Chapter 3

|Chapter 3|

-In a long distance relationship, your love is tested & doubted every day, but you still prove to each other that it's worth it. That is what makes the relationship so special-

Bahu Revan ditepuk.

Dia menoleh sekilas dan mendapati Roery, mertuanya, yang ternyata menepuk bahunya.

"Selesaikan urusanmu dulu, Van."

Lidah Revan langsung kelu, orang yang berdiri di depannya ini bukan hanya ayah mertuanya, tapi juga salah satu jajaran Board of Director yang perintahnya tak pernah bisa dibalas dengan gelengan kepala.

"Yah...tapi Reval..."

"Percayakan sama Ayah, Van," kata Roery tersenyum menyabarkan. "PIlihan yang sulit memang, tapi memang tanggung jawabmu untuk menyelesaikan."

Mata Revan mengerjap menyaksikan helikopter Optima yang sudah mengangkasa membawa mertuanya kembali ke Jakarta. Matanya nyalang. Dia ingin menjeritkan agar orang-orang bisa mengerti apa yang sedang dia rasakan.

Reval, sabar ya Bang. Bentar lagi Ayah pulang. Tunggu ya, Nak...

Revan menekan tombol samping ponselnya dengan gemetar. Mengirimkan pesan singkat kepada belahan jiwanya. Kemudian dengan memejamkan mata dia men-lock screen ponselnya. Layar ponsel langsung menghitam. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku dan mulai melangkah menuju tempat...eksekusi dirinya. Meneguhkan diri untuk semua yang terjadi hari ini.

Revan memasuki ruang meeting dengan tetap mencoba menegakkan kepala. Bukan hanya beberapa pasang mata yang menatapnya tajam. Keseluruhan mata milik penghuni ruangan ini terpusat sepenuhnya ke arahnya. Hanya satu yang menunduk, milik si operator yang mengalami kecelakaan kerja, Suhardi.

Di layar sudah terpampang hasil Medical Record terakhir milik Suhardi. Sengaja di zoom out pada halaman terakhir kesimpulan. TEMPORARY UNFIT, dengan huruf kapital dan warna merah. Terkesan bahwa bagian ini lah yang akan disorot segera.

Begitu Revan menarik kursi yang menimbulkan deritan pendek, mendaratkan pantatnya di kursi, puluhan mata yang tadi menatapnya kembali ke layar. Huft..., hela Revan.

"Baik, karena Dokter Revan sudah datang. Meeting akan kita lanjutkan ke masalah kesehatan," kata Wirgiatomo, HSE manager di Optima membuka pembicaraan. Meskipun terdengar ramah dan santai, suasana investigasi tetap bisa menguarkan aroma mencekam. Tidak ada bedanya bagi Revan, walaupun dia adalah menantu dari orang penting di perusahaan ini, begitu ditemukan bahwa dia tidak capable, maka pilihan satu-satunya adalah keluar sendiri atau menunggu didepak oleh jajaran. Karena itulah perusahaan ini mampu bergerak cepat ke arah kemajuan. Semua peraturan dan sistem ditegakkan tanpa pandang bulu. Tak mengenal nepotisme atau faktor like and dislike dari atasan.

"Silakan, Pak."

"Seperti yang Dokter Revan ketahui, hari ini telah terjadi rear coalition incident atas nama Bapak Suhardi, operator OHT-773 65. Berdasarkan investigasi sebelumnya, Bapak Suhardi telah memegang Surat Layak Bekerja yang ditandatangani oleh Dokter Revan sendiri. Sementara bisa kita lihat di layar," tunjuk Wirgiatomo ke arah layar, "hasil Medical Record terakhir menunjukkan hasil TEMPORARY UNFIT yang berarti tidak fit untuk dipekerjakan. Demikian, mohon penjelasan."

Revan menghela nafas sesaat. Dalam investigasi seperti ini, yang jadi masalah bukanlah dia yang akan ikut menanggung kesalahan. Dikecam, disalahkan, dipojokkan. Sungguh, dia sudah biasa menghadapinya. Tapi justru akankah 'piring nasi' si pelaku incident bisa tetap aman? Di balik 'piring nasi' itu setidaknya kruyuk perut seorang istri dan beberapa orang anak akan jadi taruhan.

"Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjelaskan," Revan memberi jeda, mengukur reaksi orang-orang dihadapannya. "Sebelumnya mohon maaf, saya koreksi terlebih dahulu bahwa Temporary Unfit bisa diartikan sebagai tidak fit untuk bekerja dalam kondisi sementara. Sementara yang dimaksud di sini memang tidak ada patokan baku dalam skala waktu, akan berbeda dalam satu kasus Medical Record yang satu dengan yang lainnya. Tapi, bisa dipastikan bahwa sementara dalam kasus Pak Suhardi, beliau dinyatakan TU karena adanya peningkatan beberapa parameter seperti kolesterol total, LDL, asam urat dan lain sebagainya."

Jajaran menejemen mengangguk-anggukkan kepala. Ada kalanya jauh lebih mudah menerangkan hasil Medical Record terhadap orang yang tidak mengerti medis sama sekali dibandingkan yang mengerti setengah-setengah seperti hadirin di ruangan ini.

Sementara Revan, harus berusaha keras untuk memusatkan perhatiannya di ruang meeting ini karena dia tahu, otak dan hatinya sudah berada di samping Reval dan Alina.

"Berdasarkan hasil MR tersebut, memang ada beberapa parameter yang meningkat. Namun hasil peningkatan masih bisa ditoleransi. Misalnya kolesterol total, dengan ambang batas 200 mg/dl, Pak Suhardi hanya naik ke angka 220 mg/dl. Begitu juga parameter lainnya. Tidak ada yang naik secara signifikan. Hanya memang lebih dari lima parameter naik secara bersamaan. Jadi, ketika saya melakukan personal contact terhadap yang bersangkutan, maka diputuskan setelah beliau mendapat treatment obat dan edukasi pola makan, status beliau bisa dinyatakan fit for the job. Demikian."

"Tapi, status fit for the job itu tidak berarti ketika yang bersangkutan mengalami kecelakaan, Dokter Revan. Semua itu hanya lah pandangan gegabah Dokter Revan saja yang memutuskan beliau layak untuk bekerja, mungkin?" kali ini, Priyanto, sang COO ikut menyerangnya.

"Dalam kasus medis memang kadang kala tidak ada patokan pasti untuk kasus-kasus tertentu, semua yang saya beberkan di sini adalah seni. Seni seorang dokter dalam memandang suatu kasus dan mengambil keputusan atas semua hasil yang tertera di hadapan. Saya menyatakan bahwa beliau fit for the job bukan asal dan gegabah, Pak Pri. Tapi juga berdasarkan pernyataan beliau bahwa tidak ada keluhan spesifik dan...," Revan mengeluarkan satu lagi kertas dari tumpukan berkas yang dibawanya, "hasil cek ulang yang bersangkutan setelah mendapat treatment obat dan edukasi terkait pola makan."

Semua mata tertuju ke arah kertas yang di tunjukkan Revan. Kertas yang menunjukkan bukti bahwa parameter yang bermasalah pada Pak Suhardi sudah menunjukkan hasil normal begitu diperiksa ulang dua minggu kemudian.

"Sebelum saya memutuskan Pak Suhardi layak untuk bekerja, saya sudah mengevaluasi kondisi medis yang bersangkutan, Pak. Demikian penjelasan saya. Terima kasih."

"Tapi tetap saja, bukankah seharusnya Dokter Revan memantau beberapa saat lagi untuk memastikan kondisinya? Terburu-buru dalam memberikan keputusan hanya membuat perusahaan merugi. Dokter Revan tahu berapa biaya kerusakan incident kali ini? Lebih dari dua milyar, Dokter Revan."

Revan miris, entah mengapa yang lebih di soroti adalah nominal yang dikeluarkan untuk perbaikan unit, bukannya kondisi medis dan psikologis pelaku incident. Kadang dalam perusahaan skala besar, rasa kepekaan dan empati terkikis seiring dengan berkembangnya perusahaan. Di sisi lain, kadang pula rasa kepekaan dan empati bisa tergerus karena personalnya sendiri, karena paksaan kondisi. Menikung teman dari belakang jadi terasa seindah pelangi.

"Bagaimana kalau kita menghitung kontribusi tonase yang sudah Bapak Suhardi hasilkan selama bekerja di perusahaan ini dibandingkan dengan kerugian yang dihasilkan, Pak? Puluhan tahun ini beliau bekerja dengan baik," kata Revan melakukan pembelaan. Dibalik pembelaan yang dia lakukan, dia pun membayangkan bahwa Suhardi lah sumber 'piring nasi' satu-satunya bagi keluarganya.

Aura di ruang meeting langsung berubah, bisik-bisik dan diskusi di antara jajaran menejemen langsung terdengar. Tak ubahnya seperti sekumpulan serangga yang sedang bergerombol dalam satu lingkungan.

Ingin rasanya Revan meminta agar dia diperbolehkan untuk keluar dari ruang meeting ini karena menurutnya keterangan dan porsi dia sudah cukup. Tapi tentu saja, hal itu sangat tidak profesional dalam skala perusahaan besar seperti ini. Kadang kala, urusan pribadi, kegelisahan dan hati nurani yang terusik harus ditekan rapat-rapat ke bawah kaki.

"Baik, terima kasih atas penjelasan yang diberikan Dokter Revan. Kita kembali mendengarkan keterangan Pak Suhardi..." Diskusi masih berlangsung alot dan bertele-tele dengan agenda tanya jawab lagi dengan Pak Suhardi. Satu dua jam berlalu tanpa kejelasan pasti.

Revan tenggelam dalam lamunan, dari lima menit yang lalu dia sibuk mengirimkan berbagai pesan ke ponsel Alina yang tak satu pun mendapat balasan. Revan pun mencoba mengirimkan beberapa pesan lagi dan matanya membelalak saat tanda centang dengan huruf D berubah menjadi R.

Bahunya melorot kembali saat huruf R itu tidak berubah menunjukkan si pembaca pesan sedang mengetikkan jawaban. Revan tertohok. Jelas sekali dia tahu, bahwa ternyata membaca pesan saja tanpa memberikan balasan seperti yang sering dia lakukan pada Alina adalah salah satu kejahatan tak termaafkan. Rasanya sesak dan kesal di saat bersamaan.

Pantas Alina sering mendumal, Chat di read doang, emangnya koran? Balas dong, Van!

"Jadi menurut Pak Suhardi, anda mengalami terlelap sesaat tadi?"

Revan menegakkan kepala. Tidak terpikir dalam otaknya bahwa Suhardi mungkin mengalami kondisi medis yang disebut microsleep, terlelap sesaat saat sedang beraktivitas.

"Kenapa bisa terjadi?"

"Mungkin karena saya kurang tidur, Pak. Saya hanya tidur tiga jam tadi malam."

What? Setau Revan, standar minimal orang tidur untuk jenis pekerjaan seperti Suhardi adalah 6-8 jam.

"Dan apa yang anda lakukan sehingga anda hanya tidur tiga jam?" tanya Wirgiatomo tajam.

Keheningan langsung terasa, merambat melalui udara. Suhardi terlihat kesusahan menelan ludah saat akan memberikan jawaban. Namun, semua mata memilih menunggu ucapan apapun yang akan keluar dari mulutnya disertai tatapan tajam. Suhardi tahu, tak ada gunanya lagi dia menutupi lebih lanjut penyebab sebenarnya kejadian.

"Tadi malam...tadi malam...saya mampir untuk ngopi-ngopi di..."

"Di?"

"Warung jablai," sambung Suhardi dalam bisikan.

"Dan untuk apa anda mampir kesana, Pak?" terdengar suara gemas dari Wirgiatomo. "Sudah tau hari ini akan bekerja full dua belas jam!"

"Istri saya jauh, Pak...Saya memerlukan sedikit...hiburan...," cicit Suhardi dalam kata terakhirnya.

Seluruh hadirin yang hadir langsung kehilangan suara. Membeku di saat bersamaan. Setelah sekian jam yang dihabiskan Revan dengan gelisah mendengarkan investigasi yang alot dan berjalan lambat, pangkal perkaranya ternyata 'itu'?

Revan memutuskan keluar tanpa permisi, dia kembali ke ruang kerjanya dengan langkah panjang. Dia menyesal telah begitu membela seorang bajingan. Merelakan waktunya untuk orang yang memilih untuk tidak setia.

Begitu masuk, Revan mengunci pintunya cepat. Tanpa dia sadari, tinjunya sudah menghantam pintu sampai bergetar. Disat yang sama dia mengumpat, "Long distance marriage itu memang bangsat!"

-oo0oo-

Hanya Tuhan yang tahu persis betapa Revan sangat ingin menggantikan posisi sosok bocah yang tergolek lemah dengan tangan kiri di gips tebal. Biar dia saja yang merasakan sakit dan deritanya. Jangan Reval!

"Lin...," panggilnya begitu melihat wanita kesayangannya. Alina menatap Revan sekilas dan kemudian membalikan badan masuk ke kamar rawat inap Reval yang sedang tertidur nyenyak. Mengacuhkan keberadaan Revan.

Revan memilih keluar dan tidak memaksa, karena dia tahu benturan ego dan emosi yang mungkin saja memercik di ruang rawat inap Reval hanya akan menjadi pengalaman tidak menyenangkan bagi anaknya.

Al dan Agil mengapit Revan yang duduk di kursi tunggu ruang rawat inap. Mereka hanya diam tanpa suara. Berulangkali keduanya menepuk bahu Revan untuk menguatkan Revan dan menyadarkan bahwa dia tidak sendiri dalam menghadapinya. Bukan masalah bagi Revan dalam kesendirian, justru dia bersyukur seandainya bisa selalu memikul masalah sendirian. Jangan...jangan sampai orang-orang yang dicintainya yang merasakan...

Tapi, rasa bersalah mengental di dalam dirinya. Dia bukan hanya merasa gagal menjaga Reval, tapi dia juga merasa sudah melukai hati Alina. Terbukti sampai sekarang, Alina tetap menghindari dan menolak menatapnya.

Revan berdiri dan berjalan gontai. Kali ini dia perlu ketenangan ekstra untuk memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan. Dalam perjalanan menuju mushola, batinnya terus membisikkan berbagai bentuk tanya:

Buat apa Revan jauh dari keluarga dan ternyata hal yang lebih buruk bisa saja terjadi pada keluarganya?

Buat apa Revan ada jika dia tak bisa menjadi penjaga keluarganya?

Buat apa Revan ada jika dia tak bisa memastikan bahwa keluarganya baik-baik saja?

Revan menjerit tersungkur di mushola rumah sakit. Batinnya tercabik dengan keadaan yang ada. Hanya satu yang dia pinta, kemampuan untuk tetap sabar dan berpikir jernih agar tidak meladeni tindakan emosional Alina. Sungguh, kelelahan dan kesakitan mampu mengikis kerasionalan dalam mengambil tindakan.

"Lin, bisa kita bicara?"

Alina, layaknya wanita yang merasa terluka egonya. Walaupun tahu bahwa bukan salah Revan sama sekali setelah dijelaskan oleh Ayahnya. Tapi ego wanita Alina menolak untuk memeluk dan memaafkan Revan seketika.

Memang keahlian wanita untuk merajuk sampai titik darah penghabisan, sampai lelaki bahkan ingin memilih terjun ke jurang saking susahnya membujuk para wanita yang memutuskan untuk melaksanakan aksi tutup mulut dan berpura-pura menganggap lelaki tak kasat mata.

Revan bertindak cepat begitu Alina membalikkan badan dan berjalan menjauhinya. Dengan dua langkah panjang dia mencapai badan Alina dan merangkulnya erat dari belakang. Tubuh Alina menegang, Revan menunduk dan meletakkan mukanya di bahu Alina dan berkata, "Kamu mau marah, ngambek, nangis...gakpapa. Gakpapa Lin, tapi tolong menangislah di pelukanku," pinta Revan lirih.

Bahu Alina gemetar hebat, dia berbalik dan berganti memeluk Revan erat, "Va...n," isaknya terbata.

"Maaf...maafin aku, Lin. Maaf untuk tak berada di sisi kamu di saat-saat sulit seperti ini," kata Revan menumpukan kepalanya di atas kepala Alina. Tangannya mengelus lembut rambut Alina, mengalirkan ketenangan dan kenyamanan sebisa dia. "Hanya ingin kamu mengerti, meskipun jauh, aku selalu menggenggam tanganmu dan memeluk erat anak-anak kita. Tidak selalu secara fisik, tapi untaian doaku akan selalu menjaga kalian semua."

Tangis Alina pun pecah di pelukan Revan. Dia tahu bahwa kejadian hari ini bukanlah cobaan yang terakhir dalam kehidupan rumah tangga mereka. Jalan mereka masih sangat panjang.

"Aku tau cinta kita akan selalu diberi ujian dan diragukan setiap harinya, tapi percayalah...cinta kita terlalu kuat kalau hanya dihantam badai kecil begituan."

Bukan seperti pacaran yang ada masa berakhirnya cobaan dengan menikah. Pernikahan justru perjalanan tanpa akhir dengan proses tak tertebak, dengan halangan tak terduga. Tapi semua orang menuju satu tujuan yang sama: bahagia.

Dan karena itulah, kali ini Alina memilih untuk meruntuhkan ego dan memaafkan ketidakhadiran Revan di sisinya pada saat terjadinya cobaan episode kali ini dalam hidupnya.

-oo0oo-

"Yang ini geygaji kan, Yah?" kata suara cadel dari bocah lucu itu.

"Ini oben..beng," kata suara mirip satunya menimpali.

"Iya...ini namanya gergaji, Ka. Buat motong papan," kata Al menjelaskan. "Dan ini namanya obeng De. O...beng," Al mengejakan kata obeng, "buat ngencangin baut."

"Oben...," kata Defka mencoba menirukan namun belum terlalu sempurna.

Alina tersenyum miris. Kedua anak kembar itu sedang antusias menanyakan berbagai alat pertukangan dan fungsinya kepada Al. Al sampai kelabakan menjawabnya.

Dia menatap mata Reval yang mengerjap ke arah Al. Kemudian mendekat pada Alina dan berbisik agak kencang, "Ayahnya Reval kemana lagi sih, Nda?"

Alina dan Al berpandangan. Muka Alina langsung berubah memelas.

"Bang Reval, sini Bang," panggil Al kepada Reval yang dari tadi mengamati kedua sepupunya yang menggelendot manja di pangkuan Al. Reval mendekat.

"Bang Reval tau ini namanya apa?" tanya Al berusaha mengacungkan gergaji mainan.

Reval hanya menggeleng perlahan, matanya kembali menatap Alina.

"Bun?"

"Namanya gergaji, Sayang," sahut Alina menekan nyeri di dada.

"Owh..."

"Nanti kalo Bang Reval tangannya sembuh, mau main gergaji gak?" tanya Al lagi.

"Mau, Om. Mau...," jawab Reval bersemangat.

"Nah...coba pegang dulu pakai tangan yang sehat," kata Al mengulurkan mainan gergaji pada Reval. "Makenya pake gerakan maju mundur, Bang Reval."

Reval memajumundurkan mainan gergaji seolah-olah sedang memotong lengan kekar Al. Al pura-pura menjerit-jerit kesakitan dan berteriak bahwa tangannya akan dipotong Reval. Dan Reval yang merasa hebat dan kuat, langsung tertawa dengan senangnya.

"Rame banget?" seru Kalila yang baru datang dari dapur. Membawa sepiring pisang goreng yang mengepul hangat.

"Asik...bilang apa Ka, De?"

"Yummy," seru keduanya kompak.

"Sutil," gumam Reval tak jelas.

"Apa Bang Re?"

"Tante La bawa sutil," tunjuk Reval ke tangan kiri Kalila yang masih memegang sutil.

Alina langsung terdiam, bagaimana tidak anaknya lebih familier dengan peralatan dapur dibandingkan peralatan pertukangan. Ini imbas dari Reval yang suka mengintili Ijah atau Oni masuk ke dapur sepertinya.

"Van...Reval perlu sosok seorang Ayah di dekatnya," lirih Alina menyusut setetes air mata yang jatuh di pipi.

-oo0oo-

Alina dan Revan menatap bergantian. Kemudian memandang lagi benda berbentuk stick kecil di tangan Alina. Kemudian keduanya tersenyum dan berpelukan sambil menangis bahagia. Stick kecil itu menunjukkan garis dua berwarna merah.

"Van..."

"Ma...makasih sayang," kata Revan terbata.

"Revan junior udah ada di dalam sini ya, Van?"

"Iya sayang," kata Revan menunduk dan kemudian mencium lembut perut Alina yang masi terlihat rata. "Baik-baik di dalam sampe waktunya ya, Nak..."

Alina terharu. Dia mengusap pelan permukaan perut yang barusan di kecup Revan. Tempat buah cinta mereka sedang meringkuk dan bertumbuh nyaman.

"Jadi, nanti sore kita cek ke dokter mana Van?" tanya Alina bersemangat. Setelah segala euforia telepon sana-sini untuk mengabarkan. Setelah jeritan dan teriakan Alhamdulillah dari Maika dan Diana Mahardhika.

"Nanti aku tanya bidan mana yang recommended, Lin."

"Dokter kandungan?"

Muka Revan langsung pias, "Mungkin kita harus ke kabupaten tetangga jika kamu ingin periksa kehamilan dengan dokter kandungan. Karena yang paling dekat cuma di sana. Dokter SPOG di sini sedang cuti, kemarin aku baru merujuk karyawati Optima ke kabupaten tetangga."

Alina menelan ludah, dengan sabar dia menggandeng tangan Revan,"Ayo kita berangkat, Van." Revan tersenyum dan ganti mengucek rambut Alina.

Dia menyetir hati-hati selama dua jam perjalanan tanpa macet. Alina yang sudah mulai menggeser-geserkan posisi duduk membuat Revan merasa sedikit merasa bersalah. Sesekali mengelus punggung tangan Alina untuk menularkan kesabaran.

Sesampainya di kota tujuan, Alina langsung menuju bagian pendaftaran. Matanya terbelalak begitu melihat jumlah pasien yang harus diperiksa oleh sang dokter kandungan dan nomor antrian di tangan.

"Kalau setiap bulan selalu seperti ini, mana bisa aku tahan?" gerutu Alina pelan. Revan hanya tersenyum menyabarkan. Dia tahu, ini salah satu risiko mengajak Alina tinggal di kota kecil ini.

Dan ketika tiba giliran mereka berdua, Alina langsung membeku begitu dokter spesialis kandungan yang sudah tergolong cukup berumur, terburu-buru dalam memeriksa, dengan alat entah produk tahun berapa itu berkata,"Saya tidak bisa menemukan kantong janin dari rahim Ibu Alina. Entah karena belum terlihat atau mungkin memang tidak ada."

"Vaaan?"





FootNote:

Microsleep: Micro sleep, atau tidur mikro menurut teori adalah suatu keadaan dimana anda terlelap (ketiduran) untuk waktu sepersekian detik, tanpa disadari

Warung jablai: Sejenis warung yang pelayannya lebih memilih menyodorkan paha dan dada dibanding minuman dan makanan -_-




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top