Mysophobia

"Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku dalam hitungan kesepuluh. Satu." Surya menyengir setan, mata hitamnya berkilat seolah akan menang. Curang! Ia mengurungku di antara kedua tangannya dan dinding.

"Dua."

"Seriously?! Surya, aku bisa mematahkan hidungmu sekarang."

"Tiga. Dengan apa?"

"Dengan tanganku!"

"Empat. Kau 'kan phobia kotor. Apalagi aku baru dari WC. Coba tebak? Aku tidak cuci tangan."

"Surya! Aku sungguh-sungguh ..."

"Lima. Apa?"

" ... akan membencimu selamanya."

Wajah Surya memuram, aura tengilnya musnah berganti kesedihan. Tapi itu tidak menyurutkan tekadnya untuk mengurungku lebih ketat. Kedua lengannya hampir menyentuh bahuku. Kuman, kuman, kuman. Aku tidak tahan berbagi napas dengannya, bakteri yang menyebar bisa berjumlah jutaan.

"Enam."

"Surya, please." Dadaku mulai sesak, tapi wajah Surya terus mendekat seakan menekanku untuk lenyap. Apa dia ingin aku mati?!

"Candra, aku serius saat bilang 'suka' waktu itu. Tujuh."

"Tapi kita sama-sama laki-laki." Aku teriak, nyaris histeris.

"Terus? Delapan."

"Apa kata orang?"

"Biarkan saja mereka. Aku cuma ingin kau dan begitu juga sebaliknya."

"Tapi aku mysophobia."

"Sembilan. Kau tidak coba menolakku lagi?"

Glek. Panas merembeti seluruh pembuluh darahku, seakan kulit ini bisa meleleh, dan aku teronggok putus asa. "Surya, kau menjijikkan!"

"Lebih baik begitu daripada tidak dipikirkan sama sekali. Aku ada untuk kau benci. Kau ada untuk kucintai. Imbang 'kan?" Senyum Surya kembali, kali ini hidungnya nyaris menyentuh pipiku yang berpaling ke samping. Sembari menahan napas, gejolak sesak, dan hasrat untuk muntah.

"Sepuluh."

****

Air mengalir deras membilas sabun antiseptik dan tanganku yang lecet kemerahan. Banyak luka-luka kecil tercipta, di sela-sela jari, lipatan-lipatan jari, dan punggung jari. Aku mendesah, melontarkan lelah dan beban yang nyaris menghilangkan nyawaku barusan. Surya menembakku, lagi. Dan sekarang ia memanfaatkan mysophobia-ku. Bajingan! Seharusnya kutinju dia dengan botol antiseptik dan melemparinya selusin larutan alkohol 70%.

Aku terus mencuci tangan, lagi dan lagi. Tidak puas sekali basuh, aku terus mengulanginya sampai semua jejak pikiranku tentang Surya lenyap. Bagaimana awalnya, ya, kami cuma teman sekantor. Dia berusaha membantuku yang keberatan membawa dokumen bertumpuk-tumpuk, aku menolak, tapi Surya memaksa. Tangannya menyentuh tanganku. Aku histeris, menjatuhkan seluruh berkas. Semua jadi kotor. Tanganku kaku menggapai kertas-kertas tersebut, kuman ada di mana-mana. Aku bisa terinfeksi. Kotorannya akan menyebar dari tangan ke seluruh tubuhku.

Alih-alih membantu, aku meninggalkan Surya dan pergi ke WC mencuci tangan. Lalu esoknya kami bertemu lagi, Surya memberiku kertas berisi cetakan artikel mysophobia.

"Ya, aku tahu. Kenapa?"

"Tidak coba terapi?"

Aku terkekeh, sudah belasan psikiatri kudatangi dan hasilnya nihil. Fobia itu tetap saja muncul menghantuiku setiap saat. Kalau bisa, aku ingin berada dalam gelembung steril dan memberi jarak lebar terhadap dunia. Seperti kubikelku yang berada jauh di sudut ruang kantor: laptop, printer, kertas-aku punya bagianku sendiri yang kusterilkan rutin dua jam sekali.

"Mau coba menyembuhkan diri?"

Kutolak tawarannya dengan gelengan. Beberapa hari kemudian Surya datang lagi dan bersandar satu tangan di atas mejaku. Sejenak aku terdiam, kuman, berapa banyak yang telah menyebar? Bakteri, virus?! Apakah Surya sudah cuci tangan? Aku hampir melemparinya stapler tetapi ia menangkap tangan kananku dan membuat kepalaku mendongak tak percaya. Seseorang menyentuhku! Sesak itu kembali mencengkeram, aku segera menarik badan tetapi tidak berhasil karena di luar dugaan Surya sangat kuat.

"Lepaskan!"

"Aku bisa bantu menyembuhkanmu."

"Buat apa? Kenapa?"

"Karena aku peduli."

Aku teriak, "Iya, kenapa?"

Surya melepaskan genggaman, aku seketika mundur dan mengambil cairan antiseptik. Menyiramnya banyak-banyak ke lengan, tangan, meja, dan apapun yang disentuh napas tak kasat mata Surya. "Mundur! Jangan mendekatiku." Putus asa ingin keluar dari kubikel. Aku harus cuci tangan, rasanya kuman sudah menggerogoti seluruh badanku. Masker, mana masker.

"Karena aku juga pernah mengidap myosophobia." Surya menunjukkan bekas-bekas kecokelatan dan parut luka di tangannya. Sembuh. "Dulu aku sepertimu, selalu cuci tangan setengah jam sekali."

"Pergi, aku ingin sendiri!"

"Yang sebenarnya berbunyi: temani aku, tolong, aku kesepian. Orang yang takut kotor cenderung menghindari pergaulan sampai tahap menarik diri dan merasa tertekan."

"Jangan sok tahu!"

Surya terus mendekat, sementara senja melahap sisa langit di timur sana. Kantor menggelap, orang sudah pulang tetapi aku punya waktu sendiri agar bekerja dalam kesendirian. Manusia hanya membawa penyakit. Untuk apa bergaul? Aku sudah nyaman dengan kehidupanku yang sekarang, jauh dari masalah, dari kuman dan bakteri. Mereka tidak tahu berapa banyak orang yang meninggal karena infeksi? Penyakit menular?

"Pergi ...." Aku memohon, udara terasa menusuk paru-paru. Tidak berani menatap balik Surya yang mengintimidasi. Ia mendekat tanpa persetujuan, menginvasi kebebasan, sementara aku terjajah dan terus mundur sampai punggung menabrak papan kubikel.

"Aku ingin menolong, Candra."

"Dan aku tidak ingin."

"Kalau begini terus kau akan terisolasi, tidak punya teman, mati sendiri."

Mati sendiri ... aku tidak ingin mati! Dengan kenekatan banteng sekarat aku lari menabrak dada Surya dan kabur sekencang-kencangnya ke luar kantor. Tidak peduli pada ganggang pintu yang belum steril, kotoran, debu jalan, aku menghentikan sebuah taksi dan pulang. Berusaha menyembunyikan kekalutan, seharusnya aku senang¸ karena telah bebas dari Surya. Tapi kenapa rasanya mataku memanas.

Sampai rumah aku membuang mantel, kemeja, dasi, celana, kaos dalam, celana dalam, ikat pinggang, pulpen, uang kembalian taksi, dan perasaanku ke tempat sampah. Berjanji akan membakarnya nanti, lalu mandi sambil menggosok seluruh permukaan kulitku kuat-kuat. Mati, mati, yang seharusnya musnah adalah kuman. Tapi kenapa aku jadi lebih takut mati? Di bawah pancuran air, percikan darah menetes turun mewarnai keramik. Seluruh tubuhku luka, jari-jemariku memerah semakin pekat. Rasanya masih belum cukup, aku masih kotor dan perkatan Surya membuatku lebih nelangsa daripada sebelum-sebelumnya.

****

Seminggu kemudian aku menarik kata-kataku sendiri dan mendatangi Surya ke kubikelnya. Setelah tiga hari ijin kerja, karena demam serta merasa sesak sampai tidak mau keluar dari gulungan selimut. Perasaan enggan terpapar udara kotor membuatku yakin akan mati sendiri dan membusuk dimakan belatung. Sedih sekaligus bingung. Keputusasaan membawaku menelan harga diri dari balik masker.

"Aku ..., maaf soal kemarin. Panik, tahu 'kan? Mysophobia, sejak remaja baru sadar ... cuci tangan sering. Aku ...," menarik napas banyak-banyak, " ... minta tolong."

"Sekarang kau kembali setelah menemui jalan buntu." Surya berbalik dari layar monitor, bersandar pada sandaran kursi dan mendongak. Jakunnya bergerak naik-turun saat ia berkata: "Aku mau bantu dengan satu syarat."

"Apa?"

"Jabat tanganku."

"Gak mungkin!"

Surya mengangguk-angguk, seolah menilai situasi. "Tapi aku tahu metode tercepat. Exposure therapy. Pernah dengar? Atau psikiatrimu cuma memberi obat anti-depresan?"

Aku menggeleng, sedikit malu. "Obat lebih cepat."

"Dan membuatmu ketergantungan. Kau harus berusaha sendiri. Sini, jabat tanganku."

"Kuman. Nanti aku mati bagaimana?"

Surya berdiri, tubuhnya menjulang satu kepala lebih tinggi dan berpunggung tegap. "Kalau begitu, kita latihan dengan makan di kafe."

"Tempat umum?"

"Ya. Yang banyak pengunjungnya."

Bayangan harus berbagi napas di ruangan tertutup dengan puluhan orang membuat punggukku merinding. Aku hampir mundur, berbalik, dan meninggalkan omong kosong ini. Tapi Surya mendekat, memangkas jarak, dan menatap kedua bola mataku langsung: memantulkan wajah pemuda yang hampir menangis ketakutan.

"Pernah pacaran?"

Aku mengangguk sekali, pelan.

"Nah, anggap aja ini kencan. Aku mantan tercantikmu yang ingin bernostalgia. Bisa 'kan?"

"Entahlah." Aku memalingkan wajah, rasanya lelah bernapas di balik masker.

****

Aku terbiasa makan di rumah, membawa bekal, atau botol air minuman sendiri. Makan di luar membuatku curiga tentan higenitasnya, bisa saja pengolahan bahan per bahan tidak sesuai SOP. Atau keringat juru masak jatuh ke makanannya tanpa sadar, atau malah tangan-tangan pelayan tidak dicuci bersih sampai piring yang tersaji di hadapanku telah terkontaminasi karena kumannya menyebar.

"Kenapa, kenyang?" Surya mengunyah keik keju bersaus cokelat putihnya tanpa mencuci tangan, atau membersihkan garpu kue dengan antiseptik.

"Nafsu makanku hilang."

"Orang mysophobia tidak pernah makan di tempat umum."

"Kau sudah tahu."

"Makanya aku mengajakmu kemari."

"Jadi, apa yang harus kulakukan?"

"Makan." Surya menunjuk keik cokelat berhiaskan sebutir strawberry yang dipotong menyerupai kipas. Kelihatannya menggiurkan. Tapi bayangan pengolahannya yang tidak steril membuatku gemetar.

"Tidak usah." Aku mendorong kursi ke belakang dengan kaki selagi berdiri. Tapi Surya lebih dulu bangkit dan mencegahku pergi.

"Kumohon, kau bisa."

"Aku tidak sanggup."

"Sekali saja."

"Kusuapi?"

"Surya, ini bukan masalah makanannya."

Pria itu menggaruk-garuk kepala. Bingung sekaligus keki jadi tontonan. "Dengar, aku tahu ini sulit. Tapi cobalah makan sekali teguk. Pegang garpunya. Setelah itu jangan cuci tanganmu sesampainya di rumah."

Aku membulatkan mata, "Kumannya nanti terbawa ke kamarku."

"Kau mau sembuh tidak?"

Aku meneguk ludah, menatap keik seperti potongan tangan mentah yang berdarah-darah. Tidak bisa. Mulas meremas perutku perlahan-lahan. Jantungku berdentum kencang. Sedetik kemudian, pusing dan sesak menguasai tubuhku hingga membuat pandanganku berkunang-kunang. "Ti ... dak."

***

Percobaan pertama gagal. Kami kembali lagi hari berikutnya, memesan makanan, minuman. Jika tidak kusentuh, Surya yang memakannya sampai habis. Lalu kami coba menyentuh ganggang pintu tanpa mensterilkannya. Aku bisa dengan ujung jari telunjuk, lalu panik lari ke kamar kecil dan mencuci tangan lima kali.

Berikutnya kami jalan-jalan ke pusat kota, coba melepaskan masker, dan membeli buku di toko. Perasaan bahwa seluruh barang sudah terkontaminasi menghantuiku terus-menerus, tapi aku penasaran pada isi bukunya. Sehingga Surya dengan baik hati membacakan beberapa baris kalimat dalam sebuah novel dan berjanji akan membacakan keseluruhannya untukku kalau lolos uji makan di tempat umum.

"Mau jabat tangan?" tanya Surya lagi. Senyumnya tipis namun sehangat mentari. Aku sudah menolak berkali-kali, dan mungkin ini saatnya mencoba.

"Jangan larang aku cuci tangan."

Surya mengangguk. Lalu aku mengangkat tangan kanan yang penuh plester luka, berusaha menyentuh sedikit demi sedikit. Jari tengah Surya, jari telunjuk dan jari manis, telapak tangan, punggung tangan, sampai keseluruhannya terbungkus genggamanku. Aneh, alih-alih takut aku justru merasa lega dan menang.

"Kau berhasil. Kau hebat, Candra!"

Pipiku bersemu karena pujiannya. Sisa perjalanan pulang ke pemberhentian taksi dihabiskan dengan bergandengan tangan. Surya bersikeras ini untuk membiasakan diri. Sampai akhirnya taksiku muncul dan ia melepaskan dengan enggan. Tangan kanannya mengapung pelan di udara, lalu naik jadi lambaian selamat tinggal.

"Aku suka kamu, Candra."

"Eh?" Aku menutup pintu taksi dengan sapu tangan. Belum sempat mendengar sejelas jelas-jelasnya, mobil meraung pergi dan gerak bibir Surya mengulang: aku menyukaimu.

***
Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top