Oneiroi

“Selly. Bangunlah.”

Ah, suara itu. Aku tahu siapa pemiliknya. Perlahan kubuka mata dan mendapati sang pemilik suara di samping kananku.

“Di mana aku?” Aku mulai duduk dan memandang sekeliling. Di sini sangat asing, salju ada di mana-mana. Aku seolah berada di dataran Islandia.

“Tak penting sekarang kita di mana, kita harus segera lari. Kalau tidak mereka bisa menangkap kita.”

Aku berpikir sejenak, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.

“Ah, mereka. Baiklah, ke mana kita sekarang?” Lelaki tinggi itu langsung menarikku tanpa berucap satu kata pun.

Kami berlari ke sebuah pondok kayu tua yang tidak berpenghuni. Dengan mudahnya Nath membuka pintu pondok itu dan membawaku masuk. Tak lupa menutup kembali pintunya agar orang yang mengejar kami tidak mengetahui jika kami di sini.

“Aku harap tempat ini aman. Semoga saja mereka tidak tahu kita di sini.” Nath mengintip dari jendela, jaga-jaga jika mereka tiba-tiba datang.

“Kau bisa duduk, Nath. Aku rasa sekarang kita aman,” ucapku kemudian duduk bersandar pada dinding. Di sini sangat dingin, kira-kira berapa suhunya? Bahkan mantel tebal yang aku pakai tidak terlalu menghangatkan.

“Kau kedinginan? Mau aku buatkan api unggun?” Nath memandangku khawatir. Sepertinya dia melihat aku yang terus mengusap kedua tangan, mungkin dari sana dia menyimpulkan jika aku kedinginan.

“Tidak perlu. Kau bisa membakar rumah ini jika membuat api unggun.” Aku tertawa kecil membayangkan rumah yang terbakar saat api unggun menyala.

“Kau benar.” Nath ikut tertawa bersamaku. Aku suka melihatnya tertawa, dia lucu dan manis. Dengan lesung di kedua pipi, itu menambah daya tariknya. Aku bersyukur memiliki suami seperti dia.

Walaupun umurku masih tujuh belas tahun dan dia dua puluh tahun, itu bukan masalah. Apa pun bisa terjadi di sini.

“Kalau masih kedinginan kau bisa pakai mantelku. Aku juga mau membuat coklat panas, kebetulan persediaan air panas masih cukup banyak di ranselku. Kau mau?” Aku menganggukkan tawaran Nath. Udara dingin seperti ini memang sangat cocok dengan coklat panas.

Aku memandang Nath yang sedang sibuk membuat coklat panas. Tanpa sengaja, aku tersenyum tipis mengingat kenanganku dengannya. Tak seharusnya aku mencintai Nath seperti ini, ini hanya ilusi. Aku selalu sedih jika mengingat kenyataan itu, tapi aku benar-benar telah jatuh cinta pada pria berkulit pucat ini.

“Sally. Kau memikirkan apa?” Tiba-tiba suara Nath membuyarkan lamunanku.

“Ah, tidak. Aku hanya berharap kita bisa lepas dari para prajurit itu,” bohongku agar dia tak ikut bersedih, karena memang hanya aku yang tahu semua kenyataan ini.

“Aku juga berharap hal yang sama. Jangan kuatir, apa pun yang terjadi, aku akan selalu melindungimu.” Nath tersenyum kepadaku. Hatiku seketika menghangat. Hanya karena ucapan dan senyum Nath, itu sudah membuatku berbunga-bunga.

“Kalau sudah selesai minumnya, ayo segera tidur. Besok pagi kita akan ke desa yang tak jauh dari sini. Siapa tahu kita dapat menetap di sana, walaupun hanya sementara.” Suara Nath memelan di akhir kalimat. Sangat terlihat jika dia sudah lelah hidup dikejar-kejar seperti ini.

Aku segera meneguk habis minuman coklat itu kemudian mendekati Nath yang sudah berbaring dengan ransel sebagai bantalnya. Aku pun ikut berbaring dan berbantal tangan Nath.

“Aku masih belum mengerti kenapa mereka mengejarmu sampai seperti itu,” celetukku seraya menatap atap yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba.

“Maaf aku belum pernah cerita. Dulu aku salah satu di antara mereka, tapi aku lelah dan berhenti menjadi prajurit. Mereka malah menganggapku berkhianat dan bersekongkol dengan kerajaan seberang. Dasar, prajurit otak sempit.” Aku tertawa kecil mendengar umpatan Nath.

“Tapi aku juga senang di kejar mereka, karena mereka aku bisa bertemu denganmu. Aku harap kita akan selalu bersama, jangan pernah tinggalkan aku.” Nath sedikit menunduk agar dapat melihat wajahku. Aku hanya bisa tersenyum tipis, tak tega rasanya jika harus mengungkapkan kenyataan yang dapat membuat hatinya dan hatiku terluka.

Aku bertemu Nath ketika dia sedang di kejar oleh prajurit beberapa Minggu lalu. Saat aku pertama kali masuk ke dunia ini. Aku hanya ingin bertanya pada Nath saat itu, tapi rupanya dia sedang bersembunyi. Mengingat wajah gusarnya membuatku ingin tertawa. Aku terpaksa berbohong pada prajurit ketika menanyaiku tentang Nath, dan mereka percaya. Kalau tidak begitu, Nath tidak akan mau meladeni pertanyaanku tentang tempat ini.

Sayangnya, aku tak ingat tentang pernikahan kita. Padahal aku sangat ingin mengingatnya, tapi hal penting seperti itu malah terlupa.

“Cepat tidur. Para prajurit itu pasti sebentar lagi tiba di sini. Semoga kita bisa lari sebelum mereka sampai.” Nath mulai menutup matanya, begitu pula aku.

*******

“Siapa pun yang ada di dalam! Buka pintunya! Atau kami bakar pondok ini!!!” Suara teriakan itu membangunkanku. Itu pasti suara para prajurit!

“Nath! Na—“ Tiba-tiba mulutku terbungkam oleh sebuah tangan kekar. Nath menarikku dalam dekapannya dan memintaku diam. Sekilas kulihat suasana di luar jendela, masih gelap. Ini artinya sekarang belum pagi, dan para prajurit itu sudah menemukan kami.

“Baiklah. Kami akan membakar pondok ini sekarang!!!” Tak butuh waktu lama, api mulai melahap kayu yang menjadi penopang pondok ini.

“Nath, aku takut.” Aku memeluk tubuh Nath erat. Rasa panas dan ketakutan membaur menjadi satu di diriku.

“Tenang. Aku di sini. Kau akan baik-baik saja.” Nath mendekapku sembari mengelus rambutku lembut. Namun, aku masih belum bisa tenang. Apalagi kayu-kayu mulai berjatuhan dari atas.

“Ayo pergi dari sini!” Nath menarikku ke pintu belakang. Sesekali kami menghindar dari api dan kayu yang terjatuh dari atap.

“Itu mereka! Kejar!!!” Para prajurit langsung mengejar kami saat tahu aku dan Nath berhasil keluar dari pondok.

Sekuat tenaga aku mengimbangi langkah Nath. Aku sudah tak peduli dengan dinginnya salju yang menyerang kaki telanjangku. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin hingga para prajurit itu tidak menggangguku dan Nath lagi.

Kami berlari hingga masuk ke sebuah perkampungan kecil. Namun, prajurit itu terus mengejar dengan kuda mereka.

“Sembunyilah sekarang,” perintah Nath yang membuatku terkejut.

“Tidak. Aku akan sembunyi jika kau juga ikut,” tegasku. Bagaimanapun, aku tak mau meninggalkan orang yang aku cintai.

Nath terlihat sangat gusar, apalagi para prajurit itu telah melihat kami. Tanpa aba-aba Nath kembali menarikku untuk berlari. Namun, kali ini kami benar-benar terlambat. Para prajurit itu sudah mengepung kami, membuat lingkaran yang mengelilingi aku dan Nath. Nath menggenggam tanganku erat. Dia berdiri di depanku, seolah menjadi tameng yang siap melindungi dari segala ancaman.

Para warga setempat menatap kami heran. Mungkin mereka bingung kenapa aku dan Nath dikejar prajurit seperti ini

“Makenath Keyviro! Menyerahlah, kau terkepung.” Pimpinan prajurit itu tersenyum miring ke arah Nath.

“Aku tidak bersalah. Lantas kenapa harus menyerah?” Nath menjawab dengan tegas dan percaya diri. Pimpinan prajurit itu terlihat marah. Dia memerintahkan ajudannya untuk menyerang aku dan Nath.

Di sinilah aku merasa semakin gusar. Pikiranku kacau. Tak tega rasanya melihat Nath melawan mereka sendiri, tapi aku bisa apa? Aku tak pandai bertarung seperti Nath. Aku hanya bisa menangis, menyesali diriku yang tak berguna.

Namun, aku ingat sesuatu. Beberapa hari lalu aku mempelajari tentang cara ini, dan sepertinya ini saat yang tepat untuk mencobanya. Aku harap bisa membantu Nath sekarang.

Menurut yang kubaca, cara pertama iyalah mengetahui aku berada di alam mana. Ini mudah, karena aku tahu betul sekarang aku ada di mana. Kini, saatnya aku berkonsentrasi untuk mengubah semuanya. Aku memejamkan mata dan berusaha mengubah takdir semu ini. Namun, belum juga ada yang terjadi. Ketakutan semakin meruak di pikiranku. Aku terus mencoba, sampai seorang prajurit ingin memenggal kepala Nath dengan pedangnya.

“Jangan seperti ini! Berubahlah! Tidak ada penyerangan! Semua sudah selesai, damai!!!” Aku berteriak seraya menutup mata. Tiba-tiba semua seolah berlalu begitu cepat, seperti sebuah video yang diputar dengan kecepatan dua kali lipat.

“Selly, buka matamu.” Perlahan aku membuka mata ketika mendengar suara Nath. Aku sangat tak percaya, ini berhasil! Luce dream yang aku pelajari ternyata dapat kuterapkan.

“Terima kasih. Kau sudah mengusir mimpi buruk itu.” Aku terkejut mendengar penuturan Nath.

“Iya, Selly. Aku tahu kita ini di dunia apa. Aku juga tahu keresahan tentang perasaanmu, karena aku juga mengalaminya.” Aku semakin terkejut. Jadi selama ini, bukan hanya aku yang tahu kebenaran ini? Ternyata Nath pun sudah mengetahuinya.

“Lucu, ya? Jatuh cinta pada orang yang hanya ada di khayalan kita. Tidak bisa memiliki raga sesungguhnya.” Nath memandang jauh ke depan.

“Maaf. Tak seharusnya aku mencintaimu.” Aku sungguh menyesal. Namun, aku tak bisa mengelak jika aku mencintai Nath.

“Jangan menyalahkan diri seperti itu. Aku juga sama sepertimu. Kita saling mencintai, tapi tidak bisa memiliki.” Aku diam. Ucapan Nath seolah menusuk ke sanubariku. Udara sejuk pegunungan menerpa wajahku dan Nath. Entah kenapa kami bisa sampai di pegunungan ini, sungguh aneh.

“Nath, apa ini akhirnya?” tanyaku pelan.

“Mungkin, iya.” Perlahan aku menoleh ke kanan, memandang wajah Nath yang ternyata juga memandangku. Dia tersenyum tipis, aku tak rela meninggalkan senyum itu. Namun, sepertinya takdir memang tak memperbolehkan kita bersama.

“Kalau begitu, sampai jumpa di mimpi yang lain, Nath.”

***
Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top