Suara Hati Lia
Pagi ini Rizal datang lebih awal ke sekolah, banyak hal yang harus diurusnya sejak menjadi ketua OSIS demi memenuhi janjinya kepada anggota sekolah ini.
Kenapa para calon membuat janji manis? Agar banyak yang memilih? Lalu bagaimana jika janji itu tak dapat ditepati? Bukankah lebih baik melakukan apa yang bisa dilakukannya.
Memang seperti itulah pejabat, hobinya membuat janji manis tanpa ada niatan untuk menepatinya.
Rizal keluar dari ruang OSIS dan berjalan menuju kelasnya. Merasa ada yang menarik lengan bajunya, iapun berbalik.
Entah dari mana datangnya gadis itu, yang pasti ia telah membuat Rizal terkejut.
Bagaimana dia tidak terkejut? Gadis itu tiba-tiba muncul di belakangnya dan menarik lengan bajunya dengan wajah yang terus menunduk membiarkan rambut panjangnya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Seram bukan?
"Apa kamu bisa membantuku?" tanya gadis itu.
"Gak. Gue sibuk," jawab Rizal cepat.
Gadis itu terdiam beberapa saat, lanjut bertanya saat dilihatnya kaki Rizal mulai menjauh.
"Kelas sebelas IPA dua dimana?"
"Lo gak denger? Gue bilang; gue sibuk!" hardik Rizal pada gadis itu.
Gadis itu berlari mengejar Rizal, memberikan secarik kertas beserta pulpen ke Rizal.
"Alat pendengarku baru saja hilang, tolong tulis sesuatu. Aku tidak bisa mendengar," jelas gadis itu tanpa diminta.
Rizal mengerutkan kening, bingung. Namun, ia tetap menulis sesuatu di kertas itu dang mengembalikannya sebelum pergi. Rizal sempat mendengar ucapan terima kasih dari gadis itu, yang diduga belum membaca kertasnya.
Gue gak peduli lo tuli atau gimana, yang jelas; GUE SIBUK. Jangan ganggu gue dan jangan berurusan sama gue.
Itulah yang ditulis Rizal. Sungguh Rizal tak pantas menjadi ketua OSIS.
***
Sambil menunggu guru masuk, Rizal terus kepikiran akan gadis itu. Kenapa dia tadi menanyakan IPA 2? Bukankah itu kelasnya? Anehnya lagi, seingat Rizal semua murid di sini sudah hafal denal sekolah. Apa dia murid baru?
Tak lama, seorang guru masuk diekori seorang gadis yang terus menunduk saat masuk ke kelas. Hal itu membuktikan bahwa hipotesa Rizal benar!
Gadis itu mengangat kepalanya setelah dipersilakan untuk memperkenalkan dirinya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dia kembali menunduk saat matanya menemukan sosok yang ia temui pagi ini. Rizal.
Dia terpaksa memperkenalkan diri sambil menunduk. Berjalan dengan ragu menuju kursi kosong yang sialnya berada tepat di belakang Rizal.
"Rizal, sebagai ketus OSIS, kamu bantu Lia untuk mengenal lingkungan sekolah kita," perintah guru itu sebelun memulai pelajaran.
Tak terasa, kini waktunya istirahat. Lia mengeluarkan bekal yang sempat ia buat tadi pagi. Belum sampai ke mulut, bekalnya sudah hilang bersamaan dengan suara dentingan sendok yang menghantam lantai.
Beberapa siswi sudah ada dihadapannya bersiap untuk menjahilinya. Tak ada yang nenghentikan aksi pembulian ini, bahkan sang ketos malah tertawa menyaksikan sampai Sela sang ketua kelas yang baru masuk langsung menegaskan pada Rizal akan perannya itu.
"Lo apaan sih, Zal?" tanya Sela sedikit membentak.
"Apa?" jawab Rizal polos.
"Itu anggota lo dibuli, kenapa lo malah ketawa?" tanya Sela heran.
"Lah itu anggota lo kali, lo ketua kelasnya, tanggung jaewab lo itu," jawab Rizal.
"Gini ya, Zal, lo itu ketos, semua yang di sekolah ini tanggung jawab lo, gimana bisa seorang ketos ngebiari aksi buli di depan matanya? Kalo ini sampe kedengeran guru, jabatan lo bisa dipecat!" Jelas Sela.
Benar apa yang dikatakan Sela, seharusnya Rizal memberi contoh yang baik agar mendapat perhatian khusus dari para guru. Itulah alasan yang mendasari niatnya menjadi ketua OSIS.
Bukannya Sela tak mau menghentikan, dia hanya kesal karena Rizal tidak menggunakan perannya dengan baik. Sama sekali tak ada tanggung jawabnya dan tak pantas dengan posisi itu.
Memang sejak awal Sela merasa ada yang aneh antara Rizal dan Lia. Sebagai ketua kelas tentunya Sela ingin menjadikan kelasnya sebagai rumah. Rumah yang penuh cinta antara anggota keluarga. Rumah yang penuh dengan kekompakkan keluarganya.
Kini Rizal terpaksa berpura-pura baik pada Lia dan membelanya dengan tujuan popularitas di mata guru dengan harapan hal ini segera berakhir.
Bukannya berakhir, mereka kembali dipertemukan dengan paksaan dari Sela.
'Hari ini Lia gak dijemput, kasian kalo pulang naik angkot pas dia lagi gak bisa denger. Takutnya juga dia dibuli lagi. Jadi, lo bisa kan nganter Lia?' tanya Sela sebelum keluar kelas.
'Kenapa harus gue? Lo kan bisa,' tanya Rizal yang tak ingin repot.
'Gue sih mau aja, tapi kan gue pulang bareng mama, lagian juga lo searah sama Lia,' jawab Sela beralasan.
Dan kini, Rizal duduk diatas motornya, menunggu Lia dihadapannya yang duduk diam di halte untuk segera menaiki motornya.
Perlahan Lia menaiki motor Rizal dengan ragu. Rizal melajukan motornya setelah Lia menaikinya dan membawanya tepat di depan rumahnya.
Ternyata rumah mereka hanya berbeda satu gang. Cukup dekat.
Akibat jarak yang dekat inilah Rizal mencari kesempatan. Menurutnya, jika dia bisa akrab dengan siswi tuli maka akan banyak orang yang kagum padanya, dan menjadikannya idola.
Mereka sering pergi dan pulang sekolah bersama, terkadang Rizal juga berkunjung ke rumah Lia.
Tiga bulan telah berlalu setelah kedatangan Lia. Saat ini Rizal berada di ruang tamu rumah orang tua Lia mengobrol dengan ibunya sambil menunggu Lia selesai berdandan.
Ya. Hari ini mereka berencana untuk ke pasar malam. Berdua.
Setelah sekian lama mencari alat pendengarnya, Lia keluar dari kamarnya menghampiri Rizal dan berpamitan pada mamanya.
Setelah sampai, Lia berencana mengungkapkan perasaannya yang memang sudah ada sejak pertama kali mereka bertemu di kincir ria.
Benci menjadi cinta. Itulah yang dirasakan Lia. Bukan. Bukan lia yang membenci Rizal, tapi Rizallah yanh membencinya.
Lalu cinta? Tentu saja Lia. Bagaimana dengan Rizal? Lia yakin bahwa Rizal memiliki perasaan yang sama padanya, terbukti dengan kedekatan mereka sekarang ini.
Pertama, Lia mengajak Rizal mengikuti beberapa permainan dan lotre. Lalu mereka membeli jagung bakar.
Lia sengaja memakan jagung itu asal, berharap Rizak membersihkan wajahnya jikalau bercelemotan. Benar saja! Rizal dengan manisnya membersihkan wajah celemotan Lia.
Mungkin, ini saat yang tepat.
"Rizal," panggil Lia.
Rizal hanya menanggapi dengan deheman.
"Em... anu," Lia berkata ragu.
"Eh, gue balik duluan ya, lo gak apa-apa kan balik sendiri?" izin Rizal.
"Kenapa?"
"Cewek gue minta jemput."
Prang!
Bagai kaca yang pecah berkeping. Begitulah bentuk hati Lia saat ini.
"Ka-kamu... punya pacar?" tanya Lia tak percaya.
"Ya punyalah. Yang namanya ketua osis tuh inceran cewek satu sekolah," katanya menyombongkan diri.
"Kamu selama ini baik sama aku, kamu juga sering ke rumahku, nganter aku kesana-kemari. Bukannya itu bukti kalau kamu suka samaku?" tanya Lia menuntut penjelasan.
"Hah? Suka sama lo? Gue itu cowok keren. Ketua osis. Inceran semua cewek. Mana mau gue sama cewek tuli kayak lo gini! NYU-SA-HI!" jawab Rizal menjelaskan.
"Tapi selama ini kamu selalu baik samaku," balas Lia tak percaya.
"Lo gak sadar apa? Gue tuh dari awal udah manfaati lo buat dapeti perhatian para guru, supaya gue dikagumi cewek-cewek se-sekolahan, biar Sela mau nerima gue!"
Jadi, selama ini Rizal menyukai Sela. Pantas Rizal selalu menurut padanya.
Kenapa Tuhan menciptakan hati jika untuk dihancurkan?
Bukan, bukan begitu.
Tuhan menciptakan hati bersama dengan akal agar kita bisa merasakan bukannya terbawa perasaan.
Ini semua salah Lia. Dia yang bersalah akan hatinya. Kenapa dia tak bertanya sejak awal? Kenapa dia menyimpulkan perasaan orang sesuka hatinya?
Tak lama setelah Rizal pergi, Lia pun pergi. Kembali kerumahnya dengan air mata yang terus berjatuhan.
Rizal tak hanya menolaknya, tapi juga menghinanya. Memangya siapa yang ingin punya kekurangan? Tidak ada. Tak ada seorangpun yang ingin memiliki kekurangan, semua terjadi atas kehendak Tuhan.
Lalu, mereka yang tak memiliki kekuran malah menghina mereka yang kurang dan bukannya membantu.
Pantaskah? Dari pada kita menghina mereka yang memiliki kekurangan, kenapa kita tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan?
***
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top