, jeritan terdengar nyaring membahana. Mengisi ruang kelas dengan tangisan.

"Jaejoong, tolong jangan menangis, Sayang!" Guru itu panik.

Yunho yang duduk di depan hanya mengerjap. Oh, jadi namanya Jaejoong! Yunho masih memperhatikan anak baru bernama Jaejoong itu. Entah kenapa dia melihat Jaejoong dari sudut yang berbeda. Anak itu masih menangis kencang. Hingga beberapa guru mulai berdatangan dan mencoba menghiburnya.

Yunho merasa ini pertama kalinya dia melihat anak lelaki secengeng itu. Dia laki-laki sungguhan?

Jaejoong bisa ditenangkan setelah disogok dengan kue. Yunho ingin terbahak kencang ketika mendapati anak itu bisa didiamkan dengan makanan. Jaejoong kembali duduk nyaman di bangku depan, tepat di depan meja guru. Anak lain masih menatapnya geli. Mereka tidak boleh menggodanya kalau tidak ingin Jaejoong menangis dan mengganggu pelajaran.

Jaejoong juga termasuk anak yang agak lambat. Ketika yang lain sudah mencatat lagu dan nada baru, Jaejoong masih sibuk dengan alat tulisnya. Dia menulis pelan sekali. Yunho yang sejak tadi diam saja juga ikut terganggu. Dia malah sibuk mengawasi tingkah Jaejoong yang dinilainya sangat menyebalkan. Apa dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan cepat?

Meski masih TK, namun kelas Yunho bukan kelas dasar. Meski masih TK, anak-anak orang kaya ini sudah dididik untuk mencintai musik. Mereka sudah bisa membaca not balok. Kelas ahli memang berbahaya. Di usia sekecil ini mereka diajari untuk jadi profesional. Lagi-lagi, ini pasti kekuatan uang.

"Baiklah, karena kita punya teman baru, bagaimana kalau kita persilakan teman baru kita untuk bermain lebih dulu?"

Hari itu seisi kelas terbahak lagi. Mereka tahu pasti apa maksud guru mereka. Guru memerintahkan Jaejoong untuk bermain piano? Astaga, pasti guru sedang ingin membuat Jaejoong ditertawakan. Menulis tangga nada saja tidak secepat anak lain. Bahkan Jaejoong terlihat sibuk dengan alat tulisnya sendiri sejak tadi.

"Kenapa kalian tertawa, Anak-anak?"

Seisi kelas masih menunggu si Gendut duduk di depan piano. Kalau memang ingin belajar dasar, tidak seharusnya Jaejoong berada di kelas ini. Semua siswa menatap Jaejoong dengan pandangan geli dan meremehkan. Jaejoong menggeleng malu di bangkunya.

"Kenapa, Jaejoong? Ayolah, teman-teman yang lain ingin melihat dan mendengar musik yang bisa kau mainkan."

Jaejoong menoleh ke arah teman-temannya yang lain. Mereka semua tersenyum geli. Jaejoong tidak ingin diremehkan. Dia bisa menangis ketika digoda, namun dia tak suka ketika dihina seperti ini. Jaejoong juga bisa bermain piano. Untuk apa orang tuanya mendaftarkannya ke kelas ini kalau Jaejoong...

Anak itu melangkah dan duduk manis di depan pianonya. Semua mata mengawasi. Anak yang lain siap-siap tertawa kalau seandainya Jaejoong bertingkah bodoh. Si Gendut malu-malu ketika duduk di sana.

"Apa kakimu sampai?" Celetukan salah satu temannya membuat anak lain juga tebahak kencang.

"Jaejoong, apa jari pendek dan gendutmu bisa berpindah dari tuts satu ke yang lain?"

Guru mencoba menghentikan ocehan anak-anak lain dan mencoba memberi semangat pada Jaejoong. Namun mereka masih menggoda Jaejoong, menertawakan anak gendut itu. Hingga akhirnya mereka sadar kalau mereka salah besar karena sudah meremehkan Jaejoong dan jari-jari gendutnya. Hari itu mereka semua dibuat terpana dan terpesona. Jaejoong tidak selamban itu ketika bermain piano.

Beethoven. Symphony No. 8.

Semua mata terpana dengan kemampuan jari gendut itu. Mereka salah kaprah dengan kemampuan luar biasa Jaejoong. Anak gendut itu sangat jenius ketika bermain piano. Hanya saja si Gendut tetap saja sial. Saking semangatnya bermain, anak itu kehilangan keseimbangan.

Seisi kelas tertawa riuh. Rasa kagum mereka berganti dengan tawa kencang yang sangat menyakitkan. Jaejoong terjungkal dari kursinya.

TBC

Hai, ini cerita aku edit abis2an. Hiks... hiks... meski auranya tetep gini2 aja. Ini cerita lama, kok. Ngeh... karakternya juga cuma serebu. Tapi ini bakalan update dua hari sekali kalau TMD udah tamat. Jangan nyalahin ide mainstream-nya karena udah lama iniii... :( *mbak2 pesimisan*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top