So Long!
Aku mengelus dua buah nisan yang terpasang di pusara terlihat tidak terurus. Sudah bertahun-tahun, aku selalu ke tempat ini, setiap tanggal 1 Januari. Dan selama bertahun-tahun itu pula aku menangis di atas pusara yang telah mengubur semua kebahagiaan yang kumiliki.
~~~
Saat malam natal beberapa tahun yang lalu, aku mengajak keluargaku berlibur di Hokkaido. Sekaligus merayakan hari pertama aku mengungkapkan cinta pada istriku.
“Dev, gimana kalau kita batalin aja jalan-jalannya?” tanya Jessie dengan wajah yang terlihat cemas.
“Eh, ja—jangan,” ucapku dengan terbata-bata.
“Tapi salju sedang turun deras.” Jessie semakin cemas saat melihat ke luar jendela kamar.
“Tenang saja, Sayang. Mungkin nanti agak sore, salju mulai mereda.”
Jessie akhirnya mengangguk, mengalah pada keputusanku. Aku tersenyum mendekati Jessie, memeluknya lalu mengecup bibirnya sejenak.
“Terima kasih, Istriku.” Jessie tersenyum, meski kulihat masih ada rona kekhawatiran di wajahnya.
Waktu menunjukkan pukul enam sore saat hujan salju mulai mereda. Aku dan Jessie akhirnya berangkat meski masih ada sedikit perdebatan antara kami.
“Dev, kamu yakin mau pergi?” tanya Melody yang berkunjung ke kamarku.
“Iya, Dev. Aku khawatir sama kalian,” sambung Dyo, suaminya.
“Santai aja, Mel, Yo. Aku hati-hati kok bawa kendaraanya.”
“Ya sudah, hati-hati, Dev, Jess.” Dyo melepas kepergianku dan Jessie.
Sepanjang jalan, celotehan dari Eve anak kami yang berusia lima tahun menengahi kebisuan antara aku dan Jessie
Akhirnya setelah menempuh lima belas menit perjalanan, sampai juga aku di sebuah cafe dengan nuansa yang sangat romantis. Dari dalam cafe ini kita bisa melihat langsung Odori Park. Gugusan pohon yang tertanam disekitarnya terlihat indah dengan balutan salju putih yang dan lampu-lampu natal yang menghiasi.
Aku menggenggam lengan Jessie yang baru saja turun dari mobil, lalu membawanya ke dalam cafe. Aku Jessie, dan Eve disambut oleh pelayan yang langsung mengantarku menuju meja yang sudah ku reservasi.
“Thank you,” ucapku kepada pelayan yang mengantar kami.
“Devan, ini indah sekali,” ucap Jessie saat melihat ke arah luar jendela. “Terima kasih, Sayang!”
Kulihat mata Jessie berbinar-binar, rona kekhawatirannya perlahan berganti dengan kebahagiaan. Begitu pun Eve, yang terlihat semakin bahagia.
“Aku tidak bisa memberikan apa-apa untukmu di anniversary kita sekarang,” ucapku sambil meremas lembut jari-jari tangan Jessie. “Dan, selamat Natal, Sayang.”
Mata Jessie terlihat berkaca-kaca, dengan senyuman manis yang tidak lepas dari wajahnya yang tidak pernah lepas sejak memasuki tempat ini.
“Terima kasih, Devan. Terima kasih sudah menerima aku menjadi istrimu, meski kita berbeda kau selalu menghargai dan menerimaku apa adanya. Terima kasih juga telah menjadi suami yang baik untukku, yang selalu sabar menghadapi amarahku. Dan terima kasih juga telah jadi ayah yang luar biasa bagi Eve.”
Malam itu kuhabiskan makan malam bersama dengan perasaan yang sangat bahagia, begitu pun dengan Jessie, senyuman manis tidak pernah lepas dari wajah cantiknya.
Seusai menikmati makan malam yang romantis, aku mengajak keluarga kecilku untuk berjalan-jalan mengelilingi Odori Park.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku mengajak Jessie dan Eve untuk kembali ke hotel. Di perjalanan pulang, Eve terlelap, karena selama di Odori Park ia terus berlarian kesana-kemari.
Tiba-tiba, sebuah mobil yang melaju dari arah berlawanan tergelincir dan menabrak sisi sebelah kanan mobilku yang membuat mobilku berputar. Aku mencoba mengendalikan mobilku, tapi karena jalanan yang licin membuatku gagal mengendalikannya. Pada akhirnya membuat mobil yang kukendarai masuk ke dalam kolong truk yang terparkir di dekat tempat kejadian. Perlahan kesadaranku pudar, semua terlihat semakin gelap.
Setelah terbangun, aku hanya melihat Melody di dekatku yang terlihat cemas. Setelah melihatku sadar, perawat itu pergi meninggalkan kami berdua.
“Mel, aku di mana?” tanyaku sambil memegangi kepalaku yang masih terasa sakit.
“Kamu di rumah sakit, Dev,” ucap Melody terisak. Matanya sembap, hidungnya merah. Ada sisa air mata yang tercetak jelas di wajah ayunya.
“Jessie di mana?” Melody hanya diam, tidak menjawab ucapanku. “Melody, Jessie di mana? Jawab!”
Jantungku berdebar kencang, aku takut. Sangat takut.
“Sabar, Dev. Jessie masih diperiksa oleh dokter di ruang UGD.”
“Mel, beritahu aku. Jangan hanya diam. Bagaimana keadaan istriku, bagaimana, Mel?”
“Aku tidak tau, Dev. Namun kondisinya sangat mengenaskan. Aku tidak tega melihatnya.” Tangis Melody semakin menjadi-jadi, membuatku semakin takut.
~~~
Sudah sepuluh hari Jessie dirawat, dan masih belum ada perkembangan apapun. Aku semakin khawatir Jessie tidak bisa sadar secepatnya. Sementara itu Eve hanya mengalamai luka ringan, dan kini sudah berada di hotel bersama Dyo.
Setelah tadi termenung di depan rumah sakit, menatap hamparan salju yang putih bersih. Melody menyuruhku masuk dan menemani Jessie. Karena ia harus segera kembali ke hotel untuk berkemas. Karena besok ia dan Dyo harus pulang ke Indonesia.
“Sayang, bangun. Tidakkah kamu merindukan aku dan juga Eve. Sejak kemarin, Eve terus-terusan menanyakan mamanya. Aku bingung harus menjawab apa.” Aku terisak, menceritakan bagaimana sulitnya memberitahu kepada Eve yang masih sangat kecil untuk mengerti. “Oh, iya. Besok kita pulang ke Indonesia, ya. Kamu sudah kangen Pochii, bukan? Aku ingat kamu sampai uring-uringan di hotel karena tidak mendapati boneka kesayangmu di dalam koper.”
Perlahan kurasakan ada sedikit pergerakan dari jemari Jessie yang sejak tadi kugenggam. Kucoba sekali lagi membisikan sesuatu ke telinganya, “Jessica Veranda, Istriku. Bangun Sayang. Ayo kita pulang. Eve sudah menunggumu. Gadis kecil itu akan senang sekali melihat ibunya.”
Gerakan jari-jari Jessie semakin terasa di genggamanku. Dengan cepat kupanggil dokter. Tidak lama kemudian, seorang dokter dan perawat memasuki ruangan dan memeriksa keadaan Jessie.
Dari luar ruang rawat, kulihat mata Jessie perlahan-lahan terbuka. Tak terasa air mataku perlahan mengalir, aku sangat bahagia. Dalam hati, aku terus mengucap syukur. Tuhan mendengarkan doaku.
Setelah selesai memeriksa keadaan Jessie, dokter menghampiriku lalu tersenyum dan mempersilakan aku masuk ke ruang rawat.
Di dalam ruangan, aku melihat senyuman Jessie yang terbentuk indah di bibirnya, meski sedikit terhalang oleh masker oksigen.
“Devan,” ucapnya lemah nyaris tidak terdengar olehku.
“Iya, Jessie. Aku di sini,” ucapku lalu mendekatinya. Kugenggam erat tangannya yang lemah lalu kukecup lembut punggung tangannya.
Jessie membuka sedikit masker oksigen yang menutupi mulutnya.
“Devan, aku ingin meminta maaf padamu.”
“Maaf untuk?” tanyaku dengan senyuman yang kubuat semanis mungkin untuk menguatkan Jessie.
“Aku sudah tidak kuat, Devan. Aku titip Eve padamu, ya.” Perlahan air mata meluncur di pipi Jessie.
“Sayang, jangan berkata seperti itu.”
“Bidadari kesayanganmu ini sudah dipanggil pulang ke khayangan,” ucap Jessie sambil terkekeh pelan.
“Jessie, kamu kuat. Kamu harus bertahan sayang.”
“Maaf. Aku sudah dijemput, Sayang. Sudah waktunya aku pulang.” Kulihat mata Jessie perlahan terpejam, napasnya sedikit demi sedikit melamah dan akhirnya suara lengkingan tajam dari alat pendeteksi detak jantung mendandakan kepergian Jessie.
Aku menangis sejadi-jadinya sambil terus mengecup punggung tangan Jessie dan mengucapkan namanya dalam hati.
Tiba-tiba kurasakan sakit kepala yang teramat sangat. Aku tak kuat menahannya, hingga tubuhku tergeletak di lantai rumah sakit yang terasa sangat dingin menusuk tulang.
~~~
Di tengah hujan yang deras. Aku menangis semakin kencang, hingga sebuah pelukan yang terasa sangat dingin menyentuh kulit tubuhku.
“Sayang, cukup. Sudah jangan menangisi masa lalu. Biarkan semuanya berjalan seiring waktu.” Aku menoleh, melihat Jessie dengan pakaian serba putih memeluk erat tubuhku.
“Jessie, maafkan aku,” ucapku lalu bangkit dari tempatku dan membalas pelukan Jessie.
“Sudah bertahun-tahun kamu mengucapkan itu, Devan. Aku tau ini sangat menyakitkan bagimu. Tapi apakah kau memikirkanku juga?” tanya Jessie dengan nada tegas.
“Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini, Jessie,” ucapku tidak kalah tegas.
Wajah Jessie yang terlihat semakin cerah terlihat muram karena pernyataanku.
“Maafkan aku juga, Devan.”
“Tidak ini bu—“ ucapanku terpotong saat aku melihat seorang gadis yang beranjak dewasa mendatangi pemakaman.
“Ma, Pa. Apa kabar?” ucap gadis itu sambil membelai kedua nisan yang ada di hadapannya.
***
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top